“Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka
tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS Yunus: 107).
Ayat ini merupakan klimaks dari
rangkaian ayat-ayat sebelumnya, yaitu QS Yunus: 104-106 yang membicarakan tentang
Kemahakuasaan Allah. Rasulullah Saw. diperintahkan untuk menyampaikan risalah
ini kepada umat manusia, khususnya kepada kaum musyrikin Mekkah yang pada waktu
itu masih menyembah berhala dan patung. Mereka masih ragu dengan Kemahakuasaan
Allah. Mereka masih menganggap bahwa baik dan buruk, manfaat dan madharat yang
menimpa mereka bukan ditentukan oleh Allah. Meskipun pada dasarnya mereka
percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi, sebagaimana
dijelaskan di dalam Al-Qur`an,
“Dan sungguh jika kamu bertanya
kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka
menjawab, ‘Allah’. Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang
kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika
Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?
Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang
berserah diri’”
(QS Az-Zumar: 38)
Di zaman sekarang pun,
orang-orang yang seperti digambarkan di atas masih ada. Mereka percaya bahwa
Allah adalah Pencipta alam semesta, termasuk yang menciptakan diri mereka
sendiri. Akan tetapi, mereka pun masih mempercayai tuhan-tuhan lain – apakah
itu benda mati atau benda hidup – sebagai kekuatan yang setara dengan kekuatan
Allah Swt. Mereka mendatangi dukun, paranormal, kuburan, dan tempat-tempat
tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib untuk mendatangkan manfaat kepada
dirinya atau mendatangkan madharat kepada orang lain yang dibencinya.
Mereka masih ragu bahwa
Allah-lah sebagai satu-satunya Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dan tidak
terbatas. Padahal di “Tangan” Allah-lah nasib seluruh manusia. Baik dan buruk,
manfaat dan madharat ada dalam “Genggaman”-Nya.
Manusia selalu ingin agar nasib
baik selalu berpihak kepadanya. Kesuksesan selalu menyertai dalam setiap
langkahnya. Kemudahan senantiasa mewarnai setiap aktifitasnya. Sebaliknya, tak
satu pun manusia yang mengharapkan keburukan (madharat) menimpa dirinya.
Bagi Mukmin yang murni imannya, yang selalu didamba dan dirindukan adalah penjagaan
Allah. Karena, bila Allah selalu menjaganya, pasti setiap gerak langkah
hidupnya senantiasa dalam lindungan Allah Swt.
Ketika menjelaskan tentang Penjagaan
Allah, Abu Abbas Abdillah bin Abbas Ra. berkata, “Suatu hari aku berada di
belakang Rasulullah Saw., lalu beliau bersabda, ‘Nak, Aku hendak mengajarimu
beberapa kata; jagalah Allah, maka Ia akan menjagamu; jagalah Allah niscaya
engkau dapatkan Ia mengokohkanmu; bila engkau meminta, mintalah kepada Allah;
bila engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika
seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagimu,
maka mereka tidak akan bisa memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu
yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan jika seluruh umat ini berkumpul untuk
memudharatkanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memudharatkanmu
kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah terhadapmu. Pena-pena
telah diangkat dan lembaran catatan telah ditutup’” (HR Thirmidzi dan Imam
Ahmad).
Dalam hadits lain, Rasulullah
Saw. bersabda, “Jagalah Allah, niscaya kaudapatkan Dia selalu berada di
hadapanmu. Kenalilah Allah kala senang, maka Dia akan mengenalimu di saat kau
susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa
yang akan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan
bersama kesabaran, kelapangan bersama kesulitan, dan bersama kesukaran ada
kemudahan” (HR Imam Bukhari).
Hadits ini melengkapi ayat-ayat
Al-Qur`an dan hadits-hadits lainnya yang mengajarkan tentang tauhidullah
(Pengesaan Allah), baik secara Uluhiyah (Allah sebagai Ilah), Rububiyah
(Allah sebagai Rabb), dan Mulkiyah (Allah sebagai Raja). Nasehat yang
penuh makna itu disampaikan Rasulullah Saw. kepada Ibnu Abbas yang pada waktu
itu baru berusia sekitar 10 tahun. Rasulullah Saw. tahu betul bahwa Ibnu Abbas
anak yang cerdas, sehingga beliau sangat menginginkan kelak Ibnu Abbas menjadi
seorang ‘alim yang berperan dalam meluruskan aqidah umat.
Dalam pemahamannya yang lebih
luas, hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Saw. mempunyai
keinginan yang sangat kuat untuk menanamkan aqidah yang lurus dan benar kepada
kaum Muslimin, khususnya para pemuda Islam. Keinginan itu terpancar dijelaskan
oleh Allah Swt. dalam firman-Nya.
“Sesungguhnya telah datang
kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin”
(QS At-Taubah: 128).
Nasehat Rasulullah Saw. kepada
Ibnu Abbas adalah nasehat kepada kita juga, umat Islam pada umumnya. Sedikitnya
ada dua nasehat yang disampaikan Rasulullah Saw. kepada Ibnu Abbas Ra. Pertama,
menjaga Allah. Yang dimaksud dengan menjaga Allah dalam hadits ini tentu saja
bukan menjaga sesuatu lantaran sesuatu itu lemah tak berdaya sehingga perlu
mendapat penjagaan dari orang lain. Yang diperintahkan Rasulullah kepada Ibnu
Abbas Ra. dan kepada kita semua adalah menjaga hukum-hukum Allah Swt. dengan
cara mempelajarinya, memahaminya, melaksanakannya, dan mendakwahkannya kepada
orang lain.
Menjaga Allah berarti
melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan cara
ini, Allah Swt. akan menjaga diri, keluarga, agama, dan urusan dunia kita.
Karena semua hukum dan ketentuan Allah diturunkan untuk menjaga keharmonisan
hidup manusia dan seluruh makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini.
Menjaga Allah berarti
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan melaksanakan hal tersebut,
maka akan muncul ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman hidup. Seseorang tidak
khawatir mendapat perlakuan zalim dari orang lain, lantaran keadilan ditegakkan
dan hukum dijunjung tinggi.
Menjaga Allah berarti
menyayangi sesama. Memberikan zakat, infaq, dan sedekah untuk menanggulangi
kemiskinan, memberikan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi fakir miskin
dan anak-anak yatim, memberdayakan ekonomi umat, dan membiayai jihad fii sabilillah.
Menjaga Allah berarti
meninggalkan dan memerangi judi, narkoba, dan zina. Menolak segala bentuk
kezaliman. Menolak dan memerangi korupsi. Mengubah setiap kemunkaran yang terlihat
di sekeiling kita dengan tangan, lidah, dan hati.
Kalau kita telah menjaga
hukum-hukum Allah, maka perhatikanlah bagaimana Allah Swt. menjaga kita,
menjaga aqidah kita dari kemusyrikan, menjaga kita dari kesesatan dan
penyimpangan. Menjaga kita dari kejahatan syetan jin dan manusia. Jaminan Allah
itu ditegaskan di dalam Al-Qur`an,
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah…” (QS Ar-Ra’d: 11).
Sedangkan
jaminan penjagaan Allah kepada keluarga, lantaran kita menjaga hukum dan
ketentuan Allah tertera di dalam Al-Qur`an,
“Adapun
dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah
seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu;
dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”
(QS Al-Kahfi: 82).
Kedua, memohon dan meminta apa pun hanya
kepada Allah Swt. saja. Nasehat ini merupakan penegasan dari apa yang telah
kita (umat Islam) ucapkan dalam shalatnya. Iyyaaka na’budi wa iyyaaka
nasta’in. Allah-lah yang menurunkan rezki dari langit dan bumi, yang
memberikan pertolongan, yang memberikan kemudahan, yang memberikan semua
karunia kepada manusia dan seluruh makhluk yang ada jagat raya ini. Oleh karena
itu, janganlah sekali-kali meminta dan menyandarkan bantuan kepada selain
Allah. Janganlah berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepada selain Allah. Dan
janganlah ruku dan sujud, kecuali hanya kepada Allah semata. Allah Swt.
berfirman,
“Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu”
(QS Al-Mukmin: 60).
Bila Allah Swt. memberikan
penjagaan kepada seseorang dan selalu berpihak kepadanya, maka kekuatan apa
lagi yang dapat menandingi Kekuatan Allah. Mukmin yang merasa selalu dijaga
oleh Allah Swt. akan berjalan di muka bumi dengan penuh kemenangan. Kesulitan
adalah pintu kemudahan. Kesedihan pintu kebahagiaan. Kegagalan pintu
kesuksesan. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar