Dalam keseharian,
kita mungkin pernah atau bahkan sering mendengar ungkapan yang seolah-olah
benar, tetapi sesungguhnya kurang tepat, atau bahkan salah. Misalnya ungkapan
seorang wanita menanggapi kewajiban berhijab atau menutup aurat.
“Buat
apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ngerumpi,
berbuat maksiat, dan dosa-dosa lainnya. Percuma dong pake jilbab. Yang
penting kan hatinya.” Apalagi ungkapan tersebut terkadang diperkuat
dengan dalil, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk (rupa) kalian, tapi
Allah melihat pada hati kalian.”
Jawaban
seperti itu tampaknya benar karena seolah-olah menempatkan hati manusia lebih penting
dari tampilan lahiriyah. Apalagi Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa timbangan
amalan hati lebih berat daripada segunung amalan anggota tubuh. Namun, bukanlah
ungkapan di atas yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali.
Dalam sebuah
hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya
di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka
baiklah seluruh jasad. Jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh
jasad. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Al-Islaamu
‘alaniyatun, wal iimaanu fil qalbi.” Islam itu apa yang tampak kelihatan,
sedangkan iman ada di dalam hati. Kemudian Rasulullah Saw. memberikan isyarat
dengan tangan ke dada sebanyak tiga kali sambil berkata, “Takwa itu ada di sini.
Takwa itu ada di sini.”
Taqwa
tempatnya memang di hati, karena tampilan fisik seseorang dapat dibuat-buat
seolah-olah orang itu bertaqwa. Namun, mengapa Allah Swt. menyuruh orang yang
ingin masuk Islam mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan orang lain?
Mengapa Allah Swt. memerintahkan kita shalat lima waktu secara berjamaah di
masjid, mengerjakan puasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji. Semuanya
itu adalah amalan lahiriyah yang dapat disaksikan oleh mata. Rukun Islam adalah
amalan lahiriyah yang dapat dilihat oleh mata. Sedangkan rukun iman adalah
amalan hati.
Iman
dan Islam tidak dapat dipisahkan, karena memiliki keterkaitan satu sama lain.
Meski iman tidak dapat dilihat,
akan tetapi tanda-tanda keimanan seseorang
dapat
dilihat. Salah satu tanda keimanan adalah menghormati tamu dan tetangganya, sebagaimana hadits
Nabi Saw., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hati Kiamat, hendaknya ia
menghormati tamunya.” Dalam hadits lain, “…hendaknya ia menghormati
tetangganya.” Tanda keimanan yang lain adalah berkata benar atau diam,
sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari
Kiamat, hendaknya ia berkata benar atau (kalau tidak mampu berkata benar, lebih
baik) diam.”
Rukun
Islam yang lima sesungguhnya
berisi tanda-tanda keimanan, karena setiap orang yang
menyatakan keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat, maka ia wajib melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
Iman seseorang dinyatakan sah apabila memenuhi tiga unsur, yaitu “tasdiqun bil qalbi, iqrarun bil lisan, ‘amalun
bil arkan” (diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan
dengan anggota tubuh).
Menutup
aurat adalah salah satu perintah Allah Swt. yang tercantum di dalam Al-Qur`an.
Jadi, bila ada orang mengatakan
bahwa mengenakan jilbab penutup aurat itu tidak wajib karena yang penting
menutup hati, jelas itu salah, bahkan menyesatkan. Itu sama saja dengan mengatakan
bahwa shalat tidak wajib yang penting eling. Puasa tidak wajib yang
penting menahan nafsu. Zakat tidak wajib, yang penting peduli kepada sesama, dan seterusnya.
Dari
Abu Hurairah r.a., Nabi
Saw.
bersabda, “Iman
mempunyai lebih dari enam puluh cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari
iman” (HR
Bukhari). Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, banyak ulama yang mencoba merumuskan
cabang-cabang iman, tetapi yang paling mendekati kebenaran adalah rumusan Ibnu
Hibban yang merinci cabang iman menjadi 69 cabang; 24 cabang amalan hati, 7
cabang amalan lisan, dan 38 cabang amalan anggota badan.
Bila kita merujuk kepada
pendapat Ibnu Hibban, dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda keimanan yang dapat disaksikan
oleh mata sebanyak 65%, sedangkan tanda-tanda keimanan yang tersembunyi hanya
35%. Bila demikian, setujukah kita dengan pendapat bahwa memakai jilbab penutup
aurat itu tidak wajib? Wallahu ‘alam bish shawab.
0 comments:
Posting Komentar