(Bagian 1 dari Dua Tulisan)
Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang
seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw.
daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia
sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan
duduk” (Zaid bin Aslam dari Anas).
Umar bin Abdul Aziz bin Marwan
dikenal dengan panggilan Abu Hafsh lahir di Hulwan, sebuah desa di Mesir pada
tahun 61 H. Ibunya, Ummu ‘Ashim adalah putri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab
dilahirkan tidak lebih dari 50 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dimana
saat itu para sahabat dan tabi’in masih memiliki ikatan batin dan kehidupan
yang amat akrab dengan Rasul. Jadi, Umar bin Abdul Aziz adalah cucu Umar bin
Khaththab dari garis keturunna (nasab) ibunya. Ayahandanya, Abdul Aziz bin
Marwan, pernah menjadi gubernur di daerah itu.
Dengan demikian, Umar bin Abdul
Aziz dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan istana dan tumbuh dalam buaian
kemewahan. Ia dan keluarganya memiliki kekayaan melimpah – sebagaimana umunya
keluarga raja-raja Dinasti Umayyah – yang diperoleh sebagai tunjangan raja
kepada keluarga dekatnya. Disebutkan, dari perkebunannya saja, Umar memiliki
penghasilan 50.000 asyrafi (dinar) per tahun. Tentu saja, saat itu ia hidup
secara mewah sebagaimana lazimnya kaum bangsawan, dengan pakaian, rumah,
kendaraan, dan perlengkapan yang hanya mungkin dimiliki oleh para pangeran.
Maka wajar, bila pada masa remajanya dia suka berfoya-foya.
Meski demikian, orangtuanya tak
pernah melupakan akan pentingnya pendidikan agama. Maka sejak kecil Umar sudah
biasa menghafal Al-Qur`an. Kemudian ayahandanya mengirimnya ke Madinah untuk
belajar berbagai ilmu agama. Umar banyak berguru kepada Ubaidillah bin
Abdullah. Dengan bekal ilmu itulah Umar semakin bijak menyikapi berbagai
persoalan di masyarakat, terutama yang berkenaan dengan prinsip dasar peradaban
Islam di masa Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar pun memiliki
pandangan lain tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun
temurun.
Umar bin Abdul Aziz kini
dikenal sebagai orang yang sangat saleh. Gaya hidup suka berfoya-foya langsung
ditinggalkannya dan menggantinya dengan akhlak Islami. Ketika ayahandanya
meninggal, Abdul Malik bin Marwan, yang pada saat itu menjabat sebagai
Khalifah, memintanya untuk datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya
yang bernama Fathimah.
Isyarat bahwa Umar bin Abdul
Aziz akan menjadi ”orang besar” sudah ada ketika ayahandanya melihat bekas luka
di bagian wajah Umar akibat tendangan seekor binatang. Peristiwa itu terjadi
ketika beliau masih kanak-kanak. Ketika ayahnya menghapus darah yang mengalir
di wajahnya, ayahnya berkata, “Jika kamu adalah orang yang terluka dibagian
wajah dari kalangan Umayyah, maka engkau akan menjadi orang yang bahagia” (Diriwayatkan
oleh Ibnu Asakir).
Pernyataan ayahanda Umar ini
merujuk kepada pernyataan Umar bin Khaththab, ”Akan ada dari keturunanku
seorang anak yang di wajahnya ada bekas luka. Dia akan memenuhi dunia dengan
keadilan” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Tarikhnya). Prediksi Umar bin
Khaththab diperkuat oleh pernyataan Ibnu Umar, “Kami pernah berbicara bahwa
dunia ini tidak akan runtuh sebelum ada seorang laki-laki yang memimpin dari
kalangan keluarga Umar bin Khaththab yang berbuat sebagaimana Umar berbuat.”
Pada awalnya orang-orang mengira bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Umar itu adalah
Bilal bin Abdullah bin Umar, karena dia memiliki tahi lalat di wajahnya. Hingga
akhirnya Allah Swt. mendatangkan Umar bin Abdul Aziz.
Al-Walid bin Muslim juga
menceritakan perihal isyarat itu. Menurutnya, seseorang yang berasal dari
daerah Khurasan berkata, ”Dalam mimpi saya melihat seseorang datang kepada saya
dan berkata, ’Jika orang yang di wajahnya ada luka dari kalangan Bani Marwan
telah berkuasa, maka pergilan kamu dan baiatlah dia, karena sesungguhnya dia
adalah seorang pemimpin yang adil.”
Ketika Al-Walid bin Abdul Malik
menjadi Khalifah menggantikan Abdul Malik (ayahnya), Umar bin Abdul Aziz
diangkat menjadi gubernur Madinah dari tahun 86 H – 93 H. Namun, pada tahun 93
H dia diberhentikan oleh Al-Walid lantaran kebijakan Umar tidak sejalan dengan
kebijakan Al-Walid yang menjurus kepada penyimpangan. Umar pun lalu kembali ke
Damaskus.
Al-Walid juga berusaha keras mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisinya sebagai Putra Mahkota yang kelak akan menggantikannya. Ia menginginkan agar yang menjadi Putra Mahkota adalah anaknya sendiri. Para pembesar dan pejabat negara yang ada pada waktu itu menyetujui langkah Al-Walid, baik secara suka rela maupun terpaksa. Namun, Umar bin Abdul Aziz menolak mentah-mentah keinginan Al-Walid itu dengan berkata, ”Di leher kami ada bai’at.” Pernyataan Umar itu diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan hingga akhirnya Al-Walid memenjarakannya dalam sebuah ruang yang sempit dengan jendela tertutup, dengan harapan Umar akan mati karena kelaparan dan sesak nafas.
Al-Walid juga berusaha keras mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisinya sebagai Putra Mahkota yang kelak akan menggantikannya. Ia menginginkan agar yang menjadi Putra Mahkota adalah anaknya sendiri. Para pembesar dan pejabat negara yang ada pada waktu itu menyetujui langkah Al-Walid, baik secara suka rela maupun terpaksa. Namun, Umar bin Abdul Aziz menolak mentah-mentah keinginan Al-Walid itu dengan berkata, ”Di leher kami ada bai’at.” Pernyataan Umar itu diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan hingga akhirnya Al-Walid memenjarakannya dalam sebuah ruang yang sempit dengan jendela tertutup, dengan harapan Umar akan mati karena kelaparan dan sesak nafas.
Setelah tiga hari dikurung,
akhirnya Al-Walid membebaskannya. Kondisi Umar ketika dibebaskan sangat memprihatikan.
Lehernya agak miring. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata,
”Dia (Umar) adalah pengganti setelah saya.”
Kesalehan
Umar bin Abdul Aziz
Kesalehan Umar sudah dikenal
ketika beliau menjadi gubernur Madinah. Zaid bin Aslam meriwayatkan dari Anas,
”Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir
sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar
bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud,
serta meringankan saat berdiri dan duduk.”
Kesalehan Umar makin bertambah
ketika beliau menjadi Khalifah. Bahkan Umar bukan hanya dikenal sebagai seorang
ahli ibadah, tetapi dia memiliki pemahaman yang mendalam dan rinci (al-fahmu
ad-daqiq) dalam masalah-masalah keagamaan. Sehingga beliau dijadikan
rujukan dalam berbagai masalah oleh banyak orang. Sampai-sampai Maimun bin
Mahran berkata, ”Para ulama di hadapan Umar bin Abdul Aziz adalah
murid-muridnya.”
Proses taqarrub ilallah
yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz, membuat beliau diberikan berbagai
keistimewaan (karamah) oleh Allah Swt. Abu Nu’aim meriwayatkan dari Rayyah bin
Ubaidah, dia berkata, ”Umar bin Abdul Aziz keluar dari rumahnya untuk
menunaikan shalat. Saya melihat ada seseorang yang sangat tua bersandar ke
tangan Umar. Saya berkata dalam hati, sesungguhnya orangtua itu berhati
gersang. Usai shalat, saya bertanya kepada Umar, ”Wahai Amirul Mukminin, semoga
Allah memberkati anda. Siapa gerangan kakek tua yang bersandar di tangan anda?”
Umar balik bertanya, ”Apakah
anda (Rayyah) melihatnya?”
Rayyah bin Ubaidah menjawab,
”Benar, saya melihatnya.”
Umar berkata, ”Tidak salah
dugaanku, engkau seorang laki-laki saleh. Ketahuilah, kakek tua itu adalah Nabi
Khidir, saudaraku. Dia datang untuk memberitahu bahwa saya akan memimpin umat
ini dan akan berlaku adil terhadap mereka.”
Maimun bin Mahran juga
meriwayatkan dari Abu Hasyim bahwa seorang laki-laki menemui Umar bin Abdul
Aziz dan berkata, ”Saya bermimpi melihat Rasulullah Saw. dalam tidurku. Dalam
mimpi itu, aku melihat Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. ada disamping kanan
Rasulullah, sedangkan Umar bin Khaththab Ra. disamping kirinya. Tiba-tiba kedua
orang itu berselisih pendapat, sedangkan engkau (Umar bin Abdul Aziz) duduk di
depan Rasulullah. Rasulullah Saw. berkata kepadamu, ’Wahai Umar, jika nanti
kamu menjadi penguasa, maka berbuatlah sebagaimana kedua orang ini (Abu Bakar
ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab) berbuat.”
Untuk meyakinkan kebenaran
mimpi itu, Umar meminta orang itu untuk bersumpah dengan nama Allah. Orang itu
kemudian bersumpah atas nama Allah. Maka Umar pun menangis.
Sebagaimana sifat para nabi dan
salafush shalih, Umar bin Abdul Aziz amat benci pada perbuatan dusta,
karena dusta selalu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya dan umat manusia.
Ibrahim as-Sakuni menceritakan bahwa Umar pernah berkata, ”Aku tak pernah
berdusta sejak aku tahu bahwa dusta itu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya.”
Umar bin Abdul Aziz adalah
orang yang sangat takut kepada Allah Swt. Istrinya bercerita, bahwa jika Umar
masuk rumah, maka dia aka berbaring di tempat shalat sunnahnya. Dia terus
menangis hingga akhirnya tertidur. Al-Walid bin Abi as-Saib berkata, ”Saya
tidak pernah melihat orang yang lebih takut kepda Allah daripada Umar bin Abdul
Aziz.”
Menjadi
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz diangkat
sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
pada tahun 99 H. Waktu itu Umar bin Abdul Aziz baru berumur 37 tahun. Dia
menjabat Khalifah selama dua tahun lima bulan sebagaimana masa kekhalifahan Abu
Bakar ash-Shiddiq Ra. Di masa pemerintahannya, Umar telah memenuhi dunia dengan
keadilan, mengembalikan semua harta yang diambil secara tidak halal pada masa
kekhalifahan sebelumnya. Beliau menghapus tradisi jahiliyah dan membangun
tradisi Islam.
Umar bin Abdul Aziz tidak mau
menduduki kursi kekuasaan sebelum menanggalkan sikap kesewenang-wenangan si
kuat terhadap si lemah dan membatalkan tradisi jahiliyah yang selama ini dianut
oleh keluarganya yang diwarisi oleh para pemimpin sebelumnya yang berlaku zalim
kepada rakyatnya. Ia telah mengubah tradisi buruk itu dan menggantinya dengan
perilaku mulia yang seharusnya ditempuh oleh seorang Amirul Mukminin.
Ketika dirinya dinyatakan
sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar terkulai lemas dan berkata, ”Demi
Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu
kali pun.”
Hal itu dinyatakannya di
hadapan rakyatnya sesaat setelah ia dibaiat, ”Saudara-saudara sekalian, saat
ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan
pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Hal itu dilakukan
lantaran Umar tidak mau memangku jabatan sebelum ada kerelaan dari umat atas
penunjukan dirinya sebagai Khalifah. Namun, rakyat tetap pada keputusannya,
yaitu membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Dikisahkan oleh Umar bin
Muhajir, sesaat setelah Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi Khalifah, ia
berdiri di hadapan khayalak, lalu memuji Allah dan berkata, ”Wahai hadirin
sekalian, sesungguhnya tidak ada satu kitab suci pun setelah Al-Qur`an, dan
tidak akan ada nabi setelah Muhammad Saw. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat
undang-undang. Saya hanyalah seorang pelaksana. Saya juga bukan orang yang
membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah), saya hanyalah sebagai pengikut.
Saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Justru saya adalah orang yang
memilkul beban berat. Sesungguhnya orang yang melarikan diri dari seorang
pemimpin yang zalim, dia bukan orang zalim. Ketahuilah bahwa tidak ada ketaatan
kepada makhluk apabila dia berada dalam kemaksiatan.” Wallahu a’lam
bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar