Seorang
laki-laki berkata kepada Rasulullah Saw., “Berilah aku nasehat.” Nabi Saw.
menjawab, “Jangan Marah.” Laki-laki itu mengulangi permintaannya beberapa kali,
dan lagi-lagi Nabi menjawab, “Jangan marah.” (HR Bukhari).
Marah
adalah salah satu tabiat manusia. Sebagaimana hawa nafsu yang cenderung
mendorong seseorang berbuat menyimpang, sifat marah juga kerap membuat
seseorang melakukan sesuatu tanpa kontrol. Orang yang sedang marah, rasio atau
akalnya ditutupi kabut, sehingga tidak mampu berpikir jernih. Seseorang yang sedang marah, lalu berteriak-teriak, membanting
atau memukul sesuatu, pada hakikatnya ia tidak atau belum sempat memikirkan apa
yang ia perbuat.
Seseorang yang sedang marah, pada hakikatnya ia sedang disusupi oleh setan. Karena sifat amarah itu membakar
seperti api, bahan di
mana setan berasal. Api yang sanggup mendidihkan darah jiwa manusia yang
tenang. Api yang dapat memerahkan mata jasad, sekaligus menutup mata akal dan
hati. Akibat dominasi marah terhadap akal, seseorang
akan mudah untuk melakukan perbuatan dosa. Dan orang yang banyak melakukan
dosa, sementara amal kebaikannya tak mampu mengimbangi dosa-dosanya, maka ia
akan diseret ke dalam api neraka.
Sebaliknya,
orang yang mampu meredam dan mengendalikan marah, berarti ia berhasil
menempatkan akal dan rasionya di atas sifat marahnya, sehingga ia cenderung
berbuat kebaikan. Ketika seseorang mampu menjaga diri dari sifat marah, maka ia
akan menjadi lebih dekat dengan Allah Swt.
Abdullah
bin Umar ra.
bertanya, “Apa yang dapat menjauhkan aku dari murka Allah?” Rasulullah Saw.
menjawab, “Jangan Marah.” (HR Imam Ahmad). Inilah hikmah mengapa orang yang
mampu menguasai marah akan mendapatkan surga dari Allah Swt.
Namun, marah tidak selalu jelek
dan menyimpang. Artinya, pada batas-bagas tertentu marah adalah sesuatu yang
wajar dan manusiawi. Maka, bagi seorang Muslim, sikap marah dan cinta terhadap
sesuatu harus didasari atas ketundukkan kepada Allah Swt. Dengan landasan ini,
dalam kondisi tertentu seorang Muslim bahkan diharuskan untuk marah. Kita
diajarkan agar mencintai seseorang atau sesuatu karena Allah Swt, sebagaimana
kita juga diwasiatkan agar marah kepada seseorang atau sesuatu karena Allah (al-hubbu
wal bughdhu fillah).
Jadi, yang dilarang oleh
Rasulullah Saw. adalah memiliki sifat pemarah. Karena sifat pemarah merupakan
salah satu ciri kelemahan seseorang. Orang yang memiliki sifat pemarah biasanya
mengidap berbagai penyakit jiwa, seperti sombong, merasa tinggi, bangga diri,
merendahkan orang lain, banyak bercanda, suka berdebat, ambisius, dan banyak
melakukan perbuatan yang tidak berguna. Simaklah penegasan Rasulullah Saw.,
“Orang yang kuat bukanlah
orang yang jagoan dalam gulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang
mampu menguasai dirinya ketika marah” (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, Allah Swt.
memuliakan orang yang mampu meredam dan menekan sifat marahnya untuk kemudian
disalurkan pada waktu dan tempat yang benar. “Barangsiapa yang menahan marah,
padahal ia sebenarnya mampu untuk melampiaskannya, maka pada hari kiamat, Allah
Swt. akan memanggilnya di atas penghulu makhluk-Nya, sehingga ia disuruh
memilih bidadari mana yang ia inginkan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah). Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar