Siapakah yang mau memberi
pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda
yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah
kamu dikembalikan. (QS
Al-Baqarah: 245).
Salah
satu amalan yang sering dikerjakan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan adalah
memperbanyak infaq. Ada
beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, karena pada bulan Ramadhan
semua pahala kebaikan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Kedua, pada bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. banyak
membaca Al-Qur`an. Dan di antara ayat-ayat yang dibaca, Nabi Saw. menemukan
ayat yang menjelaskan tentang keutamaan infaq fii sabiilillah. Maka beliau pun
terdorong untuk memperbanyak infaq, khususnya di bulan Ramadhan.
Kisah tentang kedermawanan Rasulullah Saw. di bulan
Ramadhan amat panjang. Beliau tidak menolak orang yang meminta, kecuali ketika
sedang tidak punya. Ada orang yang meminta baju beliau, maka beliau pun masuk
rumah dan ketika keluar lagi bajunya sudah dilepas dan diberikan kepada si
peminta. Kadang beliau membeli barang, lalu mengembalikan barang yang sudah
dilunasinya itu kepada si penjual. Beliau juga pernah membeli barang dengan
harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh si penjual. Kadang beliau meminjam barang dan mengembalikannya dengan
yang lebih baik. Beliau juga kadang menerima hadiah, dan membalasnya dengan
hadiah yang lebih banyak. Rasulullah Saw. senang memberikan hadiah kepada orang
lain, lebih senang dibandingkan dengan orang yang menerima hadiah.
Oleh karena itu, pada kesempatan Ramadhan yang penuh
berkah ini, sepatutnyalah kita merenungi ayat-ayat Allah Swt. tentang keutamaan
berinfaq di jalan Allah Swt. Apalagi kita menyadari saat ini masyarakat kita
tengah menghadapi dampak dari kenaikan harga BBM. Sebagian masyarakat terpaksa
memasak dengan menggunakan kayu bakar lantaran tak mampu membeli minyak tanah
yang harganya di pasaran empat kali lipat dari sebelumnya.
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berinfaq di jalanNya.
Namun
perintah itu diberikan dengan cara yang sangat halus. Ketika memerintahkan
hambaNya untuk berinfaq, Allah
mengatakan, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik.” Pada penggalan
ini Allah mengatakan qordhon hasanan
(pinjaman yang baik). Demikian halus kalimat yang dipergunakan Allah Swt.
Padahal rizki yang kita infaqkan di jalan Allah itu berasal dari Allah Swt.
Artinya rizki yang kita infaqkan itu sebenarnya adalah milik Allah. Namun
demikian, ketika Allah memerintahkan agar kita mau berinfaq, hal itu dikatakan
Allah dengan kalimat ‘meminjam’. Ini merupakan tarbiyah ijtima’iyah (pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat)
yang diberikan Allah Swt. kepada kita, agar ketika kita memberikan sesuatu
kepada orang lain, kita tidak menggunakan bahasa-bahasa yang seolah-olah
sesuatu yang kita berikan itu secara mutlak adalah milik kita.
Allah Swt. juga memberikan motivasi agar kita merasa
ringan dalam mengeluarkan infaq di jalan Allah. Di sini Allah mengatakan qordhon hasanan (pinjaman yang baik).
Kenapa di sini ada lafadz hasanan
(baik)? Karena kenyataannya ada orang yang berinfaq tetapi tidak dilakukan
dengan hasanan. Misalnya orang yang
berinfaq hanya agar dikatakan sebagai seorang dermawan. Yang seperti ini bukan
termasuk infaq yang hasanan. Infaq
yang hasanan adalah infaq yang
dilakukan dengan niat yang baik, diberikan dengan cara yang baik, dan
alokasinya juga dipilih yang baik.
Inilah barangkali rahasianya, kenapa pada ayat ini Allah
berpesan bahwa berinfaq juga harus yang baik (hasanan). Kita jangan sampai mempunyai prinsip ‘yang penting
berinfaq’. Apa jadinya kalau kita berinfaq dengan niat yang baik, akan tetapi
justru dipergunakan untuk membiayai ajaran-ajaran yang bertentangan dengan
Islam? Bagaimana jika harta kita, tanah yang kita wakafkan justru dipergunakan
untuk mendukung program thaghut dalam menghancurkan Islam, seperti
mengajarkan bahwa semua agama sama, laki-laki dan perempuan dibiasakan
bercampur (ikhtilat), dan aurat tidak
diurus dengan baik? Namun ironisnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan
seperti itu tidak sedikitpun merasa berbuat salah. Kalau yang seperti ini kita
sumbang, apa jadi masyarakat kita di masa yang akan datang? Oleh karena itu,
berinfaq pun harus yang hasanan
(baik). Inilah pentingnya kita memahami Islam secara utuh.
Kalau ada manusia yang meminjamkan Allah dengan pinjaman
yang baik, maka kata Allah, “Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” Di sini Allah Swt. sudah mengatakan adl-’afan (lipat ganda), namun masih
ditambah dengan kata katsiiran (yang
banyak). Ini menandakan bahwa ketika kita mengeluarkan infaq, kita jangan
sampai takut miskin karenanya. Kenapa? Karena pada dasarnya harta yang kita infaqkan
di jalan Allah itulah yang menjadi aset ukhrawi kita. Harta yang tidak
kita infaqkan di jalan Allah, akan hilang begitu saja. Tentang infaq ini, pada
ayat lain Allah mengatakan,
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahu” (QS Al-Baqarah: 261).
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa harta yang
diinfaqkan fii sabilillah akan
dilipatkangandakan sampai dengan tujuh ratus kali. Kalau angka itu dihitung
dengan bunga bank, maka harta yang kita infaqkan itu akan diberi bunga oleh
Allah sebesar 70.000 %. Adakah di dunia ini bunga bank yang sampai demikian
besar? Pandangan seorang Muslim tentang balasan Allah di akhirat ini merupakan
perbedaannya dengan orang kafir dalam sistem ekonominya. Orang kafir dalam
sistem ekonominya hanya berorientasi pada masalah dunia, akan tetapi orang
Islam berpikir tentang masalah dunia dan akherat sekaligus. Ketika kita
memberikan infaq kita kepada seseorang, maka orang itu akan mendoakan kita.
Apalagi jika yang kita berikan infaq itu orang yang miskin, lemah dan terdholimi.
Kita tahu bahwa do’anya orang yang terdholimi akan mudah dikabulkan Allah Swt.
Oleh karena itu kalau kita berinfaq fi sabilillah, harta kita justru
akan bertambah.
Kalau kita mencoba merenungi, kenapa kita harus
menginfaqkan harta benda kita di jalan Allah? Ini kita lakukan karena kita
tidak tahu apakah rizki yang diberikan Allah Swt. kepada kita itu akan ada
sampai tua, ataukah nantinya kita akan jatuh miskin sehingga tidak bisa lagi
berinfaq. Di masyarakat kita seringkali kita melihat orang yang pada waktu
mudanya kaya raya, akan tetapi pada waktu tuanya miskin sekali. Bagaimana tidak
menyesal seorang Muslim jika ketika masih kaya tidak mau berinfaq, akan tetapi
dalam sisa hidupnya jatuh miskin. Ar-rizqi
itu biyadillah (rizki itu di tangan Allah Swt.). Kita tidak tahu berapa
banyak rizqi yang dijatahkan Allah kepada kita, baik rizqi yang berupa harta
benda maupun yang lainnya seperti kesehatan, umur, dan lain sebagainya. Karena
kita tidak tahu berapa rizqi kita, maka jangan sampai ada persepsi bahwa ‘saya
akan berinfaq nanti kalau sudah kaya’, atau ‘saya akan berda’wah nanti kalau
sudah tua’. Kita tidak tahu berapa umur kita, karena umur biyadillah (di tangan Allah). Rizqi juga biyadillah.
Oleh karena itu ketika di depan kita ada potensi yang
bisa dimanfaatkan untuk berinfaq atau untuk berda’wah, harus segera kita
manfaatkan sesuai dengan ajaran Allah Swt. Mengapa? Karena semua itu akan
dihisab oleh Allah Swt. Potensi yang diberikan Allah kepada kita merupakan
amanah. Dan setiap amanah yang diberikan kepada kita harus kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Jadi tidak ada alasan sekarang kita
tidak berinfaq karena sedang miskin. Kita akan ditanya mengapa pada waktu masih
kaya kita tidak mau berinfaq? Makanya selanjutnya Allah mengatakan, “Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan rezki.”
Penegasan Allah ini menunjukkan bahwa bukan kita yang
menambah rizki. Kita hanyalah beruusaha untuk mencari rizki, dan Allah-lah yang
menentukan rizki kita. Ini artinya belum tentu orang yang bekerja keras pasti
rizkinya banyak, walaupun kita harus memahami bahwa bekerja merupakan kewajiban
yang harus kita lakukan. Banyak orang yang bekerja keras dalam berbisnis akan
tetapi rugi terus. Oleh karena itu, ketika kita diberikan rizki oleh Allah Swt.,
marilah kita infaqkan fii sabilillah,
karena Allah pasti akan melipatgandakan ’bunga’nya. Dan ‘bank’nya Allah itu
tidak ada istilah bangkrut.
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Artinya, kita harus berinfaq di jalan Allah, karena pada dasarnya kita pasti
kembali kepada Allah Swt. Di akhiratlah kita akan menikmati hasil jerih payah
kita selama hidup di dunia.
Jadi ayat yang berkaitan dengan infaq di jalan Allah ini
memberikan pemahaman kepada kita bahwa Bani Isra’il itu adalah bangsa yang
takut mati, dan juga bangsa yang takut fakir. Kalau ada orang Islam yang takut
mati dan takut fakir, maka ia telah tertular penyakit yang diderita Bani Isra’il.
Dan ketakutan-letakutan itu tidak ada solusinya kecuali kembali kepada segala
aturan Allah Swt. Ini artinya, untuk menyelesaikan berbagai macam krisis yang
menimpa kita, satu-satu jalan yang harus kita tempuh adalah kembali kepada
Allah dengan segala aturan yang dikeluarkanNya. Walaupun orang lain berkata
macam-macam, pada hakekatnya kita harus kembali kepada Allah semata. Kita akan
merasa aman dan tidak akan terancam krisis, tidak ketakutan dan sebagainya,
kalau kita kembali kepada Allah. Wallahu a’lam bishsawab.
0 comments:
Posting Komentar