PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan
masyarakat (community development) merupakan konsep pembangunan
masyarakat yang dikembangkan dan diterapkan sejak dasawarsa 1960-an, yaitu
dalam rencana pembangunan lima tahun 1956-1960 atau dikenal dengan nama Rencana
Juanda yang disusun oleh Biro Perancang Negara (Zamhariri, 2008). Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan sejak tahun 1954 telah menggunakan istilah community
development sebagai suatu penggunaan berbagai pendekatan dan teknik dalam
suatu program tertentu pada masyarakat setempat sebagai kesatuan tindakan dan
mengutamakan perpaduan antara bantuan yang berasal dari luar dengan keputusan
dan upaya masyarakat yang terorganisasi. Program-program tersebut dimaksudkan
sebagai upaya untuk mendorong prakarsa dan kepemimpinan setempat sebagai sarana
perubahan sesungguhnya. Di negara-negara berkembang, program ini memberikan
perhatian utama pada kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan warga masyarakat, termasuk di dalamnya pemenuhan kebutuhan
non-material (Mohd. Shukri Abdullah, 1994).
James
Christenson dan Jerry Robinson tahun 1980 seperti dikutip oleh Lyon (1987)
dalam Saharudin (2000) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan masyarakat,
komunitas digambarkan sebagai elemen-elemen pokok masyarakat yang ada dalam
batas geografis tertentu dimana mereka dapat mengembangkan interaksi sosial dengan
ikatan-ikatan psikologi satu sama lain dan dengan tempat tinggal mereka.
Selanjutnya James Christensen mengidentifikasi tiga pendekatan dalam pengembangan
masyarakat, yaitu menolong diri sendiri (self-help), pendekatan konflik,
dan pendampingan teknik (technical assistance).
Dalam
kajian-kajian tentang pemberdayaan masyarakat, para pakar ilmu sosial lebih
suka menggunakan istilah pengembangan masyarakat yang sifatnya bottom up
daripada pembangunan masyarakat yang cenderung bersifat top down untuk
menerjemahkan kata community development.
Pengembangan
masyarakat dengan demikian merupakan suatu aktivitas
pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti itu maka pembangunan merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat, bukan proyek pemerintah yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah. Pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.
pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti itu maka pembangunan merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat, bukan proyek pemerintah yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah. Pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.
Dalam konsep pembangunan masyarakat juga
dikenal istilah pemberdayaan
yang berasal dari kata empowerment. Konsep ini digunakan sebagai
alternatif dari konsep-konsep pembangunan yang selama ini dianggap
tidak berhasil memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah
besar, khususnya masalah kekuasaan (power) dan
ketimpangan (inequity) (Kartasasmita, Ginandjar 1996).
Pemberdayaan adalah suatu proses menolong
individu dan kelompok masyarakat yang kurang beruntung agar dapat berkompetisi
secara efektif dengan kelompok kepentingan lainnya dengan cara menolong mereka
untuk belajar menggunakan pendekatan lobi, menggunakan media, terlibat dalam
aksi politik, memberikan pemahaman kepada mereka agar dapat bekerja secara
sistematik, dan lain-lain (Ife, 1995). Sedangkan
Friedman (1992) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah politik pembangunan
alternatif yang menekankan keutamaan politik sebagai sarana pengambilan
keputusan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang berlandaskan pada
sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial
melalui pengamatan langsung.
Dengan
demikian, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan,
yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”
(Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses
pemiskinan lebih lanjut. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi
untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative
development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic
growth, gender equality and intergenerational equaty” (Kartasasmita, Ginanjar
1996).
Kaitan
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diuraikan dengan sangat baik oleh Adi
Fahrudin yang mengatakan bahwa pengembangan masyarakat harus didasarkan pada
asumsi, nilai, dan prinsip-prinsip agar dalam pelaksanaannya dapat
memberdayakan masyarakat berdasarkan inisiatif, kemampuan, dan partisipasi
mereka sendiri. Dengan demikian, konsep pengembangan masyarakat yang di
dalamnya terkandung makna partisipatif harus benar-benar dapat memberdayakan
masyarakat yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka menolong diri mereka sendiri (self-help)
dan dapat bersaing secara efektif dengan kelompok masyarakat lainnya.
Rumusan
Masalah
Dalam
kehidupan komuniatas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan
bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam suatu komunitas.
Upaya pemberdayaan kelembagaan petani guna meningkatkan perhatian dan motivasi
berusahatani akan lebih memberikan hasil bila memanfaatkan makna dan potensi
tiga kata kunci utama dalam konteks kelembagaan, yaitu norma, perilaku, serta
kondisi dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut
dicerminkan dalam perilaku dan tindakan petani, baik secara individu maupun
kolektif (Suradisastra, Kedi 2008).
Kelembagaan
petani memiliki titik strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis di
pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diprioritaskan
dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani. Saat ini
potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum
sebagaimana yang diharapkan.
Menurut
Dimyati ( 2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan
petani di Indonesia adalah:
1.
Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah
manajemen produksi maupun jaringan pemasaran.
2.
Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis.
Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm).
3.
Peran dan fungsi
kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara
optimal.
Masalah yang hampir sama juga
ditemukan pada petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare, Kecamatan Air
Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Untuk mengatasi permasalahan di atas
perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan
petani (seperti, kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia
input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan)
dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani. Tindakan
perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen
maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui
tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani.
Tujuan
Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi usahatani padi lahan
sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara.
2. Mengetahui kondisi kelembagaan dalam
mendukung pemberdayaan petani padi lahan sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara.
3. Merumuskan strategi pemberdayaan petani
padi lahan sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan melalui penguatan kelembagaannya.
ANALISIS
KASUS
Salah
satu faktor utama yang menyebabkan ketertinggalan
sektor pertanian dibanding sektor lainnya adalah lemahnya posisi tawar petani. Lemahnya posisi tawar
petani merupakan suatu gejala yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat
lemahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kelompok yang dilakukan.
Pengembangan lembaga dan pemberdayaan masyarakat selama ini dilakukan lebih
banyak untuk kepentingan pembangunan, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Lembaga yang dibentuk bukan berdasarkan “kemauan dan kebutuhan” petani, tetapi
lebih mengarah pada kebutuhan administrasi proyek. Seiring dengan itu, proses
pemberdayaan masyarakat juga tidak dilakukan sesuai dengan tujuan pengembangan
kelembagaan. Sehingga masyarakat merasa tidak punya kepentingan dengan apa yang
dilakukan, sekalipun namanya adalah pembangunan.
Akar masalahnya adalah kelembagaan petani. Faktor apa
yang menyebabkan kelembagaan petani tidak mempunyai posisi tawar yang kuat
dalam memperjuangkan nasib anggotanya. Apakah karena proses pembentukan lembaganya
atau karena rendahnya
kualitas sumberdaya pengurus lembaga tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendasar untuk lebih mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerima sesuatu yang berdampak
pada kualitas dan kemampuannya, metode apa yang lebih mudah diterima dan metode
mana yang kurang disukai petani.
Penelitian
tentang “Analisis Strategi
Pemberdayaan Petani dalam Primatani Lahan Sawah
Irigasi” dilaksanakan di Dusun VI yang
merupakan salah satu dari enam
dusun dalam wilayah Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan.
Dibanding dengan dusun-dusun lainnya, secara sosial dan ekonomi masyarakat
dusun VI masih tertinggal. Atas dasar itu dusun VI dijadikan sebagai fokus
kegiatan Prima Tani. Luas sawah irigasi yang terbentang dalam wilayah ini lebih
kurang 82 ha dan sebagian dikuasai oleh penduduk dusun lainnya.
Jumlah penduduk di Dusun VI adalah 358 jiwa yang terhimpun dalam 62 KK. Tingkat pendidikan
mayoritas kepala keluarga hanya Sekolah Dasar (SD). Rataan penguasaan lahan sekitar 0,4 ha, dengan tingkat
pendapatan Rp 900.000/KK/bulan. Sumber utama pendapatan diperoleh dari usahatani
padi sawah irigasi, usaha lahan pekarangan dan mocok-mocok (kerja
serabutan).
Letak wilayah lebih kurang 200 meter dari jalan utama
Lintas Sumatera, bisa dimasuki kendaraan bermotor. Jalan penghubung merupakan
benteng irigasi terdiri dari tanah yang dipadatkan. Akses dari dan keluar cukup
lancar. Pasar tradisional setempat berjarak lebih kurang dua kilometer.
Program yang diimplementasikan
terhadap petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare adalah Prima Tani. Prima Tani merupakan Program
rintisan pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian untuk memasyarakatkan inovasi hasil penelitian
dan pengembangan pertanian kepada masyarakat dalam bentuk laboratorium
agribisnis di lokasi yang mudah dilihat dan dikenal masyarakat petani. Tujuan utamanya
adalah untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar dan memperluas prevalensi
adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian,
Kementerian Pertanian. Selain itu, juga untuk menghimpun umpan balik mengenai
karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi, yang merupakan
informasi esensial dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan
berorientasi kebutuhan pengguna.
Kegiatan
Prima Tani di Desa Siparepare dimulai bulan Mei tahun 2005.
Diawali dengan penelusuran wilayah melalui PRA (Participatory Rural Appraisal) dan Base Line Survey,
dilanjutkan dengan sosialisasi program. Kegiatan utama yang dilakukan adalah
pemberdayaan masyarakat melalui pembenahan kelembagaan, pengenalan dan
pembimbingan penerapan teknologi spesifik, pengembangan industri pedesaan dan
fasilitasi pemasaran produk yang dihasilkan. Proses pemberdayaan dilakukan
melalui kegiatan pelatihan, pembelajaran lapang, diskusi, magang, dan penyebaran informasi melalui media cetak dan
media proyeksi. Disamping itu petani dan pengurus lembaga juga diajak ikut
serta dalam kegiatan seminar, lokakarya, pertemuan-pertemuan menyangkut
pengembangan program Prima Tani, fasilitasi ke instansi dan pengusaha terkait,
serta pertemuan resmi dengan para pejabat atau pengambil keputusan terkait.
Dalam penelitian ini, faktor yang diuji masih terbatas pada lima kegiatan pertama sesuai urutan.
Dari kelima strategi pemberdayaan di atas, analisis statistik menunjukan bahwa secara parsial
tidak satupun yang berpengaruh nyata (t hitung < t tabel), terhadap peningkatan kualitas sumberdaya
petani. Tetapi di antaranya
ada tiga kegiatan yang banyak diminati petani yaitu, pelatihan, magang dan
pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta media
cetak dan media terproyeksi kurang disukai.
Dari pengujian statistik, tampaknya proses pelatihan
yang dilakukan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Kondisi ini ditunjukan oleh angka koefisien
regresi yang memberikan pengaruh sebesar 53,90 %. Sedangkan
magang dan pembelajaran lapang masing-masing memberikan pengaruh sebesar 4 %
dan 43,75 %. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah pengaruh diskusi dan
konsultasi serta media yang memberikan pengaruh negatif, yaitu masing-masing
-1,06 % dan -5,60 %.
Hasil
penelitian menjelaskan bahwa munculnya pengaruh negatif dari diskusi dan
konsultasi disebabkan karena sebagian
besar petani tidak atau kurang menyukai proses diskusi dan konsultasi. Disamping
itu, diskusi juga merupakan suatu kegiatan yang membosankan bagi petani, karena
lebih banyak membahas tentang teori.
Sedangkan
pengaruh negatif media disebabkan karena media
yang diberikan dalam kegiatan Prima Tani di Siparepare belum tepat dan
membutuhkan perbaikan yang menyeluruh. Seharusnya media yang diberikan lebih
selektif bahasa dan materinya, serta diberikan menyeluruh ke semua lapisan
masyarakat. Disadari memang bahwa media yang diberikan lebih banyak menyangkut
hal-hal yang belum dilakukan pada kegiatan Prima Tani, sehingga manfaatnya bagi
peningkatan kualitas masyarakat menjadi tidak efektif.
STRATEGI
PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN
Penelitian yang memberikan hasil
negatif dari variable diskusi-konsultasi dan media terhadap program pemberdayaan
petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare dapat dikatakan cukup
mengejutkan. Mungkin juga ini sebuah anomali. Selayaknya variabel
diskusi-konsultasi dan media memberikan pengaruh positif terhdap program,
meskipun kecil.
Penjelasan
terhadap kedua variabel di atas adalah karena sebagian besar petani tidak atau
kurang tertarik pada proses diskusi dan muatan media yang membosankan.
Sesungguhnya ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan supaya proses
diskusi-konsultasi dan media dapat menarik minat mereka terhadap program
pemberdayaan.
1.
Memilih inovasi tepat guna.
Inovasi merupakan istilah yang
telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang,,
baik
industri, pemasaran, jasa, termasuk pertanian. Secara sederhana, Adams (1988)
menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide atau
objek yang dianggap baru oleh individu. Dalam perspektif pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau
grup yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, dan ide
yang diangap baru oleh seseorang. Definisi yang lebih lengkap disampaikan
oleh Van Den Ban dan Hawkins
(1996) yang menyatakan bahwa sebuah inovasi
adalah ide, metode, atau obyek yang dianggap baru oleh individu, tetapi tidak
mesti merupakan hasil penelitian terbaru.
Dari beberapa definisi tersebut,
inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (a) ide atau gagasan, (b) metode atau praktek,
dan (c) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga
komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru” tersebut tidak selalu berasal dari hasil
penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut
inovasi, apabila diintroduksikan kepada masyarakat tani yang belum pernah
mengenal sebelumnya.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi
yang akan diintroduksi ke dalam program
pemberdayaan
harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di petani. Untuk itu,
inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Inovasi yang tepat guna harus
dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan; harus memberi keuntungan
secara konkrit bagi petani; harus mempunyai kompatibilitas/keselarasan; harus
dapat mengatasi faktor-faktor pembatas; harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah
ada; harus terjangkau oleh kemampuan finansial petani;
harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba;
dan harus mudah untuk diamati.
2.
Memilih metode
penyuluhan yang efektif.
Faktor lain yang
mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah tepat tidaknya dalam
menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode yang efektif akan mempermudah
untuk dipahami oleh petani. Penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan
di luar sekolah (informal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan
maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau
meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau
bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya.
Menurut Van Den Ban
dan Hawkins (1996) dan Adam (1988), terdapat tiga klasifikasi metode penyuluhan, yaitu metode
penyuluhan media massa, metode penyuluhan kelompok,
dan metode penyuluhan individu.
a. Metode penyuluhan media massa. Metode ini ditujukan
kepada khalayak petani umum tanpa
adanya hubungan personal
antara penyuluh dengan audiens (Adam, 1988).
Beberapa teknik yang digunakan dalam metode ini antara lain melalui TV, radio, koran, pamflet, dan lain-lain.
b. Metode penyuluhan kelompok. Metode ini ditujukan kepada kelompok tertentu dan memerlukan pertemuan tatap muka
antara penyuluh dengan para petani (Adam, 1988). Beberapa teknik yang digunakan dalam metode ini antara lain ceramah, widyakarya, diskusi
kelompok, pelatihan, demontrasi/peragaan teknologi.
c. Metode penyuluhan individu. Metode ini ditujukan kepada individu-individu
petani yang memperoleh perhatian secara
khusus dari petugas penyuluh (Adam, 1988). Beberapa teknik yang digunakan dalam
metode ini antara lain konsultasi, diagnosis resep, dan partisipatif. Pada teknik konsultasi,
petani memposisikan dirinya
sebagai klien
yang
menyampaikan permasalahan dirinya kepada penyuluh/peneliti dengan tujuan untuk memperoleh solusi mengenai permasalahan yang dihadapi (teknik ini biasa
terjadi pada klinik pertanian). Pada teknik diagnosis resep, penyuluh/peneliti mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan yang mungkin petani tidak memahami kenapa hal
tersebut ditanyakan. Selanjutnya penyuluh/peneliti mendiagnosis penyebab masalah atas dasar jawaban petani dan memberikan resep sebagai pemecahan
masalah. Pada teknik partisipasi,
petani diminta secara aktif untuk memberikan
informasi faktual tentang masalah yang dihadapi, sedangkan peneliti/penyuluh melengkapi informasi tersebut sesuai keahliannya.
3.
Pemberdayaan Petugas Penyuluh
Petugas penyuluhan mempunyai korelasi yang sangat kuat terhadap keberhasilan suatu program. Menurut Mundy
(2000), kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal, yaitu
sifat inovasi, sifat adopter, dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Menurut
Bunch (2001), rancangan terbaik di dunia pun tidak akan menjadi program yang berhasil kalau petugasnya
tidak berkemampuan dan kemauan untuk menjadikannya berhasil. Seringkali kompetensi
dan motivasi petugas menjadi faktor pembatas efektifitas suatu program, dan
yang paling sering menjadi masalah adalah kurangnya motivasi.
Motivasi merupakan ruh dari pemberdayaan,
hal ini senada dengan yang disampaikan Wahyuni (2000) bahwa pemberdayaan (empowerment)
berarti memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali
potensi yang ada untuk ditingkatkan kualitasnya. Setelah inovasi tepat guna diperoleh,
metode penyuluhan yang efektif diketahui, selanjutnya adalah memilih agen
penyuluhan yang baik. Dengan kata lain, produk/inovasi
yang akan disampaikan ke petani harus bermutu (good innovations), cara
menyampaikan produk/inovasi ke petani harus bermutu (good extension method), dan orang yang
menyampaikan harus bermutu (good extension agent). Akhirnya, dengan penerapan total qualitiy
management dalam penyuluhan, diharapkan percepatan adopsi dan difusi
inovasi akan berhasil.
Agen penyuluhan merupakan individu atau
institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan informal kepada
petani dan keluarganya tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan usahatani dengan maksud agar mereka mampu, sanggup,
dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau
bila memungkinkan mampun meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya.
4.
Kaderisasi Petani Penyuluh
Berdasarkan
kecepatan mengadopsi inovasi, Rogers (1983) dalam Simamora (2003), membagi
petani ke dalam lima golongan,
yaitu inovator, early adopter, early
majority, late majority, dan laggard. Kelima golongan petani
tersebut, masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Inovator, mempunyai ciri-ciri; aktif mencari
inovasi, berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia
muda, mobilitas sosial cukup tinggi,
memiliki pendapatan di atas rata-rata, perintis pemula dalam adopsi
inovasi.
b. Early adopter, mempunyai ciri-ciri; merupakan opinion leader, berani mengambil
risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, memiliki pendapatan di atas
rata-rata, suka mempraktikkan inovasi yang baru dikenalkan, merupakan golongan pembaharu.
c. Early majority, mempunyai ciri-ciri; hati-hati dalam mengambil keputusan, mobilitas sosial kurang, berpendidikan rata-rata,
usia relatif muda, akan mengadopsi setelah melihat bukti dari orang lain.
d. Late Majority, mempunyai ciri-ciri; skeptis terhadap inovasi, usia relatif lebih
tua, status sosial relatif rendah, mobilitas sosial rendah, mengadopsi lebih
disebabkan perasaan segan, bukan karena penilaian positif terhadap inovasi.
e. Laggard, mempunyai ciri-ciri; berorientasi lokal, berfikiran dogmatis, berorientasi pada masa lalu,
dibutuhkan waktu lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi, atau bahkan akan
menolak selamanya.
5.
Penguatan Kelembagaan Petani
Menurut
Kedi Suradisastra (2008), langkah-langkah pemberdayaan kelembagaan petani
sebagai suatu upaya perubahan sosial diawali dengan tahap
diagnostik. Dalam fase ini dilakukan
diagnosa atau
analisis situasi lintas-sektor, lintas disiplin, dan lintas aspek elemen-elemen
perubahan sosial di suatu wilayah pembangunan. Dalam tahap ini kelompok
perekayasa model pemberdayaan
(ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Dalam
fase ini, lembaga riset dan perguruan tinggi diposisikan sebagai think-tank dan lembaga pembinaan (penyuluhan) sedangkan lembaga
perancangan pembangunan daerah berperan sebagai pemberi input.
Tahap
diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun dimana peran lembaga
pembinaan dan penyuluhan
meningkat secara proporsional.
Lembaga perancangan pembangunan secara politis mulai berperan dalam kegiatan
koordinasi dan administratif kewilayahan. Petugas dan penyuluh lapang sebagai
ujung tombak pemberdayaan memegang
posisi kunci dalam menghimpun, merangkum menyaring dan menganalisis situasi sosio
teknis petani setempat. Dalam saat yang sama,
lembaga-lembaga sektor merancang model dan kegiatan pemberdayaan di lokasi- lokasi
percontohan. Dalam tahap ini terjadi proses penyempurnaan rancangan model pemberdayaan dengan input dari seluruh
stakeholder. Fase ini juga memberikan kesempatan
untuk menggali lebih dalam peluang pemanfaatan entry-point dalam memperlancar
proses pemberdayaan kelembagaan baru.
Dalam
tahap uji coba dilakukan evaluasi dinamika komponen pemberdayaan kelembagaan
yang disesuaikan dengan kondisi sosial petani sekaligus dilakukan pula
pemantauan proses perubahan sosial sebagai resultan interaksi introduksi model pemberdayaan dengan kondisi sosial masyarakat setempat. Tahap uji coba juga
merupakan fase dimana strategi
pemberdayaan kelembagaan dipilih dan disepakati. Entry-point strategi introduksi model pemberdayaan dikaji dan disepakati dalam fase ini setelah hasilnya dianalisis
secara lintas keilmuan. Dalam
fase ini dilakukan sosialisasi rancangan strategis penyebaran model
pemberdayaan baru kepada lembaga dan
aparat terkait program pembangunan setempat, termasuk pejabat struktural
dan kelompok penyusun kebijakan
daerah otonom. Hasil uji
coba juga merupakan dasar untuk
menyusun rekomendasi oleh lembaga teknis daerah dan rekomendasi politis oleh kepala daerah. Tahap berikutnya adalah
mengidentifikasi dan
mengembangkan strategi implementasi
model pemberdayaan sesuai dengan karakteristik sosial kelembagaan masyarakat. Fase verifikasi dan implementasi
merupakan tahap terahir dimana lembaga
pembinaan masyarakat beserta aparatnya
memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan penerapan model pemberdayaan dan norma
sosial yang baru.
Setiap
upaya dan tahap perekayasaan kelembagaan senantiasa dihadapkan pada pilihan paradigma penerapan yang bersifat evolutif
atau revolutif. Paradigma evolusi dicerminkan dalam proses yang lambat dan teratur
dengan sesedikit mungkin korbanan yang diberikan kelembagaan sebagai suatu sistemyang
memiliki tatanan dan hierarki strtuktural. Pendekatan evolutif disesuaikan
dengan proses
evolusi sosial secara alami dimana perubahan
dan penerapan model pemberdayaan dilakukan
secara bertahap tanpa melakukan perubahan
drastis terhadap pola kegiatan yang tengah
berlangsung. Strategi ini memakan waktu relatif
lama dan proses adopsi terjadi secara
bertahap karena kelompok stakeholder memiliki cukup waktu untuk
memahami, mengevaluasi, dan melakukan
eksperimentasi penerapan teknik pemberdayaan
secara gradual.
Paradigma
revolusi dalam proses perubahan sosial kelembagaan dimanifestasikan dalam
bentuk pendekatan dan proses secara
cepat. Model dan strategi pemberdayaan yang
tengah berjalan digantikan secara total dengan model dan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Pada umumnya paradigma
ini dapat disejajarkan dengan pola pendekatan
top-down dengan parameter pemberdayaan subyektif.
Kedua paradigma
di atas selalu terdapat dalam setiap langkah pemberdayaan dalam proporsi
yang sejalan dengan kondisi dan status pemberdayaan
kelembagaan yang bersangkutan. Berkaitan dengan kondisi ini, Suradisastra
(1999) mengemukakan bahwa langkah pertama
yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi
katalis atau fasilitator pemberdayaan kelembagaan
petani. Para katalis ini kemudian bekerja secara sitematis dan melakukan langkah-langkah
identifikasi situasi sebagai berikut: (a) Memulai kegiatan pengenalan kelembagaan
dalam kelompok kecil. Upaya ini membuka
kemungkinan bagi anggota kelompok atau organisasi
untuk memahami sifat permasalahan kelembagaan
dan teknik untuk mengantisipasinya; (b) Memulai kegiatan secara informal.
Perekayasa kelembagaan dan para katalis berperan
sebagai fasilitator; (c) Memecahkan masalah
bersama (problem-solving oriented). Dalam arahan ini peran katalis
adalah menanamkan sikap bahwa membuat kesalahan dalam proses pengambilan
keputusan bukanlah sesuatu yang memalukan dan patut ditekankan bahwa hal tersebut dapat diperbaiki; dan (d)
Memperkuat hubungan horisontal. Hubungan horisontal antaranggota kelembagaan yang akan dievolusikan ditujukan untuk melakukan proses difusi informasi.
Hubungan ini memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi secara lebih luwes dan terbuka.
Evolusi
kelembagaan dari tahap non formal dan non struktur ke tingkat formal terstruktur
dilakukan setelah langkah-langkah di atas berjalan lancar dan pola komunikasi
telah terbentuk. Namun pada era reformasi yang menggebu-gebu akhir-akhir ini suara perombakan
pendekatan dari atas ke bawah (top down) ke pola pendekatan pembangunan dari
bawah ke atas (bottom-up)
semakin lantang. Kedua pola pendekatan ini pada hakekatnya memiliki penyimpangan dalam pemahaman dan penerapannya. Pola pendekatan top-down menganut paham bahwa perencana, teknokrat dan pakar memiliki seluruh pengetahuan dan informasi, kearifan dan moral yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan pembangunan. Masyarakat hendaknya berterima kasih karena
mereka merupakan kelompok yang
akan menikmati hasil pembangunan tersebut. Penyimpangan pemahaman pendekatan bottom-up
percaya bahwa masyarakat memiliki
semua materi yang dibutuhkan untuk pembangunan yang mereka inginkan tanpa campur tangan para birokrat dan teknokrat.
Pengalaman
menunjukkan bahwa masyarakat hendaknya diikutsertakan dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan bantuan dan tuntunan pelaksana kebijaksanaan.
Dalam kondisi ini harapan dan energi sosial berpadu dengan bimbingan untuk mencapai tujuan. Sikap ini menempatkan masyarakat
sebagai mitra pembangunan dan
bukan semata-mata sebagai “penikmat
hasil pembangunan”. Upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan hendaknya menganut pola
kombinasi pendekatan populis
bottom-up dan pendekatan paternalistik top-down dalam konteks tertentu.
Sumberdaya
yang tersedia di masyarakat petani, baik sumberdaya finansial maupun sumberdaya
nonfinansial dapat dimanfaat kan secara lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat (locally and finely tuned). Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan
pembangunan dapat diprioritaskan sesuai
dengan kebutuhan
riil. Masyarakat yang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya akan lebih responsif untuk
turut memikul tanggung jawab pengelolaan
pelaksanaan kegiatan. Hal ini
akan membantu mengurangi
biaya yang disediakan pihak pemerintah. Disamping itu pengetahuan dan keterampilan lokal (indigenous
technical know-how) mampu diadaptasikan untuk membantu penghematan biaya
dan peningkatan keuntungan.
Pemikiran
di atas secara eksplisit menggambarkan keikutsertaan masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai kelompok sasaran. Dalam
keadaan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, terutama dalam bentuk
partisipasi yang bersifat mobilisasi
spontan yang diartikan secara positif. Partisipasi merupakan unsur perekat
dimana masyarakat
merupakan faktor sentral dalam proses pembangunan. Partisipasi menempatkan masyarakat sekaligus sebagai mitra pembangunan,
pemegang risiko (stakeholders) serta pembuat dan pengambil keputusan yang menyangkut masa
depan mereka.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Setiap
upaya dan strategi pemberdayaan kelembagaan petani memiliki keterkaitan kuat
dengan kondisi sosial ekonomi petani. Pencapaian suatu program
pemberdayaan merupakan hasil
interaksi elemen-elemen
pemberdayaan sebagai strategi pemberdayaan yang diterapkan. Upaya dan strategi
pemberdayaan merupakan
suatu pendulum antara paradigma evolusi dan paradigma revolusi, namun tidak berarti bahwa setiap paradigma akan
muncul secara mutlak.
Kedua paradigma tersebut
merupakan suatu gradasi dengan proporsi yang sesuai dengan kebutuhan kelembagaan petani. Pengembangan
model pemberdayaan akan
selalu berada di antara kedua paradigma tersebut dengan proporsi yang sejalan dengan tuntutan
kebutuhan petani.
Implikasi
kebijakan pembahasan fungsi dan peran kelembagaan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan kelembagaan petani dan pertanian adalah bahwa kebijakan pemberdayaan
kelembagaan petani dan pertanian hendaknya mencakup seluruh elemen sosial ekonomi yang terdapat dalam
setiap kelompok masyarakat
atau etnis yang berbeda. Konsekuensinya penerapan kebijakan pemberdayaan memerlukan strategi
pendekatan yang mampu memfasilitasi aspirasi sosial budaya dan aspirasi teknis petani
dan kelembagaan petani serta lembaga pembangunan pertanian setempat. Penerapan
paradigma evolusi dan revolusi hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi
stakeholder pembangunan pertanian.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas Zakaria, Wan. 2008.
Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Christenson, James A. and
Jerry W. Robinson, Jr. 1989. Community Development in Perpective. Iowa State
University Press/Ames. United State of America.
Fahrudin, Adi (Editor). Pemberdayaan Partisipasi dan Penguatan
Kapasitas Masyarakat. Humaniora. Bandung.
Fahrudin, Adi. Pengembangan Masyarakat
Berteraskan Partisipasi Masyarakat. adifahrudin.files.wordpress.com/.../pengembangan-masyarakat-dan-...
Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Power dan Empowerment: Sebuah
Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. www.ginandjar.com.
Moehar Daniel,
Nieldalina dan Vivi Aryati.
2006. Analisis Strategi Pemberdayaan
Petani dalam
Primatani Lahan Sawah Irigasi Siparepare. BPTP Sumatera
Utara. ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2006/SP/analisisstrategis.doc
Musyafak, Akhmad
dan Tatang M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis
Kebijakan Pertanian, Volume 3 No.1. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Purbathin Hadi, Agus. Konsep Pemberdayaan, Partisipasi, dan
Kelembagaan dalam Pembangunan. Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat
Agrikarya (PPMA). http://suniscome.50webs.com/...
Sadono, Dwi. 2008. Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan
Pertanian Di Indonesia. Jurnal Penyuluhan Maret 2008, Vol. 4 No. 1. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sesbany. Penguatan Kelembagaan Petani untuk Meningkatkan
Posisi Tawar Petani. www.info.stppmedan.ac.id/pdf/jurnalsesbany1.pdf.
Suradisastra, Kedi. 2008. Strategi
Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 26 No. 2. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
0 comments:
Posting Komentar