Oleh: Dr. Ahzami Sami’un Jazuli
“Janganlah sekali-kali kamu
terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri” (QS Ali Imran: 196).
Ayat
ini menjelaskan tentang orang-orang Islam yang disakiti di jalan Allah. Di antara
yang menyakitkan umat Islam adalah ketika melihat orang-orang kafir berkuasa di
dalam negeri dan juga menguasai dunia, sementara umat Islam yang selalu
berjihad di jalan Allah menemukan berbagai macam kesulitan dan tantangan dalam
hidupnya. Bagi orang Islam yang hatinya terlena karena tidak menjaga
komunikasinya dengan Allah Swt., kondisi tersebut sangat mungkin akan
menimbulkan prasangka yang salah terhadap karakteristik Islam. Oleh karena itu
kadangkala kita dengar komentar sebagian orang yang mengatakan, “Mengapa kami
yang berada pada jalan yang benar selalu mendapatkan kesulitan dalam hidup ini,
sedangkan orang-orang kafir malah menguasai dunia?”
Kondisi
tersebut tentu akan menambah kesesatan orang-orang kafir. Mereka semakin tidak
menyadari kesesatan jalan yang mereka tempuh, karena dalam kehidupan di dunia
ini mereka mendapatkan berbagai macam kesenangan dan kekuasaan. Padahal semua
itu diberikan oleh Allah Swt. sebagai bentuk istidroj (penguluran), sama sekali bukan sebuah kehormatan bagi
mereka. Kita lihat pada saat ini sebagian orang kafir telah menguasai sektor
ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, sementara orang-orang Islam
tertinggal dalam berbagai macam kesulitan.
Kondisi
semacam itu jangan sampai memperdaya kita, sebagaimana yang dipesankan Allah
Swt. pada ayat ini. Karena walaupun semua yang dinikmati orang kafir merupakan
kesenangan, akan tetapi bukan merupakan nikmat yang hakiki, tetapi kesenangan
yang menipu, sebagaimana yang dijelaskan pada firman Allah Swt. pada ayat
selanjutnya.
“Itu hanyalah kesenangan
sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah
tempat yang seburuk-buruknya (QS Ali Imran: 197).
Ungkapan
Al-Qur’an dalam menggambarkan berbagai macam kesenangan yang dirasakan orang
kafir dalam kehidupan di dunia, diekspresikan dengan menggunakan kata mata’ dan bukan ni’mat. Karena ketika suatu kesenangan disebut nikmat, maka hal itu
bersifat abadi sebagaimana kenikmatan yang akan diberikan Allah Swt. kepada
orang-orang beriman dalam kehidupan di akhirat. Dan ketika berbicara tentang
kesenangan-kesenangan yang dirasakan oleh orang-orang kafir dalam kehidupan di
dunia, Al-Qur’an selalu menggunakan kata mata’.
Yang dimaksud dengan mata’ adalah maa yutamatta’u bihi qoliilan tsumma yazul
(kesenangan yang sedikit dan dari waktu ke waktu semakin menurun kualitasnya).
Ketika
Al-Qur’an mengatakan bahwa apa yang dirasakan orang kafir adalah mata’,
ini berarti bahwa berbagai macam kesenangan orang kafir adalah kesenangan yang
sangat sedikit. Jika berbagai macam kesenangan yang mereka rasakan tersebut
dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah berikan dalam kehidupan di akhirat,
tidak ada apa-apanya. Dan kalau kita perhatikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an,
kesenangan orang kafir selalu digambarkan oleh Allah dengan kata qoliil (sedikit). Misalnya yang terdapat
dalam firman Allah,
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba
sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti
takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari takutnya. Mereka berkata, ‘Ya
Rabb kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau
tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah,
‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS An-Nisaa`: 77).
Setelah
mereka bersenang-senang di dunia, tempat mereka selanjutnya adalah Neraka
Jahannam, dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Pemaparan seperti ini
adalah sebuah metodologi yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menanamkan pemahaman
yang benar kepada umat Islam. Metodologi itu adalah dengan menanamkan persepsi
pada umat Islam agar mereka tidak melihat segala hal dengan pandangan yang
bersifat sementara, akan tetapi harus dipahami dalam perspektif jangka panjang.
Jika
pada ayat sebelumnya Allah Swt. menerangkan tentang kedudukan orang kafir di akhirat,
yaitu di neraka dan mereka kekal di dalamnya, maka pada QS Ali Imran: 198, Allah Swt. menjelaskan tentang kedudukan
orang yang bertaqwa, yaitu di Surga yang penuh dengan kenikmatan,
“Akan tetapi orang-orang yang
bertaqwa kepada Rabbnya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah)
dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang
yang berbakti” (QS Ali
Imran: 198).
Kata
nuzul yang terdapat pada penggalan ini artinya adalah ‘suguhan’. Dan
sesuatu yang disuguhkan biasanya berada di tempat yang lebih tinggi untuk
disuguhkan ke tempat yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa surga Allah
berada pada tempat yang tinggi, karena kata nuzul
yang berasal dari kata nazala artinya
turun dari atas ke bawah.
Mari
kita mencoba membuat perbandingan antara warna kehidupan orang kafir dengan
warna kehidupan orang yang beriman. Allah Swt. mengakui bahwa ada orang kafir
yang merasakan berbagai macam kesenangan dalam kehidupannya di dunia. Akan
tetapi kesenangan yang abadi hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang
bertaqwa kepada Allah. Di sini Allah mengatakan, “Akan tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya, bagi mereka surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Kalau kita perhatikan, beberapa ayat Al-Qur’an
menjelaskan Surga yang dijanjikan Allah Swt. kepada hamba-Nya, bukan
kemenangan, kejayaan, prestise, atau yang lainya. Kita mengakui bahwa
kemenangan, kejayaan, dan yang lain-lainnya itu penting dan seringkali juga
dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Akan tetapi, semua itu tidak termasuk
yang ditransaksikan kepada hambaNya yang berjuang di jalan-Nya.
Pemahaman
yang benar tentang masalah ini sangat penting, agar seorang hamba tidak
menuntut agar Allah Swt. memberikan kemenangan kepadanya ketika sedang berdakwah
atau berjihad di jalan-Nya. Yang ada dalam benak seorang Mukmin adalah berjuang
dan berjuang, berjihad dan berjihad. Apakah dalam berjuang itu mendapatkan
kemenangan atau tidak, tidak terlalu penting. Karena inti dari perjanjian
antara kita dengan Allah adalah bahwa Allah menjanjikan kita surga, baik ketika
perang mendapatkan kemenangan atau kalah, baik ketika di dunia dalam kondisi
miskin atau kaya. Oleh karena itu, jangan sampai ada seorang Muslim pun yang
mengatakan, “Kita kan
seorang Muslim. Kenapa kita kalah terus? Kenapa dalam pemilu dari Orde Lama
sampai akan kembali ke Orde Lama lagi kok kita kalah terus?”
Harus
kita ingat bahwa kemenangan bukanlah masalah yang terpenting. Yang terpenting
bagi kita adalah perjanjian kita kepada Allah, bahwa kita telah berbai’at
kepada Allah dan Rasul-Nya untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Kalau hal
itu kita laksanakan, maka Allah menjanjikan kita Surga.
Jangan
sampai kita terkecoh dengan perkatan, “Selama umat Islam menggunakan atribut
Islam dalam perjuangannya, mereka tidak akan bisa mendapatkan kemenangan, tidak
akan mendapatkan kekuasaan dan Khilafah. Lihat saja apa yang terjadi di Turki,
Pakistan, Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, dan juga Indonesia, sampai sekarang
tidak ada yang mendapatkannya”. Ini adalah sebuah distorsi dalam memahami
Islam. Kita harus ingat bahwa janji Allah kepada kita adalah surga, dan surga
bisa kita dapatkan jika dalam kehidupan ini kita benar-benar mengaplikasikan manhaj Allah yang berlaku di muka bumi
ini. Dan untuk itu kita pasti akan mendapatkan ibtila’ (ujian), dan hambatan-hambatan, yang merupakan konsekuensi
logis dari perjanjian kita kepada Allah Swt. Ada pun kalau kemudian Allah
memberikan kemenangan kepada kita, memberikan prestasi dan prestise kepada
kita, memberikan harga diri yang tinggi kepada kaum Muslimin, semua itu
semata-mata fadh-lum minallah (kelebihan
yang Allah Swt. berikan kepada kita) dan sama sekali bukan termasuk min shamiimi al-bai’ah (tidak termasuk
esensi daripada bai’ah kita kepada Allah).
Jadi,
sikap yang harus kita miliki ketika melihat “kebebasan orang-orang kafir
bergerak di muka bumi” adalah sabar dalam arti yang sebenarnya. Sabar dalam
arti beramal dan beramal, tidak pernah berputus asa, dan tidak mengikuti
keburukan-keburukan yang ditampilkan orang-orang kafir.
Kalau
kita membaca buku-buku tentang dakwah yang ditulis oleh para da’i yang
berkaliber internasional, pastilah yang kita jumpai adalah tafa’ul (optimisme) yang senantiasa ada pada seorang da’i. Yang
dilakukan oleh Dr. Yusuf Qaradhawi misalnya, sekalipun beliau mengemukakan
beberapa masalah yang terjadi di dunia Islam, namun dalam setiap bukunya beliau
selalu menutup dengan ungkapan “Al-mustaqbalul
jadiid (Masa depan untuk Islam)”. Kalau rasa optimis telah hilang dalam
dada seorang da’i, maka kita akan mudah terpelanting dari jalan dakwah ketika
menjumpai masyarakat yang ‘tidak naik-naik’ padahal kita telah mencurahkan
segala kemampuan yang diberikan Allah kepada kita untuk membina mereka.
Mengapa kita harus tetap optimis? Karena tidak mustahil
orang yang pada saat ini belum merespon secara positif kepada dakwah Islam,
akan tetapi ketika kita meninggal dan diteruskan oleh generasi selanjutnya,
ternyata orang yang dulunya menentang kita, sekarang menjadi pendukung utama dalam
dakwah. Kejadian seperti ini sangat banyak terjadi dalam realitas dakwah yang
berlangsung dari masa ke masa. Ini artinya keberhasilan perjalanan dakwah tidak
diukur dengan umur seorang da’i. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar