“Hai
orang-orang yang beriman, ruku’-lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan 77. Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS Al-Hajj: 177).
Kemenangan atau kejayaan suatu umat tidak akan pernah
datang begitu saja dengan tiba-tiba. Datangnya sebuah kemenangan pasti
mengikuti aturan atau kaidah-kaidah yang telah dijelaskan Allah Swt. di dalam
Al-Qur`an. Aturan-aturan kemenangan itu dijelaskan Allah secara gamblang agar
dipelajari, diketahui, dan diperhatikan oleh orang-orang beriman.
Kata
kemenangan dalam Al-Qur’an sering menggunakan kata aflaha, tuflihuun,
atau muflihuun. Kata aflaha yuflihu menurut kamus bahasa Arab
memiliki arti menang, jaya, berhasil maksudnya, sukses (lawan gagal). Kata muflih
berarti yang menang atau yang berhasil maksudnya. (Mahmud Yunus, 1973:323).
Kata tuflihun
terambil dari kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani.
Penggunaan kata itu memberi kesan bahwa seorang yang melakukan kebaikan,
hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia
harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus bersusah payah membajak
tanah, menanam benih, menyingkirkan hama, dan menyirami tanamannya, lalu harus
menunggu hingga memetik buahnya (M. Quraish Shihab, Vol-9, 2002:130 – 131).
Al-Maraghi
(Juz 17, 1993:262) menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Wahai orang-orang
yang mempercayai Allah dan rasul-Nya, tunduklah kepada Allah dengan bersujud,
beribadahlah kepada-Nya dengan segala apa yang kalian gunakan untuk
menghambakan diri kepada-Nya, dan berbuatlah kebaikan yang diperintahkan kepada
kalian, seperti mengadakan hubungan silaturahmi dan menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia, supaya kalian beruntung memperoleh pahala dan keridaan yang
kalian cita-citakan.”
Prof. Dr.
Hamka (Juz 17, 1981:257) berpendapat, “Wahai orang-orang yang beriman, rukuk
dan sujudlah kamu dan sembahlah Allah kamu. Maksud ketiga perintah itu adalah
shalat. Karena di antara ibadah teguh hendaklah shalat. Supaya shalat bertambah
khusyu’ hendaklah iman. Iman adalah ketundukan akal. Shalat adalah memperdalam
perasaan. Rukuk dan sujud itu adalah melatih rasa tunduk. Menyembah Allah
dengan tunduk akan segala perintah dan menghentikan apa yang dilarang. Shalat
adalah ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Berbuat kebajikan
ialah meneguhkan hubungan dengan sesama manusia dengan menghubungkan
silaturahim dan menegakkan budi pekerti yang mulia. Supaya kamu mendapat
kemenangan, kemenangan yang dicapai dengan teguh beribadat kepada Allah yang
berpangkal dengan ruku’ dan sujud, tegasnya dengan shalat yang diimbangkan
dengan kesukaan berbuat kebajikan, adalah kemenangan di dunia akhirat. Di dunia
hati lapang, pikiran tidak tertubruk, ilham Allah datang, dan pergaulan luas.
Di akhirat ialah surga yang dijanjikan Allah.”
Kaidah Kemenangan
Banyak orang memahami kemenangan sebagai lawan dari
kekalahan dalam arti sempit. Padahal Allah Swt. telah menegaskan di dalam
Al-Qur`an bahwa barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka itulah kemenangan hakiki. Oleh karena itu, syahidnya para pejuang
Islam dalam medan pertempuran bukanlah sebuah kekalahan, justru sebaliknya hal
itu adalah salah satu bentuk kemenangan. Ada tiga kaidah kemenangan yang akan
dijelaskan dalam tulisan ini.
Kaidah pertama, sesungguhnya kemenangan itu hanya dari Allah Swt. Oleh karena itu,
siapa yang mendapatkan pertolongan dari Allah Swt., ia tidak akan pernah
terkalahkan, meskipun para musuh bersatu dalam satu barisan untuk menyerang
dirinya. Sebaliknya, barangsiapa dibiarkan oleh Allah dan tidak mendapat
pertolongannya, maka ia tak akan pernah sedikit pun meraih kemenangan, meskipun
ia memiliki kekuatan besar dan tangguh.
Kaidah-kaidah kemenangan tersebut dijelaskan Allah
Swt. secara gamblang dalam firman-Nya,
“Jika
Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika
Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang
dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang
mu'min bertawakkal” (QS Ali Imran: 60).
Pada tahap tertentu, Allah Swt. sering pula memberikan
pertolongan-Nya kepada sekelompok kaum yang sedikit hingga mereka dapat
mengalahkan kelompok yang lebih besar jumlah dan kekuatannya. Hal ini terjadi,
seperti ketika Allah Swt. menolong para pengikut Thalut saat menghadapi
balatentara Jalut yang jumlahnya lebih besar.
Saat itu, para pengikut Thalut sempat ragu tatkala
melihat besarnya kekuatan dan jumlah pasukan Jalut. Bahkan mereka telah
berkata,
"’Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk
melawan Jalut dan tentaranya.’ Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar’” (QS Al-Baqarah: 249).
Allah Swt. juga pernah menurunkan pertolongan-Nya
kepada seseorang yang tidak memiliki tentara dan senjata sedikit pun, sehingga
ia dapat mengalahkan para musuhnya. Orang yang mengalahkan hal itu tak lain
adalah Rasulullah Saw. sendiri, yaitu pada saat beliau berada di dalam sebuah
gua bersama salah seorang sahabatanya. Peristiwa ini dikisahkan Al-Qur`an,
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir
(musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari
dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada
temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka
Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang
kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(At-Taubah: 40).
Kaidah kedua, sesungguhnya Allah Swt. tidak akan menolong seseorang kecuali dirinya
selalu menolong agama Allah. Artinya, siapa yang menolong agama Allah, maka
Allah pun akan memberikan pertolongan kepadanya. Kaidah ini disebutkan Allah
Swt. di dalam Al-Qur`an,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad: 7).
Ayat di atas kemudian dipertegas lagi oleh Allah Swt.
dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al-Hajj: 40).
Berdasarkan
kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pertolongan Allah akan diberikan
kepada siapa saja yang selalu menolong agama Allah, meninggikan kalimat-Nya,
dan melaksanakan syariat-Nya dalam kehidupan.
Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan penjelasan Allah
Swt. tentang keadaan orang-orang yang selalu menolong agama Allah.
“(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan” (QS Al-Hajj: 41).
Pada ayat lain, dijelaskan juga bahwa pertolongan
Allah hanya akan diterima orang-orang yang beriman atau orang-orang yang selalu
berjuang di jalan-Nya. Hal ini menandakan bahwa iman adalah syarat mutlak untuk
mendapatkan pertolongan Allah. Maka dari itu, barangsiapa beriman kepada Allah
dengan sebenar-benarnya, orang tersebut pada hakikatnya telah menolong agama
Allah dan menjadi bagian dari balatentara-Nya. Bekaitan dengan penjelasan ini,
Allah Swt. berfirman, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang
yang beriman” (QS Ar-Rum: 47).
Kaidah ketiga, sesungguhnya kemenangan atau pertolongan Allah akan diperoleh umat
dikarenakan keberadaan orang-orang beriman di tengah-tengah mereka. Jika
demikian halnya, maka pertolongan Allah hanya diperuntukkan bagi mereka yang
beriman dan hanya diperoleh dengan keberadaan mereka. Berkenaan dengan kaidah
ini, Allah Swt. berfirman,
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka
sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu
dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min” (QS Al-Anfal: 62).
Kadangkala
Allah Swt. menurunkan pertologan-Nya kepada seorang hamba atau kaum melalui
perantaraan berbagai kekuatan alam yang telah Allah perintahkan untuk membantu
hamba atau kaum tersebut, atau Allah sendiri langsung menghancurkan para
musuh-Nya. Hal ini terjadi
sebagaimana telah diceritakan Allah dalam firman-Nya,
“Lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan
tentara yang tidak dapat kamu melihatnya” (QS Al-Ahzab: 9).
Kemudian,
kita dapat saksikan juga pada saat Allah Swt. menurunkan hujan sebagai rahmat
bagi kaum mukmin pada saat terjadi perang Badar. Peristiwa tersebut diceritakan
Allah,
“(Ingatlah),
ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya,
dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan
hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk
menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu)” (QS
Al-Anfal: 11).
Pada saat yang lain, Allah juga pernah memberikan
pertolongan kepada suatu kaum melalui perantaraan tangan-tangan musuh.
Pertolongan seperti ini dilakukan Allah dengan meniupkan rasa takut ke dalam
hati musuh orang-orang beriman. Karena rasa takut itulah, nyali dan keberanian
mereka untuk melawan kaum yang beriman semakin surut. Peristiwa ini pernah
terjadi dan dialami oleh Bani Nadhir sebagaimana dikisahkan Allah Swt. di dalam
Al-Qur`an,
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara
ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama.
Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah;
maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka.
Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang
beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan” (QS Al-Hasyr: 2).
Sarana atau perantara datangnya pertolongan Allah atau
sebuah kemenangan sangatlah banyak. Akan tetapi semua itu tidak lepas dari
keberadaan orang-orang beriman. Artinya, orang-orang beriman dalam hal ini
adalah tetap sebagai perantara atau penyebab utama turunnya kemenangan dan
pertolongan Allah.
Para malaikat yang diperbantukan Allah pada perang
Badar misalnya, tidak akan pernah diturunkan begitu saja. Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah beriman” (QS
Al-Anfal: 12).
Kemudian, pada saat terjadi perang Ahzab, Allah Swt.
mengirimkan angin dan balatentara dari langit adalah ketika orang-orang beriman
diuji dan diguncangkan hatinya dengan guncangan yang amat keras. Sementara itu,
pada perang Hunain, Allah Swt. menurunkan ketenangan kepada Rasulullah Saw. dan
kepada orang-orang beriman. Pada perang dengan Bani Nadhir, Bani Nadhir
memusnahkan sendiri rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang beriman.
Dalam jihad
siyasi (perjuangan politik) yang saat ini tengah dilakukan umat Islam,
setiap orang beriman dituntut untuk membuktikan keimanannya, yaitu berusaha
sekuat tenaga untuk memenangkan Islam melalui partai politik yang benar-benar
memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Mari kita buktikan
keberpihakan kita kepada Allah dengan cara menolong agama Allah atau menolong
orang-orang yang memperjuangkan agama Allah melalui jalur politik.
Jalan Meraih Kemenangan
Di dalam
AL-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 77, Allah Swt. Berfirman,
Hai
orang-orang yang beriman, ruku’-lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan
berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS
Al-Hajj: 77).
Ayat ini
merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan istimewa, surah Al-Hajj.
Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir menggolongkan surah ini
ke dalam kategori surah Makkiyah, namun sebagian yang lain justru
sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori surah Madaniyah. Surah ini juga
unik karena di dalamnya ada dua ayat sajdah, yaitu ayat ke-18 dan ayat
ke-77 ini seperti yang di pahami dari sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir,
”Keutamaan
surah al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang tidak
bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini” (HR
At-Tarmidzi dan Abu Dawud).
Ayat ini
menggambarkan secara ringkas manhaj Allah Swt. untuk manusia dan beban
taklif bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Ia di
awali dengan perintah untuk ruku’ dan sujud yang merupakan gambaran gerakan
shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan perintah untuk beribadah
secara umum yang meliputi segala gerakan, amal dan pikiran yang di tujukan
hanya kepada Allah Swt. sehingga segala aktivitas manusia bisa beralih menjadi
ibadah bila hati ditujukan hanya kepada Allah Swt. bahkan Kenikmatan-kenikmatan
dari kelezatan hidup dunia yang dirasakannya dapat bernilai ibadah yang di
tulis sebagai pahala amal baik .
Ayat ini
di tutup dengan perintah berbuat baik secara umum dalam hubungan horizontal
dengan manusia setelah perintah untuk membangun hubungan vertikal dengan Allah
Swt., dalam shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu, perintah ibadah
dimaksudkan agar umat Islam selalu terhubung dengan Allah Swt. sehingga
kehidupan berdiri di atas fondasi yang kukuh dan jalur yang dapat membawa
kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk melakukan kebaikan, dapat membangkitkan
kehidupan yang istiqamah dan kehidupan masyarakat yang penuh dengan suasana
kasih sayang.
Perintah
ini dipertegas kembali di akhir surah Al-Hajj, bahwa umat Islam akan mampu
mempertahankan eksistensinya sebagai umat pilihan dan sebagai saksi
atas umat yang lain manakala mampu membina hubungan baik dengan Allah
Swt. dan membina hubungan baik sesama manusia,
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka
Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong” (QS
Al-Hajj: 78).
Pada ayat
di atas, Allah Swt. memberi perintah kepada orang beriman agar mampu membangun
kesalehan personal (hablum minallah) dan kesalehan sosial (hablum
minannas) secara bersamaan agar senantiasa memperoleh kemenangan. Ruku’ dan
sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah Swt.,
sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara
redaksional dalam urutan perintah ayat di atas, ternyata Allah Swt.
mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk
membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal. Atau
kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial.
Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah Swt. dimaksudkan agar lahir
darinya kesalehan sosial, seperti shalat misalnya, bagaimana ia bisa mencegah
dari perbuatan keji dan munkar,
“Dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar” (QS Al-Ankabut: 45).
Kisah yang
diabadikan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bagaimana seorang wanita
yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan ibadah shalat, puasa dan
ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah Saw. menyatakan bahwa
ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak membawanya menuju
kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu menjaga lisannya dari tidak
melukai hati orang lain.
Dalam
tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, terdapat beberapa hubungan dan
korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan
sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat
ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara individu dan
sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya
mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia
mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di
waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS
Adz-Dzariyat: 16-19).
Ibnu Asyur
mengomentari ayat ini dengan menjelaskan bahwa dua bentuk amal inilah yang
sangat berat untuk dilakukan karena: pertama, bangun malam merupakan sesuatu
yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu
merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang.
Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena
manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di
sinilah Allah Swt. menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk
mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai lain
yang terkait dengan dua kesalehan ini, adalah sebab utama yang paling banyak
menjerumuskan seseorang ke dalam neraka karena tidak mampu membentengi diri
dengan dua kesalehan tersebut, seperti pernyataan jujur penghuni neraka yang
diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak pula
memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama
dengan orang-orang yang membicarakannya” (QS Al-Mudatsir: 42-45).
Resep agar
tidak bersifat keluh kesah lagi kikir juga sangat terkait dengan kemampuan
seseorang membangun dalam dirinya dua kesalehan tersebut secara simultan. Allah
Swt. memberi jaminan,
“Kecuali
orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya, dan orang-orang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
miskin yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa (yang tidak mau
meminta)” (QS Al-Ma’arij: 22-25).
Berapa
banyak dari umat ini yang hanya mementingkan saleh secara sosial tapi lupa akan
hubungan baik dengan Allah Swt. Sebaliknya, banyak juga yang saleh secara
personal namun ketika berhadapan dengan sosial, ia larut dan tidak mampu
membangun kesalehan di tengah-tengah mereka. Sungguh umat ini sangat
membutuhkan kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu
menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Saleh secara sosial dalam arti mampu memelihara
hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Wallahu
a’lam bishsawab).
0 comments:
Posting Komentar