Oleh Syamsu Hilal
“Sungguh Kami telah berikan nikmat yang amat banyak
kepadamu. Maka shalat dan berkurbanlah dengan ikhlas karena Tuhanmu” (QS Al-Kautsar: 1-2).
Salah satu wujud atas
perintah berkurban adalah
merealisasikan dan meningkatkan rasa kepedulian kita kepada sesama manusia,
khususnya kepada sesama Muslim. Rasa kepedulian atas sesama manusia
sesungguhnya melekat kuat pada sisi kemanusiaan itu sendiri. Artinya, manusia
akan menjadi makhluk yang sempurna manakala ia senantiasa mengedepankan rasa kemanusiaannya.
Dalam konteks keumatan, peristiwa kurban menandai makna penting
kesinambungan sejarah dan reaktualisasi pengorbanan serta keberlanjutnya tradisi berkurban secara ikhlas dan
benar. Rasululah Saw. mencontohkan
sendiri, bukan hanya sekadar berwacana. Bahwa kesuksesan beribadah, baik pada
dimensi vertikal maupun horizontal, hanya dapat diwujudkan dengan Iman yang
lurus dan bersih.
Dalam dimensi kekinian, kurban membawa
penyegaran tentang prinsip ketulusan dan kepedulian sosial secara konkret dan
benar. Karena Al-Qur`an, surat Al-Hajj: 37 menjelaskan,
“Sekali-kali Allah tidak akan menerima
daging atau darah hewan kurban, tetapi yang diterima Allah adalah sikap taqwa
yang menyemangati berkurban itu. Demikianlah Allah menciptakan hewan-hewan
kurban itu agar kalian selalu mengagungkan Allah dan mensyukuri hidayah-Nya
kepada kalian semua, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan.”
Maka, realisasi semangat berkurban
adalah upaya untuk selalu menghadirkan sifat takwa, yang menurut
Al-Qur`an merupakan kata kunci tentang keunggulan umat manusia.
“Sesungguhnya yang paling utama di antara kalian di sisi
Allah ialah yang paling bertaqwa” (QS Al-Hujurat: 13).
Berkurban mengandung dua makna penguat
komitmen manusia yang bertakwa, yaitu taqarrub ilallah (mendekat diri kepada Allah) dan taqarrub
ilannas (mendekatkan kepada sesama manusia). Taqarrub ilallah dalam
konteks berkurban adalah pengorbanan dalam bentuk pengeluaran infak dan sedekah untuk membeli hewan kurban dan menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah, yang mengandung dimensi keikhlasan dan keihsanan.
Sedangkan taqarrub ilannas bermakna khidmat (pelayanan) untuk
menjalin kedekatan kepada sesama umat manusia. Dalam konteks kekinian, berkurban selain sebagai bentuk jalinan silaturahim,
juga sebagai bentuk kepedulian sosial yang konkret berupa distribusi daging kurban
kepada para dhuafa.
Taqarrub merupakan
realisasi hablun minallah dan hablun minannas yang sangat penting
untuk ditingkatkan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Prinsip taqarrub
kepada Allah dan taqarrub kepada manusia sangat tepat untuk
diaktualisasikan kembali. Dengan taqarrub kepada Allah, melalui sarana
menyembelih hewan kurban, maka derajat kemanusiaan kita dibiasakan untuk berada
dalam dataran tinggi keikhlasan. Bukan lagi cara pandang yang terbelenggu oleh
perspektif serba sempit, serba individualistik, dan serba materialistik.
Sebaliknya, semangat taqarrub membuat
diri manusia berpikir dan bersikap secara mendasar untuk kepentingan yang lebih
luas dan lebih luhur. Manusia akan terbiasa mempertahankan prinsip kebenaran
dan bekerja keras. Adapun taqarrub kepada sesama umat manusia harus senantiasa disegarkan dengan mengedepankan solidaritas sosial sekalipun
hanya melalui pembagian daging kurban.
Keikhlasan berkurban menjadi sinyal
positif dalam merekatkan kembali ukhuwah dan kepedulian antarsesama sebagai
basis integrasi nasional. Itulah modal sosial yang bisa kita pupuk setiap saat
dengan anggaran yang sangat murah, tapi bernilai amat tinggi. Bahkan lebih dari
itu, spirit kurban dapat menyemangati umat dan bangsa ini agar tidak terpesona
dan terjebak dengan fenomena individualisme dan materialisme. Inilah kunci
penting hadirnya masyarakat yang bermartabat, bersaudara, dan bertakwa.
Semangat taqarrub kepada Allah dan sesama menjadi penting untuk masa
datang, karena perjalanan akhir manusia adalah ketika sesudah mati akan dibangkitkan
kembali, dan akan dipertemukan kembali dengan semua manusia yang pernah
berhubungan dengannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal di dunia. Pada
saat itu, setiap manusia akan mendapatkan hak sebagaimana yang diusahakannya;
kebaikan atau keburukan, positif atau negatif.
Bahkan dampak dari sikap pembangkangan
terhadap hukum dan ketentuan Allah tidak hanya berdimensi akhirat, akan tetapi
juga berdampak pada kehidupan di dunia. Allah Swt. menegaskan,
“... Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS Al-Baqarah: 85).
Semua begitu gamblang ditampilkan dalam
Al-Qur`an Al-Karim. Yang ma’ruf sekecil apapun, akan mendapatkan pahala
berupa kebahagiaan tertinggi dan abadi di surga Allah Swt. Sebaliknya, yang
munkar, negatif, dan destruktif, sekecil apapun, juga akan mendapatkan imbalan
siksa di neraka jahanam dengan segala kepedihannya. Wallahu a’lam bishshawab.