PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu
ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak
batas, dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan
hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Penetapan
kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan mengamankan keberadaan dan
keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan
nasional, serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional, nasional dan
global. Kawasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk
Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
Provinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian
antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK).[1]
Hutan sebagai sumber daya
alam yang terbarukan, memiliki berbagai manfaat penting bagi keberlangsungan
hidup mahluk hidup. Pengelolaan hutan yang baik harus dapat memberikan manfaat
yang optimal bagi masyarakat, pengelola hutan, dan stakeholders serta
lingkungan sekitarnya. Tidak hanya itu, pengelolaan hutan yang baik juga harus
memperhatikan aspek-aspek kelestarian hutan, seperti aspek ekologi, produksi,
serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar hutan.
Hutan
mempunyai fungsi yang beraneka ragam, antara lain sebagai penghasil kayu dan
hasil-hasil hutan lainnya serta sebagai pelindung lingkungan dan penyangga
kehidupan yang mengatur tata air, melindungi kesuburan tanah, mencegah banjir
dan tanah longsor, mencegah erosi, dan lain, lain. Prinsip kelestarian yang
terkenal dengan konsep “Maximum Sustainable Yield” telah lama dikenal
dalam bidang pengelolaan sumber daya hutan.
Air
merupakan produk penting dari hasil hutan. Tanah di hutan merupakan busa
raksasa yang mampu menahan air hujan sehingga air meresap perlahan-lahan ke
dalam tanah. Banyak kota yang menggantungkan diri terhadap persediaan air dari
hutan dengan sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tetapi bila
pohon-pohon di hutan ditebang, maka tanah langsung terbuka sehingga bila turun
hujan, air hujan langsung mengalir ke sungai (water run off) dan
menyebabkan erosi dan banjir.[2]
Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai
akses langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan, serta memanfaatkan
sumber daya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini
tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan.
Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh
faktor teknis semata, namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena
itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis
pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat,
2005).[3]
Kebijakan
pembangunan kehutanan di satu sisi dapat meningkatkan devisa negara, namun di
sisi lain telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Dari segi sosial ekonomi masyarakat lokal, dampak pembangunan
kehutanan tidak cukup nyata terhadap peningkatan kesejahteraan. Kondisi ini
menjadi tekanan yang menyebabkan sulitnya mencapai pengelolaan hutan secara
lestari.
Pengelolaan
hutan dalam skala besar berawal dari krisis ekonomi yang mendera Indonesia
pertengahan tahun 1960-an. Kondisi tersebut memaksa pemerintah mengarahkan
segala kemampuan untuk menggenjot pertumbuhan devisa melalui eksploitasi sumber
daya alam termasuk hutan, yang diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968
mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tengtang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH). Sejak saat itu, eksploitasi hutan skala
besar mulai beroperasi dan isi hutan dikuras atas nama pembangunan yang
menempatkan sektor kehutanan sebagai salah satu sumber penghasil devisa
terbesar di luar migas (Nurrochmat, 2005).[4]
Pembalakan
liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah tindak kejahatan
terhadap hutan yang merugikan negara, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga
secara sosial, dan lingkungan. Potensi kerugian yang ditanggung negara akibat
pembalakan liar mencapai Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 triliun per tahun.
Ironisnya, praktik pembalakan liar telah memusnahkan hampir tiga perempat hutan
alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam setahun
setara dengan luas negara Swiss, yakni 41.400 kilometer persegi.
Dari
segi sosial dapat dilihat munculnya sikap kurang bertanggung jawab yang
dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk
membedakan antara yang benar dan salah, serta antara baik dan buruk. Hal
tersebut disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau
ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini
bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar.
Kerugian
dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu
sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya
lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan
banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan
terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk
fauna langka. Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam menyerap
karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi
mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya tegakan yang tersisa
karena adanya penebangan liar.
Berubahnya
struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang tadinya mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan, telah berubah peruntukanya yang
berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga kehidupan satwa liar
dan tanaman langka lain yang sangat bernilai serta unik sehingga harus jaga
kelestariannya menjadi tidak berfungsi lagi. Dampak yang lebih parah lagi
adalah kerusakan sumber daya hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan
kaidah manajemen hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke
keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi.[5]
Permasalahan
Pembangunan
kehutanan di Indonesia dewasa ini masih menghadapi tantangan besar. Hutan
semakin banyak mengalami kerusakan akibat besarnya tekanan pembalakan dan
perambahan hutan secara liar. Kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia
mencapai lebih dari 50 juta hektar yang disebabkan oleh aktivitas illegal
logging, alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan, pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan, serta kebakaran hutan. Laju deforestasi di
Indonesia pada periode 1990 – 1997 sebesar 1,8 juta hektar per tahun dan
meningkat pada era reformasi 1997 – 2000 yang mencapai 2, 83 juta hektar per
tahun.[6]
Laju
deforestasi yang sedemikian besar tersebut antara lain disebabkan oleh
pengelolaan hutgan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar
untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting, dan penebangan kayu
secara tidak sah (illegal logging), perburuan satwa liar tanpa izin,
penjarahan, perambahan, okupasi lahan, dan kebakaran hutan.
Laju
deforestasi yang tinggi tersebut menghadirkan kekhawatiran yang mendalam
terhadap masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia. Pada tahun 2001, Presiden
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal logging) dan
Peredaran Hasil Hutan Ilegal Di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional
Tanjung Puting. Karena di kawasan ini sangat rawan dengan praktik pembalakan
liar. Kemudian pada tahun 2004 Presiden mencanangkan gerakan
pemberantasan illegal logging secara tegas di seluruh penjuru negeri.
Hasilnya, laju deforestasi Indonesia pada kurun 2000 - 2009 mengalami penurunan
menjadi 1,51 juta ha per tahun. Berdasarkan lokasinya, laju deforestasi
terbesar terjadi di Kalimantan yaitu sebesar 0,55 juta ha per tahun dan
Sumatera dengan laju deforestasi sebesar 0,37 juta ha per tahun.[7]
Illegal logging atau
pembalakan liar atau penebangan liar adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan penebangan kayu yang dilakukan tanpa mengikuti
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegiatan
pembalakan liar tidak berdiri sendiri, namun saling kait- mengait dalam suatu
jaringan bisnis kayu ilegal yang melibatkan para pemodal (cukong) pembalak
kayu, pengusaha transportasi kayu, pedagang kayu, industri pengolahan kayu, dan
oknum aparat penegak hukum.
Bank
Dunia mengungkapkan praktik pembalakan liar (illegal logging) di Indonesia dijalankan oleh mafia. Dari
pembalakan liar itu, organisasi kejahatan tersebut mengalirkan sebagian
keuntungannya kepada pejabat pemerintah yang korup. Hal itu terungkap dari laporan analisis Bank Dunia terbaru,
bertajuk Justice
for Forests: Improving Criminal Justice Efforts to Combat Illegal
logging yang dipublikasikan pada 21 Maret 2012. Selain Indonesia,
praktik seperti itu terjadi di banyak negara, termasuk beberapa negara di
Afrika Barat.[8]
Akibat pembalakan liar berskala besar, setiap tahun
Indonesia kehilangan Rp36 triliun. Kebanyakan kayu hasil pembalakan liar itu
diselundupkan ke Luar Negeri.[9]
Kerusakan
sumber daya hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan telah
menimbulkan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial yang sangat serius. Secara
ekonomi kerugian yang timbul sebagai dampak kerusakan akibat pembalakan liar
pasti jauh melebihi nilai kayu yang dibalak. Kerugian negara akibat pembalakan
liar berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp 30,3
triliun per tahun (Kompas.com, Selasa, 21 Juni 2011).
Illegal logging dapat
disebabkan oleh beberapa hal:[10]
1.
Tingginya permintaan kebutuhan kayu
yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Dalam kontek demikian dapat
terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah tidak mampu mencukupi tingginya
permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu
di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam
negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar
negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan.
Ketimpangan antara persediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong
praktik illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.
2.
Tidak adanya kesinambungan antara
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan
Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999
yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam
Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan
perundang-undangan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu
konsesi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yangditetapkan 35 tahun. Hal
demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH
tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang
telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga
akibat illegal logging.
3.
Lemahnya penegakan dan pengawasan
hukum bagi pelaku tindak pidana illegal logging. Selama ini, praktik illegal
logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, di mana penegak hukum
hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu.
Sedangkan untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar
daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku. Bahkan beberapa pihak menyatakan bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan dianggap tidak memiliki taring untuk menjerat pelaku
utama illegal logging, melainkan hanya menangkap pelaku lapangan. Di
samping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup yang justru
memiliki peran penting dalam melegalisasi praktek illegal logging.
4.
Tumpang tindih kebijakan pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Hak Pegusahaan Hutan selama ini berada di bawah
wewenang pemerintah pusat, tetapi di sisi lain, sejak kebijakan otonomi daerah
diberlakukan, pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan kebutuhan
daerahnya secara mandiri. Kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah melirik
untuk mengeksplorasi berbagai potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis yang
tersedia di daerahnya, termasuk potensi ekonomis hutan. Dalam kontek inilah
terjadi tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, di sisi lain pemerintah
daerah mengeluarkan kebijakan untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya,
termasuk hutan, guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini
telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam kehutanan. Tekanan hidup yang
dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mendorong
mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk kebutuhan
pasar melalui tangan para pemodal.
Upaya
penangganan kasus tindak pidana kehutanan yang telah dilakukan pemerintah
dirasa masih belum menampakan hasil optimal berdasarkan indikasi-indikasi
antara lain (1) Semakin tingginya laju kerusakan hutan, dan (2) proses
penegakan hukum yang masih belum memiliki kemampuan untuk memberikan efek jera
kepada pelaku terutama (mastermind) dari tindak pidana illegal
logging.
Tujuan
Penulisan
Salah satu
penyebab mengapa kebijakan kehutanan dalam hal ini berupa peraturan-perundangan
tidak efektif sebagai solusi atas masalah-masalah kehutanan terletak pada
proses merumuskan dan implementasi kebijakan tersebut. Disamping itu,
pelaksanaan penegakkan hukum terhadap para pelaku pembalakan liat (illegal
logging) tidak dilaksanakan secara konsisten oleh para aparat penegak
hukum. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami bagaimana sulitnya upaya
pemberantasan kejahatan pembalakan liar (illegal logging) disebabkan
beberapa kelemahan di atas. Oleh karena itu diperlukan langkah terobosan, baik
dalam bidang hukum dengan membentuk perundang-undangan yang dapat memberikan efek
jera bagi para pelaku pembalakan liar, juga dalam implementasi pemberantasan
pembalakan liar dengan melibatkan semua aparat penegak hukum.
PEMBAHASAN
Identifikasi Akar Masalah
Hingga saat ini, pembalakan liar (illegal logging) masih
menjadi masalah pelik yang sulit untuk diurai. Kerusakan sumberdaya hutan
akibat illegal logging telah merusak lingkungan, ekonomi, dan sosial
yang sangat serius. Kerugian ekonomi akibat praktik illegal logging
tidak hanya berupa nilai kayu yang dijarah, melainkan juga dampak ekologi
seperti banjir dan tanah longsor, serta hilangnya keanekaragaman hayati dan
jasa lingkungan hutan, baik sebagai penyerap karbon, fungsi tata air, maupun
jasa lingkungan hutan lainnya. Mengingat besarnya kerugian dan potensi bencana
yang mungkin timbul akibat pembalakan liar (illegal logging), sepatutnya
illegal logging dinyatakan sebagai suatu bentuk kejahatan luar biasa,
sehingga perlu dipertimbangkan untuk penggunaan pasal berlapis bagi para
pelakunya. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat penanganan kasus illegal
logging hingga saat ini terkesan masih kurang optimal, sebagaimana terlihat
dari masih banyaknya kasus illegal logging yang proses hukumnya
berhenti, dihentikan, atau menghasilkan vonis yang sangat ringan bahkan banyak
pula yang memperoleh vonis bebas. Pada umumnya, kasus illegal logging
diikuti dengan perambahan kawasan hutan untuk ladan dan kebun (Dodik Ridho Nurrochmat dan M. Fadhil Hasan, 2012).
Praktik pengurusan dan pengelolaan hutan antara lain ditentukan
oleh kebijakan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah serta implementasinya di
lapangan. Dengan penurunan kinerja pembangunan kehutanan yang telah terjadi,
implementasi kebijakan tersebut terbukti belum efektif. Efektivitas
implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan
atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan solusinya di
lapangan. Apabila pandangan ini diikuti, maka terdapat masalah-masalah pokok,
yaitu belum tepat dalam mendefinisikan masalah.
Pemberantasan
Illegal logging Setengah Hati
Upaya untuk menghentikan praktik illegal logging belum
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Hingga saat ini, penanganan
kasus-kasus tindak pidana illegal logging masih menggunakan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang tidak memberi efek jera bagi para
pelaku. Bahkan dalam banyak kasus, para tokoh intelektual dibalik praktik illegal
logging sama sekali tidak tersentuh oleh hukum.
Berdasarkan
data Indonesia Corruption Watch, tingkat efektivitas pemberantasan
pembalakan liar masih sangat rendah. Hanya 4,3 persen upaya pemberantasan yang
berakhir dengan putusan berkekuatan hukum. Sebanyak 72 persen cukong kayu
diputus bebas. Putusan pengadilan terhadap 205 terdakwa sepanjang tahun 2005 - 2008
juga hanya memberikan hukuman ringan hingga putusan bebas. Sebanyak 137
terdakwa (66,8 persen) di antaranya bebas, 44 terdakwa (21,6 persen) dihukum
satu tahun, 14 terdakwa (6,8 persen) dihukum hingga dua tahun, dan hanya 10
terdakwa (4,8 persen) yang dihukum di atas dua tahun.[11]
Selama periode tahun 1998–2003, kebijakan pengurusan dan
pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia telah banyak mengalami perubahan,
termasuk terjadinya pembaruan Undang-undang Kehutanan. Dalam periode
berikutnya, tahun 2004 – 2006, masukan dan rekomendasi bagi pembaruan kebijakan
kehutanan banyak pula dibahas.
Hal demikian itu disebabkan oleh alasan yang terkait dengan proses
pembaruan dan implementasi kebijakan, sebagai berikut (Kartodihardjo, et al.,
2006):
1.
Adanya jaringan kekuasaan dan kepentingan maupun hambatan
birokrasi – baik dalam lingkungan pemerintahan maupun swasta dan BUMN Kehutanan
– tidak menjadi faktor yang dibahas secara mendalam dalam menentukan
masalah-masalah kehutanan.
2.
Prasyarat berjalannya suatu kebijakan, seperti anggaran dan
administrasinya, kemampuan lembaga, informasi, proses sosial, tekanan politik, belum
dipertimbangkan sebagai bagian dari masalah-masalah pokok dalam implementasi
suatu program pembangunan kehutanan.
3.
Biaya transaksi tinggi yang timbul akibat pelaksanaan suatu
peraturan masih dianggap sebagai masalah implementasi kebijakan dan bukan kelemahan
proses dan substansi kebijakan itu sendiri.
Proses dan implementasi kebijakan tidak berlangsung secara linier
sebagaimana dituangkan dalam kerangka pendekatan rasional. Peran diskursus,
pengetahuan, kejelasan obyek yang dipermasalahkan, aktor dan jaringannya,
menentukan efektivitas perdebatan kebijakan yang dilakukan. Pengetahuan yang
tidak lengkap yang dimiliki oleh setiap pihak melahirkan ketidak-jelasan obyek
yang dipermasalahkan. Efektivitas interaksi pihak-pihak untuk sampai pada pokok
persoalan yang diperdebatkan disamping ditentukan oleh pengetahuan yang
dimiliki juga ditentukan oleh diskursus masing-masing. Kekuatan masing-masing
aktor dan jaringannya serta perbedaan kepentingan masing-masing aktor
mempersulit dapat ditemukannya kesepakatan bersama.[12]
Illegal
logging
Sebuah Kejahatan Terstruktur
Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan illegal logging,
jika pelakunya hanya masyarakat sekitar hutan yang miskin tentu saja tindakan
ini dengan mudahnya dapat dihentikan oleh aparat kepolisian. Dari hasil
identifikasi aktor pelaku illegal logging, terdapat enam aktor utama,
yaitu:[13]
1.
Cukong, yaitu pemilik modal yang membiayai kegiatan penebangan
liar dan yang memperoleh keuntungan besar dari hasil penebangan liar. Di
beberapa daerah dilaporkan bahwa para cukong terdiri dari anggota MPR, anggota
DPR, pejabat pemerintah (termasuk para pensiunan pejabat), para pengusaha kehutanan,
oknum TNI dan POLRI.
2.
Sebagian masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan
hutan maupun yang didatangkan sebagai pelaku penebangan liar (penebang dan
pengangkut kayu curian).
3.
Sebagian pemilik pabrik pengolahan kayu (industri perkayuan) skala
besar, sedang, dan kecil, sebagai pembeli kayu curian (penadah).
4.
Oknum pegawai pemerintah (khususnya dari instansi kehutanan) yang
melakukan KKN, memanipulasi dokumen SAKB (SKSHH), dan tidak melaksanakan tugas
pemeriksaan sebagaimana mestinya.
5.
Oknum penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, TNI) yang bisa dibeli
dengan uang sehingga para aktor pelaku penebangan liar, khususnya para cukong
dan penadah kayu curian dapat terus lolos dengan mudah dari hukuman. Oknum TNI
dan POLRI turut terlibat, termasuk ada yang mengawal pengangkutan kayu curian
di jalan-jalan kabupaten/provinsi.
6.
Pengusaha asing yang menyelundupkan kayu hasil curian ke Malaysia,
Cina, dan ke negara lain.
Karena
seriusnya illegal logging sebagai suatu kejahatan luar biasa, maka
sebagian ahli lingkungan memandang sebagai kejahatan bioterorisme global luar
biasa. Pandangan ini begitu ekstrim oleh karena dampak praktek illegal
logging, langsung dari hari ke hari, semakin meningkat dengan tingkat
kualitas dan modus operandi yang kian kompleks. Sehingga amat mustahil praktik
kejahatan illegal logging dapat ditanggulangi tanpa mengggunakan
pendekatan terpadu. Pada kenyataannya, tidak mudah bagi aparat penegak hukum untuk menyeret aktor
utama illegal logging.
Kondisi
tersebut disebabkan pertama, praktik illegal logging tidak murni
berdiri sendiri, namun telah terbangun jaringan kerjasama yang merambah ke praktik
illegal trade yang melibatkan negara luar. Akibatnya praktik illegal
logging sungguh bertambah dahsyat dari unsur tindak pidana yang melingkupi
dan keterlibatan unsur asing. Sehingga tidak mengherankan sekiranya
kecenderungan umum praktik illegal logging juga memiliki sifat kejahatan
lintas negara (Trans-National Organized Crime). Suatu kejahatan yang
dilakukan bukan saja karena adanya unsur obyek dan subyek melintas negara,
melainkan karena adanya hubungan transaksional antara negara-negara di
sekitarnya.
Alasan
kedua, penanganan kasus illegal logging meniscayakan adanya
penegakan hukum terpadu. Illegal logging sebagai kejahatan bioterrorisme
yang luar biasa mengandung unsur tindak pidana pencurian, pembunuhan berencana
terhadap keanekaragaman hayati termasuk bencana alam yang membahayakan umat
manusia. Pencucian uang (money laundry), tindak pidana korupsi,
penyelundupan, penggelapan dan bahkan terorisme.
Kesetaraan
derajat kejahatan illegal logging sebagai kejahatan luar biasa, mestinya
menempatkan kebijakan pemerintah untuk melakukan pemberantasan harus sejajar
dengan kejahatan teroris dan korupsi. Secara umum, pemerintah didorong untuk
membuat kebijakan dari masa ke masa terkait dengan upaya mewujudkan pelestarian
lingkungan hidup dan sumber daya alam.
Alasan
ketiga, penegakan hukum illegal logging meniscayakan adanya
langkah terpadu. Dalam praktik lapangan pemberantasan illegal logging
harus melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup,
Kejaksaan Agung, Polri, dan penegak hukum lainnya. Pentingnya peraturan hukum
tentang illegal logging, sebagaimana pada tingkat pertama melalui Perpu
pemberantasan illegal logging. Adapun maksud dan tujuan perpu tersebut
selain untuk merespon isu yang berkembang kuat dalam masyarakat agar
mendapatkan pedoman pelaksanaan tekhnis, juga sebagai payung hukum, sekaligus
pedoman pelaksanaan pemberantasan praktik illegal logging di lapangan.
Dengan
kata lain, kejahatan illegal logging merupakan suatu kejahatan yang
memiliki sifat luar biasa (extra ordinary crime), sebagaimana kejahatan
korupsi dan kejahatan terorisme, atau bioterrorism. Karena itu, dalam
penegakan hukum kejahatan illegal logging tidak saja karena sifat
perbuatannya telah melanggar peraturan hukum yang begitu kompleks, yaitu pelanggaran
terhadap Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Lingkungan Hidup, dan
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktiknya kejahatan ini juga
dilakukan oleh suatu organisasi tertentu yang bersifat lintas negara. Sehingga
dalam penegakannya pun harus melibatkan keterpaduan antarinstitusi penegak
hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan.[14]
Pemecahan
Masalah
Pergantian
kepemimpinan nasional pada awal tahun 1998 mendorong berbagai inisiatif untuk
melakukan pembaharuan kebijakan kehutanan. Pembaharuan kebijakan tersebut juga
menyangkut berbagai prakondisi yang belum terselesaikan antara lain masalah
pengukuhan hutan untuk mewujudkan kepemilikan hutan yang mendapat legitimasi
masyarakat, masalah birokrasi dan kemampuan pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan
hutan, masalah peraturan perundangan, serta masalah ukuran kinerja, evaluasi
dan kontrol pelaksanaan pengusahaan hutan.
Disamping
itu terdapat tuntutan reformasi pembangunan kehutanan yang secara umum menuju
pada dua sasaran yaitu redistribusi manfaat sumberdaya hutan dan menghapus
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Pada waktu itu, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan telah menyusun paket reformasi pembangunan kehutanan dan perkebunan
serta melaksanakan beberapa perubahan peraturan penting dalam pengusahaan
hutan. Selama periode yang sama International Monetary Fund (IMF)
dan World Bank juga menentukan syarat-syarat hutang kepada pemerintah
Indonesia yang antara lain berupa pembaharuan kebijakan ekonomi kehutanan.
Sudah
banyak diutarakan dalam berbagai publikasi bahwa selama pemerintahan Orde Baru
sulit untuk melakukan pembaharuan kebijakan pengelolaan hutan. Hubungan yang
kuat antara birokrat dan pengusaha pada saat itu telah menutup berbagai proses
konsultasi antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dengan
pemerintah.
Pemerintah
pusat sangat kuat dalam mengendalikan grup formal dan non formal seperti
kelompok buruh, bisnis, partai politik, media masa, dan LSM, tetapi lemah dalam
mengendalikan birokrasi untuk tidak melakukan kolusi demi tujuan individu yang
mengabaikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang. Meskipun pemerintah
pusat sangat kuat dalam penetapan kebijakan, tetapi pemerintah pusat tidak
mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan penegakan hukum.[15]
Meski
demikian, pemberantasan illegal logging tetap harus diupayakan hingga
kegiatan illegal logging berhenti sama sekali sebelum habisnya sumberdaya
hutan dimana terdapat suatu kawasan hutan tetapi tidak terdapat pohon-pohon di
dalamnya. Penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui
kombinasi dari upaya-upaya pencegahan (preventif), penanggulangan (represif)
dan upaya monitoring (deteksi).[16]
Berdasarkan
pada pemaparan dan anlisis yang telah dikemukakan di atas, maka terdapat
beberapa pemikiran yang perlu ditindaklanjuti:[17]
1.
Praktik
illegal logging merupakan ranah hukum publik yang dikategorikan ke dalam
hukum pidana secara umum. Namun, dalam cakupan dan perkembangan implikasi yang
ditimbulkan oleh praktik illegal logging telah berubah menjadi kejahatan
luar biasa yang setingkat dengan kejahatan korupsi dan kejahatan terorisme,
atau bioterrorism. Beberapa faktor yang mempengaruhi status illegal
logging sebagai kejahatan luar biasa tersebut antara lain karena rumusan
delik illegal tersedia dalam peraturan perundangan-undangan tentang
kehutanan, lingkungan hidup dan juga illegal logging, dengan sifat
kejahatannya lintas negara (Transnational Organized Crime).
Konsekuensinya, penegakan hukum kejahatan illegal logging mustahil dapat
diterapkan tanpa adanya sistem penegakan hukum yang terpadu yaitu melibatkan,
selain polisi, jaksa, kementerian kehutanan dan polisi kehutanan, kementerian
Lingkungan Hidup, dan juga aparat penegak hukum yang relevan seperti KPK
lainnya lainnya.
2.
Kecenderungan
putusan hakim dalam sistem peradilan pidana sebagaimana terlihat dalam tiga
putusan hakim tersebut di atas menujukkan adanya ketidak konsistenan penegakan
hukum, baik di tingkat sebelum maupun sesudah kasus memperoleh pemeriksaan di
pengadilan. Kecenderungan putusan hakim yang membebaskan pelaku illegal
logging dipengaruhi oleh sistem peradilan pidana yang parsial, melainkan
juga oleh adanya faktor-faktor yang terkait dengan keadaan internal, pengaruh
psikologis dan sosiologis praktik peradilan illegal logging yang
diselenggarakan di luar wilayah hukumnya, non-locus delicti principle,
kaburnya dakwaan dan penerapan hukum karena kurangnya pemahaman terhadap
hakikat kejahatan illegal logging, serta adanya kerjasama yang
samar-samar bersifat simbiosis mutualistik antara pelaku illegal logging,
masyarakat yang menjadi pendukung praktik illegal logging dan rendahnya
moralitas beberapa oknum aparat penegak hukum.
3.
Putusan
hakim yang memberikan hukuman berat pada pelaku illegal logging tampak
jelas bahwa persoalan kejahahatn illegal logging menjadi berubah oleh
karena adanya perbedaan pemahaman dari tingkat putusan pengadilan negeri
tingkat pertama hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Dengan kata lain,
konsistensi penerapnan hukum, obyektifitas serta penerapan hukum yang sesuai
dengan sifat kejahahatn illegal logging sebagai kejahatan luar biasa
mendorong pertimbangan hakim-hakim di Mahkamah Agung mengambil putusan berat
sebagai dalam kasus illegal logging yang diputus di Pengadilan Negeri
Jakarta.
4.
Berbagai
faktor yang relevan terkait seperti SDM aparat penegak hukum, keseragaman dan
pendalaman pengetahuan mereka terhadap persoalan kasuskasus illegal logging
sebagai kasus-kasus yang khusus, memerlukan tidak saja sosilisasi untuk penyebarluasan
mengenai materi dan metode penyelidikan dan penyidikan, surat dakwaan dan
tuntutan, serta pengetahuan hakim yang luas perlu ada peningkatan terutama
dengan melakukan eksamanasi-eksamanasi yang terbuka dan jujur sehingga aparat
penegak hukum dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang semakin baik,
terutama ketika putusanputusan dalam kasus illegal logging mendapatkan
reaksi kontroversial dari masyarakat.
5.
Kebanyakan
pelaku illegal logging yang ditangkap adalah pekerja bawahan seperti
sopir dan para penebang kayu di hutan, sedangkan para pelaku intelektual dan
para cukong kayu sering tidak tersentuh hukum karena instrumen hukum yang
digunakan hanyalah Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Oleh karena
itu, para pelaku illegal logging harus dikenakan UU Pencucian Uang yang
memberikan wewenang kepada penegak hukum untuk melihat dan membuktikan hubungan
antara cukong, para pelaku kayu, dan pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya
demi imbalan dari para cukong.
Saat
ini, DPR RI dan Pemerintah tengah membahas Rancangan Undang-undang Pencegahan
dan Pemberantasan Pembalakan Liar (RUU P3L). Di dalam RUU P3L rencananya akan
dibentuk Komisi Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar (KP3L), yaitu komisi yang bertugas dan berwenang untuk
melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar. KP3L merupakan lembaga
mandiri dan kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KP3L berkedudukan di
ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. KP3L dapat mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota.[18]
Di dalam RUU P3L, setiap pelaku illegal logging akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun
dan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan/atau pidana seumur hidup, dan
pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). Ketentuan pidana
tersebut berbeda dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yang hanya mencantumkan batas maksimal hukuman pidana bagi setiap pelaku illegal
logging.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pemberantasan
illegal logging banyak menemui kendala karena kejahatan tersebut
melibatkan banyak unsur, yaitu para cukong sebagai pemodal
yang membiayai kegiatan penebangan liar dan yang memperoleh keuntungan besar
dari hasil penebangan liar; sebagian
masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun yang
didatangkan sebagai pelaku penebangan liar; sebagian pemilik pabrik pengolahan
kayu (industri perkayuan) skala besar, sedang, dan kecil, sebagai pembeli kayu
curian (penadah); Oknum pegawai pemerintah (khususnya dari instansi kehutanan)
yang melakukan KKN, memanipulasi dokumen SAKB (SKSHH), dan tidak melaksanakan
tugas pemeriksaan sebagaimana mestinya; oknum penegak hukum (hakim, jaksa,
polisi, TNI) yang bisa dibeli dengan uang sehingga para aktor pelaku penebangan
liar, khususnya para cukong dan penadah kayu curian dapat terus lolos dengan
mudah dari hukuman; dan pengusaha asing yang menyelundupkan kayu hasil curian
ke luar negeri.
Tingkat
efektivitas pemberantasan pembalakan liar masih sangat rendah, karena
undang-undang yang digunakan hanya mengandalkan Undang-undang Nomor 41 Tentang
Kehutanan. Disamping itu, aparat penegak hukum belum bekerja secara maksimal,
baik dalam proses penegakkan hukum maupun melakukan koordinasi antarinstitusi
penegak hukum.
Praktik
illegal logging harus dipandang sebagai kejahatan yang memiliki sifat
luar biasa (extra ordinary crime), sebagaimana kejahatan korupsi dan
kejahatan terorisme, atau bioterrorism. Karena itu, dalam penegakan
hukum kejahatan illegal logging tidak saja karena sifat perbuatannya
telah melanggar peraturan hukum begitu kompleks, yaitu Undang-undang Kehutanan,
Undasng-undang Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam
praktiknya kejahatan ini juga dilakukan oleh suatu organisasi tertentu yang
bersifat lintas negara. Sehingga dalam penegakannya harus melibatkan
keterpaduan antarinstitusi penegak hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup
dan Menteri Kehutanan.
DPR
RI dan Pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pencegahan
dan Pemberantasan Pembalakan Liar (RUU P3L) menjadi Undang-undang P3L, karena
pemberantasan Illegal logging memerlukan payung hukum yang lebih kuat.
DAFTAR
PUSTAKA
Birgantoro, Bakti Abu dan
Dodik Ridho Nurrochmat, Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat di KPH
Banyuwangi Utara, JMHT Vol. XIII (3): 172-181,
Desember 2007.
Dodik Ridho
Nurrochmat dan M. Fadhil Hasan, Ekonomi Politik Kehutanan, Mengurai Mitos dan
Fakta Pengelolaan Hutan, Indef 2012.
Forest Watch
Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 – 2009, Edisi
Pertama 2011.
Hariadi Kartodihardjo, Diskursus dan
Aktor dalam Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Kehutanan: Masalah Kerangka
Pendekatan Rasional, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB,
JMHT Vol. XIV (1): 19– 27, April 2008.
_________________,
Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Indonesia:
Intervensi IMF dan World Bank dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan,
Makalah Presentasi pada Workshop tentang "Environmental Adjustment:
Opportunities for Progressive Policy Reform in the Forest Sector?", World
Resources Institute, 1999.
http://www.dpr.go.id/id/ruu/Korinbang/Komisi4/119/RUU-TENTANG-PENCEGAHAN-DAN-
PEMBERAN TASAN-PEMBALAKAN-LIAR-P3L.
Statistik Kehutanan Indonesia 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta
2012.
Suparmoko, M., Ekonomi
Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekaan Teoritis, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Gajah Mada, BPFE – Yogyakarta, 2012.
Teguh
Sudarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal logging,
Jurnal Hukum No. 1 Vol. 17 Januari 2010.
Wahyu Catur
Adinugroho, Penebangan Liar (Illegal logging), Sebuah Bencana Bagi Dunia
Kehutanan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan, Mayor Silvikultur Tropika,
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2009.
[1] Statistik
Kehutanan Indonesia 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta 2012.
[2] M. Suparmoko,
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Suatu Pendekaan Teoritis, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada, BPFE – Yogyakarta, 2012.
[3] Bakti Abu Birgantoro
dan Dodik Ridho Nurrochmat, Pemanfaatan Sumberdaya Hutan oleh Masyarakat di KPH
Banyuwangi Utara, JMHT Vol. XIII (3): 172-181, Desember 2007.
[4]
Dodik Ridho
Nurrochmat dan M. Fadhil Hasan, Ekonomi Politik Kehutanan, Mengurai Mitos dan
Fakta Pengelolaan Hutan, Indef 2012.
[5] http://dimaswarning.wordpress.com/2011/09/26/dampak-dan-kerugian-penebangan-hutan-secara-liar/
[6] Dodik Ridho
Nurrochmat dan M. Fadhil Hasan, ibid.
[7] Forest Watch
Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 – 2009, Edisi
Pertama 2011.
[8] http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1843303/mafia-kendalikan-illegal-logging-di-indonesia.
[9] http://www.antaranews.com/berita/276490/indonesia-kehilangan-rp36-triliun-akibat-pembalakan-liar.
[10] http://dep.blogspot.com/2011/12/illegal-logging-sebab-akibat-dan.html.
[11] http://nasional.kompas.com/read/2009/10/26/16573794/Mayoritas.Aktor.Kejahatan.Kehutanan.Bebas.
[12]
Hariadi Kartodihardjo,
Diskursus dan Aktor dalam Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Kehutanan:
Masalah Kerangka Pendekatan Rasional, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB, JMHT Vol. XIV (1): 19– 27, April 2008.
[13]
Wahyu
Catur Adinugroho, Penebangan Liar (Illegal Logging), Sebuah Bencana Bagi
Dunia Kehutanan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan, Mayor Silvikultur
Tropika, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2009.
[14]
Teguh
Sudarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-Kasus Illegal Logging,
Jurnal Hukum No. 1 Vol. 17 Januari 2010.
[15]
Hariadi
Kartodihardjo, Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan
Di Indonesia: Intervensi IMF dan World Bank dalam Reformasi Kebijakan
Pembangunan Kehutanan, Makalah Presentasi pada Workshop tentang "Environmental
Adjustment: Opportunities for Progressive Policy Reform in the Forest
Sector?", World Resources Institute, 1999.
[16] Wahyu Catur
Adinugroho, ibid.
[17] Teguh Sudarsono,
ibid.
[18] http://www.dpr.go.id/id/ruu/Korinbang/Komisi4/119/RUU-TENTANG-PENCEGAHAN-DAN-
PEMBERAN TASAN-PEMBALAKAN-LIAR-P3L.
KISAH NYATA..............
Ass.Saya ir Sutrisno.Dari Kota Jaya Pura Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Kanjeng saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya di kasih solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Kanjeng alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Kanjeng di nmr 085320279333 Kiyai Kanjeng,ini nyata demi Allah kalau saya tidak bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.
KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!
((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))
Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :
Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll
Syarat :
Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda
Proses :
Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur
Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :
Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt
Prosedur Daftar Ritual ini :
Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP
Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR
Kirim ke nomor ini : 085320279333
SMS Anda akan Kami balas secepatnya
Maaf Program ini TERBATAS .