“...Pergaulilah
mereka (istri-istrimu) dengan ma’ruf. Maka jika kalian membenci mereka, barangkali
sesuatu yang kalian benci itu, Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS
An-Nisa: 19).
Pada suatu
hari seorang lelaki mendatangi rumah Umar bin Kaththab Ra. hendak mengadukan
keburukan akhlak istrinya. Namun, setiba di samping rumah Umar, ia mendengar
istri Umar mengeluarkan kata-kata keras dan kasar kepada suaminya, sementara
Umar tidak menjawab sepatah kata pun. Akhirnya orang itu berpikir untuk
membatalkan niatnya.
Ketika
lelaki itu hendak beranjak pulang, Umar keluar dari rumah dan memanggilnya.
Umar berkata, “Engkau datang kepadaku tentu membawa berita penting.”
Lelaki itu
berkata, “Wahai Umar, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak
istriku terhadapku. Akan tetapi setelah aku mendengar kelancangan istrimu
kepadamu tadi dan sikap diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan
niatku untuk melaporkan hal itu.”
Mendengar
perkataan jujur itu, Umar tersenyum dan berkata, “Wahai saudaraku, istriku
telah memasakkan makanan untukku. Dia juga telah mencucikan pakaianku. Mengurus
urusan rumahku. Mengasuh anak-anakku tanpa henti. Maka bila ia berbuat satu dua
kesalahan, tidaklah layak kita mempermasalahkannya, sementara
kebaikan-kebaikannya kita lupakan.”
Mendengar
penuturan Umar yang amat bijak dan penuh hikmah itu, orang tersebut pergi
meninggalkan Umar bin Khaththab Ra. dengan hati gembira dan puas.
Kisah ini
memberikan pelajaran kepada kita tentang dua hal. Pertama, perselisihan
dalam keluarga adalah hal yang biasa. Berkhayal tentang kehidupan keluarga
tanpa perselisihan, tanpa masalah, tanpa kesalahan, tanpa kekurangan adalah
mimpi kosong yang hakikatnya memerangi alam realitas dan fitrah kehidupan itu
sendiri.
Kedua, suami
harus senantiasa mengedepankan sikap sabar dan pemaaf terhadap kesalahan yang
dilakukan sang istri. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam As. yang
bengkok. Ini pertanda wanita lebih cenderung melakukan kesalahan dan
kekhilafan.
Ketenangan
keluarga, seberapa pun kadarnya, pasti pernah mengalami goncangan. Baik
disebabkan faktor luar maupun dari dalam keluarga sendiri. Dan itu bukanlah aib
yang tercela. Ia menjadi aib apabila perselisihan itu tak kunjung selesai, atau
bahkan semakin berkembang. Karena, dengan demikian jalinan cinta makin
meregang, gersang, tidak hangat, dan tidak harmonis lagi.
Janganlah
berangan-angan bahwa keluarga yang ideal adalah keluarga yang “lurus mulus”
tanpa ada pertengkaran atau keretakan sedikit pun. Hatta sekalipun keluaraga
Rasulullah Saw. pernah dibumbui perselisihan. Anggap saja perselisihan dalam
keluarga sebagai pemanis kehidupan
dan bagian dari dinamika kehidupan.
Kasus haditsul
ifk yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. sempat membuat hubungan beliau
dengan istrinya, ‘Aisyah, kurang harmonis. Orang-orang munafik telah
menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah yang dituduh menyeleweng dengan Shafwan
bin Mu’aththal as-Silmi dalam perjalanan perang menghadapi Bani Musthaliq. Akan
tetapi, sikap bijak Rasulullah Saw. yang hanya menjadikan Allah Swt. sebagai
hakim, membuat masalah itu dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Allah Swt.
membukakan kedok dan makar kaum munafiqin terhadap keluarga Rasulullah Saw.
Menghadapi
perselisihan dalam keluarga, seorang suami yang bertindak sebagai kepala
keluarga, harus bersikap sabar dan menahan diri untuk tidak terburu-buru
melakukan vonis. Hadapilah dengan tenang dan sikap lemah lembut. Temukan dahulu
akar masalahnya dan tempatkanlah masalah itu pada tempatnya dengan penuh
kebesaran jiwa.
Suami yang
shalih hendaknya menapaki jejak Rasulullah Saw. dalam menjalankan kehidupan
rumahtangga, agar dapat menentukan sikap yang tepat terhadap berbagai persoalan
yang menghadang.
Seorang
suami harus mampu memilah permasalahan yang terjadi, apakah masalah itu adalah
masalah antarpribadi atau ada hubungannya dengan urusan agama Allah dan hak
orang lain? Apabila yang dihadapi adalah masalah antarpribadi (suami istri),
maka hendaknya ia bersabar, mudah memaafkan, dan menahan diri. Namun, apabila
yang dihadapi adalah masalah yang berhubungan dengan agama Allah, maka marahlah
karena Allah dengan tidak melampaui batas.
‘Aisyah Ra.
berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah dihadapkan pada dua pilihan kecuali ia
memilih yang paling mudah, sepanjang tidak mengandung dosa. Namun, apabila
mengandung dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya (paling takut
dengan dosa). Rasulullah Saw. tidak pernah membalas karena masalah pribadi
kecuali bila telah menyinggung kehormatan Allah Swt., beliau membalasnya juga
karena Allah” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam
sebuah hadits dikisahkan, “Suatu saat terjadi perselisihan antara Rasulullah
Saw. dengan ‘Aisyah Ra. hingga perlu perlu mendatangkan Abu Bakar Ra. untuk
menjadi penengah bagi keduanya. Rasulullah Saw. berkata kepada ‘Aisyah, ‘Engkau
yang akan mengatakan dahulu atau aku yang mengatakannya?’ ‘Aisyah berkata,
‘Katakan saja, tetapi katakan yang benar.’ Maka dipukullah mulut ‘Aisyah Ra.
oleh Abu Bakar Ra. hingga berdarah, seraya berkata, ‘Apakah Rasulullah Saw.
berkata selain yang benar wahai ‘Aisyah?’ Maka ‘Aisyah pun berlindung di
belakang punggung Rasulullah Saw. (Melihat hal itu), Rasulullah Saw. berkata
kepada Abu Bakar Ra., ‘Aku tidak mengundangmu untuk melakukan ini (kepada
anakmu), dan aku tidak akan melakukan hal demikian.’” (HR Bukhari).
Suatu saat,
‘Aisyah Ra. pernah berkata kepada Rasulullah Saw. dalam keadaan marah, “Engkaukah
itu yang mengaku diri sebagai nabi?” Mendengar ucapan itu, Rasulullah Saw.
tersenyum dengan penuh kesabaran.
Rasulullah
Saw. akan marah bila yang dilukai adalah orang lain. Suatu saat ‘Aisyah berkata
kepada Rasulullah Saw., “Engkau mau dengan Shafiyah, padahal dia begini dan
begitu?” (Sebagian ulama bekata bahwa yang dimaksud begini dan begitu adalah
tubuh yang pendek).
Mendengar
hal itu, Beliau Saw. berkata, “(Wahai ‘Aisyah) engkau telah mengatakan satu
perkataan yang apabila dicampur dengan air laut, niscaya akan mengeruhkannya”
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kalau
seorang istri tidak shalat, terlambat shalat, melukai perasaan orang lain,
merasa paling baik, mencela dan merendahkan orang lain, maka pada hal-hal
seperti itulah suami harus memarahi istri dengan cara yang tidak berlebihan.
Pemaaf
Sikap
memaafkan adalah sikap yang harus didahulukan ketika seorang suami melihat
istrinya melakukan kesalahan atau kekeliruan. Rumahtangga yang dipimpin oleh
suami yang tidak memiliki jiwa pemaaf akan menimbulkan banyak masalah. Masalah
kecil akan berubah menjadi besar. Padahal, sebagaimana dijelaskan Rasulullah
Saw., Allah Swt. telah menakdirkan karakter wanita sebagaimana tulang rusuk
yang bengkok.
Jiwa pemaaf
dan lapang dada sangat dibutuhkan karena suami bisa saja keliru ketika membenci
sesuatu pada istrinya, ternyata yang dibencinya itu justru mengandung kebaikan
dan bahkan dibutuhkan pada saat-saat tertentu di luar perhitungannya. Allah
Swt. berfirman,
“...Pergaulilah
mereka (istri-istrimu) dengan ma’ruf. Maka jika kalian membenci mereka,
barangkali sesuatu yang kalian benci itu, Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak” (QS An-Nisa: 19).
Jiwa pemaaf
dan lapang dada juga dibutuhkan untuk menegakkan keadilan. Para suami tidak
semestinya membayangkan para istri memiliki karakter malaikat, tanpa cacat. Ia
adalah makhluk Allah yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk menghargai
kebaikannya, suami harus toleran terhadap kekurangan istrinya. Jangan hanya
melihat satu bagian saja tanpa mau melihat bagian yang lainnya.
Dari Abu
Hurairah Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah seorang Mukmin (suami) membenci Mukminah (istri). Bila ia membenci
terhadap satu bagian, (pasti) ada bagian lain yang menyenangkannya” (HR
Muslim).
Suami juga
jangan bersikap seperti raja yang hanya mau dilayani, padahal Rasulullah Saw.
seringkali menjahit pakaiannya sendiri yang sobek. Beliau Saw. tidak pernah
mencela makanan yang dibuat istrinya meski beliau tidak menyukainya.
Dari Abu
Hurairah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah sama sekali mencela
makanan. Bila tertarik, beliau memakannya, dan bila tidak tertarik beliau
meninggalkannya” (Muttafaqun ‘alaih).
Dari Jabir
Ra., “Suatu hari Rasulullah Saw. meminta lauk pauk kepada para istrinya. Mereka
berkata, ‘Kita tidak punya lauk kecuali cuka.’ Maka, cuka itu pun diambil oleh
Nabi Saw. dan dimakan sambil berkata, ‘Lauk yang paling lezat adalah cuka, lauk
yang paling lezat adalah cuka’” (HR Muslim).
Carilah
cara terbaik untuk memperbaiki kesalahan istri. Janganlah membesar-besarkan
masalah. Takarlah teguran sesuai dengan kesalahan. Awalilah teguran dengan
sindiran, bukan dengan ucapan vulgar. Karena seringkali kata-kata vulgar akan
menyakiti perasaannya. Janganlah menegur di hadapan orang lain, meski di
hadapan kerabat atau saudaranya. Pilihlah saat yang tepat. Janganlah teguran
disampaikan ketika emosi belum mereda. Tundalah hingga pikiran dingin dan jiwa
kembali tenang. Jagalah agar teguran tidak sampai melukai hatinya atau menghina
perasaanya. Tetapi tunjukkan sikap cinta dan kasih sayang di tengah teguran
itu. Dan jauhilah sikap takabur serta tinggi hati. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar