“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan
cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya” (QS
Al-Baqarah: 272
Pada
awal ayat ini Allah Swt. berfirman, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka
mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi
taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” Pada ayat ini Allah Swt. menerangkan
kepada kita tentang masalah hati, khususnya tentang masalah masuk atau tidaknya
hidayah Allah kepada hati seorang manusia. Ketika seseorang mendapatkan hidayah
dari Allah Swt. maupun tetap berada pada kesesatan, hal bukan berada dalam
kekuasaan manusia, akan tetapi semata-mata hak prerogatif Allah Swt.
Sampai-sampai manusia yang paling mulia sekalipun, yang dalam hal ini adalah
Rasulullah Saw., tidak mempunyai wewenang untuk memberikan hidayah
kepada manusia.
Yang
dimaksud hidayah di sini adalah hidayatut taufiq (petunjuk yang
bisa menjadikan seseorang beriman kepada Allah Swt.), bukan hidayah yang
artinya al-irsyad wal bayan (memberikan penjelasan tentang Islam). Kalau
hidayah yang artinya adalah memberikan penjelasan tentang Islam kepada
orang lain, hal itu dimiliki oleh Rasulullah Saw., sebagaimana juga kita
memilikinya.
Pemahaman
yang benar tentang masalah hidayah ini penting, agar tidak terjadi
kesalahan dalam memahaminya. Kalau kita salah dalam memahaminya, mungkin kita
menyangka bahwa ada kontradiksi antara ayat ini dengan ayat lain, yaitu ketika
Allah Swt. berfirman,
“Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula
mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”
(QS Asy-Syura: 52).
Jika
pada ayat di atas Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah Saw. (dan umat Islam
semuanya) bisa memberikan hidayah kepada seseorang, pada ayat yang lain Allah
menegaskan bahwa manusia tidak bisa memberikan hidaya, sebagainya yang terdapat
pada firman Allah,
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS
Al-Qashash: 56).
Orang
yang tidak memahami arti hidayah akan menyangka bahwa di dalam Al-Qur’an
ada kontradiksi antara ayat-ayatnya, karena pada QS Asy-Syura: 52 Allah Swt.
mengatakan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus”, sedangkan pada QS Al-Baqarah: 272 Allah Swt. menerangkan
bahwa, “Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya.” Ini berarti, Rasulullah Saw. tidak bisa memberikan hidayah.
Perlu
kita pahami bahwa hidayah yang Allah nafikan dari Rasulullah Saw. adalah
hidayatut taufiq, yaitu hidayah yang menyebabkan seseorang
beriman kepada Allah Swt. Hidayatut taufiq ini semata-mata milik Allah
Swt. saja. Jika ada orang yang suka berbuat maksiat, kemudian mendapatkan hidayah
sehingga ia tidak lagi berbuat maksiat, hanyalah Allah yang bisa memberinya hidayah
seperti itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh manusia sebagai seorang hamba,
sekalipun ia hamba yang paling mulia seperti Rasulullah Saw., karena itu hanya
dimiliki oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. amat menginginkan pamannya Abu Thalib
mendapat hidayah, akan tetapi Allah Swt. menegaskan bahwa Abu Thalib
tidak layak mendapat hidayah. Allah Swt. Maha Mengetahui yang tampak dan
yang tidak tampak.
Oleh
karena itu, hanya kepada Allah-lah manusia seharusnya mohon hidayah. Dan
agar mendapatkan hidayah dari Allah Swt., setiap Muslim harus benar-benar siap
untuk ber-talaqi (menerima petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan ajaran
Allah) hanya dari Allah Swt. saja. Jika seorang Muslim yang sekaligus juga
seorang da’i telah memahami bahwa hidayah semata-mata dari Allah Swt.,
maka dalam dakwahnya ia tidak akan merasa merasa sempit dada jika dakwah yang
dilaksanakannya menemui banyak rintangan. Sebaliknya, ketika dakwah yang
disampaikannya mendapatkan sambutan yang antusias dari masyarakat, maka ia pun
tidak akan ghurur (tertipu) dengan keberhasilannya itu.
Ketika
setiap da’i memahami bahwa hidayah hanya ditangan Allah Swt., baik ketika
orang yang didakwahi mendapatkan hidayah dengan menerima dakwahnya atau
tidak mau menerima dakwahnya, ia akan tetap melaksanakan dakwahnya, karena ia
paham bahwa dakwah itu sendiri merupakan ibadah, terlepas apakah orang yang
didakwahinya mendapatkan hidayah atau tidak. Kalau hidayah itu
diibaratkan cahaya matahari, maka tugas da’i adalah membukakan pintu dan
jendela, agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Jadi,
Muslim atau non-muslim yang kita dakwahi adalah aset pahala yang tidak boleh
kita musuhi. Kalau obsesi kita dalam berdakwah adalah agar orang yang kita
dakwahi harus beriman, tapi ternyata tetap kufur, maka hati kita pasti
merasakan sesuatu yang tidak enak. Oleh karena itu, Allah Swt. pernah
mengingatkan Rasulullah Saw. yang sedih karena dakwahnya kurang mendapat
sambutan. Allah Swt. berfirman,
Boleh
jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman” (QS
Asy-Syu’ara: 3).
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang isnadnya berasal dari
Ibnu Abbas Ra. dari Nabi Saw., dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah
memerintahkan untuk tidak memberikan sedekah kepada orang-orang non-muslim
sampai turunnya ayat ini. Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah Saw. dan kaum
Muslimin diperintahkan untuk memberikan sedekah kepada setiap orang yang berhak
menerimanya, baik Muslim maupun bukan Muslim.
Dari
sini bisa kita lihat bahwa Islam tidak hanya melarang umatnya untuk memaksakan
agamanya, lebih dari itu Allah Swt. memberikan toleransi kemanusiaan yang lebih
besar lagi, yaitu kepedulian Islam kepada seluruh umat manusia, tidak hanya
kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan toleransi yang
besar, sepanjang orang tersebut tidak memerangi Islam.
Pemahaman
seperti ini perlu ditekankan pada masyarakat kita, karena sebagian masyarakat
kita khususnya orang non-muslim mempunyai persangkaan yang salah tentang Islam,
sehingga mereka takut kalau Islam mendapatkan kemenangan dari Allah Swt.,
mereka akan ditelantarkan atau bahkan takut diusir. Padahal, ketakutan mereka
itu tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Siapa pun yang
memerlukan bantuan, Islam akan membantunya sepanjang orang itu tidak memusuhi
Islam.
Kita
sebagai Muslim harus juga memperhatikan ayat ini, agar kita tidak terjatuh pada
sikap ekstrim. Di satu sisi ada seorang Muslim yang memahami wala’ wal baro’
(loyalitas dan antipati) secara berlebihan, sehingga tidak mau memberikan
pertolongan kepada non-muslim yang memerlukan bantuan. Di sisi lain ada juga
orang yang ekstrim karena dengan alasan kemanusiaan yang berlebihan, dia tetap
bergaul bersama orang-orang non-muslim yang mengancam dan memerangi Islam.
Selanjutnya
Allah mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan
Allah, maka pahalanya untuk kamu sendiri.” Artinya, ketika seorang Muslim
taat kepada Allah dengan berinfak fii sabiilillah, hal itu bukan untuk
menambah kekuasaan Allah, akan tetapi untuk kebaikan kita sendiri. Allah Swt.
mengatakan, “Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah.”
Allah
menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu
sedikitpun tidak akan dianiaya.” Ketika umat Islam berinfak, itu harus
benar-benar karena Allah Swt. Dan jika demikian, Allah pasti akan membalasnya.
Jadi ketika berinfak, jangan sampai berinfak karena untuk kepentingan politik
yang tidak didasari hukum Allah, karena Allah tidak akan memberikan pahala
baginya.
Meski
hidayah adalah hak prerogatif Allah Swt., akan tetapi sebab-sebab
datangnya hidayah harus diupayakan. Setiap manusia harus berusaha untuk
mendapatkan hidayatut taufiq dari Allah Swt. dengan cara mendekatkan
diri kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhkan larangan-Nya. Orang
yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia sedang berupaya
menumbuhkan hidayah yang telah ada di dalam dirinya. Wallahu a’lam
bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar