• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Prioritas Cinta

9 Sep 2011 0 comments

“Katakanlah, ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).



“Allahumma, innaka ta’lam, ya Rabbi, ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu betapa aku sedang dalam kebimbangan. Aku menyayangi istriku dan takut melukai hatinya. Ia sedang sakit berat, padahal tak lama lagi ia harus mengahadapi tugas suci yang berat. Ia akan melahirkan. Aku tak sampai hati meninggalkannya. Tapi sesungguhnya Engkau pun tahu juga ya Allah, betapa panggilan jihad itu bergema di telingaku. Membuat gundah hatiku. Aku senantiasa rindu untuk ikut berjihad bersama Rasulullah Saw. Selama ini jika ia pergi keluar untuk berjihad, aku senantiasa ikut bersamanya. Dan jika ia pulang aku pun ikut di sisinya. Ya Allah, Engkau tahu betapa berat hatiku menghadapi pilihan ini ...”

Abu Thalhah berdoa setengah merintih di atas tikar shalatnya memohon petunjuk Allah Swt. Ia benar-benar gundah. Ia harus memilih satu dari dua pilihan yang sama beratnya, sama berartinya dalam hidupnya. Ia sangat mencintai istrinya dan tak ingin meninggalkannya dalam keadaan sakit keras. Akan tetapi, ia pun sangat mencintai jihad ketika jihad itu memanggilnya. Semua kegundahannya itu diadukannya kepada Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim.

Rintihan dan doa Abu Thalhah didengar istrinya, Ummu Salamah, yang tengah terbaring sakit. Kiranya, kekuatan dari Allah jualah yang membangkitkannya dari sakitnya. Ia tak mau suaminya terjebak dalam situasi dilematis. Seorang Mukmin tak boleh berlama-lama berada dalam situasi yang dilematis. Betapapun beratnya keadaan yang dihadapi, ia tetap harus memilih Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya sebagai prioritas utamanya. (QS At-Taubah: 24).

Ummu Salamah merasa berdosa telah menyebabkan suaminya berada dalam keraguan untuk pergi berjihad. Maka, dengan tegar, bangkitlah ia dari tempat tidurnya dan berkata dengan lembut sambil tersenyum, “Ya Abu Thalhah, sesungguhnya aku ini tidak sakit lagi. Mari kita berangkat.” Ummu Salamah melupakan sakit yang dideritanya.

Maka berangkatlah Ummu Salamah bersama suaminya ke medan jihad. Kekuatan iman, ketabahan, dan ketegaran hatinya mengalahkan kelemahan fisiknya karena sakit. Di Madinah, ia melahirkan anak dengan selamat. Itulah Ummu Salamah atau dikenal juga dengan Ummu Sulaim atau juga Ummu Thalhah.

Kepentingan pribadinya, yakni keinginan bermanja-manja dirawat oleh suaminya dalam keadaan sakit dikalahkannya untuk memenuhi seruan jihad. Ia menolong suaminya agar tetap memprioritaskan Allah dan Rasul_nya dalam cintanya. Ia ingin agar kadar cinta terbesar tetap diberikan kepada Allah Swt., Rasul-Nya, dan berjida di jalan-Nya. Ia tak ingin menjadi penghalang bagi suaminya untuk memberikan prioritas cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemuliaan Ummu Salamah untuk tetap mengutamakan kecintaan kepada Allah Swt. ditunjukkan dalam sisi hidupnya yang lain. Ketika itu, anak yang dicintainya meninggal dunia. Sementara, suaminya, Abu Thalhah tengah menunaikan panggilan jihad. Ummu Salamah tak ingin membuyarkan konsentrasi suaminya dalam berjihad, sehingga ia tak segera mengabarkan kematian anaknya. Ketika suaminya pulang, lagi-lagi ia pun tak langsung mengabarkan kematian anaknya. Dilayaninya dulu suaminya yang dalam kondisi lelah. Setelah makan, minum, dan berhubungan suami istri, barulah Ummu Salamah memberitahukan tentang kematian anak kesayangannya itu. Abu Thalhah marah, lantaran tak segera diberi tahu. Maka Abu Thalhah mengadukan masalah itu kepada Rasullah Saw. Ternyata Rasulullah Saw. membenarkan tindakan Ummu Salamah dan mendoakan agar hubungan suami istri yang mereka lakukan malam itu dapat segera membuahkan anak.

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang senantiasa rindu untuk melakukan pengorbanan. Ia justru merasa resah dan gundah jika tak mendapat kesempatan untuk berkorban. Ia pernah mengalami kerinduan yang sangat untuk pergi hijrah. Betapapun hijrah saat itu sangat sulit, berat, dan mengalami banyak hambatan. Tetapi, karena pada waktu itu hijrah merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Mukmin, maka Ummu Salamah pun sangat rindu untuk melaksanakannya. Sampai-sampai ia sering menangis selama setahun di tempat ia tertunda untuk berhijrah.

Ummu Salamah juga merupakan teladan bagi wanita yang merindukah jihad. Bahkan dalam kondisi tertentu ia turut dalam berbagai peperangan. Ia terkenal dengan julukan ‘Thoinah’ (wanita penikam), yang banyak menikam musuh-musuh Allah dengan pisau belatinya.

Selain itu, Ummu Salamah juga dikenal sebagai wanita yang bersih (thahirah). Orang yang mengenalnya sebagai sosok pribadi Muslim yang memegang teguh prinsip-prinsip keislamannya. Sehingga Usman bin Thalhah yang saat itu masih kafir tidak berani menyentuh tangannya untuk menurunkannya dari unta saat menolongnya pergi berhijrah.

Ia juga seorang wanita cantik (jamilah) yang cerdas (dzakkah). Aisyah pernah cemburu karena semua orang mengatakan Ummu Salamah cantik. Kecerdasannya terlihat dari kecepatan berpikirnya untuk memecahkan masalah yang sulit sekalipun. Dalam peristiwa Hudaibiyah, ketika Rasulullah Saw. mengalami kesulitan karena semua sahabat dan Mukmin saat itu tak mau menaati perintah Rasulullah Saw. untuk memotong hewan kurban dan bercukur. Dalam situasi yang pelik seperti itu, Ummu Salamah menyampaikan ide cemerlangnya. “Engkau ya Rasulullah yang menyembelih kambing kurban dan bercukur terlebih dulu.” Dan benarlah, setelah Rasulullah Saw. melakukan itu, para sahabat dan kaum Muslimin mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Ummu Salamah adalah wanita yang penuh cinta, namun dapat menjadi garang di medan jihad. Suaminya adalah orang yang utama di sisi Rasulullah, yang selalu menjadi wakil Rasulullah jika beliau hendak keluar Madinah. Ia jugalah yang ketika wafat dishalatkan dengan sembilan kali takbir. Ketika sahabat menegur lantaran takut Rasulullah lupa, dijawab oleh Rasulullah Saw. bahwa 1000 kali takbir pun masih pantas untuk Abu Thalhah.

Keutamaan Ummu Salamah jugalah yang menyebabkannya mendapat ganti suami yang mulia, yaitu Rasulullah Saw. Kisah Ummu Salamah dilamar oleh Rasulullah Saw. sangat menarik. Ketika Abu Thalhah wafat, Ummu Salamah teringat pelajaran yang disampaikan suaminya dari Rasulullah Saw. bahwa apabila seorang Mukmin ditimpa musibah dan mengucapkan “Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami berasal dari Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah), lalu diikuti membaca “Allahumma` jurnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minha” (ya Allah, berilah pahala bagiku atas musibahku ini, dan gantilah untukku yang lebih baik daripadanya), maka ia akan diberi ganti yang lebih baik lagi oleh Allah Swt. (HR Muslim).

Ummu Salamah melaksanakan apa yang diajarkan almarhum suaminya dari Rasulullah Saw. Lalu, ia bertanya pada diri sendiri, siapakah orang yang lebih baik daripada Abu Thalhah? Kemudian setelah selesai masa ‘iddah, tiba-tiba Rasulullah Saw. meminangnya. Pada awalnya, Ummu Salamah ragu. “Ya Rasulullah, tak mungkin aku menolak pinanganmu, akan tetapi aku seorang wanita yang sangat pencemburu. Aku khawatir akan terjadi padaku sesuatu yang menyebabkan aku disiksa oleh Allah Swt. Disamping itu, aku juga sudah tua dan mempunyai anak.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kekhawatiranmu dengan sifat pencemburumu, maka Allah akan menghilangkannya. Mengenai umur, aku pun sudah tua. Mengenai anak, maka anakmu adalah anakku juga.” Akhirnya Ummu Salamah menerima pinangan Rasulullah Saw. Ummu Salamah berkata, “Sungguh Allah telah menggantikan untukku orang yang lebih baik dari Abu Thalhah, yaitu Rasulullah Saw.”

Keteguhannya dalam berjihad tetap terlihat setelah ia menjadi istri Rasulullah. Bahkan lebih giat lagi, walaupun itu tidak berarti ia mengabaikan tarbiyatul awlad (pendidikan anak-anaknya). Semua tugas yang diamanahkan Allah kepadanya baginya sama pentingnya. Saat keadaan damai, ia berkonsentrasi penuh pada tarbiyatul awlad. Namun saat jihad memanggilnya, ia pun tak segan-segan untuk berangkat meninggalkan semua yang ia cintai. Karena betapapun ia mencintai anak-anaknya sebagai qurratu a’yun (penyejuk mata), namun cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya tetap lebih diutamakan, jika jihad telah menjadi fardhu a’in bagi setiap Muslim. Itulah Muslimah utama yang mampu memprioritaskan cintanya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2005).

Etika Pergaulan

0 comments

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat: 13).





Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi isti’marul ardh (QS Hud: 61), tujuan penciptaan manusia juga untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya.

Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954).

Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt.

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat: 55-56).

Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktifitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak (berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan hukum tersebut.

Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi dakwah, interaksi sosial pada hakikatnya adalah dakwah itu sendiri.

Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.

Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan umara (pemerintah), pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.

Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.

Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga, berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.

Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, “Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan.”

Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda.

Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.

Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda.

Janganlah anda duduk di (pinggir) jalan. Jika anda duduk di (pinggir) jalan, maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan anda.

Jika anda  bergaul dengan para penguasa (pejabat), janganlah menggunjing, jangan berdusta, menjaga rahasia, mempersedikit keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak berambisi di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan di sisi mereka.

Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengkimu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda gurau akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda gurau juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Senda gurau bersumber dari kesombongan dan kurang akal. Demikian, nasehat Said Hawwa.

Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (membaur tetapi tidak melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.

Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata, "Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan, agar tidak mengundang fitnah atau su`uzhzhan dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya."

Sebuah atsar menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

Takbir di Istana Negara yang Bikin Petugas Panik

6 Sep 2011 0 comments

Suasana halaman depan Istana Negara Jakarta, siang itu, Jumat, 2 Agustus 2002, sedikit lebih ramai dari biasanya. Puluhan wartawan, fotografer, dan juru kamera televisi dari media massa nasional bergerombol menunggu kehadiran Menteri Luar Negeri AS saat itu, Colin Powell.

Siang itu, Menteri Luar Negeri AS era Presiden George W Bush tersebut dijadwalkan bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana.

Suasana di halaman Istana Negara siang itu agak berbeda dari hari-hari biasa. Para pria bule bersetelan jas hitam, beberapa di antaranya berkacamata hitam, mondar-mandir di teras depan Istana. Mereka petugas keamanan AS yang menyertai kedatangan Colin Powell.

Gaya para petugas keamanan tersebut menarik perhatian karena selama era Presiden Megawati Soekarnoputri, suasana Istana Negara tak pernah ”seserius” itu dalam pengamanan.

Sekitar pukul 12.30, iring-iringan mobil Menlu Colin Powell memasuki halaman Istana Negara. Colin Powell, didampingi Duta Besar AS kala itu, Ralp L Boyce, turun dari mobil BMW dengan nomor CD-12-01 dan langsung menaiki tangga teras depan Istana Negara, masuk ke dalam Istana. Rupanya rombongan Menlu AS itu juga membawa serombongan wartawan AS.

Ketika Colin Powell dan Megawati mengadakan pertemuan di dalam Istana, tiba-tiba petugas keamanan AS yang mengiringi kedatangan Colin Powell meminta wartawan Indonesia tidak boleh berada di teras depan Istana Negara. Padahal, sebelumnya, Kepala Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden Garibaldi Sujatmiko telah menetapkan wartawan Indonesia bisa lebih dekat meliput pertemuan Presiden RI dengan Menlu AS. Lho, ini istana siapa, ini negeri siapa?

Harapan mendapat berita eksklusif pun perlahan pupus karena mana mungkin mengajukan pertanyaan kepada Menlu AS dari jarak yang relatif jauh, apa harus berteriak. Kalaupun berteriak, apa terdengar karena para wartawan asing yang datang bersama rombongan Menlu AS berjarak lebih dekat dengan Colin Powell karena mereka tetap diizinkan berada di teras Istana.

Tepat pukul 13.38, pertemuan Presiden Megawati dengan Menlu AS Colin Powell berakhir. Saat Powell keluar dari pintu Istana, tiba-tiba ada teriakan ”Allahu Akbar”, ”Allahu Akbar”, di halaman depan Istana. Seiring dengan teriakan itu, dengan sigap para petugas keamanan AS menggiring Colin Powell masuk ke BMW CD-12-01 dan melesat meninggalkan halaman Istana. Keterangan pers batal. Wartawan asing yang masih berada di teras Istana terbengong-bengong. Mereka gagal mendapat berita eksklusif, senasib dengan wartawan Indonesia.

Ternyata, takbir itu dikumandangkan oleh wartawan yang meminjam topi putih, yang biasa dipakai oleh orang yang baru pulang dari Tanah Suci, milik juru kamera TPI. Wartawan itu membuat petugas keamanan Menlu AS belingsatan dan panik. (Elly Roosita, Kompas, Selasa, 27 April 2010).

Pemimpin Reformis dan Pemimpin Selebritis

0 comments


Memilih pemimpin memang bukanlah pekerjaan sederhana. Ada yang mengatakan, memilih pemimpin hampir sama dengan memilih jambu air. Luarnya tampak mulus, tapi dalamnya kadang penuh ulat. Setidaknya pernyataan itu bisa dianggap benar bagi orang-orang yang tidak menggunakan kacamata Al-Qur`an untuk menilai calon pemimpinnya. Mereka mudah ditipu dengan asesoris, kedok, dan kamuflase yang dilakukan calon pemimpin untuk menutupi borok-boroknya. Akan tetapi, bagi orang yang senantiasa diterangi cahaya Al-Qur`an, sepak terjang calon pemimpin yang korup, cacat moral, dan tidak mengutamakan kepentingan rakyat, akan terasa lucu dan menggelikan.

Calon-calon pemimpin yang lebih mengutamakan asesoris ketimbang substansi, popularitas daripada prestasi, dan tergantung pada media massa daripada mengandalkan potensi diri, tak ubahnya seperti para selebritis. Hal ini dikatakan oleh Daniel Boorstin, pakar manajemen kepemimpinan, “Dunia saat ini memiliki banyak pemimpin, tapi mereka berada di bawah bayang-bayang selebritis. Pemimpin dikenal karena prestasinya, sementara selebritis dikenal lantaran ketenarannya. Pemimpin mencerminkan hakikat-hakikat manusia, sedang selebritis mencermintkan kemungkinan-kemungkinan pers dan media massa. Kaum selebritis adalah orang-orang yang membuat berita, tetapi para pemimpin adalah orang-orang yang membuat sejarah (Majalah Parade, 6 Agustus 1995)ز

Al-Qur`an membuat pembedaan yang amat tegas antara pemimpin yang konstruktif dengan pemimpin yang destruktif. Pemimpin yang konstruktif adalah pemimpin yang bukan saja memperhatikan nasib rakyatnya di dunia, tapi lebih dari itu, ia juga memperhatikan nasib umatnya di akhirat kelak. Allah Swt. Berfirman,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS As-Sajadah: 24).

Sebaliknya pemimpin destruktif adalah pemimpin yang bukan saja menyengsarakan rakyatnya ketika di dunia, akan tetapi lebih dari itu mereka menyesatkan rakyatnya dan menjerumuskan rakyatnya ke neraka jahannam.

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong” (QS Al-Qashash: 41).

Kita tidak perlu menyebutkan satu per satu pemimpin yang ada di dunia ini yang menyeru rakyatnya untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini, menindas umat lain, dan menjadi pelopor gerakan kemaksiatan yang bersifat global.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menyadarkan umat ini untuk tidak memilih pemimpin yang akan merugikan diri kita sendiri. Kita yakin bahwa rakyat Indonesia tidak sudi dipimpin oleh orang-orang oportunis yang hanya menginginkan keuntungan untuk diri dan kelompoknya sendiri. Rakyat juga tidak rela dipimpin oleh para preman yang hanya mengandalkan kekuatan otot untuk menakut-nakuti rakyatnya sendiri.

Namun demikian, karena jaring angan-angan dan bius duniawi telah lama menjangkiti bangsa ini, maka rakyat seringkali tertipu oleh asesoris yang mereka kenakan. Rakyat terpedaya oleh sihir yang membutakan mata hati mereka, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana pemimpin reformis, mana pemimpin selebritis.

Allah Swt. melarang umat Islam untuk memilih pemimpin yang bukan berasal dari kalangan Islam sendiri, meskipun tampak luarnya baik dan sangat toleran kepada Islam dan umat Islam. Pada kenyataannya, di negara-negara dimana umat Islam minoritas, hak-hak asasi umat Islam dibelenggu. Di Perancis wanita muslimah dilarang berjilbab. Padahal jilbab adalah bagian tak terpisahkan dari sistem peribadatan Islam. Allah Swt. Berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS Al-Maidah: 51).

Allah Swt. juga melarang kita memilih pemimpin yang menjadikan hukum Islam sebagai bahan tertawaan, permainan, dan barang dagangan belaka, meskipun pemimpin itu beragama Islam. Tidak sedikit kelompok yang menjadikan Islam sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan duniawi. Padahal Islam seharusnya dijadikan sebagai petunjuk hidup, norma ucap, dan norma sikap. Firman Allah Swt,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS Al-Maidah: 57).

Bahkan Allah Swt. melarang mengangkat kerabat, saudara, dan orangtua sebagai pemimpin sekiranya mereka lebih mengutamakan kakafiran daripada keimanan, lebih menyukai keridhaan orang-orang kafir ketimbang keridhaan kaum muslimin. Firman Allah Swt.,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS At-Taubah: 23).

Salah satu pemimpin reformis yang pernah dilahirkan Islam adalah Umar bin Abdul Aziz (61 – 101 H), cucu Umar bin Khattab. Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz baru berusia 37 tahun. Meski masih muda, tetapi beliau memiliki sikap dewasa, cerdas, dan bijaksana. Langkah pertama yang diambil Umar bin Abdul Aziz adalah mendobrak tradisi Jahiliyah yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti bermewah-mewahan dan mengumbar hawa nafsu.

Tindakan berikutnya adalah menghapus segala hak istimewa yang dimiliki keluarganya sebagai keturunan Khalifah Umar bin Khattab. Seluruh kekayaannya dan kekayaan keluarganya dikembalikan ke Baitul Maal. Sedangkan kekayaan para pejabat dan konglomerat yang diperoleh melalui jalan batil dikembalikan kepada yang berhak.

Dengan kebijakannya itu, penghasilan beliau yang semula 50.000 dinar anjlok menjadi 200 dinar. Tidak sekedar itu, Umar bin Abdul Aziz juga mengharamkan kekayaan Baitul Maal untuk diri dan keluarganya. Bahkan ia tak mau menerima tunjangan jabatan sebagai Khalifah, meski hal itu halal baginya.

Dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun, kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz telah mampu mengubah orientasi kehidupan rakyatnya, dari yang tadinya materialistik menjadi berorientasi akhirat. Beliau mendorong kaum cerdik pandai untuk mendalami Ilmu-ilmu Islam. Maka lahirlah ulama-ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

Inilah potret dari firman Allah Swt. dalam QS Al-Hajj: 41. Potret seorang pemimpin yang amanah dan menjalankan misinya sebagai khalifah Allah Swt. di muka bumi.

Dikisahkan, pada masa Khalifah Al-Walid, tema pembicaraan masyarakat berkisar pada masalah harta dan kemewahan hidup. Dan ketika kekuasaan beralih ke tangan Sulaiman bin Abdul Malik tema pembicaraan masyarakat beralih kepada masalah wanita dan seks. Tetapi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz bila seseorang bertemu dengan temannya, yang ditanyakan adalah “Apa yang anda pelajari malam tadi? Berapa ayat atau berapa juz Al-Quran yang sudah anda hafal? Berapa hari anda melakukan puasa bulan ini?” Subhanallah. Kapan pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz lahir di tengah-tengah kita? Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

Nu'aiman yang Suka Melucu

5 Sep 2011 17 comments

Bila dalam sebuah gerakan dakwah ada seorang atau beberapa orang aktifis dakwah yang “doyan ngocol” alias gemar bercanda, nyeletuk, atau melawak, janganlah buru-buru divonis bahwa yang bersangkutan tidak layak menjadi seorang da’i. Apalagi sampai dikucilkan atau dikeluarkan dari barisan dakwah.

Aktifis dakwah yang memiliki gaya “ngebodor” seperti itu memiliki segmen audiens tertentu. Ada penggemarnya. Oleh karena itu, mereka justru perlu dioptimalkan untuk memperluas jaringan dakwah. Agar dakwah dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Para sahabat Nabi Saw. dan orang-orang yang mengikuti mereka (para tabi’in) adalah sebaik-baik generasi, namun mereka juga tertawa dan bergembira karena mengikuti petunjuk Nabinya. Sampai orang seperti Umar bin Khaththab ra. yang terkenal kerasnya, juga pernah bergurau dengan budaknya. Umar ra. mengatakan kepada budaknya, “Aku diciptakan oleh Pencipta orang-orang mulia, dan engkau diciptakan oleh Pencipta orang-orang durhaka!” Ketika Umar melihat budaknya sedih karena kata-kata itu, maka Umar menjelaskan dengan mengatakan, “Sesungguhnya tidak ada yang menciptakan orang-orang mulia dan orang-orang durhaka kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.”

Sebagian sahabat ada yang bersenda gurau dan Rasulullah Saw. pun membiarkan dan menyetujui. Hal seperti ini terus berjalan setelah Rasul Saw. wafat. Semua itu diterima oleh para sahabat, tidak ada yang mengingkari.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdir Rahman, ia berkata, “Sahabat Rasulullah Saw. bukanlah orang-orang yang serius terus-menerus, bukan pula orang-orang yang bermalas-malasan (yang tidak bergerak), tetapi mereka itu sering bersenandung dengan puisi-puisi (syair-syair), dan mengingat masa-masa jahiliyah mereka (“Al Mushannaf”, Ibnu Abi Syaibah).

Ibnu Sirin pernah ditanya tentang kebiasaan para sahabat, “Apakah mereka itu juga bergurau? Beliau menjawab, “Mereka tidak lain adalah manusia biasa seperti umumnya manusia, seperti Ibnu Umar, beliau sering bergurau dan bersenandung dengan syair.” (HR. Abu Nu'aim di dalam Al Hilyah: 2/275).

Di antara sahabat yang terkenal sering bergurau adalah Nu’aiman bin Umar Al-Anshari ra., yang telah diriwayatkan darinya beberapa keistimewaan yang aneh dan menakjubkan. Beliau termasuk orang yang ikut berbai’ah ‘Aqabah kedua, pernah ikut perang Badar dan Uhud, Khandaq dan seluruh peperangan yang ada.

Zubair bin Bakkar telah meriwayatkan sejumlah keanehan-keanehan yang langka tetang Nu’aiman dalam kitabnya “Al Fukahah wal Marakh”. Ia berkata, “Suatu ketika Nu’aiman datang ke Madinah dan membawakan sesuatu untuk Rasulullah Saw. yang diambilnya dari salah seorang pedangang di Madinah. Nu’aiman berkata, “Ini aku hadiahkan untukmu wahai Rasulullah.” Tiba-tiba seseorang datang kepadanya untuk menagih uang pembelian barang tersebut. Saat itu juga si penjual dibawa kepada Nabi Saw. Nu’aiman berkata, “Wahai Rasulullah Saw. berikan kepada orang ini uangnya (harga barangnya).” Nabi berkata, “Bukankah kamu telah menghadiahkan kepadaku?” Nu’aiman berkata, “Demi Allah, saya tidak mempunyai uang untuk membelinya, tetapi saya ingin engkau memakannya, maka Rasulullah Saw. tertawa dan memerintahkan untuk memberikan uangnya kepada si penjual."

Demikianlah ulah Nu’aiman ketika “ngerjain” Nabi Saw. Namun, perhatikanlah, Rasulullah Saw. tidak marah kepadanya, malahan tersenyum. Ini membuktikan bahwa Nabi Saw. tidak pernah melarang umatnya untuk humor, sepanjang humor itu tidak melanggar syariat.

Pada kesempatan lain, Nu’aiman pun pernah “dikerjain” oleh beberapa sahabatnya. Zubair bin Bakkar meriwayatkan dari Rabi’ah bin Utsman, ia berkata, “Ada seorang Badui masuk ke rumah Rasulullah Saw. dan mengikat untanya di halaman, maka berkata sebagian sahabat kepada Nu’aiman Al-Anshari, “Bagaimana kalau kamu sembelih unta ini, lalu kami memakannya, sesungguhnya kami ingin sekali makan daging, maka Nu’aiman pun melakukannya, sehingga orang Badui itu keluar dari rumah Nabi Saw. dan berteriak, “Untaku disembelih, wahai Muhammad!” Maka Nabi Saw. keluar, lalu berkata, “Siapa yang melakukan ini?” Mereka menjawab, “Nu'aiman.”

Ada seorang yang memberi tahu Nabi Saw. di mana Nu’aiman bersembunyi. Maka Nabi Saw. pun mencarinya dan menemukan Nua’iman sedang bersembunyi di sebuah gubuk kecil beratap daun kurma milik Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Muththalib. Nabi Saw. mengeluarkannya dan bertanya, “Apa yang mendorong kamu untuk berbuat demikian?” Nu’aiman berkata, “Mereka yang memberitahu engkau wahai Rasulullah, yang menyuruh aku untuk berbuat demikian.” Setelah itu Nabi Saw. membersihkan debu yang ada di wajahnya dan tertawa. Rasulullah Saw. kemudian mengganti unta milik orang Badui tersebut.

Ulah Nu’aiman bukan cuma itu. Ada lagi kelakuannya yang menurut pandangan kita saat ini, mungkin keterlaluan. Zubair bin Bakkar juga berkata, “Pamanku telah menceritakan kepadaku dari kakekku, kakekku berkata, “Makhrumah bin Naufal telah mencapai usia 115 tahun, maka ia berdiri di masjid ingin kencing, sehingga para sahabat berteriak, “Masjid! Masjiiiid! Maka Nu’aiman bin ‘Amr menuntunnya dengan tangannya, kemudian ia membungkuk dengan membawa orang itu di bagian lain dari masjid. Setelah itu Nu’aiman berkata kepadanya, “Kencinglah di sini,” maka para sahabat berteriak lagi dan Makhrumah berkata, “Celaka kalian! Siapakah yang membawaku ke tempat ini?” Mereka menjawab, “Nu’aiman.” Makhrumah berkata, “Sungguh jika aku beruntung aku akan memukulnya dengan tongkatku!” Maka berita itu sampai pada Nu’aiman, lalu Nu’aiman tinggal beberapa hari, kemudian datang kepada Makhrumah, sedangkan Utsman sedang shalat di bagian pojok masjid. Maka Nu’aiman berkata kepada Makhrumah, “Apakah kamu menginginkan Nu’aiman? “Makhrumah menjawab, “Ya,” maka Nu’aiman menuntunnya sehingga berhenti di hadapan Utsman (yang sedang shalat), dan Utsman kalau shalat tidak pernah menengok, maka Nu’aiman berkata. “Di depanmu itu Nu’aiman.” Maka Makhrumah memukulkan tongkat itu kepada Utsman sehingga Utsman pingsan, maka para sahabat berteriak kepadanya, “Apakah engkau tega memukul Amirul Mukminin.

Di antara kisah yang menarik adalah ada sahabat lainnya yang juga termasuk ahli melawak. Ia berhasil menjerumuskan Nu’aiman di dalam suatu masalah, sebagaimana Nu’aiman menjerumuskan orang lain. Yakni dalam kisah Suwaibith bin Harmalah dengan dia. Orang ini termasuk orang yang ikut perang Badar juga.

Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya “Al Istii'aab” berkata, “Suwaibith Ra. adalah seorang tukang melawak, berlebihan dalam bermain-main dan ia memiliki kisah menarik dengan Nu’aiman dan Abu Bakar As-Siddiq Ra. sebagai berikut,

Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Abu Bakar As-siddiq Ra. pernah keluar berdagang ke Bushra satu tahun sebelum Nabi Saw. wafat. Bersama Abu Bakar adalah Nu’aiman dan Suwaibith bin Harmalah, kedua-duanya pernah ikut perang Badar. Saat itu Nu’aiman membawa bekal makanan, maka Suwaibith berkata kepadanya, “Berilah aku makan.”

Nu’aiman berkata, “Tidak, hingga datang Abu Bakar Ra.,” Suwaibith berkata, “Ingat, demi Allah aku akan benar-benar marah kepadamu.” Ketika mereka berjalan melewati suatu kaum, maka Suwaibith berkata kepada kaum itu, “Apakah kalian mau membeli budak dariku?” mereka berkata, “Ya, mau.” Suwalbith berkata, “Tetapi budakku itu doyan ngomong, dan dia akan berkata kepadamu, “Saya merdeka,” karena itu jika ia mengatakan demikian maka biarkanlah, dan jangan kalian rusak budakku.” Mereka menjawab, “Kita beli saja dari kamu.” Suwaibith berkata, “Belilah dengan sepuluh qalaish.” Maka kaum itu datang dan meletakkan di leher Nu’aima sorban atau tali, dan Nu’aiman berkata, “Sesungguhnya ia (Suwaibith) itu menghina kamu, karena aku adalah orang yang merdeka dan bukan budak.” Mereka berkata, “Dia (Suwaibith) telah memberi tahu kepadaku tentang engkau.” Maka kaum itu membawa Nu’aiman. Sampai saat datangnya Abu Bakar Ra., maka Suwaibith memberitahu kepadanya perihal Nu’aiman, lalu Abu Bakar mengikuti mereka dan mengganti uang sepuluh qalaish dan mengambil kembali Nu’aiman. Ketika datang ke hadapan Nabi Saw. mereka pun menceritakannya, maka Nabi tersenyum, demikian juga para sahabatnya karena kisah ini, selama satu tahun.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan lbnu Majah). Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

Amal Paling Utama

0 comments


Dalam beberapa kesempatan di majelis dzikir, sering muncul pertanyaan dari peserta tentang amal atau ibadah yang paling utama? Pertanyaan ini mencerminkan keinginan si penanya untuk mendapatkan keutamaan pahala di sisi Allah Swt. atas amal yang dikerjakannya. Beberapa sahabat Nabi Saw. juga kerap menanyakan hal itu.

Khalid Abu Syaadi dalam bukunya “Sibaaq Nahwa al-Jinaan” (Kompetisi Menuju Surga) mengatakan bahwa keutamaan sebuah amal ditentukan oleh empat hal.

Pertama, memperhatikan waktu. Misalnya, ibadah yang paling utama di bulan Ramadhan adalah qiyamullail. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.,

“Siapa yang mengisi malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan ibadah, niscaya baginya diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat” (HR Bukhari danMuslim dari Abu Hurairah).

Dan berderma, karena Rasulullah Saw, “Beliau paling dermawan saat berada pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari, An-Nasai dan Ahmad dari Ibnu Abbas).

Jika masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka amal ibadah yang paling utama adalah beri'tikaf dan tidak keluar dari masjid. Dan jika masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, maka amal ibadah yang paling utama adalah amal saleh dan berlomba untuk berjihad, berdasarkan sabda Rasulullah Saw.,

“Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwanya, dan tidak menuntut balasan dari dua hal itu” ( HR Jama’ah, kecuali Muslim dan an-Nasai).

Amal ibadah yang paling utama pada bulan Muharram dan Sya’ban adalah puasa, berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram” (HR Muslim dari Abu Hurairah dan Thabrani, dari Jundub).

Dan perkataan A’isyah Ra., “Aku dapati Nabi Saw paling banyak berpuasa pada bulan Sya’ban” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

Amal ibadah yang paling utama saat mengajarkan orang yang ingin belajar adalah bersungguh-sungguh untuk mengajarkannya, dan meninggalkan pekerjaan yang lain. Dan ibadah yang paling utama saat wuquf di Arafah adalah berusaha untuk bermunajat, berdoa, dan berdzikir, serta tidak berpuasa yang dapat melemahkan tubuh untuk melakukan semua ibadah tadi.

Ibadah yang paling utama pada waktu menjelang subuh adalah shalat dan istighfar. Berdasarkan firman Allah Swt., “Dan yang memohon ampun di waktu sahur” (QS. Ali Imran: 17). Dan amal ibadah yang paling utama saat berbuka adalah berdoa. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Tiga kelompok orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa saat ia berbuka puasa ...” (HR Ahmad, ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Amal ibadah yang paling utama saat mendengarkan adzan adalah membalas ucapan adzan tersebut.

Kedua, memperhatikan tempat. Ada beberapa tempat, yang jika dilakukan ibadah di situ, akan mendapatkan pahala dan keutamaan yang lebih besar dibandingkan jika dilakukan di tempat lain. Seperti shalat di Masjidil Haram, setara dengan seratus ribu shalat di tempat lainnya. Shalat di Masjid Nabawi, setara dengan seribu shalat di tempat lainnya. Dan shalat di Masjid Aqsha, setara dengan lima ratus kali shalat di tempat lainnya.

Shalat yang paling utama dilakukan di masjid adalah shalat wajib. Sementara untuk shalat sunnah, yang paling utama adalah jika dilakukan di rumah. Berdasarkan sabda Nabi Saw.,

“Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib” (HR An-Nasai, Thabrani, dan Abu Daud, dari Zaid bin Tsabit).

Dzikir dan berdoa di Shafa dan Marwa lebih utama dari shalat. Thawaf bagi orang yang berasal dari luar Mekkah lebih utama dari shalat, dan sebaliknya bagi orang yang tinggal di Mekkah sendiri. Doa saat masuk rumah atau keluar dari rumah lebih diutamakan daripada membaca Al-Qur`an.

Ketiga, memperhatikan jenisnya. Jenis shalat lebih utama dari jenis membaca Al-Qur`an. Jenis membaca Al-Qur`an lebih dibandingkan jenis dzikir. Jenis dzikir lebih utama dibandingkan jenis doa. Jenis jihad lebih utama dari jenis ibadah haji. Bahkan di antara satu jenis ibadah sendiri ada perbedaan keutamaan antara satu macam dengan macam yang lain.

Misalnya, “Puasa (sunnah) yang paling utama adalah puasa nabi Daud, yaitu berpuasa satu hari dan berbuka satu hari” (HR Tirmidzi, dan An-Nasai, dari Abdullah bin Umar).

Dan, “Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah bagi sanak keluarga yang membenci kita” (HR Ahmad dan Thabrani dari Abu Ayyub).

Dan, “Syuhada yang paling utama adalah yang darahnya ditumpahkan musuh, dan kendaraannya dirusak musuh” (Hadits diriwayatkan oleh Thabrani dasri Abu Umamah, seperti terdapat dalam Sahih Jami' Shagir).

Dan, “Dzikir yang paling utama adalah, “la ilaha illah Allah”, dan doa yang paling utama adalah,  “Alhamdulillah” (HR Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dari Jabir).

Dan, “Jihad yang paling utama adalah membela kebenaran di hadapan penguasa yang lalim” (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Thabrani dari Abu Umamah).

Keempat, memperhatikan situasi dan kondisi. Rasulullah Saw bersabda, “Jika Allah Swt. kagum melihat seorang hamba, niscaya hamba itu tidak akan dihisab” (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya'la).

Kemudian beliau mengabarkan tentang sipat orang-orang yang membuat Allah Swt. tertawa. Beliau bersabda, “Tiga kelompok manusia yang dicintai dan dikagumi oleh Allah Swt. dan diberikan kabar gembira oleh-Nya adalah ..., seseorang yang mempunyai isteri cantik dan peraduan yang nyaman nan indah, kemudian ia bangun di waktu malam untuk beribadah. Terhadap orang tersebut Allah Swt. berkomentar, “Dia meninggalkan syahwatnya untuk beribadah kepada-Ku, padahal jika ia mau ia dapat terus menikmati tidurnya." Dan orang yang sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, kemudian ia tidak tidur malam kecuali sedikit, dan ia isi akhir malamnya dengan ibadah, baik dalam kesulitan maupun dalam kesenangan” (HR Thabrani dalam Al-Jabir).

Ini jika dalam kondisi negara aman. Sedangkan jika dalam kondisi perang, ukurannya lain lagi, berbeda dengan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu memperhatikan situasi dan kondisi. Orang yang cerdik adalah orang yang mengetahui amal ibadah yang paling utama di segala situasi dan kondisi. ‘Auf bin Harits adalah salah seorang yang cerdik ini. Ketika ia bertanya kepada Nabi Saw pada saat perang Badar, sebagai berikut, “Wahai Rasulullah Saw, apakah yang membuat Rabb-ku tertawa? (maksudnya, apakah amal ibadah yang jika dikerjakan oleh seseorang pada situasi saat ini mencukupi untuk membuat dirinya terbebaskan dari perhitungan akhirat). Nabi Saw. menjawab,

“Orang yang menerjang musuh dengan tanpa perisai.” Maka dia pun melepaskan baju besi yang ia pakai, kemudian mengambil pedangnya dan segera menyerang pasukan musuh, hingga ia mendapatkan syahid.

Memperhatikan situasi dan kondisi mencakup memperhatikan potensi masing-masing peserta kompetisi dan kelebihan yang mereka miliki. Orang kaya yang memiliki banyak harta, dan hatinya merasa sayang untuk menyumbangkan hartanya itu, maka shadaqah hartanya dan kerelaan hatinya untuk menyumbangkan hartanya itu lebih utama baginya dibandingkan qiyamullail dan berpuasa sunnah di siang hari.

Orang yang pemberani, kuat, dan ditakuti musuh, keikutsertaannya dalam pasukan jihad walau sebentar, dan berjihad melawan musuh-musuh Allah, baginya lebih utama dibandingkan melaksanakan ibadah haji, berpuasa, bersedekah, dan melakukan ibadah sunnah.

Orang yang berpengetahuan, yang mengetahui sunnah Nabi, ilmu halal-haram, dan ilmu tentang mana yang baik dan mana yang tercela menurut agama, baginya bergaul dengan manusia, mengajarkan mereka, dan memberikan mereka nasihat dalam agama, itu lebih utama daripada mengucilkan diri, menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca Al-Qur`an dan bertasbih.

Pejabat pemerintah yang memegang urusan manusia, baginya duduk sebentar untuk mengurusi perkara masyarakat, membantu orang yang dizhalimi, menjalankan hukum Allah, membantu pihak yang benar, dan melawan pihak yang salah, itu lebih utama baginya dari pada beribadah bertahun-tahun” ('Uddatu ash-Shaabiriin wadz Dzakhiiratu asy-Syaakiriin, hal. 105).

Amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh sikap masa bodoh terhadap siksaan Allah Swt. dan yang tertipu oleh dirinya sendiri adalah dengan merasa takut kepada Allah Swt. Amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh keputusasaan dan patah harapan dari rahmat Allah Swt. adalah menumbuhkan sikap pengharapan kepada-Nya.

Amal yang paling utama bagi orang yang junub adalah mandi besar. Amal yang paling utama bagi orang yang takut impoten adalah segera menikah. Amal yang paling utama saat kedatangan tamu adalah melayani dan menemuinya, dibandingkan wirid yang sunnah. Amal ibadah yang paling utama saat membantu orang yang ditimpa kesulitan adalah memfokuskan diri untuk membantunya dan menolongnya, dan mementingkan hal itu dibandingkan wirid dan khalwatnya. Amal ibadah yang paling utama saat seorang Muslim sakit adalah menjenguknya. Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

Agar Tidak Muncul Su'uzh-zhan

4 Sep 2011 0 comments

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).



          Ali bin Husain Ra. meriwayatkan, Shafiyah binti Huyai bin Akhtab memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah beri’tikaf di sebuah masjid. Shafiyah berkata, “Aku mendatangi Nabi Saw. dan berbicara kepadanya. Sore harinya, aku kembali lagi, lalu Nabi Saw. berjalan bersamaku. Di tengah jalan kami berpapasan dengan dua lelaki Anshar seraya mengucapkan salam, dan kedua lelaki it uterus berjalan. Tetapi Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan berkata, “Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti Huyai.”


          Kedua lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak berprasangka kepadamu, kecuali kebaikan.” Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir pada peredaran darah tubuh anak Adam dan sesungguhnya aku khawatir syetan akan masuk pada kalian bedua (HR Bukhari dan Muslim). 


          Dalam riwayat lain ditambahkan, Rasulullah Saw. dan istrinya berkata, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa ke dalam hati Anda berdua dilemparkan sesuatu.” Lalu Nabi Saw. berkata, “Sebentar, sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah (istriku)” (HR Bukhari dan Muslim).

 
          Dalam kisah lain, Umar bin Khaththab Ra. melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara dengan seorang wanita di pinggir jalan. Umar lalu meneriaki kedua orang itu dengan kata-kata yang mengarah kepada perbuatan keji. Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia itu adalah istriku.” Umar ra. lalu berkata, “Kalau begitu, mengapa kalian tidak mencari tempat yang tidak dilihat banyak orang?”

 
          Umar Ra. menambahkan, Siapa menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, maka jangan mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya” (Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, hal. 565). 


          Dua kisah di atas sesungguhnya adalah dua peristiwa yang sama, tetapi mengandung hikmah yang berbeda. Hikmah pada kisah pertama adalah bahwa setiap Muslim haruslah mengedepankan sikap husnuzh zhan (berbaik sangka) kepada sesama Muslim lainnya, selama yang dilakukan Muslim tersebut bukanlah pekerjaan yang telah disepakati sebagai perbuatan maksiat. 


          Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (QS Al-Hujurat: 12).

 
          Sedangkan hikmah dari kisah yang kedua adalah bahwa setiap Muslim harus hati-hati dengan sikap atau perilakunya, terutama yang dapat mengundang su`uzh zhan dari Muslim lainnya. Setiap Muslim harus pandai-pandai menempatkan diri pada posisi yang tidak mengotori kebersihan dirinya sebagai orang beriman.


          Oleh karena itu, Rasulullah Saw. menyuruh kita agar selektif dalam mencari tempat dan teman bergaul. Karena, setiap orang tidak memiliki pandangan yang sama, meskipun orang tersebut dikenal wara`, alim, dan baik akhlaknya. Sebagian orang memandangnya baik, sebagian lagi mungkin membencinya. Seorang panyair berkata, “Mata keridhaan buta terhadap setiap aib. Tetapi mata kebencian menampakkan segala keburukan.”

 
          Pada kisah pertama, Rasulullah Saw. mengingatkan setiap Muslim agar selalu mengembangkan dan mengedepankan sikap husnuzhzhan kepada Muslim lainnya, sementara pada saat yang sama, Umar bin Kaththab Ra. mengingatkan kita agar tidak menempatkan diri pada posisi “tertuduh”, yang membuat orang lain su`uzhzhan kepada kita. Kedua kisah di atas ternyata bermuara pada satu langkah preventif, yaitu menjaga hati agar tetap bersih.

 
          Di abad yang dikatakan modern seperti sekarang ini, interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat boleh dikatakan sangat kompleks dan multidimensi. Frekuensi kontak sosial begitu intensif dalam spektrum yang amat luas. Ini adalah lahan subur bagi munculnya berbagai penyakit hati. Konflik-konflik sosial, baik antarindividu maupun antarlembaga seringkali berawal dari ketidakmampuan kita menata pola interaksi tersebut.

 
          Untuk menahan laju pertumbuhan berbagai penyakit hati tersebut, Rasulullah Saw. memberikan resep singkat kepada kita, yaitu memfungsikan diri kita, setiap Muslim, sebagai da’i ilallah (juru dakwah di jalan Allah) kapan dan di mana pun kita berada. Beliau Saw. bersabda, “Ballighu ‘anni walau aayah”. Sampaikan olehmu (apa-apa yang didapat dariku) meskipun hanya satu ayat.


          Mengomentari hadits ini, Imam Syahid Hasan al-Banna pernah berkata, “Nahnu du’at qabla kulli syai`i.” Kita adalah da’i sebelum segala sesuatu. Maksudnya, profesi utama yang melekat pada setiap Muslim adalah sebagai da’i (juru dakwah) sebelum profesi yang lainnya. Jadi, kalau saat ini kita berprofesi sebagai seorang dokter, maka komunikasi kita dengan pasien tidak boleh meninggalkan tugas asasi kita sebagai seorang da’i. Saran-saran yang kita sampaikan kepada pasien tentang berbagai penyakit senantiasa harus dikaitkan dengan kebesaran Allah Swt. yang Maha Menyembuhkan semua penyakit. Dengan cara ini, pendekatan diagnosa yang dilakukan selaras dengan syariat Allah Swt.


          Seorang Muslim harus mampu mengarahkan dan mengubah segala bentuk komunikasinya dengan masyarakat menjadi komunikasi dakwah. Interaksi sosial yang dilakukannya dengan berbagai lapisan masyarakat harus diniatkan sebagai perluasan ladang dakwah.

 
          Dalam ranah politik misalnya, seorang politikus Muslim, apa pun partai politiknya, seharusnya mampu menggiring komunikasi politiknya menjadi komunikasi dakwah. Kontak-kontak politik antarpribadi maupun antarfraksi di legislatif dan antarmenteri di eksekutif harus diubah menjadi komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Kalau tidak, maka segala tindak-tanduknya akan mengundang kecurigaan (su`uzhzhan) dari Muslim lainnya. Seolah-olah dia hanya memanfaatkan momentum politik untuk memenuhi kepentingan pribadinya saja. Apalagi, lapangan politik merupakan lapangan yang panas, mudah terbakar, dan penuh intrik. Dalam banyak kasus apa yang ada di permukaan seringkali tidak sama dengan yang sesungguhnya.

 
          Begitu pula di bidang ekonomi. Para ahli dan praktisi ekonomi Muslim hendaknya mengorientasikan semua komunikasi ekonominya ke arah komunikasi dakwah. Lobi-lobi ekonomi dan bisnis haruslah dikhidmatkan untuk kejayaan Islam.

 
          Di bidang seni dan budaya, para seniman dan budayawan Muslim perlu meniru komunikasi seni budaya yang dikembangkan oleh Wali Songo, meski uslub (pendekatan) yang digunakan disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang di masyarakat. Kedekatan seorang Muslim dengan kehidupan para selebritis misalnya, harus mampu menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mendakwahi mereka. Sehingga diharapkan kesenian dan kebudayaan tidak disimpangkan atau diselewengkan ke arah kemaksiatan.

 
          Kalau setiap Muslim dengan berbagai spesialisasinya mengarahkan semua komunikasinya menjadi komunikasi dakwah, selalu menyertakan Allah Swt. di dalam setiap kebijakan dan langkahnya, maka insya Allah, kesempurnaan Islam akan dapat dilihat dan dirasakan oleh umat manusia secara keseluruhan. Melalui cara inilah Islam Rahmatan lil ‘alamin akan dapat direalisasikan.

          Sekarang ini kita menyaksikan hampir sebagian besar tokoh politik di Indonesia menggunakan pendekatan politik kekuasaan dan politik uang. Kalau tidak mendapatkan kekuasaan, uang pun cukup. Cara-cara seperti ini akan mendorong seseorang mengambil langkah-langkah Machiaveli yang menghalalkan segala cara. Hukum Allah selalu dinomorduakan, bahkan tidak dijadikan pertimbangan atas kebijakan-kebijakan dan langkah-langkahnya. Semboyan mereka adalah politik untuk politik, seni untuk seni, bisnis untuk bisnis, dan seterusnya. Akibatnya, kehidupan ini menjadi kering dari nilai-nilai ruhiyah.

 
          Padahal kita mengetahui bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt. dari dua unsur, yaitu jasad dan ruh. Maka, sangat tidak mungkin akan tercipta sebuah kehidupan yang nyaman, aman, dan damai manakala kehidupan itu sendiri tidak dibangun di atas nilai-nilai jasadiyah dan ruhiyah. Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto