Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Ra., ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman, “Siapa yang memusuhi para wali/kekasih-Ku, maka Aku menyatakan
perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih
Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku
mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar; menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi
tangannya yang dengannya ia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya ia
berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya. Jika ia
meminta perlindungan-Ku niscaya Aku beri perlindungan” (Hadits Qudsi Riwayat Imam
Bukhari dalam kitab Ar-Riqaaq).
Sebagian masyarakat
kita masih ada yang keliru dalam memahami wali Allah. Dalam pemahaman mereka, wali
adalah orang yang memiliki kelebihan tertentu yang tidak dipunyai oleh manusia
pada umumnya. Oleh karenanya, seorang
wali haruslah memiliki kemampuan melihat masa depan. Seorang wali dapat
merasakan atau bahkan dapat melihat sesuatu yang terjadi di tempat lain yang
jauh dari tempatnya berpijak. Seorang wali dapat berpindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam sekejap.
Pendeknya, seorang wali haruslah orang yang memiliki kekuatan gaib. Pandangan
ini persis seperti yang digambarkan dalam film-film yang mengisahkan tentang
wali atau orang-orang saleh.
Pemahaman seperti ini, tentu
saja lebih banyak kelirunya ketimbang benarnya. Bila parameter utama seorang
wali adalah kekuatan gaib, maka mereka yang memiliki pandangan seperti itu akan
mudah terkecoh oleh setan, karena setan dapat mengajarkan kemampuan gaib (sihir)
kepada manusia yang menjadi mitranya.
“Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia …” (QS Al-Baqarah: 102).
Dalam bahasa Arab, wali berasal
dari kata wala` yang artinya loyalitas. Lawan wala` adalah bara`
(berlepas diri). Jadi, wali Allah adalah orang yang memberikan loyalitas,
pemihakan, pengabdian, dan dukungan kepada Allah. Dengan demikian, wali Allah
bertanggung jawab terhadap berjalannya hukum dan ketentuan Allah di muka bumi.
Dalam ungkapan bahasa Indonesia,
wali murid berarti orang yang bertanggung jawab atas apa yang berkaitan dengan
seseorang yang berstatus sebagai murid. Wali murid tidak mesti orangtua dari si
murid. Sedangkan wali kelas adalah orang yang bertanggung jawab atas
keberlangsungan belajar mengajar di dalam kelas.
Dalam kitab “Fathul Baari”,
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Wali Allah adalah orang yang mengenal Allah,
selalu menaati Allah, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”
Muhammad bin Said bin Salim
al-Qahthany dalam kitab Al-Wala` wal-Bara` fil Islam min Mafaahim Aqidatis
Salaaf menulis, “Golongan yang memenuhi dakwah para Rasul dan beriman kepda
Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, yang diutus sebagai rahmat
bagi manusia, mereka itulah yang disebut wali-wali Allah. Sedangkan golongan
yang berpaling dan takabur, maka mereka itulah wali-wali setan.”
Dasar dari perwalian adalah mahabbah
(cinta) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sedangkan dasar
dari bara` adalah kebencian dan permusuhan. Allah Swt. berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar”
(QS Yunus: 62-64).
Menurut ayat di atas,
parameter utama seorang wali adalah iman dan taqwa, bukan penguasaan ilmu gaib
atau sihir. Karena, tidak sedikit orang yang memiliki atau dianggap memiliki
ilmu gaib, ternyata bukanlah orang yang dekat dengan Allah. Di antara mereka,
bahkan ada yang menampilkan sikap dan perilaku aneh. Misalkan sering
melontarkan kata-kata yang menyakiti dan memojokkan umat Islam dan
mendiskreditkan Islam. Di antara mereka ada juga yang tidak pernah terlihat melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Atau ada yang
sering mengunjungi bar atau night club. Meski demikian, dalam pandangan
pendukung fanatiknya, sikap
ganjil tersebut justru diartikan sebagai “maqam” kewaliannya.
Para wali Allah adalah mereka yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah. Senantiasa melaksanakan semua perintah Allah
dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sikap taat, ikhlas, dan husnuzh-zhan
billah (berbaik sangka kepada keputusan/takdir Allah) senantiasa menghiasi
perjalanan hidupnya. Seluruh waktu hidunya digunakan untuk mengabdi dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Para wali Allah tersebut kerap terlihat di
tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan sosial. Dan pada saat yang
sama mereka juga mengajarkan tentang hakikat kehidupan, aqidah yang lurus, cara
ibadah yang benar, dan akhlak yang mulia. Para
wali Allah tidak henti-hentinya berjihad fii sabiillah dengan harta dan
jiwanya. Bagi mereka, semua yang dimiliki (harta dan jiwa) pada hakikatnya
adalah milik Allah yang harus dikembalikan dengan jalan pengabdian hanya
kepada-Nya. Maka wajar bila Allah Swt. memberikan wala`-Nya (keperpihakan)
kepada mereka, sebagaimana firman Allah,
“Allah Pelindung (wali)
orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
(walinya) ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan
(kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah: 257).
Maka Allah Swt. menjadi
pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki orang-orang yang memberikan
loyalitas total kepada-Nya. Semua doa, keinginan, dan permintaannya dikabulkan
Allah. Dalam riwayat lain, “Allah menjadi hatinya yang dengannya ia berpikir,
menjadi lisannya yang dengannya ia berbicara.”
Menurut Ibnu Rajab, “Maksud
hadits qudsi di atas adalah bahwa siapa saja yang bersungguh-sungguh
mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amalan wajib dan amalan sunnah, maka
ia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian derajat keimanannya
naik menjadi derajat ihsan, sehingga ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia
melihat-Nya. Hatinya dipenuhi dengan ma’rifatullah, kecintaan, pengagungan, dan
rasa takut kepada Allah. Hatinya dipenuhi rasa rindu kepada-Nya. Sehingga apa
yang ada di dalam hatinya seolah tampak jelas dalam pandangan mata.”
Ibnu Rajab melanjutkan, “Ketika
hati telah dipenuhi oleh kebesaran Allah, maka segala sesuatu selain Allah akan
tersingkir dari hatinya. Bahkan hawa nafsunya akan lenyap dan tak ada sedikit
pun keinginan, kecuali apa-apa yang diinginkan oleh Allah. Dalam kondisi
seperti itu, seseorang tidak akan mengeluarkan ucapan selain dzikir kepada
Allah. Tangan dan kakinya tidak akan bergerak, kecuali atas perintah Allah.
Jika ia berbicara, maka pembicaraannya karena Allah. Jika ia mendengar,
mendengarnya karena Allah. Jika ia melihat, maka penglihatannya karena Allah.”
Imam Syaukani menjelaskan
bahwa makna dari hadits qudsi di atas adalah Allah akan memberikan cahaya-Nya
kepada setiap anggota badan yang dinyatakan dalam hadits tersebut. Dengan
cahaya itulah anggota badan tersebut akan berjalan menelusuri jalan hidayah dan
menjauhi jalan kesesatan.
Betapa nikmatnya hidup ini
bila setiap gerak dan langkah kita senantiasa berada dalam bimbingan Allah Swt.
Dunia dengan segala pernak-perniknya tidak lagi menguras pikiran kita.
Keberhasilan tidak membuat kita sombong dan takabur. Kegagalan dan musibah
tidak membuat kita bersedih dan putus asa.
Seekor semut tak pernah bangga
lantaran mampu mengangkat makanan yang beratnya puluhan kali berat badannya.
Seekor cheetah tak pernah membusungkan dada karena menjadi binatang tercepat di
daratan. Dan seekor bunglon tak pernah merasa lebih hebat dari Penciptanya
karena mampu merubah warna sesuai warna benda yang diinjaknya.
Berdoalah kepada
Allah dengan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., “Ya Allah,
jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, dalam
pendengaranku cahaya, …” Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar