Ajarilah anak-anakmu shalat
manakala telah dapat membedakan kanan dan kiri (HR Thabrani).
Anak adalah amanah Allah yang
sangat berharga. Karena anak pula, orangtua dituntut untuk mendidiknya sejak ia
masih dalam kandungan ibunya sampai ia dewasa. Kenapa demikian? Sebab, setiap anak
yang baru lahir selalu dalam keadaan suci (fitrah). Maka, saat kembali nanti
kepada Sang Pemiliknya Allah Swt harus suci pula, tanpa noda dan dosa. Karena
itulah pendidikan terhadap anak (tarbiyatul aulad) dalam pandangan Islam
adalah wajib hukumnya. Sesibuk apapun pekerjaan kita, pendidikan anak-anak kita
tak boleh terbengkalai.
Salah satu bentuk pendidikan
itu adalah shalat. Shalat adalah salah satu pilar aqidah dan akhlaq Islam yang
sangat mendasar. Karena itu, ia harus senantiasa dihidupkan, dikokohkan, dan
ditumbuhsuburkan dalam tiap-tiap keluarga Muslim. Nabi Saw. bersabda, “Terangilah
rumah-rumah kalian dengan shalat dan tilawah Al-Qur`an.”
Nasehat di atas sudah barang
tentu bukan sekadar anjuran belaka, tapi mengandung perintah kepada kita, bahwa
para kepala keluarga Muslim berkewajiban menegakkan budaya shalat dan bacaan Al-Qur`an
di dalam tiap-tiap rumahtangga mereka. Karena kekuatan rumahtangga seseorang
sangat ditentukan oleh kedua faktor itu. Selain, bahwa shalat dan tilawah Al-Qur`an
merupakan refleksi dari kekuatan aqidah seseorang.
Shalat tak sekadar hubungan
pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas.
Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Allah Swt.,
tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat
yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di
dalam kebaikan.
Kita tentunya tidak bisa
mengatakan seseorang aqidahnya baik hanya melihat dia melakukan shalat dan
membaca Al-Qur`an sekali waktu, alias tidak rutin. Dalam konteks keluarga,
penegakan budaya shalat dan membaca Al-Qur`an yang dimaksud, adalah kebiasaan
yang melekat kuat dalam diri seluruh anggota keluarga. Hingga kedua ajaran itu
menjadi sesuatu yang inheren dan hidup dalam sebuah keluarga.
Ini menjadi alasan kuat, kenapa
Islam sejak awal memerintahkan kedua ajaran itu, khususnya shalat, wajib
disosialisasikan pada anak-anak kita sedini mungkin. Dalam sebuah hadits
disebutkan, “Rasulullah Saw. biasa menangani sendiri dalam mengajari
anak-anak mengenai hal-hal yang mereka perlukan dalam mengerjakan shalat” (HR
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i).
Mengajarkan anak-anak shalat
memang tidak dengan cara indoktrinasi. Kita perlu menuntut mereka dengan penuh
kesabaran dan ketekunan, yakni dengan cara pembiasaan. Karena menumbuhkan
perilaku shalat pada anak-anak akan efektif lewat cara pembiasaan, maka
seyogyanya para orangtua memberikan qudwah (teladan) sebagai penegak shalat
yang baik di mata anak-anak mereka. Walaupun dengan cara ini pun tidak dijamin
anak-anak akan rajin melakukan shalat. Sampai pada tahap usia tertentu, di mana
anak tetap mbalelo malas mengerjakan shalat, tindakan lebih tegas,
misalkan memukul, diperbolehkan dalam Islam. Namun tetap dengan cara tidak
menyakiti fisik anak.
“Perintahkanlah anak-anakmu
mengerjakan shalat di kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka
karena tidak mengerjakannya di kala mereka berusia 10 tahun. Dan pisahkan
tempat tidurnya” (HR
Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan shahih atau shahih).
Hadits ini menjelaskan kepada
kita bahwa usia lima
sampai tujuh tahun merupakan periode pembiasaan, pemahaman, tanpa sanksi.
Pengenalan shalat sudah bisa dilakukan pada anak usia tiga tahun. Walaupun dia
naik-naik ke punggung kita, jangan dimarahi. Sebab, yang diharapkan adalah anak
mengetahui dan biasa terhadap gerakan-gerakan shalat. Kalau dimarahi, nanti
yang terkesan dari shalat itu cuma ada omelan. Sedangkan usia tujuh sampai
sepuluh tahun merupakan pembiasaan dan sanksi. Itu merupakan persiapan di mana
anak sudah memasuki usia baligh.
Para ahli psikologi anak bahkan
menyarankan agar para orangtua mulai mengajarkan shalat kepada anak-anaknya sejak
awal, nol tahun. Di sinilah orangtua berperan. Nol sampai enam tahun merupakan
masa perkembangan anak yang sangat penting. Di sinilah pengenalan agama
dilakukan. Misalnya selagi bayi dan si ibu mau shalat, anak diajak bicara. ”Duduk
sini dulu, mama mau shalat.”
Begitu seterusnya hingga anak
bisa bicara dan berjalan. Bila mencapai tahap berjalan, ibu perlu menyiapkan
diri dengan pakaian shalat dan waktunya. Bila anak bertanya tentang tujuan
shalat, orangtua perlu menjelaskan bahwa shalat adalah kewajiban bagi setiap
Muslim, sebagai wujud pengabdian dan ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena
Allah Swt. telah memberi nikmat lewat rezeki yang halal.
Anak-anak rajin shalat,
penurut, serta giat belajar, dan giat membantu orangtua, tentu menjadi dambaan
para orangtua. Tapi masalahnya, bagaimana cara menumbuhkan sifat dan perilaku
positif di atas pada anak-anak kita? Di bawah ini sedikit catatan,
mudah-mudahan bisa menjadi pedoman praktis sederhana untuk melatih anak-anak
agar rajin shalat.
Pertama, tunjukkan di mata anak-anak
kita, bahwa kita sebagai orangtua yang baik di mata mereka, khususnya dalam
menegakkan budaya shalat. Artinya, sedapat mungkin kita melaksanakan shalat
pada awal waktu dan berjamaah di masjid. Adalah kebiasaan positif, sesering
mungkin anak kita bawa ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah, walaupun
mungkin mereka mempersepsikan masjid sebagai tempat bermain.
Memang patut kita sesali bila
ada pengurus masjid yang terlalu berlebihan menindak anak-anak yang kedapatan
bercanda di dalam masjid. Sampai-sampai ada yang mengusirnya ke luar masjid. Seolah-olah
tidak ada cara lain untuk menertibkan anak-anak selama berada di masjid.
Padahal akan lebih baik bila anak-anak betah berlama-lama di masjid ketimbang
di depan televisi. Di sinilah dituntut kesabaran kita, para orangtua dan para
pengurus masjid.
Dari Jabir bin Samurah ra,
ujarnya, “Saya shalat Zhuhur bersama Rasulullah saw, kemudian beliau pula ke
keluarganya dan saya pun pulang bersamanya. Dua orang anak kecil menghadang
beliau. Dan Rasulullah saw mengusap pipi mereka seorang demi seorang.” Jabir
berkata lagi, “Adapun saya sendiri beliau usap pipi saya dan saya merasakan
tangan beliau dingin dan harum baunya, seolah-olah baru keluar dari celupan
minyak wangi” (HR
Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa
Rasulullah saw menyambut dengan baik dan bersikap penuh lemah-lembut kepada
anak-anak yang turut shalat di masjid. Jabir bin Samurah adalah salah seorang
dari anak sahabat yang diperlakukan dengan penuh kelembutan oleh Rasulullah
saw. Sehingga Jabir merasakan lembutnya usapan tangan Rasulullah saw yang sejuk
dan sangat harum.
Riwayat di atas menceritakan,
betapa para sahabat Rasul giat melatih anak-anak mereka untuk mencintai masjid
dengan cara membiasakan mereka melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang
diimami Rasulullah Saw. Dengan cara memberikan latihan-latihan praktis itulah
anak-anak akan gemar melakukan amal-amal Islami.
Kedua, hormati waktu-waktu Islam dan
nilai-nilainya dalam rumah kita. Misalnya, kita akan mematikan tivi atau
tape-recorder pada saat adzan berkumandang, terutama saat adzan Maghrib dan ‘Isya.
Tidak mengumandangkan suara-suara lain di dalam rumah kita, selain bacaan Al-Qur`an,
nasyid Islami, atau lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Ketiga, sesekali bentuk jamaah shalat
keluarga, bisa dipimpin oleh ibu, atau sekali-kali dipimpin ayah. Anak-anak
kita tugaskan secara bergantian, yang bertugas menggelar tikar, petugas adzan/iqomat,
sebagai imam, dan petugas kultum (taushiyah), dilakukan secara bergiliran.
Kiat ini pernah dicontohkan
Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits disebutkan, Anas bin Malik mengatakan, “Adalah
Rasulullah Saw bergaul dengan kami hingga ia mengatakan kepada kami, ‘Hai Aba Umair
sedang apa burung kecil itu?’ Kami menggelar tikar lalu beliau shalat dan membariskan
kami di belakangnya” (HR. Ahmad).
Keempat, biasakan anak-anak bangun pagi
untuk melakukan shalat subuh. Kalau perlu rangsang mereka dengan hadiah. Yang
paling pagi bangun, mereka kita beri hadiah menarik. Atau, mereka yang catatan shalatnya
baik, akan diberikan penghargaan menarik. Dengan begitu, perlu dibuat sistem
evaluasi sederhana yang bisa diaplikasi dengan mudah dan dilakukan secara
kontinyu.
Jangan terlalu khawatir kalau motivasi
shalat anak-anak karena iming-iming hadiah, bukan karena Allah. Sebab, pada
usia di bawah sepuluh tahun, kebanyakan anak-anak masih sulit menangkap hakikat
ke-Tuhanan yang ghaib. Pada waktunya, ketika kita terus menerus
memberikan pendidikan Islam yang benar kepada anak-anak kita, maka mereka akan
dengan sendirinya memahami hakikat Allah, dan mereka tak perlu lagi diperintah
untuk melakukan shalat.
Kelima, jika perlu kita membuat
perlombaan tentang pengetahuan shalat dengan hadiah-hadiah menarik, dengan
melibatkan anak-anak para tetangga kita. Atau dibuat pengajian rutin keluarga
khusus untuk anak-anak, utamanya memfokuskan pada bahasan tentang pentingnya
pendidikan shalat bagi anak-anak sejak dini. Tempatnya bisa digilir, sesuai
dengan kesepakatan. Wallahu a’lam bishshawab.
semoga manfaat...patut dijadikan renungan bagi setiap orang tua,guru,pengurus masjid,musholla...bersama sama memperbaiki cara pandang dan pola asuh kita terhadap anak..mohon ijin copas pak..