“Mereka
berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru
kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada
dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS Fushshilat:
5).
Kadang
kita mendengar seseorang melontarkan ungkapan “fanatik” kepada Muslim yang
ketat dan hati-hati dalam melaksanakan ajaran Islam. Seorang Muslim yang
mempertahankan pendapat bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan
mahram adalah terlarang, dianggap fanatik. Yang mengatakan jilbab itu
wajib adalah fanatik. Yang mengharamkan pacaran dicap fanatik, dan seterusnya. Sebetulnya
apa sih makna fanatik itu?
Masyarakat
sering kurang bisa membedakan antara fanatik dengan fanatisme. Dalam bahasa
Inggris, fanatic diartikan sebagai adhering strickly to a religion
yang artinya mendukung penerapan nilai-nilai agama secara ketat. Jadi, fanatik
dalam beragama adalah sebuah keharusan. Yang dilarang adalah fanatisme dalam
beragama, yaitu memaksakan pemahaman atas nilai agama kepada orang lain. Namun,
kita pun jangan terjebak pada opini yang mendiskreditkan dakwah sebagai sebuah
pemaksaan terhadap keberagamaan seseorang. Dakwah adalah sebuah kewajiban
setiap Mukmin, bukan sebuah fanatisme.
Meski
kita telah paham perbedaan fanatik dengan fanatisme, namun ungkapan fanatik
yang ditujukan kepada seorang Muslim yang ketat dan sangat hati-hati dalam
menerapkan nilai-nilai Islam terhadap diri dan keluarganya seperti diungkapkan
di atas, seringkali bermakna negatif, cenderung ke arah fanatisme.
Fanatisme
adalah kata terjemahan untuk ta’ashshub yang berasal dari kata ta’ashshaba.
Orang yang memiliki sifat fanatik disebut dengan muta’ashshib. Dalam
bahasa Arab ta’ashshub juga diartikan sebagai asy-syadd
(pengikatan) dan asy-syiddah (kekerasan). Jika dikatakan, “Ta’shshaba
rajulun ra`sahu”, berarti ia mengikat kepalanya dengan sorban. Sedangkan
kata al-‘ashaabah artinya kelompok yang saling mengikat antara satu
anggota dengan yang lain. Ta’ashshub adalah lawan dari kata tasamuh
(toleran).
Larangan
fanatisme (ta’ashshub) sangat jelas diungkap dalam hadits Rasulullah
Saw., “Bukan termasuk golongan kami (kaum Mukminin) orang yang mengajak
kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam keadaan
fanatisme” (HR Abu Dawud dari Jabir).
Menurut
Ibnu Taimiyah, hadits ini menjelaskan bahwa fanatisme seseorang secara mutlak pada
suatu kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini jelas dilarang dan
dicela. Berbeda dengan perbuatan mencegah orang zalim atau membantu orang yang
dizalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah baik, bahkan wajib
hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan ungkapan hadits,
“Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.” Menolong yang dizalimi
kita sudah paham, sedangkan menolong yang menzalimi adalah dengan cara mencegah
orang tersebut berbuat zalim.
Arti
fanatisme yang tercela, menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika seseorang
membela secara membabi buta terhadap keyakinannya, madzhabnya, pemikirannya,
pendapatnya, kaumnya, dan kelompoknya, sehingga ia tidak mau melakukan dialog
dengan orang yang berbeda dalam prinsip-prinsip dasar maupun variabel cabang
dengannya. Atau jika ia menutup semua pintu rapat-rapat dari setiap orang yang
hendak mendekat kepadanya, dan ia hanya mau menghadapi mereka dengan pedang.
Definisi
fanatisme di atas amat penting untuk dipahami. Sebab sebagian orang ada yang
menganggap siapa pun yang memiliki komitmen keagamaan yang tinggi sebagai orang
fanatisme. Khususnya, jika ia berpegang teguh pada tuntunan perilaku yang
ditinggalkan oleh kebanyakan orang. Seperti, memelihara jenggot bagi laki-laki,
mengenakan jilbab atau cadar bagi wanita, dan sebagainya.
Sikap
seperti di atas, sesungguhnya bukan termasuk fanatisme, jika lahir dari
kesadaran diri dan dorongan batinnya yang terdalam akan suatu hukum syari’at
yang ia pahami. Kita tidak boleh menyuruh orang yang meyakini sunnahnya
memanjangkan jenggot untuk mencukur jenggotnya, hanya untuk menyenangkan orang
lain atau agar tidak dianggap orang fanatisme. Kita pun tidak boleh melarang
wanita mengenakan jilbab di sekolah atau di kantor dengan alasan aturan atau
ketentuan yang dibuat-buat.
Sebab,
pelarangan seperti itu sesungguhnya merupakan bentuk pemaksaan yang termasuk
kategori fanatisme, yaitu fanatisme jahiliyah. Kita tidak bisa menekannya untuk
menanggung dosa dan meninggalkan sesuatu yang wajib baginya.
Kita
baru bisa mengecam dan mencapnya fanatisme, jika ia hendak memaksakan
pendapatnya pada setiap orang yang berbeda pandangan dengannya. Atau, menuduh
mereka melakukan perbuatan maksiat dan lemah komitmen agamanya, hanya karena ia
meyakini kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita. Meskipun kita tahu bahwa
jilbab adalah sesuatu yang wajib bagi wanita Muslimah, sebagaimana firman Allah
dalam Surat An-Nur ayat 31.
Fanatisme
terjadi bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau
membuka pintu untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan keyakinan,
pemikiran, pandangan fiqih, pandangan politik, serta tidak mau melakukan
introspeksi sedikit pun. Ia malah menganggap pendapatnya sebagai yang paling
benar, sedangkan pendapat orang lain salah dan keliru.
Seseorang
yang bersikap fanatisme tidak melihat selain dirinya, tidak mendengar kecuali
ucapannya sendiri, dan tidak percaya pada orang lain di luar kelompok atau
jamaah tempat ia berafiliasi. Dari titik itulah ia berangkat dan ke arah itu
pulalah ia finish. Ia menutup pikiran dan dirinya dari orang lain. Orang di
luar kelompoknya dianggap “orang lain” (the others). Bahkan ada
mengkafirkan lantaran tidak mau memberikan loyalitas kepada kelompoknya.
Bentuk
fanatisme semacam ini sudah ada sejak lama. Al-Qur`an al-Karim
menceritakan kepada kita fanatisme kaum musyrikin, baik dari kalangan kaum
Quraisy maupun yang lain, ketika berhadapan dengan seruan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
“Mereka
berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru
kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada
dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS
Fishshilat: 5).
Dalam
ayat lain, ditegaskan,
“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengar dengan
sungguh-sungguh akan Al-Qur`an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya
kamu dapat mengalahkan (mereka)’” (QS Fushshilat: 26).
Sikap
fanatisme jahiliyah kaum musyrikin bahkan telah mencapai puncaknya ketika
mereka menentang kebenaran isi Al-Qur`an sebagai Kalamullah.
“Dan
(ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika betul
(Al-Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan
batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih’” (QS
Al-Anfal: 32).
Fanatisme
kaum musyrikin terhadap kelompoknya pun tak kalah dahsyatnya. Sampai-sampai
mereka menggugat wewenang dan kekuasaan Allah dalam memilih Rasul-Nya. Mereka menolak
utusan Allah yang bukan berasal dari kelompoknya.
“Dan
mereka berkata, “Mengapa Al Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar
dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?’” (QS Az-Zukhruf:
31).
“Dan
apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai
ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya
hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita
tidak sabar (menyembah) nya.’ Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka
melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya’” (QS Al-Furqan:
41-42).
Itulah
bentuk fanatisme yang sesungguhnya. Mereka mengunci mati pendengaran,
penglihatan dan hati mereka untuk menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru)
orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak
mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka
(oleh sebab itu) mereka tidak mengerti’” (QS Al-Baqarah:
170-171).
Zaman
telah berubah. Makna fanatisme pun mengalami distorsi. Orang yang berusaha
keras untuk menerima dan mensosialisasikan kebenaran untuk kemudian diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, seringkali mendapat cemoohan sebagai fanatisme.
Sementara, mereka yang memaksakan dan memasyarakatkan keburukan, kejahatan,
kekejian, perjudian, perzinaan, dan yang sejenisnya tidak pernah dikecam.
Bahkan masyarakat cenderung membiarkannya. Semoga kita tidak termasuk orang
yang memiliki sikap fanatisme jahiliyah. Na’uudzubillahi min dzalik. Wallahu
a’lam bishshawab.
subhanalloh... izin copas ustadz... tambah ilmu...