Oleh: KH Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa
hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al-Baqarah: 264).
Pada ayat ini Allah Swt. masih
menerangkan kepada kita tentang masalah infaq fii sabilillah. Allah Swt.
menerangkan tentang thobi-atul infaq, yaitu bahwa infaq merupakan
dinamika dan perkembangan kejiwaan manusia. Jadi, orang yang mau menginfaqkan
sebagian harta bendanya pada dasarnya adalah orang yang dinamis dan berkembang
karena telah membersihkan dirinya dari penyakit bakhil (kikir).
Dari segi bahasa, aktifitas
mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah disebut shodaqoh karena litadulla
‘ala shidqi imaani shohibiha (menunjukkan kebenaran dan kejujuran keimanan
pelakunya). Shodaqoh artinya ‘jujur’. Orang yang mengeluarkan shodaqoh
menunjukkan bahwa ia telah berbuat jujur sesuai dengan keimanannya. Pada
dasarnya perbuatan ber-shodaqoh atau mengeluarkan sebagian harta benda fii
sabilillah adalah perbuatan berat, karena tidak ada manusia yang tidak condong
pada harta benda. Bahkan karena tingginya kadar kecintaan tersebut,
sampai-sampai ulama mengatakan bahwa harta benda adalah saudara kandungnya
nyawa (al-maalu syaqiiqur ruh).
Oleh karena itu seorang muslim yang
berjuang di jalan Allah dengan cara menginfaqkan harta bendanya, insya Allah ia
pun akan siap berjuang di jalan Allah dengan nyawanya. Dan karena demikian
dekatnya hubungan harta dengan nyawa, ketika Al-Qur’an menerangkan tentang
masalah jihad fii sabilillah, Al-Qur’an selalu mengatakan al-jaahidu
bi amwalihim wa anfusihim (berjihad dengan harta dan jiwa).
Karena infaq merupakan
indikasi dari dinamika (perkembangan) kebersihan hati seseorang dan masyarakat,
Allah Swt. mengingatkan kepada kita agar jangan sampai infaq yang kita lakukan
itu kita rusak sendiri, karena kalau kita berbuat demikian berarti tidak
dinamis lagi dan berubah menjadi statis sehingga jiwa kita akan mati. Na’udzubillahi
min dzalik.
Pada ayat ini Allah mengatakan, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang menerima.” Di sini
Allah mengatakan laa tubthiluu (janganlah kamu menghilangkan). Al-ibthol
secara bahasa artinya adalah al-izalah (menghilangkan). Dan jika
sesuatu kehilangan manfaat, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, amal yang tidak sah, karena
tidak terpenuhinya syarat dan rukun amal tersebut dengan sempurna (yang
berkaitan dengan hal-hal yang wajib). Misalnya jika ada orang yang melaksanakan
shalat, akan tetapi syarat atau rukunnya ada yang ditinggal, seperti ketika
shalat ia tidak dalam keadaan suci, maka shalatnya tidak akan diterima oleh
Allah. Ini artinya shalatnya itu tidak bisa menggugurkan tanggung jawabnya di
sisi Allah Swt.
Kedua, amal yang dilakukan sah karena
syarat dan rukunnya terpenuhi, akan tetapi yang bersangkutan tidak mendapatkan
pahala dari sisi Allah Swt. Hal ini disebabkan karena amal tersebut tidak
dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah Swt., tetapi ada tujuan yang
lain seperti karena perasaan riya’.
Kedua arti yang dijelaskan di atas
bisa kita pergunakan untuk memahami makna ayat ini. Jadi pada ayat ini Allah
Swt. memberi peringatan kepada kita agar jangan sampai kita kehilangan pahala shodaqoh
yang telah kita keluarkan. Cara yang bisa kita lakukan adalah jangan sampai
kita bershodaqoh akan tetapi diiringi al-mann (mengungkit-ungkit)
dan adza (menyakitkan menyakitkan hati penerima).
Pada penggalan selanjutnya Allah
mengatakan, “Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada
manusia.” Ada beberapa hal yang perlu kita renungi berkenaan dengan bahasa
yang dipergunakan pada penggalan ayat ini.
Pertama, pada penggalan ini Allah
Swt. tidak menyebut nama seseorang, akan tetapi hanya menyebut kata gantinya
yaitu kalladzi (sebagaimana orang). Tujuan dari penggunaan kalimat
seperti ini adalah lit ta’mim (untuk tujuan umum). Artinya, yang
dimaksud dalam ayat ini bukan hanya orang tertentu saja, akan tetapi siapa saja
yang menginfaqkan sebagian harta bendanya karena riya’. Infaq yang dikotori
dengan rasa riya’, maka harta yang diinfaqkan itu tidak berkembang
karena tidak mendapatkan pahala dari Allah Swt., dan hati orang yang berinfaq
seperti itu juga tidak menjadi bersih karena ketika berinfaq hanya dilandasi
dengan kesombongan dan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa ia mampu
menginfaqkan harta bendanya agar mendapatkan pujian dari sesama manusia. Agar
yang seperti itu tidak terjadi pada kita, Allah Swt. mengingatkan kita agar
tidak berinfaq karena rasa riya’.
Kedua, berkenaan dengan kata riya’.
Kata riya’ jika ditinjau dari segi bahasa mengikuti dengan wazan
fi’al. Dan wazan fi’al itu mempunyai dua ma’na, yang pertama
adalah lil mubalaghoh (untuk menyangatkan), dan yang kedua adalah lil
katsroh (untuk membanyakkan). Dari sini kita bisa memahami bahwa orang yang
riya’ ketika berinfaq hanya ingin sering dilihat oleh manusia.
Pada penggalan
selanjutnya, “Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Dari penggalan
ini kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang yang berinfaq karena riya’,
pada dasarnya ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang biasa dilakukan
oleh orang kafir yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang
terkena penyakit riya’ ketika berinfaq, pada dasarnya ia menderita
kerugian baik di dunia maupun di akherat. Di dunia, orang seperti itu akan rugi
karena hartanya akan berkurang atau bahkan habis karena diberikan kepada orang
lain. Dan di akherat ia akan rugi pula karena perbuatannya itu sama sekali
tidak mendatangkan manfaat di sisi Allah Swt.
Perumpamaan
orang yang berinfaq karena perasaan riya’ kepada manusia adalah, “Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tidak bertanah.”
Jika kita menjumpai batu besar yang halus dan di atasnya terdapat seonggok
tanah, ketika terkena hujan lebat maka tanah tadi pasti akan hilang bersama
dengan aliran air yang mengalir di atas batu tersebut. Dan batu yang demikian
adalah tempat yang sama sekali tidak bisa ditanami. Kalau pun dipaksakan
ditanami, maka tanaman itu tidak akan tumbuh karena di atasnya tidak ada tanah
sama sekali.
Jadi, orang
yang berinfaq karena dorongan rasa riya’-nya kepada manusia, adalah
orang yang melakukan sesuatu yang sia-sia belaka. Akibatnya, “Mereka tidak
mendapatkan sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.” Jadi, suatu amal
yang dilandasi rasa riya’, tidak akan menghasilkan manfaat apapun bagi
pelakunya. Mereka melakukan sesuatu yang sia-sia.
Allah menutup
ayat ini dengan mengatakan, “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” Pada ayat ini Allah Swt. memberikan perumpamaan
yang sangat indah berkenaan dengan manusia yang menginfaqkan sebagian
hartanya tetapi bukan di jalan Allah. Orang seperti ini ketika berinfaq semata-mata
karean dorongan rasa riya’-nya kepada manusia. An-nafs (jiwa)
orang yang riya’ ini tidak akan bisa berkembang sebagaimana tanah atau
batu yang tandus yang tidak akan tumbuh satu tanaman pun di atasnya. Subhanallah,
perumpamaan dengan tanah merupakan perumpamaan yang menarik bagi manusia,
karena manusia pun diciptakan Allah Swt. dari tanah. Kalau tanah tersebut
berada di atas sebuah batu yang licin dan kemudian terkena air hujan, maka
hilanglah tanah itu sehingga batu yang menjadi tempatnya semula tidak akan bisa
ditanami lagi.
Ini adalah
sebuah perumpamaan dengan sesuatu yang bisa kita pahami dengan akal kita,
dimana jiwa manusia yang sifatnya abstrak diumpamakan dengan sesuatu yang
sifatnya fisik, yaitu berupa debu atau tanah. Kita tahu bahwa sifat tanah
bermacam-macam, ada yang subur dan ada pula yang tandus. Tanah yang subur jika
ditanami dengan tanaman maka ia akan tumbuh dengan baik, sehingga tanaman
tersebut akan menghasilkan buah yang bisa dinikmati. Sedangkan pada tanah yang
tandus sangat sulit bagi tanaman untuk tumbuh, dan kalau pun tumbuh tidak akan
menghasilkan buah sama sekali. Dan tanah yang tandus seperti itu pada
ayat ini diumpamakan seperti batu. Pada dasarnya hati manusia tidak jauh
berbeda dengan tanah. Jika tanah ada yang tandus dan ada yang subur, demikian
pula dengan hati manusia. Di antara manusia ada yang mempunyai hati yang lembut
dan bersih, namun ada pula yang kasar dan keras. Hati manusia yang lembut dan
bersih akan mudah ditumbuhi pohon keimanan, sehingga ia akan merasa ringan
ketika diperintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh dengan ikhlas. Dan pada
gilirannya hati seperti ini akan menghasilkan buah berupa pahala dari Allah
Swt.
Akan tetapi
jika ada manusia yang mempunyai hati yang keras, sulit sekali ditumbuhi
keimanan kepada Allah sehingga ketika Dia memerintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh
maka manusia seperti ini sulit untuk mentaatinya dan kalaupun terpaksa ia
mengeluarkan shodaqoh, hal itu dilakukan dengan motivasi agar dipuji
manusia (riya’), bukan atas dasar keimanan kepada Allah Swt. Na’udzubillah,
semoga kita terhindar dari perasaan riya’ dalam mengerjakan seluruh
aktivitas kita, baik dalam berinfaq, atau ketika menegakkan shalat, atau
berda’wah, atau aktivitas yang lainnya. Kalau kita sudah terkena penyakit riya’,
maka seluruh perbuatan yang kita lakukan tidak akan membawa manfaat sama sekali
bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Wallahu a’lam bishshawab.
2 comments:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh, ijin tanya Ustadz jika saya niatkan ber infaq untu minta kesembuhan kepada Allah Subhanahu wataala Karana sedang sakit boleh apa tidak,sedangkan setau saya niat itu Lillahi ta'alla...
Demikian Ustadz pertanyaan saya, kurang dan lebihnya mohon maaf
Wassalamu'alaikum warahmatullahi Wabarokatuh
Posting Komentar