“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di
atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al-Baqarah: 264).
Bahaya
yang terbesar bagi seorang Muslim adalah manakala ia melakukan perbuatan syirik
kepada Allah Swt. Karena orang yang melakukan perbuatan syirik berarti ia
memberikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada yang tidak berhak. Dengan
kata lain, syirik berarti merampas kedaulatan Allah Swt., merampas hak Allah
Swt., yang pada gilirannya akan terjadi fitnah terbesar dalam sepanjang
kehidupan manusia. Makanya dalam Al-Qur’an al-Karim, syirik ada yang
diredaksikan dengan fitnah. Allah Swt. berfirman,
“Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu
hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (QS
Al-Baqarah: 193).
Fitnah
yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah syirik. Karena selain merampas
kedaulatan Allah Swt. berupa ‘ubudiyah, syirik juga membuat manusia akan
terampas kemanusiaannya, kemerdekaannya, dan hal-hal yang paling khas dalam
kehidupannya.
Ketika
terjadi syirik, maka akan terjadi penghancuran atau penyobekan hati manusia.
Karena hidupnya, setelah terjadi syirik itu tidak akan bisa menghadap ke satu
arah, ke satu orientasi di dalam beribadah kepada Allah. Maka manusia yang
terkena penyakit syirik ini ada yang sampai demikian bodohnya menyembah batu
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy dulu yang menyembah berhala,
kemudian juga sampai ada orang yang menyembah pohon, begitu juga ada yang
menyembah manusia, sehingga ada manusia yang sampai mengatakan, “Hidup mati
ikut bung Fulan...”.
Bahkan
ada juga segolongan masyarakat yang menyembah golongan masyarakat yang lainnya.
Misalnya karena ada orang yang menganggap bahwa Barat lebih maju, maka semua
yang berasal dari Barat disembahnya. Inilah fenomena kehancuran manusia ketika
terjatuh dalam suatu penyakit syirik.
Ada
bentuk syirik yang juga sangat berbahaya, yaitu riya`, yang sering
disebut sebagai asy-syirku khoffii (syirik kecil). Riya`
mempunyai tingkatan-tingkatan, yang sebagian lebih dahsyat daripada sebagian
yang lainnya. Dan tingkatan-tingkatan ini mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sendi-sendinya. Namun demikian,
rukun-rukun atau pilar-pilarnya ada tiga, yaitu:
Pertama, al-muroo-a bihi
(yang di-riya`i), apakah shalat, tilawah Al-Qur’an, infaq, dan lain
sebagainya. Jadi ketika ada orang yang riya`, pasti ada yang di-riya`i.
Kedua, wal-muroo-a bi ajrihi (dan
yang di-riya`i untuknya). Artinya, ketika ada orang riya`, tentu
ada tujuannya. Apakah agar dipuji, atau agar pangkatnya naik, dan lain
sebagainya.
Ketiga, nafsu qoshdir riya`
(hakekat dari tujuan riya`).
Berkenaan
dengan tujuan riya`, ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a.
Orang berbuat riya`
semata-mata untuk riya`, yaitu orang yang berbuat riya` tanpa
sedikt pun ada keinginan untuk beribadah kepada Allah Swt. Misalnya ada orang
yang shalat dan sedikit pun tidak ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari
Allah Swt.
b.
Orang berbuat riya`,
akan tetapi masih juga ingin mendapatkan pahala dari Allah Swt. Terhadap riya`
seperti ini masih dibagi lagi dalam beberapa kategori, di antaranya:
v Keinginan
untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih kuat daripada riya`.
v Keinginan
untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih lemah daripada riya`.
v Keinginannan
untuk mendapatkan pahala dari Allah sama kuatnya dengan riya`.
Dalam
tiga keadaan seperti ini, maka riya` ini mempunyai empat tingkatan
yaitu, pertama, kalau ada orang yang semata-mata riya` ketika melakukan
sesuatu dan tidak sedikit pun ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah
Swt., maka bentuuk riya` seperti ini merupakan riya` yang paling
berat. Riya` seperti ini diperagakan oleh orang-orang munafiq. Misalnya
orang yang shalat atau infaq atau membaca Al-Qur’an karena ingin dilihat banyak
orang. Seandainya tidak ada orang yang melihatnya, maka dia tidak akan shalat
atau berinfaq atau membaca Al-Qur’an. Ini adalah riya` yang paling
berat. Orang semacam ini adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah Swt.
Kedua,
orang yang riya` akan tetapi juga ada keinginan untuk mendapatkan pahala
dari Allah, akan tetapi tujuan itu lemah sekali, sehingga tidak terlalu kuat
untuk memotivasinya untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang seperti ini baru
mau melakukan suatu ibadah kalau bersama-sama. Kalau sendirian, keinginannya
untuk mendapatkan pahala dari Allah ini tidak cukup memotivasinya untuk
melakukan suatu ibadah, karena keinginan tersebut sangat lemah. Kedudukan orang
yang kedua ini dekat dengan kedudukan orang yang pertama.
Ketiga,
antara riya` dengan ingin mendapatkan pahala dari Allah, sama besarnya.
Orang seperti ini dalam keadaan sendirian maupun ketika banyak orang, sama-sama
mampu mendorongnya untuk melakukan suatu amal Islami. Contoh dari orang seperti
ini adalah ketika seseorang datang ke suatu pengajian misalnya, ketika dia
ditanya, “Apa yang mendorong Anda untuk datang ke pengajian ini?” Jawabannya
mungkin, “Daripada saya di rumah sendirian...”,
atau “Karena saya tidak ada acara yang lain...”.
Orang
semacam ini, kalau pun datang ke pengajian, maka perhatiannya pada materi
pengajian yang diberikan tidak bisa sepenuhnya, karena motivasinya memang hanya
50%. Terhadap orang yang semacam ini bisa saja amalnya merusak apa yang
memperbaikinya, akan tetapi bisa juga mendapatkan pahala kalau kebetulan yang
mendominasi hatinya adalah dorongan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
Keempat,
dia beramal karena Allah Swt, akan tetapi kalau dilihat orang, semangatnya
bertambah. jadi dilihatnya oleh orang bukan satu-satunya motivasi dalam
beramal. Sebenarnya motivasinya adalah dalam rangka beribadah kepada Allah,
akan tetapi kalau ada yang melihat tambah semangat. Jadi riya` ini bukan
aslinya, akan tetapi memperkuat motivasinya saja. Orang seperti ini kalau tidak
ada yang melihat pun akan tetap melakukan amal Islami.
Namun,
ketika dilihat orang tambah semangat, maka itu pun termasuk riya`. Insya
Allah perasaan seperti ini tidak akan menghapus pahalanya, karena riya-nya
ini hanya memberikan dorongan saja, dan bukan satu-satunya motivasi. Akan
tetapi sudah barang tentu bisa mengurangi pahala, dan mungkin juga dia
mendapatkan sanksi sesuai dengan tujuan riya`nya, sebagaimana bisa
ditambah pahalanya ketika menguatkan dorongan untuk mendapatkan pahala dari
Allah Swt., karena orang yang seperti ini labil. Di sini ada firman Allah dalam
hadits Qudsi yang berkaitan dengan hal ini, yaitu Allah berfirman, “Aku
adalah yang terkaya dari yang kaya daripada syirik (HR Ibnu Lumazah dan
Ibnu Hudzaimah dalam Shahihnya Ibnu Huzaimah dan keterangan para rawinya yang
terpercaya).
Dari
hadits Qudsi ini, sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘anisy
syirki adalah apabila kedua tujuan tadi itu sama atau riya`-nya lebih
berat.
Berdasarkan
yang di-riya`-i (al-muroo’a), riya` terbagi dua, yaitu riya`
dengan pokok-pokok ibadah dan riya` dengan sifat-sifat ibadah.
Riya`
dengan pokok-pokok ibadah adalah riya` yang paling berat. Bentuk riya`
seperti ini terbagi menjadi,
a.
Riya` bi ashlil iiman (riya`
dengan prinsip keimanan). Ini adalah riya` yang paling berat. Mengapa?
Karena orang yang terkena riya` seperti ini akan berada di neraka untuk
selama-lamanya. Dan itu adalah bventuk riya` orang-orang munafik. Mereka
memperlihatkan keimanan, akan tetapi pada dasarnya mereka tidak beriman.
Dalilnya adalah semua ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang orang-orang
munafik.
b.
Riya` bi
‘ushulil ‘ibadah (riya` dengan pokok-pokok ibadah), akan tetapi dia
tetap beriman. Jadi, ia tetap percaya dengan pokok-pokok agama. Itu pun
merupakan perbuatan yang dosanya besar di sisi Allah Swt., walaupun berbeda
dengan yang pertama. Contoh riya` seperti ini adalah orang yang memiliki
harta benda, akan tetapi ada di tangan orang lain. Kemudian pemilik harta itu
memerintahkan kepada orang yang memegang hartanya agar mengeluarkan zakatnya.
Karena kalau zakatnya tidak dikeluarkan, ia takut dicela. Jadi, zakat itu
dikeluarkan karena hartanya tidak berada di tangannya. Seandainya harta itu ada
di tangan sendiri, mungkin zakatnya tidak dikeluarkan.
Dan yang mengetahui apa yang ada dalam
hati seseorang hanyalah Allah Swt., sehingga kita dilarang untuk memvonis
dengan menuduh orang lain. Marilah kita koreksi diri kita masing-masing. kalau
kita mempunyai harta yang dipegang teman kita, kemudian kita menyuruhnya
mengeluarkan zakat karena harta itu berada pada tangan teman kia, yang seperti
ini termasuk riya`.
Dalam masalah shalat, misalnya, suatu saat
bisa saja si fulan berada di tengah-tengah saudaranya kaum Muslimin. Biasanya
kalau dia sendirian, tidak pernah mau shalat. Akan tetapi karena berada di
tengah-tengah saudaranya, maka dia shalat.
c.
Riya`
dengan yang sunnah. Jadi seandainya tidak ia kerjakan, tidaklah berdosa.
Misalnya, orang yang menjenguk orang sakit, memandikan mayit, shalat jenazah,
dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah sunnah itu mungkin tidak dikerjakannya bila
ia dalam keadaan sendiri.
Demikianlah
sekilas tentang bentuk-bentuk riya`, semoga kita tidak termasuk
orang-orang yang merugi lantaran ada penyakit riya` di dalam hati kita.
Kita berlindung kepada Allah Swt. dari penyakit riya` yang dapat
menghancurkan amal shalih yang telah kita lakukan. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar