Pak Amir terkejut begitu tiba
di rumahnya. Maklum dia bersama keluarganya telah meninggalkan rumahnya selama
tiga malam berturut-turut. Pasal keterkejutannya adalah setelah membuka pintu rumahnya
Pak Amir mendapatkan seluruh barang-barang elektronik miliknya telah dinaikkan
ke atas meja. Begitupun kasur-kasur dan bantal. Sehingga banjir yang melanda
rumahnya dua hari lalu, tidak sampai merusak barang-barang elektronik maupun
kasur-kasurnya. Setelah berpikir lama, ia memastikan bahwa tetangga sebelah
rumahnyalah yang berbuat demikian. Karena hanya tetangga sebelahnya yang kerap
dia titipkan kunci cadangan pintu depan rumahnya.
Penggal cerita di atas
menyiratkan hubungan yang baik antara Pak Amir dengan para tetangganya.
Ternyata rasa kebersamaan yang tumbuh di antara para warga di mana Pak Amir tinggal, telah
melahirkan rasa tanggungjawab pemeliharaaan secara bersama. Tanpa dipesan dan
diberitahu, tetangga Pak Amir telah berinisiatif menyelamatkan barang-barang
berharga milik Pak Amir dari ancaman banjir.
Ini merupakan salah satu buah
dari hubungan bertetangga yang terpelihara dengan baik. Suatu sunatullah
yang akan tetap berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa yang berbuat baik
pada orang lain, pasti dia akan mendapatkan kebaikan pula. Bahkan mungkin
kebaikan yang dia dapat, jauh lebih banyak dari apa yang pernah dia lakukan.
Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Tidak ada balasan
kebaikan kecuali kebaikan pula” (QS Ar-Rahman: 60).
Bertetangga adalah bagian
kehidupan manusia yang hampir tidak bisa mereka tolak. Manusia toh, bukan
semata-mata personal-being (makhluk individu), tapi juga merupakan social-being
(makhluk sosial). Seseorang tidak bisa hidup secara sendirian atau menyendiri.
Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama.
Ini merupakan hukum sosial. Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk
senantiasa berjamaah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya Islam
melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Allah Swt. berfirman, “Bertolong-tolonganlah
kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya
Allah sangat berat siksa-Nya” (QS Al-Maidah: 2).
Dalam menumbuhkan dan
mensosialisasikan budaya kebaikan dan taqwa itu, tetangga merupakan objek yang
patut didahulukan (setelah anggota keluarga tentunya). Ini hirarki penyebaran
kebaikan sebagaimana diarahkan Al-Qur’an.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah barat dan timur itu suatu kebaikan. Akan tetapi sesungguhnya kebaikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta”
(QS Al-Baqarah: 177).
Bahwa urutan kebaikan menurut
ayat di atas adalah, setelah beriman (dalam pengertian menyeluruh), maka urutan
berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang sehat. Jadi Islam menginginkan
budaya kesalehan itu tidak terbatas pada sekup personal (pribadi), tapi juga
terciptanya kesalehan secara sosial. Maka, dalam konteks ini hidup rukun dan
harmonis dengan tetangga menjadi sangat penting dan wajib.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Syuraih Ra., Nabi Saw. bersabda, “Demi Allah, dia tidak
beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman.”
Seseorang lalu bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang yang
membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya” (HR Bukhari).
Ada hal menarik dari redaksi hadis
ini, Rasulullah Saw. bersumpah sampai tiga kali dengan nama Allah dan vonis
yang sangat keras "tidak beriman" tatkala beliau mengungkapkan esensi
hidup bertetangga. Rasulullah Saw. tidak pernah mengulang-ulang sebuah
pernyataan, kecuali pernyatan tersebut menyangkut sesuatu yang penting. Dengan
redaksi seperti ini tergambar bahwa hubungan bertetangga menempati posisi yang
sangat penting dalam Islam.
Menurut Muhammad Abdurrazak
Mahili kata “tetangga” dalam hadits ini dapat dinisbatkan pada empat kelompok
orang. Pertama, orang yang serumah dengan kita. Kedua, orang yang
bersebelahan dengan tempat tinggal kita. Ketiga, penghuni empat puluh
rumah dari semua sisi yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Keempat,
orang yang tinggal senegara dengan kita.
Mengapa Rasulullah Saw.
mengajurkan umatnya untuk berbuat baik pada tetangga dan tidak menyakinya
sedikit pun? Dalam Islam, akhlak mulia adalah kunci pertama dan utama. Ia
adalah bukti keimanan yang harus terwujud dalam kehidupan seorang Muslim.
Memuliakan tetangga adalah salah satu di antaranya.
Jadi, memuliakan tetangga
adalah perwujudan keimanan dan sebentuk akhlak mulia. Rasulullah Saw.
mengungkapkan bahwa Jibril selalu memerintahkannya untuk berbuat baik kepada
tetangga, sampai-sampai beliau mengira para tetangga termasuk salah satu ahli
waris. Ada
kisah pula tentang seorang wanita ahli ibadah, tapi ia divonis oleh Rasul sebagai
ahli neraka, lantaran ia selalu menyakiti tetangganya.
Keterangan-keterangan tersebut
memberikan gambaran kepada kita bahwa kebaikan tidak sekadar dengan Allah (habluminallah),
tapi harus mencakup pula hubungan dengan sesama; tetangga, dalam konteks ini. Karena
itu, Rasul Saw. memerintahkan Abu Dzar (dan istrinya) agar saat memasak
memperbanyak kuahnya sehingga tetangga dapat ikut merasakannya. Rasul pun
menyatakan tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara
tetangganya meringis kelaparan.
Anjuran untuk menghormati
tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti
hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga
kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya
jika dia benar-benar butuh pertolongan kita. Rasululullah saw misalnya,
melarang kita berbuat gibah (menjelek-jelekkan kehormatan) pada tetangga kita.
Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah
itu?” Beliau menjawab, “Engkau menyebut sesuatu yang tidak disukai dari
saudaramu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Tatkala kita berbuat baik pada
tetangga, maka tak jarang apapun akan dilakukan tetangga kita sebagai wujud
solidaritas sejati mereka. Mungkin kita pernah dengar cerita, ada orang yang
rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan barang-barang milik
tetangganya yang tengah dirampok atau dijarah kawanan maling. Solidaritas yang
tulus seorang teman atau tetangga, terkadang sulit dipahami dengan logika.
Bahwa sekali saja kita berbuat baik pada orang lain misalnya, maka boleh jadi
dia akan berbuat baik berlipat kali dari kebaikan yang pernah kita lakukan
kepadanya. Inilah wujud solidaritas sejati yang hanya mungkin lahir dari
perbuatan baik yang tulus.
Namun sebaliknya, sekali kita
cuek atau tak peduli dengan keadaan tetangga kita, maka jangan harap rumah dan
anak-anak kita bakalan dijamin aman dari musibah apapun. Tak jarang sebuah
keluarga bingung, tatkala harus meninggalkan rumahnya. Lantaran di rumah ada
anak-anak kecil, namun pembantu sedang pulang kampung. Sementara saudara atau
orang yang diandalkan bisa menjaga anak-anak mereka, juga tidak ada. Biasanya
kasus seperti ini sering dihadapi oleh pasangan suami-istri yang sama-sama
aktif di luar. Mereka jadi serba salah. Mau dititipkan ke tetangga tidak
berani. Apalagi minta tetangga untuk menjaga anak-anak mereka. Lantaran selama
ini pasangan suami-istri itu tidak akrab dengan para tetangga mereka.
Dari sini bisa pahami, betapa
pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga. Yang jelas, berbuat baik pada
tetangga jauh lebih aman dan lebih murah biayanya ketimbang harus memelihara
centeng atau satpam misalnya. Ini kalau kita mau hitung-hitungan dari tinjauan security-cost
(anggaran keamanan). Berbuat baik pada tetangga bukan hanya melahirkan rasa
sayang dan solidaritas tetangga kita. Lebih dari itu sikap dan perilaku kita
yang ramah dan penyantun pada setiap tetangga, akan melahirkan rasa kebersamaan
yang kuat. Yakni rasa sama-sama memiliki, rasa sama-sama menjaga, dan rasa
sama-sama sepenanggungan terhadap apa yang kita miliki, di antara seluruh
anggota warga di mana kita tinggal.
Sebaliknya, sikap tak peduli
terhadap tetangga, bukan hanya akan mempersempit dan mempersulit aktifitas
kehidupan kita. Namun sikap buruk itu merupakan indikasi tidak berimannya
seseorang pada Allah Swt. dan Yaumil Akhir.
Tak heran jika dalam salah
sebuah hadist, Rasulullah saw mewanti-wanti, “Barangsiapa yang percaya
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia menghormati tetangganya” (HR
Bukhori).
Menyambung hadits di atas,
Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam salah satu fatwanya mengatakan, “Tidak beriman
seseorang yang tidak mengayomi dan memberikan rasa aman pada tetangganya.”
Karena tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan
warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan
penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik
tetangganya. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar