“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah
beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang
yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS
Al-Ankabut: 2-3).
Ayat ini
memiliki korelasi dengan QS Al-Hujurat: 14, “Orang-orang Arab Badwi itu
berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman,
tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi
sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Allah Swt.
menegaskan bahwa di dalam keimanan itu ada ujian. Maka, dengan menguji iman, kualitas ketaqwaan seseorang akan berbeda-beda. Semakin
kokoh keimanan seseorang, semakin berat ujiannya. Inilah yang digambarkan oleh
Allah Swt. di dalam QS Fathir: 32, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka
ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang
pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Ujian
keimanan harus ada untuk mematangkan dan mengokohkan keimanan itu sendiri.
Orang-orang Mukmin yang lulus dalam ujian keimanannya dan merasa tenang dengan
keimanannya itu akan meningkat derajatnya di sisi Allah Swt. Dan Allah akan
menambahkan keimanan kepada Mukmin tersebut disamping keimanan yang telah ada
di dalam dadanya. “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka
(yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Fath: 4).
Ujian keimanan pada dasarnya adalah ujian atas amal shaleh. Karena untuk
menguji kebenaran iman seseorang, Allah Swt. menggunakan parameter amal shaleh.
Oleh karena itu, Allah Swt. menyandingkan kata iman dan amal shaleh tidak
kurang dari 90 tempat di dalam Al-Qur`an. Ini menandakan bahwa amal shaleh
merupakan realisasi dari keimanan. Ujian atas amal shaleh bisa berasal dari
dalam dan dari luar. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Lai mengatakan, “Orang Mukmin senantiasa berada
di antara lima
ancaman berat, yaitu Mukmin yang mendengkinya, munafik yang membencinya, kafir
yang memeranginya, syetan yang menyesatkannya, dan hanwa nafsu yang
melawannya.”
Meski dari
kelima ancaman di atas rintangan eksternal lebih dominan ketimbang rintangan
internal, akan tetapi dari sisi kualitas, rintangan internal (hawa nafsu)
justru lebih besar dibandingkan keempat rintangan eksternal di atas. Rasulullah
Saw., “Mengatakan ada tiga hal yang merupakan pangkal kebinasaan, ketiga hal
tersebut adalah kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub
seseorang kepada dirinya sendiri” (HR Muslim). Kalau kita cermati ketiga hal
yang merupakan pangkal kebinasaan itu semuanya bersumber dari mengikuti hawa
nafsu.
Tulisan
ini akan memfokuskan pada tantangan yang bersifat internal, yaitu “hawa nafsu
yang melawannya”. Selain kikir, nafsu, dan ‘ujub yang merupakan pangkal
kebinasaan, rintangan hawa nafsu juga memiliki varian lain yang bersifat
pemikiran atau kejiwaan. Salah satunya adalah rintangan keputusasaan akan
manfaat amal Islami. Sebagian kaum Muslimin yang memiliki komitmen keagamaan ada
yang meninggalkan amal Islami lantaran putus asa akan masa depan Islam. Mereka
menganggap bahwa seluruh amal Islami yang dilakukan umat Islam ibarat tanaman
yang tidak menghasilkan buah.
Kelompok
ini mengatakan, “Amal Islami yang dilakukan oleh gerakan Islam telah
berlangsung puluhan tahun, tetapi hingga saat ini kita belum melihat satu pun
negara yang berhasil mencapai tujuan dan target yang dijanjikan. Bahkan, kita
melihat gerakan keislaman itu dihantam dari luar dan gerogoti dari dalam. Maka apa
yang bisa kita harapkan dari sebuah amal Islami yang tidak bisa mencapai
tujuannya?” Akhirnya, mereka menyimpulkan bahwa amal yang mengatasnamakan Islam
tidak memiliki masa depan yang cerah.
Gejala
keputusasaan dalam menyemai nilai-nilai Islam melalui gerakan yang sistematis
juga melanda kalangan politisi dan pengamat politik Islam. Di antara mereka ada
yang mengatakan bahwa partai politik yang membawa nafas Islam tidak pernah akan
menang. Mereka menggunakan sejarah partai politik
Islam di Indonesia sebagai dasar argumentasinya. Akibat pandangan yang
bernuansa keputusasaan itu, beberapa partai politik Islam menanggalkan ciri
khas keislamannya dan mengganti asasnya dengan asas yang bukan Islam.
Menanggapi pandangan miring seperti itu, Al-Qur`an al-Karim menjelaskan
bahwa putus asa bukanlah watak atau karakter Islam, sebagaimana firman Allah
Swt., “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang
kafir” (QS Yusuf: 87).
Seorang Muslim sejati tidak akan pernah putus asa ataupun patah semangat.
Ia tahu bahwa setelah hari ini selalu ada hari esok, setelah kesulitan pasti
ada kemudahan, setelah malam akan datang waktu fajar. Tidak mungkin kesedihan
akan terus merundung selamanya. Karena banyak realita hari ini yang bermula
dari mimpi hari kemarin, maka tak mustahil mimpi-mimpi hari ini akan menjadi
kenyataan di hari esok.
Seorang Muslim berbuat tidak hanya untuk meraih keberhasilan atau pun
kemenangan, tapi ia berbuat untuk menjalankan perintah Allah Swt., memenuhi hak
penyembahan-Nya, serta mengharapkan ridha-Nya. Maka jika jika kemudian ia
mencapai keberhasilan dalam usahanya, itu merupakan kebaikan, berkah, serta
nikmat dari Allah Swt.
Dan kalau pun hal itu tidak terwujud, maka ia telah memenuhi kewajiban
terhadap Allah Swt. Sesungguhnya di hari Kiamat nanti, Allah Swt. tidak akan
menanyai manusia, “Mengapa mereka tidak berhasil atau menang?” Akan tetapo,
Allah Swt. akan menanyai mereka, “Mengapa mereka tidak berbuat?”
Dalam sejarah para Nabi dan Salafush Shalih, kita menemukan banyak di
antara mereka yang syahid sebelum mewujudkan cita-cita perjuangannya. Kisah
Ash-Habul Ukhdud adalah salah satunya. Begitu juga Asy-Syahid Hasan al-Banna
yang wafat dibunuh, belum sempat memetik buah perjuangannya, yaitu Islam
sebagai soko guru peradaban dunia (ustadziyatul alam).
Maka, cukuplah bagi kita firman Allah Swt. di dalam QS Al-A’raf:
164-165, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa
kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka
dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan
(pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.’ Maka
tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan
orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada
orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat
fasik.”
Bentuk lain dari varian hawa nafsu yang bersifat pemikiran atau kejiwaan
adalah tantangan idealisme utopis. Ada sebagian umat Islam yang hidup di menara
gading, di dunia teori yang idealis. Mereka menempatkan dirinya sebagai
komentator atau pengamat yang selalu bicara “seharusnya demikian”. Mereka
mendambakan agar segala sesuatu dimulai secara sempurna. Mereka mendambakan
bulan selalu purnama. Tanaman berbuah sejak awal benih ditebarkan.
Mereka menginginkan gerakan keislaman lahir langsung besar tanpa melalui
tahapan pertumbuhan, tidak bergesekan dengan penyakit-penyakit lingkungan,
tidak bertambrakan dengan virus kehidupan, atau tidak menemui jalan berliku dan
panjang. Mereka menginginkan gerakan keislaman berjalan mulus, tanpa ada
hambatan yang berarti. Namun, amat disayangkan, umumnya kaum idealis utopis ini
hanya mahir dalam kata-kata. Yang mereka miliki hanyalah teori yang panjang di
atas pundak yang pendek, pandai dalam mengritik, tapi lemah dalam berbuat.
Memiliki semangat merobohkan, dan berpangku tangan dalam membangun. Mereka
memiliki angan-angan panjang, tapi tangan dan kaki pendek.
Perhatian utama dari kaum idealis utopis ini adalah melacak pelbagai
kekurangan dan kesalahan orang-orang yang berbuat, mengumpulkannya dari
sana-sini, lalu menyorotnya dengan kaca pembesar. Maka sebutir biji pun tampak
seperti kubah besar, dan semut tampak seperti gajah.
Mereka tidak memperhitungkan rintangan-rintangan orang-orang yang berbuat
dan beramal. Tidak berusaha berbaik sangka kepada orang lain. Tidak menghitung
peluang yang ada dalam situasi dan kondisi yang terbatas. Mereka kurang
mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki aturan mainnya sendiri. Karena tidak
pernah berbuat, kita tak pernah melihat mereka melakukan kesalahan. Sebab,
kesalahan adalah efek dari ijtihad dalam berbuat.
Rintangan keputusasaan dan idealisme utopis adalah dua dari sejumlah
rintangan pemikiran dan kejiwaan yang berasal dari dalam diri manusia itu
sendiri. Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa meningkatkan pemahaman
keislamannnya, dan mulai menjadi orang pertama yang menerapkan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan nyata. Hanya dengan membuktikan keimanan dalam bentuk amal
nyata, setiap Muslim akan semakin dewasa dan matang dalam mengarungi samudera
kehidupan yang penuh dengan ujian dan cobaan. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar