Bagi setiap
Muslim, apalagi yang memiliki dan mengemban amanah dakwah, Al-Qur`an adalah
bagian dari keseharian hidup mereka. Kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai
individu, sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat dihadirkan setiap
waktu untuk melakukan perbaikan. Karenanya, dengan diturunkan-Nya Al-Qur`an,
kesadaran itu harus disatupadukan dan disinergikan. Pada kenyataannya Al-Qur`an
secara fisik sudah ada di hadapan kita, bahkan di tangan kita, maka interaksi para
da’i dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an pun sangat layak untuk selalu
ditingkatkan. Apalagi bila dikaitkan dengan realita yang ada di masyarakat, di
lingkungan gerakan dakwah, dan yang paling mencolok adalah realita yang ada di luar
gerakan dakwah itu sendiri.
Begitu banyak
perilaku yang menyimpang dari ajaran agama mendominasi kehidupan masyarakat,
seperti pornografi, pornoaksi, korupsi, kriminalitas, narkoba, dan lain-lain.
Sementara kebanyakan masyarakat hanya hadir di satu acara majelis taklim yang
interaksinya dengan Al-Qur`an masih sangat rendah dan terbatas.
Dakwah harus
dihadirkan dalam berbagai lapangan kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Dakwah
melalui partai politik, tampaknya mendapat apresiasi yang tinggi dari
masyarakat. Akan tapi, respons positif itu belum menandakan bahwa kegiatan
dakwah yang merujuk kepada Al-Qur`an juga diapresiasi secara baik oleh publik. Fenomena
itu terlihat ketika kebanyakan masyarakat kurang apresiatif dalam menyambut
seruan Islam aplikatif. Masyarakat pun kerap masih mendikotomikan Islam dan
politik, Islam dan ekonomi, Islam dan budaya.
Para da’i dan
aktifis pun harus menyadari bahwa produktifitas dakwah sangat berkorelasi
positif dengan interaksi mereka dengan Al-Qur`an. Dan produktifitas dakwah
berbanding lurus dengan kualitas dan
kuantitas aktifis dakwah. Maka, bila kemudian terlihat fenomena produktifitas para
da’i dan aktifis dakwah kurang signifikan terhadap peningkatan jumlah dan
kualitas para pengikutnya, itu menandakan bahwa interaksi mereka dengan Al-Qur`an
memang perlu ditingkatkan secara terus menerus.
Kontinuitas dan
intensitas interaksi dengan Al-Qur`an harus mengiringi setiap tarikan napas,
gerak, dan ayunan langkah, hingga menghadirkan pribadi yang makin Qur`ani,
keluarga yang makin Qur`ani, dan bila itu terus dihadirkan, maka pribadi dan
keluarga itu akan bisa diteladani oleh masyarakat dan akan menjadi inspirasi
bagi masyarakat untuk meninggalkan dan menolak baragam kemungkaran yang ada.
Dan ini akan menjadi tenaga baru bagi aktifiis dakwah lainnya.
Dengan demikian,
para aktifis dakwah yang interaksi Al-Qur`an-nya semakin dalam, semakin luas, dan semakin aplikatif akan
memberikan kontribusi yang semakin signifikan bagi hadirnya masyarakat yang makin
mecintai gerakan dakwah ini. Karenanya, sesuai dengan kaidah faqidu syai`
laa yu’thiihi, orang yang tidak memiliki tidak bisa memberi, maka interaksi
para dai dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an merupakan sebuah kewajiban yang
tak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda.
Al-Qur`an diturunkan
Allah Swt. untuk umat manusia, sebagai petunjuk hidup, jalan yang lurus, dan
cahaya yang menyinari kegelapan di dunia. Oleh karena itu, anugerah Allah
tersebut harus dimaskimalkan oleh setiap da`i, aktifis dakwah, dan setiap Muslim.
Ramadhan yang baru lalu telah memberikan motivasi kepada kita agar mereka tidak
canggung lagi untuk berinteraksi lebih total lagi dengan Al-Qur`an, lebih produktif,
dan lebih terdorong untuk bersegera melakukan amal shaleh. Ini adalah sebuah
kesempatan emas yang tidak boleh dimubazirkan. Hanya saudara-saudara setanlah
yang selalu memuzirkan kesempatan ini.
Al-Qur`an
menegaskan bahwa seorang Muslim atau Mukmin bukanlah saudara setan. Seorang Mukmin
adalah saudara Mukmin lainnya, dan karenanya mereka mempunyai kewajiban bersama
untuk memaksimalkan interaksi dengan Al-Qur`an dalam setiap sisi kehidupannya.
Sudah begitu
banyak buku tentang kaidah-kaidah berinteraksi dengan Al-Qur`an yang ditulis
dan diterbitkan. Di antaranya karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang berjudul “Kaifa
nata’aamalu ma’a al-Qur`ani al-‘Azhim?” yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Berinteraksi dengan Al-Qur`an”.
Begitu juga,
sudah banyak fakta-fakta Al-Qur`an dihadirkan dan membawa kepada kebaikan,
kedamaian, dan amal shaleh. Karenanya, tidak ada alasan untuk berlambat-lambat
atau bermalas-malas untuk semakin banyak berinteraksi dengan Al-Qur`an, agar
diri dan keluarga kita semakin ter-sibghah dengan Al-Qur`an, dan itu berarti
kita sedang men-sibghah masyarakat dengan nilai-nilai Al-Qur`an yang
membawa rahmat bagi kehidupan.
Semakin gerakan
dakwah mendapat kepercayaan dari publik, semakin gerakan dakwah ini
berinteraksi dengan masalah-masalah masyarakat, maka akan semakin meningkat
pula keperluan kita akan pengetahuan tentang nilai nilai Al-Qur`an, agar kita
tidak keliru dalam mengaplikasikan kegiatan-kegiatan dakwah pada tingkat
operasional. Sehingga kita tidak terjebak pada perilaku ekstrimisme, arogansi,
menang-menangan, takabur, atau sebaliknya terjebak pada perilaku yang tidak
sesuai dengan ajaran Al-Qur`an, misalkan perilaku gerakan takfir
(mengkafirkan orang atau kelompok lain).
Baik
ekstrimisme maupun takfir adalah dua hal yang dilarang Al-Qur`an dan tentu
kita tidak akan mengikutinya. Sebab begitu kita berinteraksi dengan masyarakat,
ketika kita diberi amanah yang makin luas dengan hasil pemilu legislatif, dan
apresiasi publik yang positif terhadap sikap-sikap kita pada pilpres pertama
dan kedua, itu pertanda kita memang tengah semakin intensif berinterksi dengan
msyarakat. Dan kehidupan masyarakat yang begitu kompleks seringkali menghadirkan
nuansa yang dapat membuat orang tidak sabar lalu terjebak pada sikap
ekstrimisme, atau sebaliknya membuat sebagian aktifis dakwah memiliki sikap
berlebihan, sehingga memunculkan sikap arogan dan takabur.
Arogansi dan
ekstrimisme adalah sikap yang harus dihindari. Dan jalan untuk dapat terhindar
dari kedua perilaku buruk tersebut adalah dengan mamahami Al-Qur`an secara utuh,
kaffah (menyeluruh, komprehensif), dan integral.
Al-Qur`an
dimulai dengan “iqra bismirabbikalladzi khalaq”. Ini bukan sekedar
isyarat, akan tetapi sebuah perintah yang sangat jelas bagi kita untuk semakin
meningkatkan kualitas diri, keluarga, lingkungan masyarakat, dan kualitas
negara dengan manhaj (metode) yang telah diturunkan Al-Khaliq.
Kemudian di ujung
sebuah kesuksesan ada “idzaa ja`a nashrullahi wal fathu, wa ra`aitan naasa
yadkhuluna fii diinillah afwaaja, fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, innahu
kaana tawwaba”. Surat An-Nashr ini menghadirkan suatu kesadaran tangggung
jawab moral dan tanggung jawab sosial yang sangat tinggi, serta kesadaran penuh
bahwa kita adalah hamba Allah yang tidak boleh berlaku takabur, semena-mena, zalim,
atau sebaliknya berlaku ekstrim yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Itu semua
sangat diperlukan justru ketika kita semakin luas berinteraksi dengan capaian-capaian
dakwah melalui kegiatan politik.
Dengan demikian,
semakin luas interaksi kita dengan masyarakat, maka kebutuhan interaksi kita
dengan Al-Qur`an semakin besar. Karena, pada hakikatnya Al-Qur`an diturunkan
untuk seluruh kelompok masyarakat, apapun latar belakang sukunya, profesinya,
bahkan latar belakang perilakunya. Kehadiran Al-Qur`an tentu tidak dalam rangka
untuk menjustifikasi bagi keberlangsungan kemungkaran, karena memang Al-Qur`an
melarang kemungkaran. Al-Qur`an diturunkan justru untuk menghilangkan
kemungkaran dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara etik, ekonomi,
intelektual, dan komunal.
Sudah sangat jelas
bahwa salah satu tujuan utama dari dakwah adalah agar nilai-nilai Al-Qur`an
terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun, pengembangan nilai-nilai
Al-Qur`an itu tidak akan berhasil bila para da’i dan aktifis dakwah tidak
memiliki materi (Al-Qur`an) untuk dikembangkan. Al-Qur`an adalah sebuah mata
air yang tidak pernah akan kering dan selalu dibutuhkan kapan, dimana, dan oleh
siapa saja. “Mata air” itu kini ada di hadapan kita, bahkan terjemahannya sudah
dimudahkan dengan berbagai cara, termasuk dalam bentuk CD. Tinggallah kita mau
memanfaatkannya atau tidak. Oleh karena itu, menjadi sangat tidak beralasan
bagi setiap da’i dan aktifis dakwah untuk tidak berinteraksi lebih lanjut dengan
Al-Qur`an.
Simaklah syair
yang ditulis Al-Bushiri.
“Mahabesar
Allah, sesungguhnya agama Muhammad dan kitab sucinya adalah kitab suci yang
paling lurus dan paling teguh. Jangan sebut kitab-kitab suci lain di depannya.
Karena, saat mentari pagi bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita.”
Al-Qur`an
adalah “sang mentari pagi” sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya. “
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu ...” (QS Al-Maidah: 48). Wallahu
a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar