Oleh Dr. Ahzami Sami’un
Jazuli, MA
“Nabi mereka
mengatakan kepada mereka, ’Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu’. Mereka menjawab, ’Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak.’ Nabi (mereka) berkata, ’Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Baqarah: 247).
Kita telah memahami bahwa Bani Israil melakukan kesalahan
fatal dalam memahami masalah kepemimpinan. Lebih jauh, mereka tidak mempunyai
standar yang benar tentang kriteria bagi seseorang yang berhak untuk menjadi
pemimpin dalam suatu masyarakat. Dalam hubungannya dengan penolakan mereka atas
penunjukan Thalut sebagai raja yang harus mereka taati oleh Nabi yang diutus
kepada mereka karena memenuhi permintaan mereka sendiri, ada beberapa kesalahan
fatal yang bisa kita temukan dari sikap mereka, yaitu pertama, mereka menganggap bahwa kelayakan seseorang untuk menjadi
pemimpin diantaranya ditentukan oleh faktor keturunan. Berdasarkan alasan ini
mereka menolak penunjukan Thalut menjadi raja mereka, karena Thalut bukanlah
seorang keturunan raja. Bahkan Thalut adalah keturunan rakyat biasa. Oleh
karenanya, Bani Israil tidak mau menerima Thalut untuk menjadi raja mereka.
Alasan penolakan yang kedua adalah karena menurut mereka, seorang pemimpin haruslah
seorang yang kaya. Sedangkan menurut mereka, Thalut tidak termasuk orang yang
kaya di antara mereka, sehingga mereka sangat menentang ketika Nabi yang diutus
kepada mereka menunjuk Thalut untuk menjadi raja mereka. Sekalipun kisah ini
adalah kisah Bani Israil namun ada diantara masyarakat kita yang tertular
penyakit semacam ini ketika memilih pemimpin. Ada diantara masyarakat kita yang
berpendapat bahwa seseorang yang akan menjadi pemimpin harus sudah kaya
terlebih dahulu. Pernyataan ini sungguh aneh, karena seorang pemimpin dalam
Islam tidak disyaratkan bahwa ia harus kaya. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
setelah Rasulullah Saw. meninggal, yang menggantikan beliau bukanlah orang yang
paling kaya pada waktu itu, bahkan sebagian besar di antaranya termasuk orang
yang miskin. Abu Bakar Ra., Umar bin Khathab Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra.
bukan orang yang paling kaya di masyarakat pada waktu itu. Namun ketika
beliau-beliau ini menjadi seorang pemimpin, berhasil membawa masyarakatnya
untuk senantiasa menjaga ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Pelajaran penting lainnya yang bisa kita dapatkan dari
ayat ini adalah tentang sistem pemerintahan menurut pandangan Al-Qur’an al-Karim.
Agar suatu pemerintahan bisa berdiri dengan kokoh dan berjalan sesuai dengan
tuntunan Allah Swt., hal terpenting yang harus diperhatikan bukanlah banyaknya
kekayaan yang dimiliki oleh negara tersebut, akan tetapi yang paling penting
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam bangsa tersebut. Oleh karena
itulah pada ayat ini Allah Swt. mengatakan, “Nabi mereka berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi
rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’”
Dari penggalan ini kita mendapatkan pelajaran bahwa untuk
menjadi pemimpin, maka yang terpenting adalah quwwatul ‘ilm (kemampuan intelektualnya) sehingga ia mampu mengatur
pemerintahannya dengan baik, dan juga quwwatul
jism (kekuatan fisik). Kedua-duanya harus ada pada seorang pemimpin. Kalau
ada seorang pemimpin yang fisiknya perkasa akan tetapi tidak mempunyai ilmu
yang cukup, maka tidak akan bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik.
Bahkan sangat mungkin ia akan menjadi seorang pemimpin yang hanya mengandalkan
kekuatannya belaka sehingga tidak menghormati HAM yang dimiliki rakyatnya.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya memiliki ilmu saja akan tetap fisiknya
lemah, ia tidak akan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Jadi kedua-duanya harus ada
pada seorang pemimpin.
Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ilmu yang
dianugerahkan Allah Swt. kepada Thalut seperti yang dimaksud pada ayat ini
adalah ‘ilmu fii tatbiirul hukumah
(ilmu untuk mengatur negara), ‘ilmu fii
tatbiirus siyasah (ilmu untuk mengatur kehidupan berpolitik), dan ‘ilmu fii tatbiirul harb (ilmu untuk
mengatur strategi dalam peperangan). Sebagian Ahli Tafsir lainnya mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ‘ilmu nubuwah. Namun kalau kita perhatikan, penafsiran yang
terakhir ini kurang tepat, karena Thalut tidak dipersiapkan oleh Allah Swt.
untuk menjadi seorang Nabi.
Jadi, syarat yang penting bagi seseorang untuk menjadi
raja atau menjadi seorang khalifah adalah kualitas SDM-nya yang dalam hal ini
adalah kemampuan intelektualnya dan kekuatan fisiknya, dan sama sekali bukan
diukur dari banyaknya kekayaan yang dimilikinya. Kenapa? Karena dengan quwwatul ‘ilm wa quwwatul jism (kekuatan
ilmu dan fisiknya), ia akan mampu menjalankan tugas kepemimpinannya dengan
baik. Dengan kemampuan intelektualnya, ia akan berusaha agar ekonomi di
masyarakatnya bisa berkembang dengan baik, mampu untuk membuka lapangan kerja,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh masyarakatnya. Sebaliknya, walaupun
hartanya banyak akan tetapi kalau tidak mempunyai quwwatul ‘ilm, maka dia akan kaya sendirian dan membiarkan
rakyatnya tetap menderita. Kita tentu tidak menginginkan seorang pemimpin yang
seperti itu.
Berkenaan dengan pentingnya kualitas SDM dalam suatu
masyarakat, Aristoteles pernah mengatakan, “Harta benda akan tumbuh jika rakyat
berkualitas.” Contoh nyata yang bisa kita ambil adalah kehidupan yang berlangsung
di jaman Rasulullah Saw. dan para Shahabat. Ketika Rasulullah Saw. hijrah
bersama para shahabatnya dari Mekah ke Madinah, sebagian besar shahabat yang
ikut hijrah adalah orang miskin, karena banyak di antaranya yang harus
meninggalkan harta bendanya di Mekah agar bisa mengikuti Rasulullah Saw.
berhijrah.
Akan tetapi karena para shahabat Rasulullah ini mempunyai
kualitas SDM yang tinggi, kemiskinan itu tidak menjadi permasalahan yang serius
bagi mereka. Bahkan dengan kualitas SDM yang sangat baik itu, kemudian
terjadilah banyak perubahan yang signifikan. Salah seorang shahabat yang
bernama Abdurrahman bin Auf yang ketika tiba di Madimah kemampuan ekonominya
bisa dikatakan nol, tidak lama kemudian menjadi orang yang kaya, bahkan
termasuk orang yang terkaya di Madinah. Padahal sebelum kedatangan kaum
Muhajirin ke Madinah, perekonomian di sana dikuasai oleh orang-orang Yahudi.
Namun dengan kualitas SDM yang mumpuni dan disertai dengan usaha keras yang
dilandasi niat yang ikhlas, peta kekuatan ekonomi itu kemudian mengalami
pergeseran-pergeseran penting. Karena demikian penting faktor manusia dalam
menentukan kemuajuan suatu masyarakat, maka pembangunan kualitas SDM jauh lebih
penting daripada sekedar pembangunan fisik.
Dengan kata lain binaa-ur
rijal muqoddamun ‘ala binaa-ul ahjar (pembinaan manusia harus lebih
diutamakan daripada pembinaan batu (maksudnya pembangunan fisik). Kalau
manusia-manusia yang ada dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang
berkualitas handal, maka setiap anggota masyarakat akan ikut mengambil bagian
secara aktif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan di masyarakat itu.
Sebaliknya, jika yang dibangun hanyalah masalah fisik dan kurang memperhatikan
pembangunan manusianya, maka semuanya akan berlangsung sia-sia, karena
manusia-manusia yang ada dalam masyarakat tersebut tidak akan bisa memanfaatkan
kemajuan di sektor fisik. Dan sangat mungkin mereka akan merusak kembali
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam sektor fisik.
Pada penggalan selanjutnya Allah mengatakan, “Allah memberikan pemerintahan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya.’’ Jadi logika Bani Israil yang salah dalam
masalah kepemimpinan itu dijawab oleh Allah dengan logika Qur’ani yaitu,
Pertama, bahwa Thalut adalah pilihan Allah Swt. dan pilihan
Allah berarti adalah pilihan yang terbaik.
Kedua, Allah Swt. ketika memilih hambanya bukan tanpa alasan,
akan tetapi semua itu disertai alasan yang jelas, yaitu karena Thalut
dianugerahi Allah Swt. berupa quwwatul
‘ilm wa quwwatul jism.
Ketiga, Allah memberikan kekuasaan hanya kepada orang yang
dikehedaki-Nya. Dalam sistem pemerintahan robbani
ditegaskan bahwa kedaulatan dan kekuasaan itu semata-mata adalah milik Allah
Swt. Seorang raja, pemimpin atau khalifah hanya bertindak sebagai pelaksana
perintah-perintah Allah Swt. Jadi, kedaulatan sebuah negara dalam pandangan
Islam ada di tangan Allah Swt. semata. Seorang presiden dan menteri-menterinya
hanya sekedar melaksanakan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt.
Ini harus kita pahami benar. Jadi tidak benar pandangan yang menyatakan bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat, sementara rakyat (manusia) itu tidak ma’shum, sehingga sangat mungkin suatu
saat mereka terkena pengaruh hawa nafsunya.
Inlah perbedaan sistem dalam negara Islam dengan sistem
yang lainnya. Manusia semuanya adalah hamba Allah. Ar-rois (pemimpin) adalah hamba Allah, dan ar-ro’iyyah (rakyat) juga hamba Allah Swt. Ketika seseorang
diangkat menjadi kepala negara, itu bukanlah hal yang istimewa. Penunjukan
seseorang untuk menjadi pemimpin hanya sekedar pembagian tugas, agar Islam yang
syamil ini diamalkan dengan
sebaik-baiknya karena setiap orang mempunyai tugas masing-masing. Dengan adanya
pembagian tugas ini, baik sebagai pemimpin atau sebagai rakyat, sama sekali
tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang, kecuali dalam hal-hal
yang berkaitan dengan ijtihad pada
hal yang memang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad. Dan ijtihad
ini hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten, dan memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan. Namun demikian, ijtihad ini tidak boleh
bertentangan dengan kaidah-kaidah Syari’ah
Islam secara umum. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar