Salah satu cara untuk meneropong mental
dan karakter seseorang adalah dengan mengamati tingkah polah mereka ketika mengendarai
kendaraan bermotor di jalan raya. Setiap hari, kota-kota besar seperti Jakarta
dan sekitarnya, dipadati kendaraan bermotor roda dua dan roda empat atau lebih.
Mereka harus berbagi di lajur jalan yang terbatas, lantaran peningkatan jumlah
kendaraan tidak sebanding dengan peningkatan panjang jalan yang dibangun
pemerintah. Al hasil, di setiap sudut jalan ibukota, terutama pada pagi
dan sore hari, terjadi kemacetan yang parah. Namun, warga Jakarta dan
sekitarnya sudah terbiasa menghadapi kemacetan, karena setiap hari mereka berangkat
dan pulang kerja hampir pasti melewati jalan yang sama.
Di samping jumlah kendaraan yang
melebihi kapasitas ruas jalan, ketaatan dan ketertiban para pengguna jalan juga
menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas. Para pengendara sepeda motor
saling serobot di sela-sela kendaraan roda empat atau lebih. Bahkan ada
pengendara motor yang nekat naik ke trotoar, sehingga mengganggu para pejalan
kaki. Para supir taksi dan supir bus saling berkejaran, lantaran mereka dikejar
setoran. Para pengendara mobil pribadi berusaha ingin segera tiba di tempat
kerja masing-masing. Begitulah kesibukan sehari-hari lalu-lintas di Jakarta.
Kalau kondisi tersebut tidak “dinikmati”, maka yang muncul adalah penyakit stres,
tekanan darah tinggi, pemarah, dan sikap intoleransi. Oleh karena itu,
seyogiyanya setiap pengguna jalan di kota-kota besar bisa memanfaatkan
kemacetan untuk melatih kesabaran dan toleransi.
Mat Bulbit adalah salah seorang
pengguna jalan yang setiap hari melintasi jalan-jalan raya di Jakarta dan
sekitarnya. Baginya, fenomena kemacetan merupakan menu sehari-hari. Ke
mana-mana, ia mengemudikan mobilnya sendiri. Tanpa supir pribadi. Padahal, kantor
tempatnya bekerja beberapa kali menawarkan supir pribadi kepadanya sebagaimana
teman-teman sejawat Mat Bulbit. Tapi ia menolak, dengan alasan Mat Bulbit tidak
mau ribut dengan supir pribadi yang ujungnya bisa berakhir pada pemecatan sang
supir, seperti yang pernah terjadi pada beberapa teman sejawatnya.
Ketidakcocokan antara supir pribadi
dengan majikan seringkali terjadi. Salah satu faktornya adalah ketidakcocokan gaya
(style) sang supir ketika mengemudikan mobil dengan keinginan majikan. Ada
majikan yang enjoy saja menghadapi kemacetan di jalan raya, sehingga
tidak suka dengan gaya supir yang ugal-ugalan. Sebaliknya ada majikan yang
selalu ingin cepat sampai ke tempat tujuan, sehingga meminta supir pribadinya untuk
melakukat zig-zag di jalan. Nah, kalau gaya sang supir tidak cocok
dengan keinginan majikan, sangat mungkin sang majikan marah-marah kepada
supirnya. Kalau sang supir tidak terima dengan makian sang majikan, maka yang
terjadi adalah percekcokan yang pasti berujung pada pemecatan sang supir.
Kondisi inilah yang tidak diharapkan Mat Bulbit. Makanya, ia lebih memilih
mengendarai mobilnya sendiri.
Suatu hari di bulan Oktober 2012, Mat Bulbit
mengendarai mobil ke Bandara Soekarno-Hatta untuk sebuah tugas ke luar kota.
Kondisi lalu lintas pada waktu itu cukup lancar, sehingga ia dapat berkendaraan
dengan santai. Kira-kira tiga kilometer menjelang masuk ke terminal bandara,
tiba-tiba mobil yang berada di depan Mat Bulbit mengerem secara mendadak. Mat
Bulbit tersentak dan langsung menginjak pedal rem sekuat tenaga. Namun naas,
hidung mobil Mat Bulbit mencium bemper mobil yang berada di depannya. Tidak terlalu
keras, hanya menyisakan bercak putih di bagian belakang mobil yang ditabraknya,
yang berasal dari plat nomor mobil Mat Bulbit.
Si pengendara mobil turun dan langsung
menghampiri Mat Bulbit. “Saya minta SIM!” ketus orang tersebut. “Untuk apa?”
tanya Mat Bulbit. “Kita selesaikan di sini saja,” lanjut Mat Bulbit sambil
mengajak orang tersebut menepikan kendaraannya agar tidak mengganggu pengguna
jalan yang lain.
“Nggak! Saya minta SIM anda,” paksa
orang itu. “Saya sedang terburu-buru mengantar tamu ke bandara,” lanjutnya.
“Saya juga mau ke bandara. Kalau begitu
kita sama-sama ke bandara dan kita selesaikan di sana,” ajak Mat Bulbit santai.
“Saya minta SIM anda!” seru orang
tersebut ngotot. “Oke, bagaimana kalau kita ke pinggir saja dulu sebentar. Saya
akan bertanggung jawab,” urai Mat Bulbit meyakinkan orang itu.
“Tidak! Saya harus meminta SIM anda,
supaya anda tidak kabur,” ucap orang itu ketus.
Sambil geleng-geleng kepala, Mat Bulbit
akhirnya mengeluarkan dompet dan menyerahkan SIM-nya kepada orang tersebut.
“Mari kita ke pinggir sekarang dan kita selesaikan masalah kita,” ajak Mat
Bulbit. Setelah mengambil SIM Mat Bulbit, orang itu berkata, “Nanti kita ketemu
di bandara saja,” katanya sambil masuk ke mobil dan tancap gas ke arah bandara.
Mat Bulbit menghela nafas panjang. SIM-nya
dibawa kabur oleh pengemudi mobil yang ia tabrak. Sementara dia belum sempat
mencatat nomor polisi mobil yang dikemudikan orang yang telah membawa kabur
SIM-nya. Kepala Mat Bulbit dipenuhi tanda tanya besar. Untuk apa orang itu
mengambil SIM-nya? Bukankah bagi orang itu tidak ada manfaatnya? Dan bila
kejadiannya seperti itu, bukankah orang itu tidak mendapat ganti rugi dari Mat
Bulbit? Padahal ia mau bertanggung jawab atas insiden yang baru saja terjadi.
Memang orang jujur dan orang jahat tidak
memiliki tanda di kening atau di wajahnya, sehingga sulit bagi kita untuk
memutuskan apakah seseorang yang baru dikenal itu jujur atau jahat. Seandainya
orang baik dan orang jahat punya tanda yang dapat dilihat, maka dengan mudah
kita dapat memilih para pemimpin dalam setiap pemilu dan pemilukada. Kondisinya
akan semakin bertambah sulit manakala orang-orang yang diharapkan dapat
menunjukkan rekam jejak calon-calon pemimpin yang akan dipilih, justru berlaku
tidak jujur dan memutarbalikkan fakta dan data. Orang baik dicap buruk,
sebaliknya orang buruk diberi label baik. Akhirnya, masyarakat menjadi bingung
dan memilih bersikap fragmatis.
Bahkan dalam banyak kasus, orang-orang
yang berniat jahat selalu menampilkan perilaku sopan dan berkata-kata manis di
hadapan calon korbannya. Dalam kasus di atas, pengemudi yang mobilnya ditabrak
Mat Bulbit tidak percaya kalau Mat Bulbit mau bertanggung jawab. Meski Mat
Bulbit telah berkali-kali meyakinkan orang tersebut bahwa dirinya akan
bertanggung jawab. Sebaliknya, Mat Bulbit memahami ketidakpercayaan orang
tersebut terhadapnya, sehingga ia mau memberikan SIM-nya. Mat Bulbit berpikir,
tidak mungkin orang itu membawa lari SIM-nya, karena bagi orang tersebut SIM
Mat Bulbit tidak ada manfaatnya. Melihat kenyataan SIM-nya dibawa kabur, Mat
Bulbit hanya berharap bahwa suatu waktu orang itu akan terbuka hatinya, lalu
mengembalikan SIM itu kepadanya.
Beberapa hari kemudian, Mat Bulbit menceritakan
kejadian tersebut kepada beberapa temannya di kantor. Dari merekalah Mat Bulbit
menemukan jawabannya. Menurut mereka, modus dengan cara mengambil SIM dalam
sebuah kecelakan lalu-lintas seperti yang dialami Mat Bulbit sudah menjadi
kebiasaan di kalangan para supir di jalanan. Meski mereka tidak mendapat ganti
rugi, toh mobil mereka sudah diasuransikan, sehingga tidak ada masalah dengan
kerusakan. Apalagi mobil yang ditabrak Mat Bulbit cuma menyisakan cat putih
yang berasal dari plat nomor mobilnya.
Lalu untuk apa orang itu mengambil SIM
Mat Bulbit? Kata mereka, memang SIM itu tidak ada manfaatnya buat dia, tapi orang
itu cukup puas lantaran sudah membuat susah Mat Bulbit. ‘Hmm....jadi di
Republik ini, ada orang yang merasa puas kalau berhasil membuat orang lain
susah,’ ucap Mat Bulbit dalam hati.
*****
Hari Sabtu, sehari setelah Hari Raya
Idul Adha 1433 Hijriyah yang lalu, Mat Bulbit dan istrinya mengunjungi
orangtuanya di Pandeglang, Banten, sambil mengecek pelaksanaan pemotongan hewan
qurban yang dikirim dari Jakarta melalui orang kepercayaannya di Pandeglang. Sudah
lima tahun belakangan, Mat Bulbit melakukan pemotongan hewan qurban di desa
orangtuanya. Menurutnya, daging qurban akan lebih bermanfaat bila dibagikan
kepada mereka yang hidup dalam kekurangan.
Usai bersilaturrahim, Mat Bulbit dan
istrinya kembali ke Jakarta. Sejak memasuki jalan raya Pandeglang-Jakarta,
sebuah mobil sedan Suzuki Aerio bernomor polisi B 1808 NVC berusaha mendahului
mobil Mat Bulbit. Namun, karena ramainya kendaraan yang melintas, mobil yang
dikendarai empat anak muda itu belum berhasil mendahului mobil Mat Bulbit.
Menjelang Pasar Cadasari, semua kendaraan memperlambat lajunya, karena banyak orang
yang lalu-lalang di sekitar pasar yang letaknya persis di pinggir jalan raya. Ada
yang berjalan kaki, ada yang menggunakan sepeda, dan banyak pula yang
menggunakan sepeda motor. Tepat di depan Mat Bulbit, seorang ibu pengendara
sepeda motor hendak menyeberang. Mat Bulbit menghentikan mobilnya memberi
kesempatan ibu itu untuk melintas. Tiba-tiba mobil Mat Bulbit ditabrak oleh
mobil Suzuki Aerio yang sejak tadi ingin mendahuluinya. Tampaknya tabrakannya
cukup keras. Hal itu dapat dilihat dari rusaknya bagian depan mobil si
penabrak. Sedangkan bagian belakang mobil Mat Bulbit penyok ke bagian
dalam.
Mat Bulbit hendak turun dari mobil untuk
meminta pertanggungjawaban si penabrak. Namun, panjangnya barisan kendaraan di
belakang, menyebabkan Mat Bulbit tidak enak hati bila peristiwa itu sampai
mengganggu perjalanan pengendara lain yang tidak punya sangkut paut dengan
kejadian yang baru saja menimpanya.
Mat Bulbit, lalu meminta si penabrak
meminggirkan mobilnya supaya. Dan bersamaan dengan itu, ia memindahkan mobilnya
ke pinggir jalan. Namun, baru saja satu putaran roda mobilnya bergerak ke
pinggir jalan, tiba-tiba mobil si penabrak langsung melesat melarikan diri
dengan kecepatan tinggi. Merasa dicurangi, Mat Bulbit berusaha mengejar si
penabrak. Rupanya si penabrak yang pengecut itu sudah bulat untuk kabur. Dengan
nekatnya dia terabas jalur kanan untuk melarikan diri. Beberapa pengendara
sepeda motor meneriakinya lantaran hampir saja membahayakan mereka. Akhirnya
Mat Bulbit membiarkan orang itu melarikan diri. Tarikan nafas panjang disertai
ucapan istighfar keluar dari mulut Mat Bulbit. Ia tidak percaya bahwa
ternyata ada orang yang bermental pengecut seperti itu. Mental seperti itulah
yang mungkin menyebabkan bangsa ini sulit keluar dari keterpurukan.
*****
Sabtu pagi di bulan November 2012, Mat
Bulbit berangkat ke Bogor untuk suatu keperluan di Institut Pertanian Bogor
(IPB) Baranangsiang. Sepanjang jalan tol menuju Bogor hujan turun, tapi tidak
terlalu deras. Namun demikian, semua pengendara harus hati-hati karena jalan
licin. Beberapa kendaraan menyalakan lampu agar mobil yang ada di depan dan
belakangnya dapat terlihat lebih jelas.
Sebuah mobil minibus berjalan santai di
lajur paling kanan. Di belakangnya adalah mobil Mat Bulbit. Mobil tersebut
berjalan lambat. Mestinya mobil itu berjalan di lajur kiri atau tengah,
sehingga tidak menghalangi laju kendaraan yang akan mendahuluinya. Mat Bulbit
menyalakan lampu dim beberapa kali sebagai tanda akan mendahului. Namun, mobil tersebut
tetap di lajur kanan. Karena tidak diberi kesempatan untuk mendahului dari
sebelah kanan, akhirnya Mat Bulbit mangambil lajur tengah untuk mendahului
mobil tersebut. Ketika sudah berhasil mendahului, tiba-tiba mobil tersebut
menyalakan lampu dim berkali-kali, seolah-olah dia tidak rela mobilnya
didahului Mat Bulbit. Dan benar, mobil itu lalu mengejar Mat Bulbit dan menyalip
dari sebelah kiri dengan kasar. Setelah itu, si pengendara memperlambat laju
mobilnya dan dengan sengaja menghalang-halangi mobil Mat Bulbit hingga memasuki
arah Bogor. Si pengedara mobil terus melaju ke arah Ciawi, sedangkan Mat Bulbit
menuju Bogor. Sepanjang jalan menuju pintu tol Bogor, pikiran Mat Bulbit
dipenuhi tanda tanya. Mengapa si pengendara mobil begitu marahnya kepada Mat
Bulbit? Padahal berdasarkan etika di jalan raya, orang itulah yang salah lantaran
mengendarai mobil dengan lambat di lajur cepat. Hingga saat ini, Mat Bulbit
belum menemukan jawabannya.
0 comments:
Posting Komentar