Oleh:
Ustadz Dr. H Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Dan
(ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu
akan melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami
tinggalkan seorang pun dari mereka. Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu
dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami
menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami
sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian. Dan
diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan
terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai
celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak
(pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang
telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang
juapun”
(QS
Al-Kahfi: 47-49).
Pada ayat
45 dan 46 Surat Al-Kahfi, Allah Swt. membuat perumpamaan tentang kehidupan di
dunia seperti air hujan yang menumbuhkan berbagai macam tanaman dan tumbuhan
yang menjadi sumber nafkah manusia. Tumbuhan dan tanaman itu pada masanya akan
hancur, apakah ditebang oleh manusia untuk diambil kayunya, diketam untuk
diambil padinya, dipanen untuk diambil buahnya, atau hancur disapu badai dan
gelombang tsunami. Semua ada batas waktunya. Tidak ada yang abadi, kecuali
Allah Swt.
Allah Swt.
juga menjelaskan bahwa harta kekayaan dan anak-anak hanyalah sekedar perhiasan
hidup di dunia, sedangkan “al-baaqiyaatush shaalihat” (amal shalih)
itulah yang dapat dijadikan harapan untuk bekal kehidupan di akhirat kelak.
Melalui
kedua ayat ini, Allah Swt. ingin menyadarkan manusia bahwa kehidupan dunia
adalah fana (sementara), maka tidak layak bagi manusia memfokuskan kehidupannya
untuk dunia semata. Setelah dunia dihancurkan, masih ada kehidupan lain yang
kekal selama-lamanya, yaitu kehidupan akhirat.
Selanjutnya,
dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat 47-49 Surat Al-Kahfi
menceritakan tentang kecemasan-kecemasan yang menakutkan di hari kiamat, dimana
pada hari itu gunung-gunung akan berjalan dan akan bergeser dari tempatnya .
Bumi menjadi dataran yang sangat luas, tidak ada bangunan, tidak ada pepohohan,
tidak ada lembah, dan tidak ada tempat sembunyi. Pada hari itu semua makhluk
Allah akan berdiri berbaris di hadapan-Nya, lalu Allah Swt. berfirman, “Kalian
mengira bahwa tidak akan ada hari serupa hari ini, telah datang kepada-Ku hari
ini tepat dalam keadaan seperti waktu Kami menciptakanmu.”
Suasana
seperti itu ditegaskan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, “Dan mereka
bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah, ‘Tuhanku akan
menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, maka Dia akan menjadikan
(bekas) gunung-gunung itu datar sama sekali, tidak ada sedikitpun kamu lihat
padanya tempat yang rendah dan yang tinggi-tinggi” (QS Thaha: 105-107).
Kemudian
kepada mereka diletakkan kitab yang besar dan yang kecil, yang baik maupun yang
buruk, yang penting maupun yang sepele. Pada hari itu berkatalah orang-orang
yang durhaka dan bersalah dengan wajah ketakutan setelah melihat catatan
kehidupannya. Mereka menemukan semua amal yang baik dan yang buruk di dalam
kitab catatannya yang sangat rinci. Di situlah mereka baru menyadari bahwa
Allah Swt. Maha Adil, tidak mengurangi sedikit pun hak manusia atas amal yang
mereka lakukan.
Hal ini
dinyatakan oleh Allah Swt., “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya.
Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan” (QS Al-Anbiya`: 47).
Pada ayat
di atas, Allah Swt. menjelaskan tentang kondisi kehidupan di akhirat, yang
merupakan akibat logis dan adil dari pilihan pola kehidupan di dunia. Dalam
kajian Ar-Razi, ayat 47-49 surat Al-Kahfi ini juga merupakan sanggahan dan
koreksi terhadap kalangan musyrikin dan kafirin yang begitu bersikap arogan
terhadap kaum Muslimin yang lemah (dha’if) dan tertindas (mustadh’afin).
Mereka sombong (takabbur) dengan gemerlapnya harta benda yang mereka
miliki, serta besarnya jumlah pendukung yang mereka kuasai.
Dalam ayat
ini juga, Allah Swt. menegaskan kepada Nabi Muhammad Saw. berserta para
pengikutnya, agar tetap istiqamah dalam Islam, sekalipun mendapatkan
provokasi yang menyesakkan hati dari kalangan musyrikin dan kafirin. Disamping
itu, Allah Swt. menyuruh kaum Muslimin agar tidak ragu menyampaikan kepada kaum
musyrikin dan kafirin tersebut bahwa meskipun mereka mengklaim dengan demikian
congkaknya, tapi itu semua tidak akan berarti apa-apa di hadapan kekuasaan
Allah Swt. Dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, Allah Swt. mampu
memperjalankan gunung-gunung, memunculkan kandungan isi bumi, serta
membangkitkan kembali orang-orang yang telah mati untuk mempertanggungjawabkan
pilihan kehidupannya di dunia secara individu.
Di akhirat
kelak, setiap manusia akan di hadapkan secara perorangan tanpa membawa harta
benda dan kawan pendukung. Itu semua dengan maksud untuk menyadarkan kembali
kalangan musyrikin dan kafirin, agar mereka dapat merenungkan kembali pilihan
kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya, sehingga tak berlaku arogan dan semena-mena
terhadap sesama manusia. Mereka juga diingatkan agar segera melakukan
pertaubatan (taubatan nashuha), agar hidup mereka menjadi semakin
bermakna positif dan tidak menyesal di hari kiamat nanti.
Pada hari
itu, setiap manusia secara individu akan melihat kembali hasil kerjanya selama
di dunia. Saat itulah, orang-orang musyrik dan kafir yang memilih kehidupan negatif
di dunia akan menerima catatan yang sangat rinci tentang semua dosa yang
dilakukannya, baik yang termasuk kategori shoghir (dosa kecil), maupun kaba`ir
(dosa besar). Tak satu pun yang luput dari catatan shahifah (kitab
catatan amal). Tak satu pun perbuatan dosa yang dapat mereka tutup-tutupi
selama hidup di dunia. Maka terbentanglah kebusukan mereka di hadapan seluruh
umat manusia dan akan nyata kepantasan mereka mendapatkan hukuman Allah Swt,
Dzat yang Maha Penegak kebenaran, Dzat yang Maha Adil, yang tidak akan mencatat
sesuatu yang tidak faktual, yang tidak akan menghukum di luar kesalahan orang
itu sendiri.
Simaklah
penegasan Allah Swt. dalam firman-Nya, “Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang
telah dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa
yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan Allah
sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya” (QS Ali Imran: 30).
Pada hari
kiamat nanti, manusia sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. akan dihisab
dengan merujukkannya kepada tiga nabi, yaitu Nabi Yusuf As., Nabi Ayyub As.,
dan Nabi Sulaiman As. Kepada seorang hamba yang miskin dan lemah ketika di
dunia ditanya, “Mengapa kamu lalai dari-Ku untuk mematuhi perintah-Ku?” Si
hamba tersebut menjawab, “Engkau telah menentukan nasibku sebagai manusia yang
tidak memiliki kesempatan untuk menyembah-Mu, karenan aku miskin?” Maka Allah
Swt. mendatangkan Nabi Yusuf As., seraya berfirman, “Orang ini dahulu pun
adalah hamba seperti kamu, tetapi ternyata kondisi kemiskinan tidak menghalangi
sedikit pun untuk tetap beribadah kepada-Ku.” Maka Allah Swt. memerintahkan
para Malaikat untuk memasukkannya ke dalam api neraka.
Kemudian
Allah Swt. menghisab orang yang mendapatkan cobaan (bala`) dan dikatakan
kepadanya, “Mengapa kamu lalai dan tidak beribadah kepada-Ku?” Orang itu
menjawab, “Karena Engkau menyibukkanku dengan berbagai cobaan.” Maka Allah Swt.
menghadirkan Nabi Ayyub As., seraya berfirman, “Orang ini dahulu pun pernah
mendapat cobaan (bala`), bahkan lebih dahsyat dari yang kamu alami. Akan
tetapi, ia tak sekali pun lalai dari beribadah kepada-Ku.” Maka Allah Swt.
memerintahkan kepada Malaikat untuk menempatkannya di neraka.
Kemudian
Allah Swt. menghisab seorang penguasa yang kaya raya dan ditanya, “Apa yang
telah kamu lakukan dengan kekuasaan serta kekayaan yang Aku berikan kepadamu?”
Si penguasa yang kaya raya itu menjawab, “Aku sangat sibuk dengan kekuasaan dan
kekayaanku, sehingga tak sempat lagi beribadah kepada-Mu.” Maka Allah Swt.
menghadirkan Nabi Sulaiman As. dan berfirman, “Tidak tahukan kamu tentang
Sulaiman ini? Ia adalah hamba-Ku yang memiliki kekuasaan dan kekayaan melebihi
kamu. Akan tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk tetap beribadah
kepada-Ku.” Maka si penguasa yang kaya raya itu pun di masukkan ke dalam api
neraka (Tafsir Ar-Razi XXI/135-136).
Demikianlah,
ayat-ayat di atas dengan sangat jelas memaparkan hakikat kejadian di hari
kiamat, saat kita semua harus mempertanggung jawabkan semua pilihan kehidupan
yang kita di dunia. Semoga kita tidak memilih pola kehidupan yang akan
menyengsarankan kita di akhirat kelak seperti ketiga orang yang telah
dicontohkan di atas. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar