Upaya Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Indonesia

3 Apr 2013

Pendahuluan
Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja atau berusaha pada sector informal seperti menjadi Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar di Indonesia. Pedagang Kaki Lima timbul sebagai akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi, bisa juga sebagai akibat dari kebijakan ekonomi liberal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) mencatat hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta pedagang kaki lima di seluruh Indonesia (Tempo.co, 5/9/2012).
PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan, membuat sektor ini tidak aman dan berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Fakta menunjukkan bahwa PKL merupakan sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban.
Aktivitas PKL pada umumnya menempati badan-badan jalan dan trotoar, sehingga tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi, karena menyediakan harga lebih murah. Bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, PKL menjadi pilihan. Hal ini membuat penertiban PKL di lokasi-lokasi strategis menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Padahal setiap hari, mereka adalah pekerja yang ulet, berjuang untuk menghidupi keluarga.
Sebagai bentuk penghargaan kepada PKL sebagai pelaku ekonomi mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pernah menyosialisasikan istilah Pedagang Kreatif Lapangan untuk mengganti Istilah Pedagang Kaki Lima. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, konsep pedagang kreatif lapangan sudah ada sejak ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Model dari konsep Pedagang Kreatif Lapangan tercantum dalam MoU antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan UKM. Mari Elka Pangestu berinisiatif mengganti istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan untuk meningkatkan martabat Pedagang Kaki Lima (Kompas.com, 6 Desember 2011). Bahkan, Kementerian Koperasi dan UKM telah menginstruksikan penggantian istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan kepada pimpinan dinas terkait maupun kabupaten/kota. Namun demikian, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang  Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, penggunaan istilah Pedagang Kreatif Lapangan belum dapat digunakan secara formal.

Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ‘hawkers’, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu, Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota berkesan semrawut.
Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part of solution).
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Daerah
Di antara Pemerintah Daerah yang telah melakukan penataan dan pembinaan PKL adalah:
1.      Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan melalui Perda No. 20 tahun 2001tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima Musiman.
2.      Pemkot Yogyakarta melalui Perda No.26 tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
3.      Pemkot Surabaya melalui Perda No.17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
4.      Pemkot Mojokerto melalui Perda No.5 tahun 2005 tentang Penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima.
5.      Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri melalui Perda No.7 tahun 2006 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
6.      Pemkot Surakarta melalui Perda No.3 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima.
7.      Pemkot Bima dengan Perda No.11 tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
8.      Pemkab Kepulauan Selayar melalui Perda No.4 tahun 2010 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
9.      Pemkab Semarang melalui Perda No.11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
10.   Pemkot Bandung melalui Perda No.4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Selain 10 pemerintah daerah di atas, masih banyak kota dan kabupaten yang telah memiliki perda untuk menata dan memberdayakan PKL. Dengan semakin banyaknya pemkot dan pemkab yang memiliki perda tentang penataan dan pemberdayaan PKL diharapkan pemberdayaan ekonomi melalui sektor informal, khususnya PKL, akan semakin meningkatkan jumlah entrepreneur yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

Daftar Pustaka
McGee, TG and YM Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Ottawa, Canada.
Peraturan Presiden Republik Indonesia  Nomor 125 Tahun 2012  Tentang  Koordinasi Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Tamba, Halomoan dan Saudin Sijabat, 2006. Pedagang Kaki Lima: Entrepreneur yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.
Winarti, 2012. Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima dari Perspektif Kebijakan Deliberatif. E-Journal UNISRI Volume XXIV No.1.

1 comments:

  1. Unknown mengatakan...:

    PKL : Pedagang Kaki Lima ?
    SETUJU diganti istilah menjadi PEDAGANG KREATIF LAPANGAN

    CSR untuk pemberdayaan PKL ?
    (perlu dukungan elit kekuasaan untuk mewujudkan kepedulian)

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto