“Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” (QS Huud: 118-119).
Kita perlu bertanya pada Samuel Huntington berkaitan
dengan pandangannya tentang benturan peradaban, apakah benturan itu suatu
keharusan atau hanya kemungkinan saja? Pertanyaan ini amat penting mengingat
Barat yang dimotori Amerika Serikat seolah-olah menganggap benar hipotesa
Huntington ini. Kalau kita renungkan, hipotesis Huntington amat membahayakan perjalanan
kehidupan manusia, lantaran ia menghadap-hadapkan dua atau lebih peradaban
manusia pada posisi yang seolah-olah siap bertarung. Seperti dikatakan
Huntington, setelah hancurnya Uni Sovyet, maka musuh Barat yang paling utama
adalah Islam, setelah itu Cina.
Mengomentari hipotesa Huntington, DR Al-Jabiriy
berkata, “Andai Huntington benar-benar memikirkan berbagai persoalan untuk ia
pahami dan mencari solusi untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya dengan
tetap memandang bahwa benturan peradaban mengancam keamanan dunia, maka ia akan
sampai pada kesimpulan bahwa semua pihak dan semua negara diimbau untuk
mewaspadai bahaya ini dan diminta untuk membuat rencana antisipasinya. Akan
tetapi, ternyata Huntington justru melakukan hal sebaliknya. Sejak awal ia
mengusung hipotesisnya sebagai kebenaran sejarah di masa lalu dan yang akan
datang. Begitulah ia ingin mengembalikan bangunan “sejarah seluruhnya” dengan
potret yang menjadikan “benturan peradaban” yang dulu dan yang akan datang
adalah sama. Ia tampilkan contoh-contoh yang diambilnya dan mencoba
menginterpretasikannya dengan interpretasi yang jauh dari lingkungan sejarah
itu sendiri.”
Komentar Al-Jabiriy merupakan sikap keprihatinannya
atas sikap Huntington yang lebih mendorong munculnya sikap curiga dan saling
benci di antara anak manusia. Pada sisi ini, Al-Jabiriy jelas memiliki
pandangan lebih dewasa dan selangkah lebih maju ketimbang Huntington.
Lalu, bagaimana Islam menanggapi hipotesa
Huntington? Masalah ini sama dengan
masalah yang menjadi pembahasan para ahli fiqih Islam, yaitu apakah sikap genuine
kaum Muslimin dengan non-muslim itu berperang atau berdamai? Ada yang
mengatakan sikap genuine adalah berperang terhadap mereka, dan ada yang
berpendapat sebaliknya, yaitu berdamai, sedang perang adalah bukan sikap genuine.
Allah Swt. berfirman,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah: 216).
Sementara nash-nash dan ayat-ayat Al-Qur`an sangat
jelas mengutamakan damai atas perang sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur`an
yang mulia.
“…Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak
memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi
jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (QS An-Nisa: 90).
Jadi peperangan baru diperintahkan jika ada sebab-sebab
yang mewajibkan, dan itu tidak harus selalu terjadi. Begitu pula halnya dengan
benturan peradaban. Ia tidak mesti ada dan terjadi. Apalagi jika peradaban yang
beragam tersebut bisa berdialog, hidup berdampingan, bahkan saling memberi.
Benturan itu terjadi manakala ada satu peradaban yang memaksakan kehendaknya
agar diterima oleh yang lain, sementara yang dipaksa menolak dan tidak mau
terima. Oleh karena itu, sebagian pemikir besar seperti pemikir Prancis, Roger
Garaudy menyerukan adanya dialog antarperadaban.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa perbedaan
antarperadaban manusia adalah sesuatu yang nyata dan merupakan kehendak Allah
Swt. yang mengandung hikmah, baik perbedaan bahasa, ras, maupun agama.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui”
(QS Ar-Ruum: 22).
Dalam ayat lain, Allah Swt. juga menegaskan, “Dan
kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja),
tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan
orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak
pula seorang penolong” (QS Aasy-Syura: 8).
Bahkan Al-Qur`an al-Karim menjelaskan bahwa
Allah Swt. menciptakan manusia agar mereka berjenis-jenis dan berlainan satu
sama dengan yang lain. Artinya, keragaman adalah sebuah konsekuensi atas
penciptaan manusia. Simaklah ayat berikut,
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan
memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” (QS Huud: 118-119).
Banyak para ulama tafsir mengatakan, bahwa kata-kata
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka”, maksudnya adalah untuk
“berselisih” mereka diciptakan oleh Allah. Diberinya mereka akal dan kemauan dan
selama setiap orang berpikir dengan akalnya dan berkehendak, maka
perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan akan senantiasa ada, dan tentunya
masing-masing bertanggung jawab atas pandangan dan keinginannya itu.
Perbedaan seperti yang Allah Swt. berikan kepada
manusia juga diberikan kepada makhluk-Nya yang lain, sehingga ada kesesuaian
antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah Swt. berfirman,
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan
hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka
macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah
yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Pengampun”
(QS Fathir: 27-28).
Atas dasar ini, maka setiap kita memegang teguh apa
yang diyakininya sebagai sesuatu yang haq dan baik dengan tetap membuka dialog
dengan yang lain untuk mendapatkan titik temu, sehingga dapat saling memahami.
Sebagai umat Islam, kita mesti menyambut baik upaya
dialog antarperadaban karena hal ini memang diperintahkan oleh Allah Swt.
sebagaimana firman-Nya,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk” (QS An-Nahl: 125).
Dengan ayat ini, umat Islam diperintahkan untuk menyeru
manusia ke jalan Rabbnya dengan cara bijaksana dan nasehat yang baik. Para
ulama berpendapat, cara ini digunakan untuk menyeru sesama Muslim. Sedangkan
bagi mereka yang berbeda agama, menurut pemahaman para ulama, kita disuruh
berdialog dan berdebat dengan cara yang lebih dan paling baik.
Jika kita meyakini bahwa kita berada di jalan yang
benar dan selain kita di jalan bathil, dan ini merupakan sikap setiap orang
yang punya keyakinan dalam agama apa pun, maka kita tidak ditugasi untuk
membuat perhitungan dengan mereka yang menurut kita sesat itu. Kita hanya
diperintahkan untuk mendakwahkan dan mengingatkannya. Sedangkan, perhitungannya
hanya dengan Allah kelak di akhirat. Allah Swt. berfirman,
“Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah:
"Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan
mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu
berselisih padanya” (QS Al-Hajj:
68-69).
Dalam ayat lain, Allah Swt. menegaskan,
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan
Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan
kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)”
(QS Asy-Syura: 15).
Ini merupakan anjuran untuk ber-tasamuh
(bertoleransi) di antara sesama manusia, sekalipun kita menyakini bahwa yang
berbeda dengan kita berada dalam kesesatan yang nyata. Dialog yang bertujuan
mendekatkan dan saling memahami di antara sesama manusia tidak menggugurkan
kewajiban kita untuk menyeru manusia kepada Islam dengan cara-cara yang
bijaksana. Allah Swt. berfirman,
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang)
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah)’” (QS Ali Imran: 64).
Bila kacamata Islam yang kita gunakan untuk menilai keragaman
peradaban dan budaya, niscaya benturan peradaban yang diusung Huntington tak
lain hanyalah sebuah sindrom belaka. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar