“Sesungguhnya
pengkhianatan amanah yang paling besar di sisi Allah pada hari Kiamat adalah
suami yang membuka rahasia pribadinya kepada istri, dan istri yang membuka
rahasia pribadinya kepada suami, lalu salah seorang darinya menceritakannya
kepada orang lain” (HR Muslim).
Perselisihan
dan pertikaian yang mengakibatkan kekerasan dalam rumahtangga seringkali
disebabkan suami-istri kurang memahami tujuan pembinaan rumahtangga. Sebagian
orang memahami pernikahan – yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
perkawinan – hanya sebatas menjalankan kebiasaan yang berlaku pada
manusia, dalam arti laki-laki membutuhkan perempuan, dan perempuan membutuhkan
laki-laki. Bahkan ada yang memahami bahwa pernikahan atau perkawinan hanya
sekedar sarana untuk memenuhi hasrat biologis semata.
Pemahaman
terakhir berkembang di negara-negara yang menganut sistem liberalisme, dimana
ikatan pernikahan tidak lagi dianggap sakral. Maka, ketika mereka bosan dengan
pasangannya masing-masing, dan pada saat yang sama mereka menemukan orang
ketiga, maka mulailah dicari celah untuk mengakhiri ikatan pernikahan atau
perkawinan tersebut. Bahkan masalah sepele, semisal suami atau istri yang tidur
mendengkur, menyebabkan salah satunya menggugat cerai pasangannya.
Kalau
kita membaca berita di koran dan majalah serta menyaksikan tayangan
infotainment tentang kehidupan para selebritis, maka kita akan melihat fenomena
bahwa lembaga pernikahan yang suci telah mengalami degradasi. Masalah kecil
dalam rumahtangga yang seharusnya dapat diselesaikan dengan baik oleh pasangan
suami-istri diekspose menjadi berita besar yang berakhir dengan perceraian.
Suami membeberkan rahasia istri, dan istri membeberkan rahasia suami. Aib
rumahtangga tidak lagi dianggap sebagai aib, akan tetapi sudah berubah menjadi
tontotan yang yang “menarik”.
Menjaga
Rahasia
Hampir
setiap stasiun televisi di Indonesia
menayangkan acara ini. Bahkan satu stasiun televisi bisa menayangkan lebih dari
satu acara sejenis dengan kemasan dan judul acara yang berbeda. Saya khawatir,
sadar atau tidak, tayangan-tayangan seperti ini akan semakin mendistorsi
persepsi orang tentang lembaga pernikahan atau perkawinan. Apalagi saat ini
siaran televisi sudah menjangkau ke pelosok-pelosok perdesaan.
Salah
satu unsur yang dapat menjaga keharmonisan dan keutuhan suami istri adalah
apabila keduanya saling menjaga rahasianya masing-masing. Terkadang suami
menceritakan rahasia pribadinya kepada istri. Sebaliknya, istri menceritakan
rahasia pribadinya kepada suami. Ini baik, sebagai perwujudan kedekatan
perasaan dan kejiwaan mereka. Namun, masing-masing mereka tentu tidak suka bila
rahasia pribadi itu diketahui orang lain, selain mereka berdua.
Apa
pun yang terjadi di antara mereka berdua, apalagi urusan jima’ (senggama)
misalnya, dilarang untuk diceritakan kepada orang lain. Menceritakan rahasia
semacam itu mencerminkan miskinnya kehormatan diri dan tidak adanya rasa malu,
selain memang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu, ajaran Islam melarangnya
dengan keras.
“Dari
Abu Said al-Khudri Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda., ‘Sesungguhnya
seburuk-buruk kedudukan manusia di hadapan Allah pada hari kiamat adalah
kedudukan seorang suami, di mana ia membuka rahasia dirinya kepada istri, dan
istri pun membuka rahasia dirinya kepada suami, lalu salah seorang darinya
menceritakannya kepada orang lain’” (HR Abu Daud).
Dalam
riwayat lain, Rasulullah Saw. juga bersabda. “Sesungguhnya pengkhianatan amanah
yang paling besar di sisi Allah pada hari Kiamat adalah suami yang membuka
rahasia pribadinya kepada istri, dan istri yang membuka rahasia pribadinya
kepada suami, lalu salah seorang darinya menceritakannya kepada orang lain” (HR
Muslim).
Dari
Asma` binti Yazid Ra., suatu saat dia berada di samping Rasulullah Saw.,
sementara para lelaki dan perempuan juga berada di sekelilingnya. Maka
berkatalah Rasulullah Saw., “Barangkali ada laki-laki yang menceritakan kepada
orang lain apa-apa yang diperbuatnya kepada istrinya, dan barangkali ada pula
perempuan yang menceritakan kepada orang lain apa-apa yang diperbuatnya kepada
suaminya?”
Semuanya
diam, kemudian Asma` berkata, “Demi Allah, benar ya Rasulullah, para lelaki
banyak yang melakukannya dan demikian pula para perempuannya.”
Maka,
Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kamu lakukan itu. Karena hal yang demikian
itu semisal setan laki-laki menjumpai setan perempuan lalu menzinainya,
sementara orang-orang menyaksikannya” (HR Ahmad).
Kadang
terjadi persoalan dalam kehidupan rumahtangga yang berakhir dengan munculnya
celaan, umpatan, bahkan perilaku buruk lainnya. Semua rahasia rumahtangga yang
seharusnya disimpan rapi, diobral keluar tanpa kendali. Padahal, seharusnya hal
itu dilokalisir untuk diselesaikan berdua dengan pikiran jernih, kepala dingin,
dan sikap arif bijaksana.
Apabila
keduanya tidak sanggup dan gagal dalam menyelesaikan masalah, tidaklah dilarang
melebarkan bingkainya seminimal mungkin. Misalkan, menyampaikan persoalan itu
kepada orang-orang yang dikenal sebagai ahli hikmah, yang dapat menjaga
kehormatannya, terpercaya dalam menjaga rahasia, dapat memahami masalah, dan
memiliki ketaqwaan yang mendalam. Selain kepada mereka, sekali-kali tidak
dibenarkan, karena hanya akan mengoyak tirai rumahtangga dan memperdalam
luka-lukanya.
Salah
satu kondisi berbahaya yang dapat menghancurkan bangunan rumahtangga, mengoyak
tirai kehormatan, dan menyebarluaskan rahasia suami-istri adalah pada saat hati
sedang terbakar emosi dan kemarahan. Saat-saat seperti itu dapat merangsang
suami berperilaku menyakiti hati dan melukai perasaan istrinya. Sebagaimana
juga bila emosi membakar istri, juga akan merangsangnya menyakiti hati dan
membuat marah suami.
Bila
semua itu terjadi, tentu akan menggoreskan kenangan pahit dan menodai
lembaran-lembaran kehidupannya. Tak diragukan lagi bahwa saat-saat marah adalah
saat di mana setan beraksi. Oleh karena itu, Islam memberi wasiat kepada para
suami-istri dengan ayat Allah,
“Jika
kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih
dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”
(QS Al-Baqarah: 237).
Ayat
ini menjelaskan bahwa apabila suami atau istri mulai tidak menyukai pasangannya
lantaran melihat wanita atau laki-laki lain yang “lebih menarik”, hendaknya
suami atau istri melihat keutamaan dan kebaikan pasangannya. “Kelebihan dan
keistimewaan” atau daya tarik lain yang ada pada wanita atau laki-laki lain
yang dilihatnya sesungguhnya sudah ada pada istri atau suaminya.
Ingatlah
wahai suami-istri yang shalih dan shalihah, bahwa praktik menyebarkan rahasia
rumahtangga itu sangat buruk dampaknya. Ia dapat menghilangkan kepercayaan,
menambah keruhnya hati, dan dapat membuka pintu pengkhianatan.
Ketahuilah,
alangkah besar kebaikan itsar (mementingkan orang lain ketimbang menuruti
egoisme), dan betapa agung makna menjaga rahasia rumahtangga. Karena hal itulah
yang akan menambah kepercayaan dan mengokohkan jalinan kasih sayang di antara
suami-istri.
Batas
Cemburu
Islam
telah meletakkan batas-batas rasa cemburu yang dapat mendatangkan kemaslahatan
rumahtangga. Apabila dilanggar, bakal mendatangkan kekeruhan yang mengotori
keharmonisan hubungan suami-istri.
Dari
Jabir bin Anbarah Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Ada cemburu yang dicintai Allah, dan ada pula
yang dibenci-Nya. Cemburu yang dicintai Allah adalah cemburu pada keraguan.
Sedangkan cemburu yang dibenci Allah adalah cemburu pada ketidakraguan” (HR
Nasa`i, Ahmad, dan Ibnu Hiban).
Seorang
Muslim hendaknya meletakkan batasan ini di depan pelupuk matanya, agar tidak jatuh
pada sikap berlebih-lebihan. Cemburu yang terpuji adalah apabila sebab-sebabnya
jelas dan memiliki bukti-bukti nyata. Seperti mendapati suami mencandai wanita,
atau istri mencandai laki-laki lain. Yang mana canda itu disertai dengan
bumbu-bumbu kata dan gaya
suara yang dibuat-buat, sehingga dapat memabukkan dan menimbulkan kenikmatan
bagi lawan jenisnya. Tentu saja ini perbuatan tercela.
Sedangkan
cemburu yang tercela adalah kecemburuan yang dibangun dengan persangkaan dan
praduga belaka. Seperti berlebih-lebihan dalam menafsirkan ucapan, gerakan,
sikap diam, gaya
bicara, bahkan bisikan.
Salah
satu tanda cemburu yang tercela adalah cemburu yang menyebabkan terhalanginya
kemaslahatan, dan sebaliknya mendatangkan kerusakan lantaran salah paham.
Misalkan suami melarang istrinya yang teguh memegang kuat agamanya untuk
mendatangi majelis ta’lim. Atau istri melarang suaminya yang sudah dikenal baik,
memberi ceramah di majelis ta’lim kaum ibu. Kecemburuan-kecemburuan semacam itu
perlu ditinjau kembali dengan barometer syariat, agar persoalannya dapat
didudukkan pada posisi yang semestinya. Wallahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar