“(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”
(QS Ali Imran: 191).
Mengomentari ayat ini, Rasulullah Saw.
Bersabda, “Shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Bila tidak mampu, maka
shalatlah dalam keadaan duduk. Dan bila tidak mampu juga, maka shalatlah dalam
keadaan berbaring” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan
kepada kita tentang urgensi dzikir (selalu ingat) kepada Allah Swt.
dalam keadaan apa pun. Karena manusia dalam kesehariannya selalu berada pada
tiga kondisi, yaitu berdiri, duduk, atau berbaring. Rasulullah Saw. memaknai
kata dzikir pada ayat di atas dengan shalat, karena shalat pada
hakikatnya adalah aktifitas dzikir kepada Allah Swt.
Akan tetapi, aktifitas dzikir
saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan manusia di alam dunia, karena dzikir
hanya bertujuan agar hati manusia selalu terikat kepada Allah Swt. Sementara
“misteri” alam dunia harus dipecahkan dengan sebuah aktifitas lain, yaitu
berpikir. Maka Allah Swt. menyandingkan kata dzikir dengan pikir pada
perintahnya sebagaimana tertera dalam ayat di atas. Dengan demikian, urgensi
berpikir sama pentingnya dengan dzikir, meskipun dalam aulawiyat-nya
(perioritasnya), dzikir harus lebih didahulukan.
Oleh karena itu, Hasan al-Basri berkata,
“Berpikir dan ingat (dzikir) kepada Allah selama satu jam lebih baik daripada
berdiri shalat selama satu malam.” Karena, tambahnya, “Berpikir untuk merenung
ibarat cermin yang menampakkan segala kebaikan dan keburukanmu.”
Luqmanul Hakim berkata, “Duduk
menyendiri dan berpikir akan melahirkan renungan, dan renungan adalah ketukan
pintu surga.”
Wahab bin Munabbih berkata, “Tidaklah
seseorang berpikir dan merenung melainkan ia akan mengerti. Dan tidaklah
seseorang mengerti melainkan ia mengetahui. Dan tidaklah seseorang mengetahui
melainkan ia akan mengamalkan.”
Bisyir bin Harits al-Hafi berkata, “Jika
manusia mau berpikir dan merenungkan kebesaran Allah Swt., niscaya mereka tidak
akan berani berbuat maksiat kepada-Nya.”
Demikianlah pernyataan para salafush
shalih tentang pentingnya berpikir dan merenung setelah dzikir. Berpikir yang
telah dibalut oleh dzikir akan selalu mengarahkan seseorang kepada petunjuk
Allah Swt.
Ingatlah kisah Nabi Ibrahim As. ketika
mencari hakikat ketuhanan yang diabadikan oleh Allah Swt. dalam QS Al-An’am:
76-79. Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim As. mengoptimalkan potensi berpikirnya
untuk menolak konsep ketuhanan bintang, bulan, dan matahari yang nisbi, seraya
meneguhkan keyakinannya untuk menerima konsep ketuhanan yang kekal abadi dengan
cara menghadapkan dirinya kepada Rabb Pencipta alam semesta dengan penuh
ketundukan. Paduan dzikir dan pikir inilah yang membuat Nabi Ibrahim As. tidak
termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Swt.
Paham Dulu, Baru Amal
Imam Al-Ghazali dan para sufi besar
lainnya berpendapat bahwa permulaan beragama dan berakhlak dengan akhlak para
nabi dan orang-orang shalih tidak akan tercapai kecuali diramu dengan tiga hal
yang tersusun secara berurutan, yaitu ilmu, perilaku, dan amal. Ilmu akan
mewariskan perilaku, dan perilaku akan mendorong amal.
Ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh
para ahli psikologi tentang persepsi, emosi, dan kecenderungan. Ketiga aspek
ini saling berkaitan. Dengan kata lain, manusia mengenal dan berpersepsi,
kemudian terpengaruh dan terkesa, baik suka ataupun tidak suka, kemudian
berkecenderungan dan berkeinginan, baik positif ataupun negatif.
Urutan tersebut sangat jelas di dalam
Al-Qur`an,
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an
itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka
kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang
beriman kepada jalan yang lurus” (QS Al-Hajj: 54).
Huruf ‘athaf dalam ayat tersebut
adalah “fa” yang mengandung arti tertib dan berurutan. Artinya, setelah
ilmu adalah iman, dan setelah iman adalah tunduk. Oleh karena itu, manusia
apabila berilmu pasti beriman. Dan apabila mereka beriman, pasti mereka akan
tunduk kepada Allah Swt. Tentu saja yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah
ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada hidayah Allah Swt.
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan
Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu” (QS Muhammad: 19).
Dalam ayat ini, perintah untuk mencari
ilmu (fa’lam) didahulukan daripada perintah untuk beramal, yaitu memohon
ampun.
Oleh karena itu, para ahli psikologi
mengatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia selalu didahului oleh
aktifitas berpikir internal (nasyath fikri ma’rifi dakhili), dan bahwa
akal manusia tak pernah sejenak pun berhenti dari aktifitas berpikir, baik
disadari atau tidak. Dengan demikian, aktifitas berpikir manusialah – disadari
atau tidak – yang mengarahkan perilaku dan tindakan-tindakannya.
Dalam kitab “Miftah Daar as-Sa’adah”,
Ibnul Qayyim berkata, “Berpikir adalah kunci seluruh kebaikan. Ia adalah
aktifitas hati yang paling utama dan paling bermanfaat. Lalu dalam kitab “Al-Fawa`id”,
beliau menjelaskan secara gamblang tentang pengaruh aktifitas berpikir dalam
setiap tindakan. Katanya, “Lawalanlah lintasan buruk yang muncul dalam benakmu!
Karena jika dibiarkan ia akan menjadi fikrah (pemikiran/gagasan) buruk.
Lawanlah fikrah buruk itu! Karena jika tidak, ia akan menjadi niat atau
keinginan (iradah) buruk. Niat buruk
bila tidak dilawan akan menjadi ‘azam (tekad) buruk. Bila tekad buruk
tidak dilawan, maka ia akan menjadi perbuatan atau amal buruk. Apabila
perbuatan buruk itu tidak dilawan, maka ia akan menjadi kebiasaan buruk. Dan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sulit untuk ditanggalkan.
Oleh karena itu, dalam keseharian kita seringkali
menemukan seseorang yang sudah terbiasa merokok sulit untuk berhenti merokok.
Orang yang sudah terbiasa memfitnah, sulit untuk menghentikan fitnahnya. Orang
yang sudah terbiasa mencuri, sulit meninggalkan perbuatan mencurinya. Dan orang
yang sudah terbiasa hidup dalam tradisi bid’ah dan khurafat, sulit untuk
melepaskan bid’ah dan khurafatnya.
Bahkan dalam kondisi ketidakberdayaan
melawan kebiasaan buruknya, seseorang lalu menyalahkan norma-norma kebenaran
yang disampaikan kepadanya. Misalkan dengan mengatakan hukum waris sudah
ketinggalan zaman, karena di abad modern sekarang ini, pria dan wanita punya
hak dan kewajiban yang sama. Larangan berpacaran adalah mengada-ada, lantaran
masyarakat di zaman sekarang sudah terbiasa dengan budaya pacaran. Atau dengan
mengatakan bahwa mengenakan jilbab untuk menutup aurat, bukanlah suatu
kewajiban. Karena jilbab adalah budaya masyarakat Arab. Demikian seterusnya,
manusia mencari-cari alasan agar kebiasaan buruknya dapat dimaklumi dan
diterima oleh masyarakat.
Demikian pula sebaliknya, seseorang yang
sudah terbiasa dengan amal kebaikan, maka ia akan sulit untuk meninggalkannya.
Seorang Muslim yang sudah terbiasa dengan shalat lima waktu, pasti ia tak akan
berani meninggalkannya, meskipun hanya satu waktu saja. Karena proses dzikir
dan pikir tentang shalat telah memahamkan dan meyakinkannya bahwa shalat lima
waktu adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, dalam kondisi apa
pun. Bahkan ada Muslim yang sudah sampai pada tingkatan syu’ur
(perasaan) bahwa shalat lima adalah suatu kebutuhan, sehingga ia tak dapat
hidup tanpa melaksanakan shalat.
Dua kondisi di atas, kebiasaan buruk dan
kebiasaan baik, selalu dimulai dari aktifitas berpikir dan berpersepsi.
Rasulullah Saw., sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas, hampir setiap
menjelang fajar keluar rumah lalu menatap ke langit sambil membaca sepuluh ayat
terakhir dari surat Ali Imran untuk mengingat dan memikirkan kebesaran Allah
Swt. Setelah itu, Beliau Saw. berdoa, “Ya Allah berilah cahaya pada hatiku. Berilah
cahaya pada pendengaranku. Berilah cahaya pada penglihatanku. Berilah cahaya di
sisi kanan dan kiriku. Berilah cahaya di depan dan belakangku. Berilah cahaya
di atas dan di bawahku. Dan besarkanlah
cahaya bagiku di hari kiamat.”
Amat banyak tanda-tanda ke-Mahakuasaan
Allah yang harus kita pikirkan dan renungkan. Sebagian tanda-tanda itu ada pada
diri kita sendiri. Maha Benar Allah dengan firman-Nya,
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala
sesuatu?”
0 comments:
Posting Komentar