“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk” (QS Thaaha: 121-122).
Al-Qur`an telah menyebutkan kepada kita taubat Nabi-nabi dan orang-orang yang saleh atas perbuatan salah mereka. Mereka segera menyesal, bertaubat, dan ber-istighfar dari kesalahan itu. Dengan berharap agar Allah Swt. mengampuni dan menerima taubat mereka.
Pemimpin orang-orang yang taubat adalah nenek
moyang manusia, Nabi Adam As. Nabi Adam As. tidak lulus dalam ujian mengekang
hawa nafsu. Allah Swt. mengujinya dengan beban pertama yang ditanggungkan
kepadanya, yaitu melarang untuk memakan buah dari sebuah pohon. Hanya satu
pohon yang dilarang untuk dimakannya, sementara memberikan kebebasan baginya
untuk memakan buah dari seluruh pohon surga sesuka hatinya, bersama istrinya. Di
sini tampak beliau tidak dapat menahan keinginan pribadinya, serta melupakan
larangan Rabbnya dengan dipengaruhi bujuk rayu syetan dan tipu dayanya,
sehingga beliau memakannya. Namun, secepatnya
dia mencuci dan membersihkan dirinya dari bekas-bekas dosa itu, dengan taubat
dan istighfar.
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan
sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan
memberinya petunjuk” (QS Thaaha: 121-122).
Al-Qur`an menceritakan kepada kita tentang
taubat Nabi Musa As. Beliau telah melakukan dosa sebelum mendapatkan risalah,
lantaran menuruti permintaan seseorang dari kaumnya yang sedang bertengkar
dengan kaum Fir'aun untuk membantunya, maka kemudian Musa memukulnya dan orang
itupun tewas seketika.
“Musa berkata, ‘Ini adalah perbuatan syaitan
sesungguhnya syaitan adalah musuh yang menyesatkan, lagi nyata
(permusuhannya).’ Musa berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhya aku telah menganiaya
diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang’” (QS Al-Qashash:
15-16).
Beliau juga telah melakukan kesalahan setelah menerima risalah,
ketika beliau berkata,
“Berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku
agar aku melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihatKu. Tatkala Tuhannya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh, dan Musapun jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman,” (QS Al-A'raaf: 143).
Di sini, Allah Swt. berfirman,
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia
yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung
denganKu. Sebab itu berpegangteguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur” (QS Al-A'raaf: 144).
Ketika Nabi Musa As. kembali kepada kaumnya setelah beliau
melakukan munajat kepada Rabbnya selama empat puluh malam, dan mendapati
kaumnya telah menyembah anak sapi yang dibuat oleh Samiri, dan menjadikan anak
sapi itu sebagai tuhan yang disembah, maka amarah beliau pun segera meledak.
Dan bersabda, “Alangkah buruknya perlakuan kalian sepeninggalku”. Kemudian
beliau melemparkan lembaran-lembaran yang terdapat di dalamnya Taurat kalam
Allah. Beliau melemparkan lembaran itu ke tanah, padahal di dalamnya terdapat
firman-firman Allah. Kemudian menarik kepala saudaranya, Harun, kepadanya,
padahal ia juga adalah rasul sepertinya juga. Dan saudaranya itu berkata
kepadanya, “Wahai saudara seibuku, mengapa engkau tarik jenggot dan kepalaku,
karena kaum kita itu menganggap aku lemah, dan mereka hampir membunuhku, maka
janganlah engkau jadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah jadikan
aku dari kelompok orang yang zalim.”
Di sini Nabi Musa menyadari kemarahannya itu, meskipun marahnya
itu karena Allah Swt.
“Musa berdo'a: Ya Tuhanku, ampunilah aku dan sauadaraku dan
masukkanlah kami ke dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di
antara para penyayang” (QS Al-A'raaf:
151).
Al-Qur`an juga menceritakan tentang taubat Nabi Yunus As. Ketika
beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah Swt., tapi mereka tidak
menuruti dakwahnya itu. Maka Nabi Yunus tidak merasa sabar menghadapi itu, dan
marah terhadap kaumnya, kemudian beliau pun pergi meninggalkan mereka. Kemudian
Allah Swt. ingin menguji beliau dengan cobaan yang dapat membersihkannya, dan
menampakkan sifat aslinya yang bagus. Serta sejauh mana keyakinanya terhadap
Rabbnya dan kejujurannya dengan Rabbnya.
Beliau kemudian menaiki sebuah kapal laut, di tengah laut kapal
itu dihantam angin besar, dan dipermainkan oleh ombak, dan mereka merasa bahwa
mereka sedang berada dalam bahaya yang besar. Para
anak buah kapal berkata, kita harus mengurangi beban kapal sehingga kapal ini
tidak tenggelam. Dan akhirnya mereka harus memilih untuk menceburkan sebagian
orang yang berada di atas kapal itu agar para penumpang yang lain selamat dari
ancaman tenggelam itu. Hal itu dilakukan dengan sistem undian. Kemudian undian
itu jatuh kepada Yunus As. Maka, beliau pun dilemparkan ke laut, dan ditelan oleh seekor ikan paus. Di
dalam perut ikan paus, beliau berdoa dengan kalimat-kalimat yang direkam oleh Al-Qur`an
ketika bercerita dengan ringkas tentang Yunus ini,
“Dan (ingatlah) kisah Dzun Nun (Yunus) ketika
ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan
mempersempitnya atau menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat
gelap: Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak di sembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang
yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya dan menyelamatkannya
daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” (QS Al-Anbiyaa: 87-88).
Tiga kalimat pendek yang dipergunakan oleh Yunus As., namun
ketiganya mempunyai pengertian yang besar:
Pertama, menunjukkan
atas tauhid -- tauhid uluhiyah --, yang dengannya Allah Swt. mengutus
para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula berdiri surga dan
neraka, “Laa Ilaaha Illa Anta”, “tidak ada tuhan (yang berhak di sembah)
selain Engkau”.
Kedua, menunjukkan
pembersihan Allah Swt. dari seluruh kekurangan. Ini adalah makna tasbih yang
dilakukan langit dan bumi dan seluruh makhluk. Karena segala sesuatu bertasbih
dengan memuji-Nya. “Subhaanaka” (Maha Suci Engkau).
Ketiga, menunjukkan pengakuan atas dosa yang
dilakukan. Tidak menjalankan hak Rabbnya dengan sempurna serta menzalimi diri
sendiri karena sikapnya itu. “Inni kuntu minazh zhaalimiin.” (Sesungguhnya
aku adalah termasuk orang-orang yang zalim). Ini adalah tanda sebuah taubat.
Tidak heran jika kata-kata yang pendek namun
jujur dan ikhlas itu segera mendapatkan jawabannya di dunia ini, sebelum di
akhirat:
“Maka Kami telah memperkenankan doanya dan
menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang
yang beriman” (QS Al- Anbiya:
88).
Dan kata-kata yang mengandung tiga hal ini;
pengesaan, pembersihan, dan pengakuan, menjadi contoh bagi pujian dan doa
ketika terjadi kesulitan. Hingga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi
dan ia mensahihkannya diriwayatkan.
“Doa saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus) yang
jika dibaca oleh orang yang sedang tertimpa bencana nisaya Allah Swt. akan
menghilangkan bencana dan kesulitannya itu, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau,
Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang yang melakukan
kezaliman.’”
Al-Qur`an juga menuturkan kepada kita tentang
cerita taubat nabi Daud As. seperti diceritakan dalam surah Shaad. Yaitu ketika
dua orang yang sedang berselisih datang kepada beliau, dan memasuki mihrab
beliau, sehingga beliau terkejut melihat kedua orang itu (QS Shaad: 22-25).
Kita lihat, apa kesalahan Nabi Daud dalam
kisah ini, yang dia sangka sebagai fitnah, dan cobaan bagi beliau, kemudian
beliau beristighfar kepada Rabbnya, serta tunduk sujud dan memohon ampunan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan taubat banyak
terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu juga dengan hadits Nabi Saw. Uniknya perintah
taubat di dalam Al-Qur`an ditujukan kepada orang-orang beriman, tidak kepada
orang-orang kafir.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya…” (QS At-Tahrim: 8).
Ini menandakan bahwa taubat, apakah setelah melakukan kesalahan atau tidak, merupakan perintah yang seharusnya sudah menjadi
kebiasaan setiap Muslim. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar