Oleh Syamsu Hilal
Ketika landasan berpikir kita bukan berdasarkan Al-Qur`an
dan As-Sunnah, cara pandang dan pemahaman kita tentang sesuatu sering bertolak
belakang dengan kedua sumber hukum Islam tersebut. Fenomena umum yang terlihat adalah
cara pandang kebanyakan manusia tentang kehidupan di dunia. Banyak orang yang
memandang kehidupan di dunia sebagai terminal akhir, sehingga mereka berusaha
keras untuk menapaki puncak kehidupan dunia dengan kemampuan yang dimiliki.
Hanya sedikit orang yang memahami kehidupan dunia sebagai halte singgah menuju
kehidupan di akhirat yang kekal abadi.
Selain mengakibatkan perbedaan cara pandang terhadap sesuatu, kesalahan dalam memilih dan menempatkan alas berpikir juga berakibat pada perbedaan sikap dan jalan hidup yang diambil oleh orang per orang. Salah satunya bagaimana kita memahami tentang makna kecerdasan atau kejeniusan. Makna umum yang berkembang, kecerdesan seseorang dipahami sebagai kecakapan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Atau kecakapan untuk mengembangkan masalah baru untuk dipecahkan. Atau kecakapan untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat di dalam kehidupannya (Howard Gardner). Ada juga yang mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan baru dengan sadar, dengan berpikircepat dan tepat (William Stern). Masih banyak definisi lain tentang kecerdasan, yang bila kita telaah lebih dalam semuanya hanya mengacu pada kemampuan seseorang dalam mengatasi permasalahan kehidupan di dunia saja, tanpa memperhatikan kehidupan di akhirat.
Sedangkan Rasulullah Saw. menjelaskan, “Orang yang cerdas adalah yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk masa setelah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah (bodoh) adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan pada kemurahan Allah” (HR Tirmidzi).
Dengan adanya hadits di atas, pemahaman kita tentang kecerdasan haruslah mengacu kepada definisi yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kita dapat membahas secara panjang lebar dan mendalam tentang kandungan hadits di atas. Namun, secara umum dapat dipahami bahwa kecerdasan menurut Islam tidak hanya sebatas kemampuan seseorang untuk memecahkan problematika kehidupan di dunia, tetapi juga kemampuan orang itu untuk menyiapkan bekal untuk kehidupan yang abadi di akhirat.
Setiap hari kita menyaksikan di layar kaca puluhan orang meninggal dunia. Kita juga pernah melihat tetangga, teman, atau keluarga kita dipanggil oleh Allah Swt. dengan sebab yang berbeda-beda. Belum sadarkah bahwa kematian senantiasa mengancam diri kita tanpa diketahui kapan waktu dan penyebabnya? Hanya orang-orang lemah dan bodoh saja yang memandang kehidupan dunia hanya untuk dunia.
Orang-orang cerdas senantiasa shalat berjamaah di masjid, berpuasa, dan membaca Al-Qur`an serta mengamalkannya. Orang yang cerdas selalu berinfak, bersedekah, dan berzakat. Orang cerdas bersikap lemah lembut kepada sesama Muslim dan tegas menolak ajakan kepada kekafiran. Dan orang cerdas senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kesemuanya itu dilakukan demi untuk mendapatkan ridha Allah Swt. dan mengumpulkan keping-keping pahala sebagai bekal kehidupan di akhirat yang kekal abadi. Wallahu a'lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar