Oleh
Syamsu Hilal
“Dan
(ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya
(menyesal), seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan
bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku, seharusnya aku (dulu) tidak menjadikan
si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari
Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak
mau menolong manusia” (QS Al-Furqan [25]: 27-29).
Ayat
di atas adalah ungkapan penyesalan seorang Muslim di hadapan Pengadilan Allah
Swt. lantaran telah memilih teman akrab dari kalangan orang-orang fasik,
munafik, dan kafir ketika di dunia. Penyesalan seperti itu tak ada manfaatnya,
karena diungkapkan pada saat musim panen. Seandainya penyesalan itu disadari
ketika musim tanam, maka setiap kita dapat langsung mengganti tanaman yang tak
berguna dengan tanaman yang bermanfaat.
Dalam
Islam, teman bukan sekedar kawan duduk yang tidak menentukan nasib kita di
akhirat. Rasulullah Saw. membuat tamsil, “Permisalan teman yang baik
dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai
besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau membeli
minyak wangi darinya. Kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harumnya.
Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalau pun
tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk
itu, Rasulullah Saw. memerintahkan memilih teman yang dapat mengingatkan kita
kepada kehidupan akhirat. “Seseorang itu mengikuti agama
teman dekatnya, maka perhatikan dengan siapa seseorang itu berteman akrab” (HR Abu Daud dan
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnu
Qudamah rahimahullah
berkata, “Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat
memiliki lima sifat berikut; orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik,
bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus
terhadap dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin).
0 comments:
Posting Komentar