“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan
sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia
(yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS Al-Baqarah: 251).
Sebagai umat Islam, kita telah diajari oleh
Al-Qur`an al-Karim satu dari sekian banyak undang-undang Allah Swt. di bumi
yang diistilahkan oleh Al-Qur`an dengan sunnatullah. Undang-undang atau
sunnatullah itu adalah Sunnatu at-Tadafu’ (Hukum Tolak Menolak), yaitu
Allah Swt. menolak atau mencegah sebagian makhluknya dengan sebagian yang lain,
supaya kebaikan tersebar di bumi ini dan kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Kita sering menyaksikan ketika ada tanaman
diserang oleh ulat yang memakan dedaunan, maka Allah Swt. mendatangkan
burung-burung kecil yang memakan ulat-ulat tersebut, sehingga tanaman yang
daunnya dirusak ulat kembali tumbuh dengan baik. Ketika hama kutu loncat
menyerang tanaman-tanaman di Indonesia dan merugikan para petani, maka Allah
Swt. mengirimkan sejenis kepik yang memangsa kutu loncat tersebut. Para petani
pun dapat “bernapas” kembali. Bila Sunnatu at-Tadafu’ ini terjadi di
dunia flora dan fauna, maka begitu juga di dunia manusia.
Ketika muncul seorang penguasa zalim yang
menindas rakyatnya dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt.
mengirimkan kepadanya orang yang mengingatkannya dan menghentikan perbuatan
zalimnya itu. Bisa jadi orang yang diutus Allah untuk menghentikan perbuatan si
zalim itu adalah seorang yang adil, atau bisa juga orang yang zalim juga
seperti penguasa itu. Sebagaimana dikatakan, “Orang zalim adalah pedang Allah
di bumi, dengannya Allah murka, lalu terhadapnya Allah marah.”
Kemurkaan Allah bisa disebabkan lantaran rakyat
di suatu negeri menjauhi hukum-hukum Allah dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya.
Sehingga, Allah Swt. menghukum penduduk negeri tersebut dengan hadirnya seorang
penguasa zalim dan kejam. Mungkin inilah yang tengah terjadi di negara kita. Na’uzhubillahi
min dzalik. Tapi, kita patut berintrospeksi.
Ketika bangsa Indonesia memperoleh anugerah
kemerdekaan pada tahun 1945, mereka tidak atau kurang mensyukuri anugerah Allah
itu. Bangsa Indonesia tidak buru-buru mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan
iman dan taqwa dan mempebaiki sendi-sendi kehidupan yang telah dirusak para
penjajah. Bahkan sebaliknya, penguasa yang berkuasa pada waktu itu
menyingkirkan Al-Qur`an dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka lebih
suka menggunakan hukum Barat penginggalan penjajah Belanda, ketimbang hukum
Allah Swt. Penguasa tirani Orde Lama dijatuhkan oleh penguasa Orde Baru yang
kurang lebih sama sifat dan perangainya. Penguasa Orde Baru diturunkan oleh
penguasa Orde Reformasi yang hingga saat ini memiliki sikap yang sama, bahkan
dalam beberapa hal mungkin lebih buruk lagi.
Kapan Allah Swt. mengirim pemimpin dan penguasa
yang adil? Jawabnya, ketika bangsa Indonesia, khususnya umat Islam mau kembali
dan taat kepada hukum dan ketentuan Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh Allah
Swt. dalam firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96).
Limpahan berkah dari langit dan bumi akan
dibukakan oleh Allah Swt. sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa
dalam arti sesungguhnya. Dan salah satu berkah itu adalah diturunkannya
pemimpin yang adil dan menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat yang beriman dan
bertaqwa pasti akan memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa. Sebaliknya,
rakyat yang lemah iman dan cenderung kepada kemusyrikan tentu akan memilih
pemimpin yang sikap dan perilakunya sama dengan mereka.
Kembali kepada Sunnatu at-Tadafu’. Allah
Swt. mengutus Nabi Ibrahim As. kepada Namrud yang tiranis, mengirim Nabi Musa
As. kepada Fir’aun yang sombong lagi menindas, menyuruh Thalut untuk melawan
Jalut yang kejam, dan menghadirkan Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah
masyarakat Quraisy yang musyrik dan suka membunuh.
Jadi Sunnatu at-Tadafu’ merupakan sesuatu
yang mesti ada dalam kehidupan dunia ini untuk mencegah kerusakan di bumi,
sehingga sebagian manusia tidak melanggar hak asasi sebagian yang lain, dan si
kuat tidak memangsa si lemah. Jika Sunnatu at-Tadafu’ ini tidak ada,
maka dunia akan dikuasai oleh hukum rimba, di mana si kuat memakan si lemah,
orang besar berbuat semena-mena terhadap orang kecil, sebagaimana hal itu
terjadi di dunia ikan.
Manusia jika dibiarkan mengiuti hawa nafsunya,
pasti ia akan berbuat zalim dan melakukan kebodohan,
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh” (QS
Al-Ahzab: 72).
Siapakah yang mencegah si kuat yang zalim
memusuhi si lemah yang tidak berdaya? Allah Swt. dengan ketetapan-Nya mengirim
orang yang akan membela si lemah atas hak-haknya. Allah Swt. senantiasa
mengirim manusia untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang telah dirusak oleh
para mufsidun (kaum perusak).
Ketika Barat yang diwakili Amerika Serikat
berbuat zalim, sombong, dan membuat kerusakan di bumi, maka mengapa kekuatan
Islam dan yang lainnya tidak bersatu untuk menghadapi AS dan sekutunya? Mereka
yang lemah jika bersatu akan menjadi kuat. Apalagi jika yang lemah itu memiliki
sesuatu yang tidak dimiliki Barat, seperti kekuatan jumlah penduduk dan
kekuatan mental. Bila umat Islam tidak mengekor kepada kemauan AS yang
cenderung destruktif, maka di sana ada kebaikan. AS dan para kroninya akan
berpikir seribu kali untuk berbuat zalim dan berlaku sombong kepada bangsa
lain.
Al-Qur`an al-Karim menerangkan Sunnatu at-Tadafu’
di dua tempat. Pertama, kisah Thalut yang diutus Allah untuk
menghentikan kebiadaban Jalut. Allah Swt. menakdirkan Thalut dan tentaranya
berjumpa dengan Jalut, sang penguasa zalim beserta pasukannya yang jumlahnya
lebih besar dan persenjataannya lebih lengkap, sehingga timbul rasa takut pada
tentara Thalut, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut
dan tentaranya” (QS Al-Baqarah: 249).
Namun, sebagian tentara Thalut yang kokoh
imannya dan yakin terhadap pertolongan Allah Swt., tak gentar menghadapi besar
dan kuatnya tentara Jalut.
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan
menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar. Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya,
merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran
atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap
orang-orang kafir’. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan
izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah
memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya
Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam’.” (QS
Al-Baqarah: 249-251).
Al-Qur`an menjelaskan bahwa Allah Swt. telah
menolak kesewenang-wenangan dan kezaliman Jalut dengan mengutus Thalut beserta
tentaranya, dan Allah menyiapkan seorang pemuda untuk membunuh Jalut dalam
pertempuran itu, yaitu Daud yang kemudian memperoleh kemuliaan sebagai nabiyullah.
Kedua, Allah Swt. mengizinkan umat Islam untuk
berperang demi membela diri dan aqidahnya, setelah 13 tahun lamanya mereka
hidup dalam penindasan dan penyiksaan, bahkan di antara mereka ada yang mati
lantaran kelaparan. Penyebab semua itu adalah sikap represif dan tiraniya kaum
musyrikin yang berkuasa pada waktu itu. Namun, sepanjang periode Mekkah, umat
Islam diperintahkan untuk bersabar dan disuruh hijrah ke Madinah untuk
menghindari penindasan.
Ketika umat Islam telah cukup kuat, maka Allah
Swt. mengizinkan mereka untuk mencegah kezaliman kaum musyrikin dalam rangka
melindungi kebenaran dan menolak fitnah dalam agama, sehingga agama hanya
menjadi milik Allah saja. Izin ini kita dapati dalam dua rangkaian ayat dalam
QS Al-Hajj:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang
telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al-Hajj: 39-40).
Dengan adanya pencegahan makhluk dengan makhluk
lain, maka tempat ibadah terpelihara, dan kebebasan beragama dapat terlindungi.
Jika tidak, para penguasa tirani akan terus berbuat zalim, dan mereka yang suka
berbuat kerusakan akan terus membuat kerusakan hingga menghancurkan kehidupan
ini.
Al-Qur`an al-Karim juga menjelaskan kepada kita
bagaimana Allah Swt. menyiapkan kekuatan penangkal keburukan, yaitu dengan
sekelompok orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104).
“Hai orang-orang yang
beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Maidah: 54). Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar