“Allah
berfirman: "Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari
manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara
langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan
kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”
(QS Al-A’raf: 144).
Dalam Tafsir
Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setelah Allah Swt. memilih dan melebihkan Musa As.
atas semua manusia, Allah Swt. menegaskan agar Musa As. menerima segala apa
yang telah diberikan Allah kepadanya dan tidak memohon sesuatu yang bukan
bagiannya dan tidak akan sanggup dipikulnya. Semua yang diberikan Allah kepada
Musa As. adalah sesuatu yang besar dan utama. Tidak ada yang lebih baik dan
lebih besar dari apa yang telah diberikan Allah menurut rahmat dan
kebijakan-Nya.
Secara substansial, ayat
ini mengandung makna zuhud dalam arti yang sangat luas dan mendalam.
Sebab, sebagaimana dikatakan para ulama salafush shalih, zuhud
ada tiga macam. Pertama, zuhud terhadap kemusyrikan (penyimpangan
aqidah) dan dalam beribadah, yaitu dengan tidak beribadah, kecuali hanya kepada
Allah Swt. Kedua, zuhud terhadap hal-hal yang diharamkan. Ketiga,
zuhud terhadap barang halal. Dua yang pertama adalah wajib, sedangkan yang
ketiga bukanlah sesuatu yang wajib.
Diceritakan oleh Abul
Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Ra., seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang
apabila aku melaksanakannya, maka Allah dan manusia mencintaiku.” Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda, “Zuhud-lah kamu terhadap apa yang ada di
dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan zuhud-lah terhadap apa yang ada
di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, Thabrani,
Ibnu Hibban, dan Hakim).
Hadits ini mencakup dua
wasiat yang sangat agung dari Rasulullah Saw.; pertama, zuhud
terhadap dunia yang menyebabkan kecintaan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Kedua,
zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain, yang membuahkan
kecintaan dan penghormatan dari orang lain.
Dalam Islam, seseorang
tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan, baik di dunia maupun di
akhirat, kecuali bila meraih cinta dari Allah dan kasih sayang serta
penghargaan dari manusia.
Kecintaan Allah kepada
manusia adalah keridhaan dan kebaikan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan
kecintaan manusia kepada seseorang merupakan suatu kecenderungan yang tumbuh
secara alami dan spontan. Karena tumbuhnya kecintaan manusia itu merupakan
akibat logis dari kecintaan Allah kepada orang tersebut. Karena bila Allah Swt.
mencintai seseorang, maka Allah akan menyusupkan rasa cinta dan kasih sayang
manusia kepada orang itu. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan
dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (QS Maryam: 96).
Secara bahasa, zuhud
berarti menolak sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap remeh. Sedangkan
secara syar’i, zuhud adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas
keperluan. Abu Idris al-Khaulani Ra., diriwayatkan oleh Imam Ahmad berkata, “Zuhud
terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan
tetapi, zuhud terhadap adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah
daripada yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka ia sangat
berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama
kita, kita pun berharap bias menambah dan menyimpan pahalanya.”
Melalui definisi ini, maka
pada dasarnya zuhud memiliki tiga hal penting, dan ketiganya merupakan amalan
hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Orang yang zuhud
tidak dapat dilihat, karena zuhud tempatnya di hati.” Ketiga hal
tersebut adalah:
Pertama, lebih meyakini apa yang
ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Sikap seperti ini lahir dari
keayakinan yang benar dan kuat bahwa Allah Swt. akan selalu menjamin serta
memberi rezki kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tidak ada suatu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS Hud: 6).
Kedua, jika seseorang mendapat
musibah, seperti hilangnya harta benda, meninggalnya anak, dan lain-lain, maka
ia lebih menyenangi pahala dari musibah yang menimpanya ketimbang kehilangan
apa yang ada di sisinya. Sikap seperti ini pun hanya bisa tumbuh dari keyakinan
yang sempurna. Ibnu Umar meriwayatkan sebuah doa dari Rasulullah Saw.,
“Ya Allah, berikanlah kami
rasa takut yang dapat menghalangi kami berbuat maksiat kepada-Mu; ketaatan yang
dapat menumbuhkan kecintaan kepada-Mu; dan keyakinan yang dapat menjadikan kami
menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”
Ketiga, pujian dan celaan tidak
mempengaruhinya dalam berpegang teguh kepada kebenaran, dan ini merupakan tanda
dari sikap zuhud terhadap dunia.
Jadi, meski zuhud letaknya
di hati, akan tetapi ekspresi zuhud sesungguhnya dapat dilihat pada sikap yang
ditampilkan seseorang dalam menapaki kehidupan sehari-hari.
Cara Meraih Sikap Zuhud
Pertama, selalu memikirkan dan
merenungi akhirat dan semua yang berkaitan dengan akhirat. Dengan begitu, hawa
nafsu akan dapat dikendalikan, sehingga tidak terpedaya dengan dunia yang fana.
Kedua, selalu menghadirkan
perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada Allah
dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Bahkan dapat memperlambat proses hisab
di yaumil qiyamah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan
ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia
itu)” (QS
At-Takatsur: 8).
Ketiga, memahami sepenuhnya
bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat sirna, jika
dibandingkan dengan apa yang ada di sisi Allah Swt. Dalam sebuah hadits
dijelaskan bahwa timbangan dunia tidak lebih dari sayap nyamuk.
Keempat, selalu menghadirkan
perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah Saw. bersabda, “Dunia
adalah terkutuk, dan terkutuk juga apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir
kepada Allah dan segala sesuatu yang mengiringi dzikir itu, atau orang yang
memiliki ilmu dan orang yang mau belajar” (HR Ibnu Majah).
Zuhud yang Keliru
Zuhud yang tidak benar
adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau bersenang-senang
sedikit pun dengan kenikmatan tersebut. Zuhud dalam pengertian ini dipengaruhi
oleh pemikiran yang berkembang di Persia sebelum Islam. Pemikiran ini
kemudia dianut oleh sebagian umat Islam ketika masa pemerintahan Abasiyah mulai
melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja.
Sedangkan hidupnya hanya menggantungkan dari sedekah orang lain. Dengan kondisi
seperti itu mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang zuhud. Padahal
Islam sama sekali tidak menghendaki sikap negatif yang membawa kehancuran
seperti itu.
Teladan dari Rasulullah Saw. dan
Sahabat
Rasulullah Saw. orang yang
paling zuhud terhadap segala kenikmatan dunia demi mencari bekal akhrat,
padahal beliau dijamin masuk surga. Sikap ini kemudian ditiru oleh para
sahabatnya, sehingga mereka pun menjadi orang-orang yang patut dijadikan
teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.
Suatu saat Ibnu Umar
mendengar seseorang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan
mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah Saw., Abu
Bakar Ra., dan Umar Ra. Sambil balik bertanya, “Bukankah kalian bertanya
tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata,
“Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sejumlah
gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfaqkan harta tersebut dalam
rangka menaati Allah dengan hati dan ilmunya.
Memang wajar mereka
mendapat predikat seperti itu, karena mereka telah mendapatkan harta yang
melimpah, tapi semua hartanya itu digunakan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Mereka infaqkan demi kepentingan Islam dan tegaknya Kalimatullah di muka
bumi.
Allah Swt. mencintai
orang-orang yang zuhud, karena hati dan pikiran mereka tidak disibukkan oleh
hiruk-pikuk dunia. Rasulullah Saw. bersabda, “Hubbud dun-ya (cinta
dunia) adalah pangkal setiap kesalahan dan dosa.”
Orang-orang zuhud juga
dicintai manusia, karena mereka yang zuhud pasti akan mudah melepaskan apa yang
ada di genggamannya demi membantu sesama manusia dan mengharap ridha dari Allah
Swt. Orang-orang zuhud tak pernah iri terhadap dunia yang ada di tangan orang
lain, karena mereka paham bahwa dunia dan segala isinya adalah fitnah dan ujian
semata. Seseorang dapat menjadi mulia dan sengsara lantaran dunia.
“Ya Allah, jadikanlah
dunia di tanganku, tidak di hatiku.” Inilah doa Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah untaian doa yang
panjang. “…Walaa taj’alid dun-ya akbara hammina…” (Ya Allah, janganlah
Engkau jadikan dunia sesuatu yang menguras perhatian kami). Wallahu a’lam
bishshawab.