“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran” (QS
Al-Baqarah: 221).
Pada
ayat ini Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu”. Pada penggalan ayat ini, ada sebuah isyarat walaupun hanya kecil, di mana kadang-kadang wanita musyrik itu dilihat dari sudut pandang kehidupan duniawi lebih menarik
daripada wanita muslimah. Kadang-kadang ada orang yang berkata, “Kenapa sih
ustadz, wanita-wanita kafir itu cantik-cantik?” Sebenarnya yang seperti ini
bukan kebetulan. Asy-syaithon zayyana
lahum (syetan menghiasi orang-orang kafir itu), sehingga tampak di mata
sebagian kita mereka itu lebih cantik daripada wanita mukminah yang shalihah.
Jangankan
antara orang kafir dengan orang muslim, antara sesama wanita Islam saja, dimana
yang satu seorang muslimah yang taat dan yang satu wanita yang suka berbuat maksiat, wanita yang berbuat maksiat kadang-kadang kelihatan lebih cantik daripada yang taat kepada
Islam. Kalau ditanya kepada seorang
laki-laki yang juga suka berbuat maksiat, “Kenapa Anda tidak tertarik kepada si Fulanah yang shalihah?”
Orang yang ditanya ini menjawab, “Habis... orangnya memakai jilbab terus, dan
tidak bisa berdandan, lagi.” Jadi orang yang seperti ini lebih tertarik untuk
memilih istri yang centil, yang tidak menutup aurat, biasa berdandan dan suka memamerkan kecantikannya kepada
orang lain. Kenapa bisa seperti ini? Sebabnya adalah asy-syaithon zayyana lahum.
Jadi
orang yang dalam kehidupannya tidak
diwarnai dengan nilai-nilai Islam yang benar, ia akan lebih tertarik
jika melihat wanita yang juga jauh dari cahaya Islam. Bahkan ada seorang suami
yang serong dengan wanita lain, padahal istrinya lebih cantik. Orang berkata,
“Heran..., kenapa dia nyeleweng dengan orang itu, padahal istrinya lebih cantik
daripada dia.” Yang semacam ini benar-benar ada di masyarakat kita. Ada seorang
pria yang berzina dengan wanita lain, padahal kata orang di sekitarnya,
istrinya lebih cantik daripada wanita itu. Kenapa yang seperti bisa terjadi?
Karena asy-syaithon zayyana lahum
(syetan menghiasi mereka). Jadi orang yang hidupnya jauh dari nilai-nilai
Islam, ia akan mudah jatuh ke dalam tipu daya syetan dengan selalu melihat
wanita lain lebih cantik daripada istrinya sendiri. Ini bisa kita hindari jika
yang menjadi mi’yar (standar) dalam kehidupan kita adalah
jamalul imaan (kecantikan iman), jamalul qalb (kecantikan hati), bukan jamalul wajh (kecantikan wajah). Yang
namanya wajah, semakin tua semakin tidak cantik. Tetapi kalau kecantikan iman,
kecantikan hati, semakin tua semakin cantik.
Itu
yang berlaku bagi seorang laki-laki mukmin yang hendak menikahi wanita musyrik.
Sekarang bagaimana kalau kita menjadi orangtua yang mempunyai anak perempuan
yang hendak dinikahi oleh seorang laki-laki musyrik? Allah mengatakan, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik
hatimu)”. Inti penggalan ayat ini sama dengan penggalan ayat sebelumnya,
yaitu dilarangnya pernikahan dengan seorang musyrik. Kalau pada penggalan
sebelumnya yang beriman adalah laki-lakinya, pada penggalan ini yang beriman
adalah yang wanita. Jadi kita tidak boleh menikahkan anak kita yang perempuan
dengan laki-laki musyrik, kecuali bila dia mau beriman. Alasannya sama, yaitu
pernikahan tersebut tidak bisa dibenarkan dengan menggunakan keimanan sebagai
standar.
Kalau
kita renungi, larangan-larangan Allah Swt. itu dalam bentuk jumlah fi’liyah
(kalimat yang didahului oleh kata kerja). Kata kerja itu biasanya terkait dan
terbatas dengan waktu. Karena yang namanya kerja, itu tidak bisa lepas dari
masalah waktu, apakah sekarang, nanti, atau yang lampau. Hal ini berbeda dengan
jumlah ismiyah (kalimat yang dimulai dengan kata benda), di mana jumlah ismiyah itu lebih luas daripada jumlah fi’liyah. Kaidah jumlah
ismiyah adalah lits-tsubut wad dawam (tetap
dan kontinyu). Dalam masalah pernikahan ini, setelah pada penggalan-penggalan
sebelumnya memakai kata kerja, kemudian Allah melanjutkannya dengan jumlah ismiyah. Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. Kalimat wala’abdum mukminuun khairum mim musyrikiin ini
adalah jumlah ismiyah.’abdum mukminuun disebut mubtada’ (kata depan) dan khairun
menjadi khabar (kata penjelas), oleh karena itu
disebut jumlah ismiyah. Dan jumlah ismiyah itu sifatnya adalah lits-tsubut wad dawaam.
Ini
mengandung makna bahwa dalam pandangan Allah Swt. orang beriman harus
menegakkan hukum Allah dalam masalah pernikahan . Artinya, pernikahan antar agama itu tidak
diperkenankan untuk selamanya, kalau memang iman kita memang tsaabit (kokoh), kalau memang iman kita
itu dawaam (berkesinambungan). Berarti ketika ada seseorang yang mengaku
beriman tetapi menikahkan anaknya dengan orang kafir, atau menikahkan anaknya
dengan orang musyrik, maka dipertanyakan kebenaran keimanannya. Oleh karena
itu, maka untuk menjelaskan hal ini dipergunakan jumlah ismiyah. Ini pentingnya kita memahami makna jumlah fi’liyah dan makna jumlah ismiyah. Jadi bukti bahwa tsubuutul imaan (kekokohan iman) dan dawaamul imaan (keberlangsungan iman),
adalah apabila manusia-manusia yang ada dalam kehidupan rumahtangga adalah
benar-benar insan yang mukmin dan mukminah. Kalau tidak demikian, jangan
diharap eksistensi keimanan seseorang akan tetap ada.
Oleh
karena itu jangan gampang-gampang menikahkan anak putri kita dengan orang
kafir. Jangan sampai hanya karena diuji Allah dengan kemiskinan, ketika ada
calon menantu yang datang dengan menggunakan mobil, diterima begitu saja. Jadi
masalah keimanan ini dianggap hanya sesuatu yang kecil, padahal masalah
keimanan atau aqidah adalah masalah yang terbesar dalam kehidupan manusia.
Masalah pernikahan adalah qadhiyatul
imaan (masalah keimanan), bukan masalah selera atau yang lainnya. Jadi
dalam masalah pernikahan, Islam memberikan dhawaabit
(prinsip) yang jelas. Masalah penikahan bukan sekedar iradah insaniyah (keinginan manusia) saja, tetapi merupakan iradah rabbaniyyah (kehendak Allah
Swt.).
Ketika
anak kita dipinang oleh seorang yang keimanannya baik, kita hendaknya
mengizinkan pernikahan tersebut, karena jika ditolak maka akan terjadi fitnah
di kemudian hari. Ketika sayyidatina Zainab
bintu Jahsin Ra. hendak dinikahkan dengan seorang mukmin yaitu Zaid, karena
Zaenab memandang Zaid yang merupakan pembantu Rasulullah Saw. itu derajatnya
dibawah dia, Zaenab berkeberatan dengan calon suaminyanya. Zaenab sendiri
adalah keturunan bangsawan, sementara Zaid itu dulunya adalah seorang budak.
Sikap keberatan Zaenab ini kemudian diingatkan Allah, bahwa sikap demikian itu
menandakan keimanannya ada khalal (ketidakberesan),
sehingga turunlah firman Allah:
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab: 36).
Jadi
seorang mukmin yang memilih selain dari apa yang telah ditetapkan Allah dan
Rasulullah Saw., berarti dalam keimanannya ada sesuatu yang kurang beres. Sikap
Zaenab yang menolak Zaid hanya karena beliau mantan seorang budak, padahal Zaid
adalah pilihan Rasulullah Saw., ditegur oleh Allah Swt. dengan ayat ini,
sehingga akhirnya Zaenab mau menikah dengan Zaid. Ini menegaskan kembali bahwa
iman merupakan satu-satunya standar dalam masalah apapun, termasuk dalam
masalah pernikahan ini.
Ini
harus kita tekankan di masyarakat kita, karena ini merupakan masalah yang sangat
riil dan sering dihadapai umat Islam. Betapa banyak orangtua yang berprinsip
‘yang penting laku’ ketika mempunyai anak putri yang sudah menginjak usia
nikah. Orang yang seperti ini menganggap anaknya seperti barang dagangan, yang
penting laku. Apalagi kalau yang menanyakan anaknya itu orang kaya, yang ketika
datangnya membawa mobil. Ini merupakan hal yang harus ditekankan pada
masyarakat kita. Apalagi dalam masa krisis seperti sekarang ini, orang sudah
tidak selektif lagi tentang masalah keimanan dalam masalah pernikahan.
Janganlah
menjual iman dan agama dengan secuil kenikmatan dunia. Iman dan Islam adalah
tiket masuk surga yang harus dijaga. Pernikahan antaragama hanya akan
mempercepat degradasi iman lantaran adanya pandangan setiap agama itu sama. Padahal
Islam adalah satu-satunya agama yang diakui dan diterima di sisi Allah Swt.
“Sesungguhnya
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al-Kiab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian yang ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya ”
(QS Ali Imran: 19).
Sekali
lagi, Islam adalah diinul usrah (agama keluarga). Islam sangat memperhatikan masalah rumahtangga,
termasuk dalam pembentukannya. Oleh karena itu, dalam masalah pernikahan ini,
kita harus menyesuaikan diri secara total dengan aturan Islam. Keluarga dengan
seluruh aspek dan unsurnya harus tunduk pada aturan Islam, harus tunduk kepada Al-Qur’anul
Karim.
Semua aturan Allah
itu pada dasarnya adalah untuk kebahagiaan kita sendiri, termasuk dalam masalah
pernikahan. Memang kadangkala hawa nafsu kita merasa berat untuk selalu taat
pada aturan-aturan Allah Swt. Namun kalau ajakan hawa nafsu itu kita turuti,
kita akan mendapatkan penderitaan di kemudian hari. Allah mengingatkan:
“Maka sekali-kali janganlah kamu
dipalingkan daripadanya oleh yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang
mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa” (QS Thaha: 16).
Mudah-mudahan
kita bisa mengalahkan hawa nafsu kita, sehingga terbebas dari kesesatan dan
kebinasaan. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar