“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra`: 32).
Tidak keliru bila dikatakan
zaman sekarang adalah zaman edan. Setidaknya bila hal ini dikaitkan dengan
hancurnya sendi-sendi keluarga dan masyarakat. Perselingkuhan, seks bebas dan
narkoba di kalangan orangtua dan remaja, hingga perzinaan di dalam keluarga
kerap mewarnai edannya zaman ini. Setiap hari, halaman surat kabar dan info
kriminal di televisi dipenuhi oleh berita tentang pembunuhan, pencurian,
perselingkuhan, pemerkosaan, dan narkoba.
Foto-foto dan gambar-gambar
wanita yang mengumbar aurat di koran, majalah, dan tabloid sudah menjadi
pemandangan “lumrah” bagi sebagian besar masyakarakat kota. Mereka tidak
protes. Seolah-olah tidak ada kekhawatiran kalau gambar-gambar porno itu akan
merusak akhlak dan moral anak-anak.
Belum lagi tayangan televisi
yang menampilkan film dan sinetron percintaan, kisah kasih para selebritis,
iklan-iklan syur, dan adegan-adegan ciuman yang dapat dengan bebas dilihat oleh
siapa saja, termasuk aanak-anak. Media massa lebih suka mengeksploitasi berita-berita
keburukan ketimbang mengeksplorasi kabar-kabar kebaikan, sehingga terkesan
keburukan lebih mendominasi dibanding kebaikan. Drama percintaan,
perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan di kalangan artis yang dikemas
dalam bentuk infotaintmen dan sinetron jelas akan memberi dampak buruk pada
perkembangan psikologi anak-anak dan remaja. Mereka tumbuh dewasa sebelum
waktunya.
Dulu,
sekitar tahun 80-an, kita disuguhkan film bertajuk “Gita Cinta dari SMA” yang
mengangkat tema percintaan di kalangan pelajar SMA. Sekarang, bukan saja
sinetron ala “Gita Cinta dari SMA” yang ditayangkan, sinetron yang mengangkat
tema pacaran di kalangan pelajar SMP bahkan SD pun sudah banyak kita jumpai di
televisi.
Spektrum
model pergaulan bebas di zaman edan ini pun makin meluas. Dulu, ketika media
massa cetak dan elektronik hanya beredar di kota-kota besar, desa adalah tempat
tinggal yang bersih dan “bebas polusi”. Para pemuda desa senang berkumpul di
masjid dan mushalla. Para orangtua menyuruh anak-anaknya belajar mengaji. Ajaran
agama masih ditaati. Norma-norma masyarakat yang mengandung nilai-nilai
kebaikan masih dijunjung tinggi. Tingkat kriminalistas masih sangat kecil.
Tetapi
sekarang, ketika media massa cetak dan elektronik mulai merambah seluruh
pelosok Nusantara, dan desa-desa mulai dibanjiri arus informasi global, maka
desa tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman. Berbagai macam tindak
criminal, bukan lagi monopoli masyarakat kota. Justru sebaliknya, saat ini
tidak sedikit peristiwa-peristiwa tragis terjadi di desa-desa terpencil.
Di era
globalisasi sekarang ini, pacaran, ciuman, jalan bergandengan pria dan wanita
yang bukan suami istri, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan di
tempat sepi, kumpul kebo, BBS (bobo-bobo siang), dan sejumlah kosa kata lain
untuk menjelaskan fenomena pergaulan bebas di kalangan pria dan wanita adalah
pemandangan “biasa”, bahkan nyaris jadi budaya. Padahal semua itu adalah bagian
dari zina yang dilarang oleh Islam.
Para
pelaku perzinaan itu bukan saja berasal dari kalangan remaja, tapi mulai dari
anak-anak, orangtua hingga kakek-kakek dan nenek-nenek. Perzinaan, bukan hanya
terjadi di kalangan anak jalanan yang tidak terdidik, tapi juga terjadi di
kalangan orang terdidik, bahkan pendidiknya itu sendiri terlibat melakukan perzinaan.
Media
massa cetak dan elektronik banyak memberitakan kasus-kasus perzinaan dan
perkosaan. Di
Palembang, seorang kakek )60 th( menggauli gadis cilik yang masih tetangganya.
Di Kediri, seorang paman (40 th) tega mencabuli keponakan sendiri yang baru
duduk di kelas dua SLTP. Di Penjaringan, Jakarta Utara, seorang ayah tiri
memerkosa anak tirinya hingga hamil. Di Banjarmasin, seorang sopir lepas
memperkosa adik iparnya yang masih berusia 12 tahun. Dan di Lampung,
seorang ayah menodai anak kandungnya yang berusia 17 tahun hingga melahirkan.
Kerusakan moral juga melanda lembaga pendidikan, dimana seorang Kepala Sekolah
sebuah SMU di Jambi diduga mencabuli seorang pelajar putri kelas dua sekolah
itu.
Di Makassar, pasangan kumpul
kebo ditangkap personel Polresta Makassar. Pasangan ini telah beberapa kali
melakukan aborsi. Di daerah itu pula Kepolisian Sektor Kota Tallo, Makassar,
menangkap basah tiga pasangan kumpul kebo di sebuah rumah gubuk. Mereka
ditangkap karena warga sekitar resah melihat ketiga pasangan hidup serumah
tanpa menikah.
Sementar itu, sebanyak 21
pelacur dan empat remaja di bawah umur terjaring operasi saat Satuan Polisi
Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggelar razia di berbagai lokasi.
Operasi Pekat Garda ini dilakukan berdasarkan keterangan warga yang resah
terhadap kegiatan prostitusi di sejumlah warung remang-remang dan pinggir jalan.
Potret
Mesum
Itulah potret mesum masyarakat
Indonesia. Potret itu mungkin saja bisa lebih besar dari sekedar yang terangkat
di media massa. Potret yang penuh noda dan guratan-guratan dosa itu sebabkan,
salah satunya, oleh lemahnya pendidikan akhlak dan moral dalam keluarga. Nilai-nilai
amoral sekarang menyerang kehidupan keluarga dan masyarakat dengan bantuan
kemajuan teknologi. Ironisnya, ternyata sebagian besar masyarakat sekarang
malah menoleransi adanya dekadensi moral tersebut.
Simak apa yang dikatakan Aa Gym
usai ceramah di SMUN 20 Bandung, Jumat (10/10/2003). “Masyarakat seolah-olah
tidak terganggu psikisnya karena senang dibokongi oleh orang yang tampil
di panggung. Dulu, jangankan penyanyi, anak kecil saja membokongi
pantatnya di depan kita, maka kita bisa marah habis-habisan. Sekarang malah
terbalik, banyak orang ramai-ramai mencari bokong atau pantat orang yang
menyanyi, apalagi kalau sambil memutar,” katanya.
Menurutnya, kemajuan teknologi
saat ini masuk ke rumah-rumah. Anggota keluarga bisa secara mudah mengakses
kemaksiatan dan sekaligus nilai-nilai keagamaan. Yang memprihatinkan, ternyata
nilai-nilai keagamaan itu sangat minim bisa diakses dari media elekronik. Di
televisi misalnya, acara keagamaan ditayangkan hanya pada waktu pagi dan beberapa menit setiap sebelum azan
Maghrib. Bahkan demi untuk menyajikan berita aktual sedini
mungkin, penyajian acara-acara keagamaan ditarik waktunya menjadi sebelum
shalat Shubuh.
Demikian
halnya tayangan acara yang berbau “hiburan” ternyata banyak yang kurang
maslahat bagi pemantapan nilai-nilai keimanan para pemirsanya. Film-film sinetron yang
ditayangkan di televisi cenderung menampilkan gambar-gambar, perilaku pemeran
film, serta bahasa-bahasa tutur yang kurang mendidik. Akibatnya, para pemirsa
atau penonton yang baru kategori anak-anak atau remaja maupun yang berangkat
dewasa, terpengaruh dalam budaya perilaku dan ucapan tak bermoral. (Pikiran
Rakyat, 11/10/2003).
Kita, tak
pernah membayangkan sebelumnya, akan menyaksikan suatu zaman saat prilaku anak
bangsa kembali seperti zaman primitif. Para WTS tanpa malu sedikit pun,
berunjuk rasa bersama germo, dan mucikari, minta dispensasi agar pada bulan
Puasa bisa terus beroperasi. Seorang anak tega memerkosa ibu kandungnya
sendiri. Seorang ayah menggauli anak-anaknya hingga melahirkan. Para pencuri
unjuk gigi hingga berani membakar kantor polisi.
Kerusakan
moral juga terjadi di tingkat elit. Petugas
pajak kongkalikong dengan wajib pajak untuk menggelapkan uang Negara. Para wakil rakyat bekerjasama
dengan eksekutif menggiring anggaran Negara untuk sebagiannya masuk ke kantong
mereka sendiri. Tangan
hakim tak mampu mengangkat palu untuk menegakkan hukum, lantaran menerima suap
dari terdakwa. Jaksa sengaja membuat tuntutan lemah, supaya hakim menjatuhkan
vonis ringan kepada terdakwa. Para pengacara ramai-ramai mencari celah lemah
hukum demi membebaskan klien yang telah membayarnya mahal. Sementara aparat
penegak hukum lainnya hanya diam seribu bahasa. Mulut dan tangan mereka
terkunci lantaran mereka tidak suci. Hampir semua lembaga negara, tak mampu
menghidar dari intervensi para pengusaha dan kepentingan politik kelompok kuat.
Apakah sudah sebegitu rusaknya moral anak bangsa ini? Na'udzubillah.
Suka tidak
suka, mau tidak mau, itulah dunia nyata dan di sanalah sekarang kita berada.
Kita harus hidup di era globalisasi, dalam abad dominasi teknologi dengan
segudang dampaknya yang menuntut kita sebagai anak zaman agar lebih terampil
memelihara keseimbangan tarikan kemajuan teknologi dengan hunjaman ideology, sehingga
tidak hanyut oleh serbuan arus kebudayaan baru yang beraneka ragam, karena
tidak seluruh yang baru itu bagus dan tidak semua yang lama itu jelek.
Kita ingin mereformasi diri
menjadi bangsa yang modern, artinya bangsa yang terpelajar dan cerdas, mampu
memilah dan memilih mana budaya yang harus dilestarikan karena mengandung nilai
pendidikan, serta mana budaya yang harus dimusnahkan karena mengarah kepada
kemusyrikan. Adat budaya yang pernah ditampilkan para karuhun yang
sesuai dengan agama, tetap kita pelihara. Seperti tata krama dalam pergaulan,
santun dalam pembicaraan, teduh dalam pembawaan, matang dalam bersikap, serta
patriotisme atau keberanian dalam berperang.
Sekarang, hampir tiap menit
kita menyaksikan berbagai kasus kejahatan yang dilakukan anak bangsa yang
katanya berawal dari tontonan di televisi. Mereka terangsang oleh adegan-adegan
erotik, pornografis, dan kekerasan, terjadilah perkosaan yang harus diakhiri
pembunuhan. Begitulah menurut penuturan para pelaku yang sempat kita dengar
lewat televisi juga.
Sementara anak cucu kita
sepanjang hari nongkrong di depan televisi. Karena televisi sudah
menjadi orangtua asuhnya, sudah bisa dibayangkan, 20 tahun akan datang yang
mereka anggap benar itu adalah segala yang pernah mereka lihat selama ini di
televisi. Dari film kartun saja mereka telah mendapat pelajaran, di sana tak
ada kamus perdamaian, bahwa penyelesaian segala masalah harus diakhiri dengan
pembunuhan.
Kita semua
menyadari bahwa sekarang ini tengah terjadi berbagai krisis, antara lain krisis
kepemimpinan, baik di rumah tangga maupun masyarakat. Sepertinya, tak ada lagi
kata berwibawa yang mampu mempertahankan “tidak” atau “jangan”. Nasihat
orangtua atau fatwa guru sudah dianggap radio butut. Rambu-rambu lalu
lintas kalau tidak disertai polisi, nyaris tidak bunyi. Bahkan, orang yang
membangkang terhadap suatu peraturan di sebuah lembaga atau organisasi, malah
dianggapnya sebagai pahlawan yang idealis prinsipalis, dan harus didukung.
Dulu, lembaga fatwa MUI -- yang selama ini dianggap
sebagai penjaga gawang moral bangsa – pernah menasehati Inul agar memperhalus goyangan
pinggulnya.
Ternyata nasehat MUI bukannya didengar dan ditaati, tetapi malah ditantang dengan
nada sinis, mengapa MUI usil dengan mengurusi masalah tetek bengek.
Akibatnya, dalam seketika berpuluh Inul muncul, gerakan ngebor-nya
menembus berbagai iklan. Sekarang bahkan muncul goyangan-goyangan baru yang lebih
vulgar. Para kiyai
pun hanya bisa berucap, astagfirullah wana'udzubillah! Wallahu a’lam
bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar