Oleh. Ustadz Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA. dan Syamsu
Hilal
Parlemen Turki, Jumat
(24/5/2013), resmi mensahkan RUU tentang pembatasan minuman berakohol di Turki.
UU baru ini selain membatasi penjualan minuman berakohol, juga melarang
perusahaan minuman keras menjadi sponsor di berbagai acara, bahkan televisi,
film, atau video musik juga dilarang memuat gambar atau adegan yang mendorong
konsumsi minuman berakohol. Undang-undang membatasi penjualan minuman
beralkohol, yaitu pada pukul 22.00 hingga 06.00.
Pendukung undang-undang baru ini, yang didorong
partai penguasa Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang berhaluan Islam,
mengatakan, undang-undang ini akan melindungi masyarakat Turki, terutama
anak-anak dari efek buruk alkohol.
Namun, keputusan ini menuai kritik tajam di
berbagai media terutama yang muncul dari kelompok Liberal dan menganggap aturan
ini adalah intervensi terhadap kehidupan pribadi warga. Mereka menilai, aturan
baru ini merupakan tanda konservatisme mulai menguat di Turki yang sekuler. Tuntutan
kelompok Liberal bahkan melebar hingga meminta PM Erdogan mundur dari
jabatannya.
Menghadapi tuntutan tersebut, PM Erdogan tetap
mempertahankan undang-undang yang diyakininya akan membawa kebaikan bagi
penduduk Turki, khususnya generasi muda. Erdogan mengatakan di depan para
anggota Dewan dari gerakan Islam, “Alkohol atau minuman keras adalah sumber
dari segala masalah, kami mengusulkan undang-undang ini demi generasi muda kita
dan memberikan negara ini suatu generasi yang sadar akan nilai-nilai luhurnya”
(Eramuslim.com).
Sementara di Indonesia RUU Miras (Minuman Keras)
hingga saat ini tidak jelas nasibnya. Padahal MUI dan PBNU berkali-kali
mendorong anggota DPR agar segera memprioritaskan, membahas, dan mengesahkan
RUU yang diyakini akan membawa maslahat bagi masa depan bangsa Indonesia.
Di balik setiap perintah dan larangan Allah Swt. dan
Rasul-Nya, pasti ada hikmah yang dapat kita ambil manfaatnya. Secara tekstual,
saat ini secara jelas dan nyata bahwa mengkonsumsi miras dapat merusak akal dan daya pikir manusia. Dan secara kontekstual, kita juga
dapat mengambil manfaat mengapa pengharaman khamr diturunkan oleh Allah Swt. secara
bertahap melalui beberapa ayat.
Dalam QS Al-Baqarah
ayat 219, Allah Swt. berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa'at bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfa'atnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah,’Yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”
Pada ayat ini kita diajak untuk membicarakan
syari’at Allah yang berkaitan dengan masalah halal haram. Ini menunjukkan bahwa
syari’at Allah itu merupakan syari’atan waahidah, laa taza’za’ (syari’at Islam merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah). Ini dapat kita perhatikan di mana
setelah membicarakan masalah jihad, yang dibicarakan ayat ini adalah tentang
halal dan haram. Betapa Al-fiqhul Islami itu
adalah sesuatu yang utuh. Musykilah-nya
fiqh Islam sekarang dipahami secara juz’i (parsial), sehingga sebagian umat Islam juga memahami Islam
secara parsial. Sebagian ahli fiqh,
ketika diajak untuk berbicara tentang jihad, kurang semangat menyambutnya.
Sampai-sampai ada seorang santri yang semangat berbicara tentang masalah
pernikahan, atau hukum warisan, tetapi tidak semangat untuk berbicara tentang
jihad dan menegakkan dien Islam di muka bumi.
Jadi kalau pada ayat sebelumnya Allah membicarakan
tentang iman, hijrah, dan jihad, maka sekarang kita mendapatkan penjelasan
tentang hukum yang berkaitan dengan khamr,
yang merupakan kebiasaan orang Arab Jahiliyah.
Pada awal ayat ini Allah mengatakan “Yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisir” (mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan
judi). Adanya pertanyaan pada awal ayat seperti ini merupakan suatu
metodologi Al-Qur’anul al-Karim dalam menjelaskan syari’at-Nya, di mana
digambarkan terjadinya dialog yang hidup antara Rasul Saw. dan para sahabatnya.
Adanya dialog ini menunjukkan satu indikasi bahwa dalam al-mujtama’ul Islamiyyah (masyarakat Islam) itu, individu-individu
yang hidup di dalamnya selalu menanyakan segala sesuatu yang mereka hadapi dari
mulai yang terkecil sampai yang sebesar-besarnya, tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan Islam. Oleh karena itu, mereka tidak akan berbuat sesuatu
kecuali kalau sudah memahami benar bahwa yang akan diperbuatnya itu benar dalam
pandangan Islam dan diridhai Allah Swt.
Makanya kalimat yas’aluunaka (mereka bertanya kepadamu) dalam Al-Qur’an itu banyak
sekali. Ini menunjukkan bahwa para
sahabat tidak “slonong boy”, tidak semaunya sendiri dalam melaksanakan
segala sesuatu. Tidak ada dalam Islam, “Ini kan urusan saya sendiri, peduli apa orang
lain.” Yang ada adalah pertanyaan, “Perbuatan saya ini termasuk yang diridhai
Allah atau tidak?” Dan agar tidak salah ketika berbuat, para Sahabat sering
bertanya kepada Rasulullah Saw.
Kalau kita ukur sikap para sahabat ini dengan masyarakat
kita, sangat jauh perbedaannya. Masyarakat kita sekarang, jarang ada anggota
masyarakat yang bertanya kepada ulama yang ‘alim dalam menghadapi hidup ini.
Setelah terjadi kecelakaan atau musibah, baru datang kepada ustadz untuk
mengadukan nasibnya. Jika kita tidak ingin selalu terkena akibat buruk karena
kesalahan kita sendiri, selayaknyalah kalau kita meniru apa yang dilakukan
masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah Saw. yaitu selalu berdiskusi dengan
para ulama yang ada di sekitar kita. Para sahabat
Rasul itu ketika mereka tidak tahu tentang sesuatu, yas’aluuna (mereka bertanya), termasuk yang berkaitan dengan
masalah khamr ini.
Ayat ini diawali dengan kalimat, “Yas-aluunaka ‘anil khamri wal maisir” (mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan
judi). Terhadap pertanyaan ini, dijawab,
“Qul fiihimaa itsmun kabiirun wa manaafi’u linnaasi wa itsmuhumaa akbaru min
naf’ihimaa” (Katakanlah, “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa'at bagi manusia).
Jawaban Al-Qur’an yang mengatakan bahwa khamr
itu ada manfaatnya, menunjukkan obyektivitas Al-Qur’an. Jadi Al-Qur’an
selalu mengajarkan kepada kita untuk selalu inshof
(obyektif) dalam menyikapi segala permasalahan yang ada di masyarakat kita.
Pada ayat ini Al-Qur’an tidak mengatakan bahwa yang ada pada khamr itu hanya bahaya saja, karena
memang khamr itu ada manfaatnya. Oleh
karena itu dijelaskan bahwa khamr itu
ada manfaatnya. Namun kemudian dijelaskan juga bahwa khamr itu selain ada manfaatnya, tetapi padanya terdapat dosa yang
besar.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana konklusi
Al-Qur’an dalam menilai masalah yang di dalamnya ada manfaatnya tetapi dosanya
besar ini? Al-Qur’an mengatakan, “Wa
itsmuhumaa akbaru min naf’ihimaa” (tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya). Al-khamru wal maisir (khamr dan
judi), ini adalah min ‘aadatin
arobiyyatin jahiliyyah (minum khamr termasuk
adat istiadat orang Arab jahiliyah), sebelum turunnya ayat tentang khamr ini. Orang-orang Arab termasuk
para sahabat, terbiasa minum khamr,
karena khamr pada waktu itu belum
diharamkan. Sebagaimana kita kita ketahui, khamr
itu tidak diharamkan sekaligus, tetapi diharamkan secara berangsur-angsur
dalam tiga tahapan. Sebagian orang mengatakan bahwa ayat ini merupakan larangan
minum khamr pada tahapan yang
pertama.
Pada tahap yang pertama ini, Al-Qur’an mengatakan
bahwa pada dasarnya khamr itu adalah itsm (dosa), walaupun ada manfaatnya.
Penjelasan Al-Qur’an ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa selain memahami
sesuatu secara hukum, kita juga harus memahaminya secara fiqhud taghyir (fiqh dalam masalah perubahan). Artinya, Al-Qur’an al-Karim
ketika membicarakan tentang taghyiiru lil
‘aadah (merubah kebiasaan), biasanya dilakukan sedikit demi sedikit. Tetapi
kalau yang berkaitan dengan perubahan ‘aqidah (keyakinan), itu harus
dilakukan sekaligus. Jadi tidak ada perubahan ‘aqidah itu dilakukan
sedikit demi sedikit. Makanya ayat-ayat yang berkaitan dengan ‘aqidah,
itu dilakukan pada awal disyi’arkannya
Islam, yaitu periode Makiyah. Jadi begitu Al-Qur’an diturunkan, masalah yang
berkaitan dengan ‘aqidah dirubah sekaligus. Jadi apapun yang berkaitan dengan
‘aqidah, ini harus kita ubah sekaligus. Kita dilarang terlalu banyak membuat
perhitungan dalam perubahan masalah perubahan ‘aqidah yang salah di masyarakat
kita. Namun demikian, perubahan itu harus kita lakukan dengan bil hikmah.
Tetapi kalau yang berkaitan dengan al-’aadah (kebiasaan di masyarakat),
Al-Qur’an lebih tasamuh (lebih
toleran), dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit, tetapi pasti. Kenapa
demikain? Karena untuk merubah adat itu tidak bisa seperti membalikkan telapak
tangan. Adat itu terbentuk dengan cara perlahan, sehingga untuk merubahnya
kembali juga harus dengan perlahan-lahan dan bertahap. Dalam hubungannya dengan
minuman keras ini, orang yang sudah kecanduan minuman keras itu sulit sekali
kalau disuruh meninggalkannya sekaligus, tetapi harus diusahakan sedikit demi
sedikit.
Kalau kita tadaburi, cara Al-Qur’an memahamkan
masalah khamr ini benar-benar bagus.
Manusia yang biasa minum khamr tersebut
diajak untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dengan bahasa kita, seolah-olah
Al-Qur’an mengatakan, “Coba kalau kamu renungi, memang benar bahwa khamr itu menyenangkan, tetapi khamr itu terdapat banyak keburukannya
dan berdosa di sisi Allah. Dan dosa karena minum khamr itu lebih besar daripada manfaatnya. Karena minum khamr, banyak terjadi
kerusakan-kerusakan dalam kehidupan. Kerusakan dalam ekonomi, kerusakan dalam
masalah kesehatan, dan kerusakan-kerusakan yang lainnya.” Jadi orang yang
terbiasa minum khamr itu diajak
berfikir oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an tidak langsung mengklaim bahwa yang ada pada
khamr itu hanyalah kerusakan belaka,
tetapi dikatakan bahwa khamr itu ada manafi’nya (ada manfaatnya), tetapi
dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Pada tahap yang
kedua dalam pengharaman khamr ini,
Allah mengatakan, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun” (QS An-Nisa` :43).
Pada tahap yang
kedua ini orang dilarang mengerjakan shalat ketika mereka sedang mabuk. Ini
jelas sekali menunjukkan adanya kemajuan dalam pelarangan masalah khamr ini. Jika pada tahap pertama
Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa dosa yang ada pada khamr lebih besar daripada manfaatnya, pada tahap yang kedua ini
sudah diarahkan pada aktivitas yang nyata bagi manusia agar semakin menjauhi
minum khamr. Biasanya orang yang suka
mabuk dengan minuman keras itu, mereka itu tidak setiap saat ingin minum khamr. Hanya pada waktu-waktu tertentu
saja yang kalau tidak minum khamr,
mulutnya terasa ‘kecut’. Dengan dilarangnya shalat ketika sedang mabuk, mereka
akan semakin menjauhi khamr tersebut.
Kenapa? Karena dalam sehari semalam dilaksanakan shalat dalam lima waktu.
Dengan demikian diharapkan ketika keinginan minum khamr muncul, akan terhalang dengan tibanya waktu shalat, sehingga
keinginan untuk minum khamr itu
tertunda. Jika hal ini
berlangsung berulang-ulang, kebiasaan minum khamr
tersebut dtinggalkan sedikit demi sedikit.
Baru pada tahap
yang ketiga yang merupakan tahap terakhir dari pelarangan khamr ini, Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khomr, berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khomr dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (QS Al-Maidah: 90).
Ketika ayat ini
turun, Umar bin Khathab langsung mengatakan, “Bala Ya Rabb, intahaina-intahaina“ (Kami sekarang sudah kapok, Ya
Rabb, kami tidak akan mengulangi lagi). Umar bin Khathab mengatakan ini, karena
minuman keras adalah hal yang biasa di kalangan orang Arab.
Cara Al-Qur’an
seperti ini harus kita teladani ketika kita berdakwah pada masyarakat. Ketika
kita menjumpai suatu adat istiadat yang salah pada masyarakat kita, adalah
menjadi tugas kita untuk merubahnya sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya
adat tersebut sesuai dengan ajaran Islam yang sangat mulia ini. Wallahu
a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar