Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di
masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah
seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan
kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian
bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya
dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat
kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi sebagai penguasa.”
Sewaktu di
SMA dulu, ada seorang teman sekelas beberapa kali mengenakan pakaian seragam
sekolah dengan satu atau dua tambalan di bagian bahu dan lengan. Beberapa teman
lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi,
sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung, sebentar lagi juga lulus!”
Meski mengenakan pakaian bertambal, dia tidak merasa
malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang
rendah atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika
sebagian besar siswa lainnya berangkat sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda,
atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda motor. Pada waktu
itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda motor. Belum ada
yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
Ceritanya, mungkin akan lain bila yang mengenakan seragam bertambal itu
adalah orang yang berasal dari keluarga sangat sederhana apalagi dari kalangan tidak mampju. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkannya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman yang lain memakluminya jika waktu itu dia menegenakan seragam bertambal.
Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya
hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya
rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya,
bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut.
Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Ketika mendengar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat,
Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku
tidak heran bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu
beribadah. Tapi, aku betul-betul heran
ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu
dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih
kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah
hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang senantiasa
mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan,
kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya
berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan bawahannya
banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin
Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara
lain meremehkannya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.
Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat
hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
di depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeda dengan
pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan
kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di
pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.
Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan
tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan
barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan,
seperti keping CD yang sedang menampilkan semua rekaman sepak terjang manusia
selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih
mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu
tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.
”Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang
ustadz mengungkapkan kekhawatirannya melihat penampilan sebagian aktivis dakwah
yang pola hidupnya mulai mengarah kepada gaya hidup materialistik. Ustadz
tersebut mengungkapkan adanya beberapa gejala tanaafus bii al-maal
(berlomba-lomba dalam harta).
Sang ustadz lalu menceritakan kisah seorang sahabat
Nabi Saw. yang bernama Tsa’labah. Ketika
dalam kondisi miskin, ia termasuk orang yang rajin shalat berjamaah bersama
Rasulullah Saw., akan tetapi ketika Allah Swt. menganugerahinya harta, maka
mulailah hartanya itu menggerogoti keimannya. Ia mulai terlambat shalat,
lantaran hewan-hewan ternaknya butuh waktu dan perhatiannya. Tsa’labah mulai
sibuk menghitung-hitung harta dan tabungannya. Sibuk membuat
perencanaan-perencanaan masa depan diri dan keluarganya. Pikirannnya mulai
mengkhayalkan rumah dan kendaraan baru. Sibuk merencanakan bisnis dan proyek
baru. Akhirnya, Tsa’labah tidak pernah lagi terlihat shalat berjamaah bersama
Rasulullah Saw.
Tsa’labah mulai terbiasa dengan pola hidupnya yang baru, seakan-akan
tidak ada perubahan berarti dalam hidupnya. Ia mulai terbiasa shalat di tempat
kerjanya, dekat dengan hewan-hewan ternaknya. Dia mulai memperhitungkan setiap
detik waktu yang dilauinya dengan prinsip ”time is
money”. Dalam kisah tersebut, akhirnya
Tsa’labah benar-benar menginggalkan kewajibannya kepada Allah, hingga Allah
Swt. menenggelamkan Tsa’labah bersama seluruh hartanya.
IbnuQayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau
menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh
lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian mucul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi
kebiasaan.
Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan
buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika
dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau
dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk
itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah
menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka
kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai
kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika
seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka
tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Artinya,
perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak
atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain mungkin melihat perubahan itu secara mencolok.
Maka, supaya tidak terseret pusaran gaya hidup materialistik, penting
bagi kita untuk menerapkan pola hidup sederhana, seperti yang dicontohkan oleh
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar