"Tidaklah
pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka
mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia
pekerjaannya, dan mereka itu kekal di dalam neraka" (QS
At-Taubah: 17).
Pada ayat ini dengan jelas Allah
Swt. mengatakan bahwa Dia tidak menerima amal perbuatan yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik, sekalipun secara lahir mereka seperti beribadah kepada
Allah yaitu dengan memakmurkan masjid. Sangatlah
tidak pantas kalau mereka ini menjadi orang yang memakmurkan masjid. Kenapa? Li anna al-’ibaadata ta’biiru ‘alal ‘aqidah
(ibadah merupakan ekspresi daripada ‘aqidah seseorang). Artinya, kalau aqidah
seseorang salah maka segala macam ibadah yang dilakukannya tidak sah dan tidak
akan diterima oleh Allah SWT, sekalipun secara fisik ibadahnya kelihatan benar.
Secara zhohir boleh saja mereka melakukan ibadah yang sama dengan yang
dilakukan oleh kaum Muslimin. Kaum Muslimin bisa membangun, menyumbang dan
memakmurkan masjid, orang kafir bisa melakukannya juga. Namun nilai yang mereka
lakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Di mana letak
perbedaannya? Letak perbedaannya adalah pada kebenaran ‘aqidahnya. Dalam Islam,
ibadatun wa ‘aqiidatun musyari’ah
(Islam meliputi ‘aqidah dan sekaligus syari’ah). Ini berarti pelaksanaan suatu
syari’ah Allah tidak bisa dipisahkan dengan kualitas ‘aqidah yang dimiliki
seseorang. Inilah yang menyebabkan apa pun amalan yang dilakukan oleh
orang-orang kafir tidak diterima oleh Allah Swt.
Penjelasan Allah pada ayat ini berkenaan
dengan orang-orang Ahli Kitab, dimana mereka jelas-jelas orang kafir. Bahkan
dari perkataannya pun, mereka jelas-jelas mengatakan bahwa mereka kafir,
sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam penggalan yang berbunyi syaahidiina
‘alaa anfisuhim bil kufr (sedang
mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir). Seperti apa perkataan bahwa
diri mereka kafir? Ketika orang Yahudi ditanya tentang siapa mereka, maka
jawaban yang mereka berikan “Ana Yahuudu (saya Yahudi)”, dan ketika orang
Nasrani ditanya dengan pertanyaan yang sama, maka mereka menjawab “Ana Nasroni
(saya Nasrani)”. Jawaban yang mereka berikan ini merupakan bukti bahwa mereka
adalah orang yang musyrik. Ini berbeda dengan ketika seorang Muslim ditanya
tentang siapa dirinya, tidak pernah jawabannya “Ana Muhammadiy (Saya penyembah
Muhammad)”, akan tetapi jawabannya adalah “Ana Muslim”.
Ayat ini hendaknya memberikan
kepekaan kepada kaum Muslimin, agar mereka tidak mudah tertipu oleh tampilan
muka yang dilakukan oleh orang-orang kafir, karena Islam bukan hanya meliputi
syari’ah, akan tetapi yang lebih penting adalah kebenaran ‘aqidah. Jangan
sampai kaum Muslimin ditipu oleh perilaku orang yang sekedar pernah
melaksanakan umroh, tertipu karena seseorang yang pernah melakukan puasa, dan
lain sebagainya. Dan orang-orang musyrik seperti yang dijelaskan Allah Swt.
tidak pantas menjadi orang yang memakmurkan masjid.
Jadi, kaum Muslimin yang
mendapatkan legitimasi dari Allah sebagai orang yang berhak untuk memakmurkan
masjid adalah yang mempunyai sifat sebagaimana yang disebutkan pada ayat ini,
yaitu,
Pertama, man aamana
billaahi wal yaumil aakhiri (orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari kemudian). Jadi sifat pertama yang
disebutkan sebagai orang yang berhak untuk disebut mema’murkan masjid,
dikaitkan dengan masalah ‘aqidah, yaitu orang yang beriman kepada Allah dan
beriman kepada hari akhir. Tentang keimanan kepada Allah dan keimanan kepada
hari akhir ini merupakan bukti yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain
seperti binatang. Binatang hanya mengenal apa-apa yang sifatnya lahiriyah dan
keduniawian saja, dan tidak pernah melihat sisi ukhrowi. Oleh karena itu pantas saja kalau ada binatang yang saling
berhubungan dengan yang lainnya tanpa mengindahkan norma, karena memang
demikianlah mereka. Akan tetapi kalau ada manusia yang perilakunya seperti
binatang, maka derajatnya sama dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi. Oleh
karena itu Allah berfirman,
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang
yang lalai“ (QS Al-A’raf: 179).
Kedua, wa aqoomash
sholaata (serta tetap mendirikan shalat). Jadi sifat kedua yang harus
dimiliki oleh orang yang berhak untuk memakmurkan masjid adalah yang bisa tetap
mendirikan shalat. Oleh karena itu jangan sampai ada kasus dimana seorang
pengurus masjid dipilih dari orang yang sangat jarang shalat di masjid. Dia
datang ke masjid kalau ada peringatan hari besar Islam saja, seperti peringatan
Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj atau Nuzulul Qur’an, dan setelah peringatan
tersebut selesai, maka menghilang lagi. Orang seperti ini tidak patut untuk
menjadi pengurus masjid karena ia bukan aktivis masjid.
Dan dalam memilih orang untuk menjadi
pengurus masjid, sebaiknya kita jangan menghalalkan segala cara. Kadang-kadang
ada sebagian orang yang menunjuk seseorang untuk menjadi ketua pengurus masjid
bukan karena dia seorang yang aktif untuk selalu meramaikan masjid dengan shalat
berjamaah dan kegiatan lainnya, akan tetapi dipilah hanya karena dia orang
berpangkat atau orang yang terpandang di masyarakat. Kita jangan sampai berbuat
seperti ini, karena kalau demikian berarti kita telah menghalalkan segala cara
dalam memilih pengurus masjid. Dan cara seperti ini jelas telah menyalahi
aturan Allah, karena pada ayat ini Allah Swt. mensyaratkan orang yang berhak
memakmurkan masjid adalah orang yang senantiasa menegakan shalat.
Penegasan Allah ini sekaligus memberikan
pemahaman kepada kita agar ijtihad kita jangan sampai bertentangan dengan nash
yang terdapat dalam Al-Qur’anul Karim. Dalam melaksanakan da’wah, jangan sampai
bertentangan dengan fiq-hul ahkam. oleh karena itu kebijakan-kebijakan
yang kita ambil dalam da’wah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan Allah
Swt., baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam sunnah
Rasulullah Saw. Bahkan pada ayat ini Allah mengatakan masalah ini dengan kata innama (hanyalah). Jadi hanya orang yang
mempunyai sifat yang disebut dalam ayat ini sajalah yang berhak untuk
memakmurkan masjid.
Ketiga, sifat yang harus dimiliki
oleh orang yang memakmurkan masjid adalah sholaata wa aataz zakaata (dan yang menunaikan zakat). Memperhatikan
masalah zakat ini sangat penting, karena ini menyangkut upaya untuk senantiasa
membersihkan diri dari berbagai macam kekotoran hati, sebagaimana yang terdapat
dalam firman Allah,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo'alah untuk mereka.
Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS At-Taubah: 103).
Keempat, walam yakhsya illallaah (dan tidak takut kepada siapapun selain
kepada Allah). Penggalan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa seorang
aktivis masjid adalah orang yang kehidupannya penuh dengan ‘izzah. Kenapa? Karena ia tidak takut kepada siapa pun kecuali
hanya kepada Allah Swt. Seorang aktivis masjid bukanlah orang yang senang merengek-rengek
dan meminta-minta, akan tetapi orang yang mempunyai ‘izzah robbaniyyah, yang mempunyai gengsi robbani, yang dipenuhi dengan berbagai kemuliaan karena senantiasa
berafiliasi dengan aturan-aturan Allah Swt. Oleh karena itu tidak pantas
seorang aktivis masjid menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Jadi ada empat sifat yang harus
dimiliki oleh orang yang berhak untuk memakmurkan masjid, yaitu beriman kepada
Allah, beriman kepada hari akhir, menegakkan shalat, membayar zakat dan orang
yang tidak takut selain kepada Allah Swt. Kalau ada orang yang senantiasa
meramaikan kegiatan di masjid seperti selalu shalat berjamaah di masjid dan
juga meramaikan kegiatan masjid lainnya, maka ia mendapatkan legitimasi dari
Allah Swt. bahwa dia memang benar-benar termasuk orang yang beriman.
Nilai seorang Muslim bergantung
pada sejauh mana ia mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupannya. Jadi
kemuliaan seorang Muslim bukan ditentukan oleh banyaknya ilmu yang dimilikinya,
atau banyaknya kekayaan yang dikumpulkannya, atau karena ketenarannya di
masyarakat. Hamba Allah Swt. yang selalu shalat berjamaah di masjidlah, yang
mendapatkan kesaksian dari Rasulullah Saw. bahwa keimanannya benar. Oleh karena
itu ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan Allah yang berbunyi fa ‘asaa
ulaa-ka an yakuunuu minal muhtadiin (maka
merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang
mendapat petunjuk). Dari penutup ayat ini bisa kita simpulkan bahwa
indikasi daripada aorang yang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, membayar zakat dan ia
tidak takut selain kepada Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar