Pendahuluan
Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan
sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan
bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja atau
berusaha pada sector informal
seperti menjadi Pedagang
Kaki Lima di kota-kota besar di Indonesia. Pedagang Kaki Lima timbul sebagai akibat dari tidak
tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan
dalam berproduksi, bisa juga sebagai akibat dari kebijakan ekonomi liberal yang
mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro. Asosiasi
Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI)
mencatat hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta pedagang kaki lima di seluruh Indonesia (Tempo.co, 5/9/2012).
PKL dipandang sebagai
aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi
menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai
status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan
kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban
atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL
belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai
aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau
nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan
demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan
kebijakan, membuat sektor ini tidak aman dan berdampak buruk pada mata
pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian
penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet
ritel besar. Fakta menunjukkan bahwa PKL merupakan sumber mata pencaharian penting bagi penduduk
miskin urban.
Aktivitas
PKL pada umumnya menempati badan-badan jalan
dan trotoar, sehingga tidak
menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik
karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan
menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan
jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet,
pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan
pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Akan
tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi, karena
menyediakan harga lebih murah. Bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, PKL
menjadi pilihan. Hal ini membuat penertiban PKL di lokasi-lokasi strategis
menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Padahal setiap hari,
mereka adalah pekerja yang ulet, berjuang untuk menghidupi keluarga.
Sebagai bentuk penghargaan
kepada PKL sebagai pelaku ekonomi mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pernah menyosialisasikan istilah Pedagang Kreatif Lapangan
untuk mengganti Istilah Pedagang Kaki Lima. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari
Elka Pangestu, konsep pedagang kreatif lapangan sudah ada sejak ia menjabat
sebagai Menteri Perdagangan. Model dari konsep Pedagang Kreatif Lapangan
tercantum dalam MoU antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan,
dan Kementerian Koperasi dan UKM. Mari Elka
Pangestu berinisiatif mengganti istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang
Kreatif Lapangan untuk meningkatkan martabat Pedagang Kaki Lima (Kompas.com, 6 Desember 2011). Bahkan, Kementerian
Koperasi dan UKM telah
menginstruksikan penggantian istilah Pedagang
Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan kepada pimpinan dinas terkait
maupun kabupaten/kota. Namun demikian, dengan
diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, penggunaan istilah Pedagang Kreatif Lapangan belum
dapat digunakan secara formal.
Pengertian Pedagang Kaki
Lima
Pedagang Kaki Lima
atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan
gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya
ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga
"kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan
satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada
umumnya.
Sebenarnya istilah
kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda. Peraturan pemerintahan
waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan
sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau
sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun
setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang
emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut
sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam Peraturan Presiden
Nomor 125 Tahun
2012 tentang Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
pasal 1
nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL
adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana
usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas
sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta
yang bersifat sementara/tidak menetap.
Menurut McGee dan
Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ‘hawkers’, yang
didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual
ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu,
Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan
barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di
sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat
perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap,
berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore
maupun malam hari.
Proses
perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan
kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan
untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan
para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat
yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka
selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta
menjadikan kota berkesan semrawut.
Studi
menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai
status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan
kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban
atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor
informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih
dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional
melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian
terkena dampak buruk dari
kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan
kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk
pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan
sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan
oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata
pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan
jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi
ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan
pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang
sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah
sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini
menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
PKL atau dalam bahasa inggris
disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal.
Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali
kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan
ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah
menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di
trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan
jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi
penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang
sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya penertiban, sebagaimana
sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan
mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat
lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya
bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini
justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengahtengah
kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part
of solution).
Seperti yang sudah
dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering
dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun
tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu
kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan
tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga
kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat
golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih
mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal
tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau
tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih
mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti tersebut
menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang
relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak
secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu
bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh
Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan
penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan
kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan
peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha
ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih,
indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan
berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan
Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya
masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41
tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya
sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan
tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial,
budaya, estetika, ekonomi, keamanan,
ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan
Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi
dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah
PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk
melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha;
fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan
kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan
dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL
yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh
gubernur.
Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat
melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate
Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha
PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan
permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan
aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib,
bersih, indah dan nyaman.
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh
Pemerintah Daerah
Di antara Pemerintah Daerah yang telah
melakukan penataan dan pembinaan PKL adalah:
1. Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan melalui
Perda No. 20 tahun 2001tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki
Lima Musiman.
2. Pemkot Yogyakarta melalui Perda No.26
tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
3. Pemkot Surabaya melalui Perda No.17 tahun
2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
4. Pemkot Mojokerto melalui Perda No.5
tahun 2005 tentang Penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima.
5. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri
melalui Perda No.7 tahun 2006 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki
Lima.
6. Pemkot Surakarta melalui Perda No.3 tahun
2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima.
7. Pemkot Bima dengan Perda No.11 tahun
2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
8. Pemkab Kepulauan Selayar melalui Perda
No.4 tahun 2010 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
9. Pemkab Semarang melalui Perda No.11
tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
10. Pemkot Bandung melalui Perda No.4 tahun
2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Selain 10 pemerintah daerah di atas,
masih banyak kota dan kabupaten yang telah memiliki perda untuk menata dan
memberdayakan PKL. Dengan semakin banyaknya pemkot dan pemkab yang memiliki
perda tentang penataan dan pemberdayaan PKL diharapkan pemberdayaan ekonomi
melalui sektor informal, khususnya PKL, akan semakin meningkatkan jumlah entrepreneur
yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Daftar Pustaka
McGee, TG and YM Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian
Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Ottawa, Canada.
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor
125 Tahun 2012 Tentang Koordinasi
Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima.
Tamba, Halomoan dan Saudin
Sijabat, 2006. Pedagang
Kaki Lima: Entrepreneur yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.
Winarti, 2012. Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima dari Perspektif Kebijakan Deliberatif. E-Journal UNISRI
Volume XXIV No.1.
PKL : Pedagang Kaki Lima ?
SETUJU diganti istilah menjadi PEDAGANG KREATIF LAPANGAN
CSR untuk pemberdayaan PKL ?
(perlu dukungan elit kekuasaan untuk mewujudkan kepedulian)