• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Kemuliaan Penghafal Al-Qur`an

24 Okt 2012 0 comments

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS Al-Hijr: 9).
Namanya Abdullah bin Muhamad Jabr. Lahir di Kota Wadi Jadid Mesir 29 Syawal 1405 H (7 Juli 1985). Dia selesai menghafal Al-Qur`an ketika berusia 7 tahun 2 bulan 3 hari, tepatnya pada tanggal 10 September 1992.
Setelah itu, Abdullah menghafal Hadits Asy-Syarif dimulai dengan menghafal Arbain Nawawi. Selanjutnya pada 6 Juli 1994, ia menyelesaikan hafalan kitab Al-Lu`lu-u wal Marjan yang direkomendasi oleh Syeikh Bukhari-Muslim. Abdullah terus berpacu dengan waktu, ia pun berhasil menghafal Mukhtashar Shahih Bukhari yang disusun oleh Az-Zabidi dan menghafal Mukhtashar Shahih Muslim yang disusun oleh Munziri. Selanjutnya berturut-turut, Abdullah menghafal Matan Bikuniyah dalam Ilmu Hadits; menghafal Manzuma Sullamul Wushul ila ‘Ilmil Ushul. Saat ini Abdullah sedang menghafal Matan Syatibiyah dalam Qira`at Sab’ah dan telah selesai dua pertiganya. Abdullah mulai belajar berkhutbah sejak usia delapan tahun di bawah asuhan Syeikh Mahmud Gharib.
Abdullah memperoleh beberapa penghargaan, di antaranya,  penghargaan dari Lembaga Sastra di Mekkah melalui Rektor Universitas Umul Qura, Syeikh Rosyid Ar-Roji. Abdullah juga mendapat penghargaan dari Syeikh Ahmad Muro’i ketika berusia 9 tahun. Menjadi juara pertama dalam musabaqah hadits di Mesir dan mendapat penghargaan dari Kementrian Wakaf Mesir. Juga mendapat penghargaan dari presiden Mesir pada bulan September 1995. Mendapat penghargaan dari Syeikh Al-Azhar Syeikh Jadul Haq Ali Jadul Haq dan dibebaskan dari kelas 6 Ibtida’iyyah Al-Azhar. Mendapat penghargaan dari Abdurrahman Faqih berupa sehelai kiswah Ka,bah. Mendapat penghargaan dari Syeikh Abdullah Turki, Menteri Urusan Islam Saudi Arabia.
Abdullah tidak sendiri dan bukan anak ajaib. Sebab, para ulama terdahulu banyak yang hafal Al-Qur`an di usia muda. Dr. Yusuf al-Qaradhawi hafal Al-Qur`an belum genap usia sepuluh tahun. Di Bangladesh, seorang anak telah hafal Al-Qur`an pada usia sembilan tahun. Beberapa tahun lalu, seorang anak Iran berusia tujuh tahun yang bernama Sayyid Muhammad Husain ath-Thababai mencengangkan semua orang dengan hafalan Al-Qur`an disertai dengan pemahamannya yang mendalam. Yusuf al-Qaradhawi pernah mengujinya, dan ternyata memang mengagumkan.
Sungguh beruntung Muhamad Jabr, orangtua Abdullah. Beruntung pula para orangtua yang mendidik anak-anaknya menjadi anak yang shaleh, menjadi penghafal Al-Qur`an (hafizhul Qur`an). Para penghafal Al-Qur`an adalah “kaki-tangan” Allah di bumi dalam menjaga Al-Qur`an dari orang-orang jahil, karena Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur`an dengan kekuasan-Nya.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS Al-Hijr: 9).
Allah Swt. telah menjamin pemeliharaan Al-Qur`an dengan ungkapan yang sangat tegas. Penegasan itu tampak dalam penggunaan jumlah ismiyah (kata benda), dalam kata inna, dan dengan huruf lam dalam kata lahaafizhuun. Dan di antara perangkat untuk memeliharanya adalah menyiapkan orang yang menghafalnya pada setiap generasi.
Muhammad Jabr dan para orangtua lainnya yang menginginkan anak-anaknya menjadi “pegawai” Allah tentu tidak sama dengan para orangtua yang mendambakan anak-anaknya menjadi bintang AFI atau Bintang Cilik di televisi. Meski sama-sama bangga, tetapi kebanggaan mereka pasti berbeda. Meski sama-sama menumpahkan tangis bahagia tetapi tangis bahagia mereka tentu berbeda. Karena nawaitu mereka berbeda. Doa-doa yang mereka panjatkan juga berbeda. Maka hasil akhir yang diterima para orangtua itu pun berbeda-beda. Perbedaan itu ada pada nuansa ukhrawi dan duniawi.
Para orangtua yang menyerahkan anak-anaknya untuk mengabdi kepada Rabb semesta alam telah mengambil langkah tepat. Mereka telah menanam pohon yang bermanfaat bagi Islam, dakwah, dan umat manusia. Mereka telah menginvestasikan hartanya pada perusahaan Allah. Kelak, pasti Allah Swt. akan memberikan devidennya yang sangat besar. Yang besarnya tak pernah mereka bayangkan.
Mereka telah memilihkan untuk anak-anaknya orang-orang shaleh, lingkungan yang baik, serta menjauhkannya dari teman-teman yang jahat. Kelak, setiap kebaikan yang keluar dari anak-anak mereka yang shaleh dan bermanfaat bagi Islam, dakwah, dan umat manusia akan menambah berat timbangan kebaikannya di yaumil hisab. Mereka akan terheran-heran, surprise, dan bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat timbangan kebaikannya jauh melebihi perkiraan dirinya?
“Sesungguhnya akan didapati (di hari kiamat) seseorang yang diangkat derajatnya di surga, sedangkan ia bertanya-tanya, ‘Mengapa saya bisa begini?’ Maka dikatakan kepadanya, ‘Itu karena istighfar anakmu yang ia tujukan buatmu’” (HR Ahmad dan Al-Albani).
Para orangtua yang anak-anaknya menjadi penghafal Al-Qur`an akan mendapatkan tambahan nikmat lantaran kemuliaan anak-anak mereka.
“Siapa yang membaca Al-Qur`an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari. Dan Kedua orangtuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, ‘Mengapa kami dipakaikan jubah ini?’ ‘Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al-Qur`an’” (HR Hakim).
Di dunia, Rasulullah Saw. memberikan penghormatan kepada para penghafal Al-Qur`an. Ketika Nabi Saw. mengutus sekelompok orang, beliau mengecek kemampuan membaca dan hafalan Al-Qur`an mereka. Setiap laki-laki ditanya berapa banyak hafalan Al-Qur`an mereka. Kemudian yang paling muda ditanya oleh Rasulullah Saw., “Berapa banyak Al-Qur`an yang telah engkau hafal?” Ia menjawab, “Aku telah hafal surat ini dan surat itu, serta surat Al-Baqarah.” Rasulullah Saw. kembali bertanya, “Apakah engkau hafal surat Al-Baqarah?” Ia menjawab, “Betul.” Rasulullah Saw. bersabda, “Berangkatlah dan engkau menjadi ketua rombongan. Salah seorang dari mereka  berkata, “Demi Allah, aku tidak mempelajari dan menghafal surat Al-Baqarah semata-mata karena aku takut tidak dapat mengamalkan isinya.” Mendengar komentar itu, Nabi Saw. bersabda,
“Pelajarilah Al-Qur`an dan bacalah, sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari Al-Qur`an dan membacanya seperti tempat air yang terbuka penuh dengan minyak wangi misik, harumnya menyebar ke mana-mana. Dan siapa yang mempelajarinya kemudian ia tidur dan di dalam hatinya terdapat hafala Al-Qur`an adalah seperti tempat air yang tertutup dan berisi minyak wangi misik” (HR Tirmizi).
Ketika meninggal dunia, Rasulullah Saw. juga mendahuluka orang yang menghafal Al-Qur`an lebih banyak daripada yang lainnya, seperti yang terjadi ketika beliau mengurus para syuhada Perang Uhud.
Di akhirat, Allah Swt. memuliakan para penghafal Al-Qur`an. Ketika ash-habul yamin dimasukkan ke dalam surga, kemudian Allah Swt. menempatkan mereka pada tempat yang sesuai dengan amal kebaikan mereka di dunia, maka Allah Swt. memanggil dan mengumpulkan para penghafal Al-Qur`an. Mereka diperintahkan agar mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur`an yang telah mereka hafal di dunia. Bersamaan dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur`an masing-masing mereka terangkat kedudukannya di surga. Kedudukan mereka di surga akan terus meningkat sampai akhir ayat yang mereka hafal. Semakin banyak hafalan Al-Qur`annya, semakin tinggi kedudukannya di surga. Rasulullah Saw. bersabda,
“Dikatakanlah kepada para penghafal Al-Qur`an, ‘Bacalah dan tinggikan suaramu. Kumandangkanlah Al-Qur`an sebagaimana kamu dulu mengumandangkannya di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu di surga terletak pada akhir ayat yang kamu baca’” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam kitab Dailul Falihin (III/494) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Shahibul Qur`an dalam hadits tersebut adalah orang yang menghafal seluruh Al-Qur`an (30 juz) atau sebagiannya dengan mengharap ridha Allah Swt.
Pada kesempatan Ramadhan yang mulia ini, marilah kita mulai proyek menghafal Al-Qur`an. Mulailah dari yang mudah, seperti juz ‘Amma. Jangan lihat tebalnya Al-Qur`an, akan tetapi syukurilah setiap huruf dan ayat yang tersimpan dalam dada. Rasulullah Saw. berjanji bahwa setiap huruf Al-Qur`an yang dibaca dan dihafal akan mendapatkan sepuluh kebaikan. Sedangkan yang bacaan Al-Qur`annya masih terbata-bata akan mendapatkan dua kebaikan. Dan di hari kiamat nanti, Al-Qur`an akan memberikan syafa’at kepada para penghafalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,
“Penghafal Al-Qur`an akan datang pada hari kiamat, kemudian Al-Qur`an akan berkata, ‘Wahai Tuhanku, pakaikanlah pakaian untuknya.’ Kemudian orang itu dipakaikan mahkota kehormatan. Al-Qur`an kembali meminta, ‘Wahai Tuhanku tambahkanlah.’ Lalu orang itu dipakaikan jubah kehormatan. Kemudian Al-Qur`an memohon lagi, ‘Wahai Tuhanku, ridhailah dia.’ Allah Swt. pun meridhainya. Dan diperintahkan kepada orang itu, ‘Bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga).’ Allah Swt. menambahkan dari setiap yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan” (HR Tirmizi).
Janganlah menjadi orang yang ketika kembali kepada Allah, tidak ada satu ayat Al-Qur`an pun di dalam dadanya. Orang yang seperti itu, kata Rasulullah Saw. seperti rumah kumuh yang hampir roboh. Lemah dan tidak ada harganya. Loyo ketika yang lainnya ceria menanti-nanti nikmat dari Sang Maha Pencipta.
“Orang yang tidak mempunyai hafalan Al-Qur`an sedikit pun seperti rumah kumuh yang hampir runtuh” (HR Tirmizi dari Ibnu ‘Abbas). Wallahu a’lam bishshawab.

Rintangan Amal Islami

0 comments

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabut: 2-3).
Ayat ini memiliki korelasi dengan QS Al-Hujurat: 14, “Orang-orang Arab Badwi itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Allah Swt. menegaskan bahwa di dalam keimanan itu ada ujian. Maka, dengan menguji iman, kualitas ketaqwaan seseorang akan berbeda-beda. Semakin kokoh keimanan seseorang, semakin berat ujiannya. Inilah yang digambarkan oleh Allah Swt. di dalam QS Fathir: 32, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Ujian keimanan harus ada untuk mematangkan dan mengokohkan keimanan itu sendiri. Orang-orang Mukmin yang lulus dalam ujian keimanannya dan merasa tenang dengan keimanannya itu akan meningkat derajatnya di sisi Allah Swt. Dan Allah akan menambahkan keimanan kepada Mukmin tersebut disamping keimanan yang telah ada di dalam dadanya. “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Fath: 4).
Ujian keimanan pada dasarnya adalah ujian atas amal shaleh. Karena untuk menguji kebenaran iman seseorang, Allah Swt. menggunakan parameter amal shaleh. Oleh karena itu, Allah Swt. menyandingkan kata iman dan amal shaleh tidak kurang dari 90 tempat di dalam Al-Qur`an. Ini menandakan bahwa amal shaleh merupakan realisasi dari keimanan. Ujian atas amal shaleh bisa berasal dari dalam dan dari luar. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Lai mengatakan, “Orang Mukmin senantiasa berada di antara lima ancaman berat, yaitu Mukmin yang mendengkinya, munafik yang membencinya, kafir yang memeranginya, syetan yang menyesatkannya, dan hanwa nafsu yang melawannya.”
Meski dari kelima ancaman di atas rintangan eksternal lebih dominan ketimbang rintangan internal, akan tetapi dari sisi kualitas, rintangan internal (hawa nafsu) justru lebih besar dibandingkan keempat rintangan eksternal di atas. Rasulullah Saw., “Mengatakan ada tiga hal yang merupakan pangkal kebinasaan, ketiga hal tersebut adalah kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang kepada dirinya sendiri” (HR Muslim). Kalau kita cermati ketiga hal yang merupakan pangkal kebinasaan itu semuanya bersumber dari mengikuti hawa nafsu.
Tulisan ini akan memfokuskan pada tantangan yang bersifat internal, yaitu “hawa nafsu yang melawannya”. Selain kikir, nafsu, dan ‘ujub yang merupakan pangkal kebinasaan, rintangan hawa nafsu juga memiliki varian lain yang bersifat pemikiran atau kejiwaan. Salah satunya adalah rintangan keputusasaan akan manfaat amal Islami. Sebagian kaum Muslimin yang memiliki komitmen keagamaan ada yang meninggalkan amal Islami lantaran putus asa akan masa depan Islam. Mereka menganggap bahwa seluruh amal Islami yang dilakukan umat Islam ibarat tanaman yang tidak menghasilkan buah.
Kelompok ini mengatakan, “Amal Islami yang dilakukan oleh gerakan Islam telah berlangsung puluhan tahun, tetapi hingga saat ini kita belum melihat satu pun negara yang berhasil mencapai tujuan dan target yang dijanjikan. Bahkan, kita melihat gerakan keislaman itu dihantam dari luar dan gerogoti dari dalam. Maka apa yang bisa kita harapkan dari sebuah amal Islami yang tidak bisa mencapai tujuannya?” Akhirnya, mereka menyimpulkan bahwa amal yang mengatasnamakan Islam tidak memiliki masa depan yang cerah.
Gejala keputusasaan dalam menyemai nilai-nilai Islam melalui gerakan yang sistematis juga melanda kalangan politisi dan pengamat politik Islam. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa partai politik yang membawa nafas Islam tidak pernah akan menang. Mereka menggunakan sejarah partai politik Islam di Indonesia sebagai dasar argumentasinya. Akibat pandangan yang bernuansa keputusasaan itu, beberapa partai politik Islam menanggalkan ciri khas keislamannya dan mengganti asasnya dengan asas yang bukan Islam.
Menanggapi pandangan miring seperti itu, Al-Qur`an al-Karim menjelaskan bahwa putus asa bukanlah watak atau karakter Islam, sebagaimana firman Allah Swt., “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir” (QS Yusuf: 87).
Seorang Muslim sejati tidak akan pernah putus asa ataupun patah semangat. Ia tahu bahwa setelah hari ini selalu ada hari esok, setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah malam akan datang waktu fajar. Tidak mungkin kesedihan akan terus merundung selamanya. Karena banyak realita hari ini yang bermula dari mimpi hari kemarin, maka tak mustahil mimpi-mimpi hari ini akan menjadi kenyataan di hari esok.
Seorang Muslim berbuat tidak hanya untuk meraih keberhasilan atau pun kemenangan, tapi ia berbuat untuk menjalankan perintah Allah Swt., memenuhi hak penyembahan-Nya, serta mengharapkan ridha-Nya. Maka jika jika kemudian ia mencapai keberhasilan dalam usahanya, itu merupakan kebaikan, berkah, serta nikmat dari Allah Swt.
Dan kalau pun hal itu tidak terwujud, maka ia telah memenuhi kewajiban terhadap Allah Swt. Sesungguhnya di hari Kiamat nanti, Allah Swt. tidak akan menanyai manusia, “Mengapa mereka tidak berhasil atau menang?” Akan tetapo, Allah Swt. akan menanyai mereka, “Mengapa mereka tidak berbuat?”
Dalam sejarah para Nabi dan Salafush Shalih, kita menemukan banyak di antara mereka yang syahid sebelum mewujudkan cita-cita perjuangannya. Kisah Ash-Habul Ukhdud adalah salah satunya. Begitu juga Asy-Syahid Hasan al-Banna yang wafat dibunuh, belum sempat memetik buah perjuangannya, yaitu Islam sebagai soko guru peradaban dunia (ustadziyatul alam).
Maka, cukuplah bagi kita firman Allah Swt. di dalam QS Al-A’raf: 164-165, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.’ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.”
Bentuk lain dari varian hawa nafsu yang bersifat pemikiran atau kejiwaan adalah tantangan idealisme utopis. Ada sebagian umat Islam yang hidup di menara gading, di dunia teori yang idealis. Mereka menempatkan dirinya sebagai komentator atau pengamat yang selalu bicara “seharusnya demikian”. Mereka mendambakan agar segala sesuatu dimulai secara sempurna. Mereka mendambakan bulan selalu purnama. Tanaman berbuah sejak awal benih ditebarkan.
Mereka menginginkan gerakan keislaman lahir langsung besar tanpa melalui tahapan pertumbuhan, tidak bergesekan dengan penyakit-penyakit lingkungan, tidak bertambrakan dengan virus kehidupan, atau tidak menemui jalan berliku dan panjang. Mereka menginginkan gerakan keislaman berjalan mulus, tanpa ada hambatan yang berarti. Namun, amat disayangkan, umumnya kaum idealis utopis ini hanya mahir dalam kata-kata. Yang mereka miliki hanyalah teori yang panjang di atas pundak yang pendek, pandai dalam mengritik, tapi lemah dalam berbuat. Memiliki semangat merobohkan, dan berpangku tangan dalam membangun. Mereka memiliki angan-angan panjang, tapi tangan dan kaki pendek.
Perhatian utama dari kaum idealis utopis ini adalah melacak pelbagai kekurangan dan kesalahan orang-orang yang berbuat, mengumpulkannya dari sana-sini, lalu menyorotnya dengan kaca pembesar. Maka sebutir biji pun tampak seperti kubah besar, dan semut tampak seperti gajah.
Mereka tidak memperhitungkan rintangan-rintangan orang-orang yang berbuat dan beramal. Tidak berusaha berbaik sangka kepada orang lain. Tidak menghitung peluang yang ada dalam situasi dan kondisi yang terbatas. Mereka kurang mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki aturan mainnya sendiri. Karena tidak pernah berbuat, kita tak pernah melihat mereka melakukan kesalahan. Sebab, kesalahan adalah efek dari ijtihad dalam berbuat.
Rintangan keputusasaan dan idealisme utopis adalah dua dari sejumlah rintangan pemikiran dan kejiwaan yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa meningkatkan pemahaman keislamannnya, dan mulai menjadi orang pertama yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Hanya dengan membuktikan keimanan dalam bentuk amal nyata, setiap Muslim akan semakin dewasa dan matang dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan ujian dan cobaan. Wallahu a’lam bishshawab.

Siapa Tidak Melayani, Maka Tidak Akan Dilayani

23 Okt 2012 0 comments

Sebagaimana biasa, pagi itu Mat Bulbit mengendarai mobilnya ke kantor. Saat memasuki jalan tol, tiba-tiba handphone-nya berdering. Ada panggilan dari seorang teman. Mat Bulbit sudah dapat menduga apa yang ingin disampaikan temannya. “Hmm...paling juga nanyain proyek bantuan sosial,” ucap Mat Bulbit dalam hati. Dugaan Mat Bulbit mungkin benar, karena bulan lalu temannya itu pernah menelpon dan minta proyek bantuan sosial kepada Mat Bulbit. Waktu itu Mat Bulbit menyarankan kepada temannya agar mengajukan proposal. HP Mat Bulbit kembali berdering, tapi ia tidak mau mengangkatnya.
Dalam hati, sesungguhnya Mat Bulbit ingin mengangkat panggilan telpon tersebut, karena meski sedang berkendaraan, tentu ia masih bisa menerima telpon. Namun, ketika ia ingin mengangkat telpon, dari sisi sebelah kiri hatinya muncul bisikan. “Sudahlah, tak perlu diangkat telpon itu. Toh, kamu sedang menyetir. Nanti bahaya. Apalagi, ada aturan larangan menelpon selagi berkendaraan. Kamu juga sudah tahu bahwa yang akan dibicarakan temanmu itu pasti akan membuatmu repot dan nambah kerjaan.” Akhirnya Mat Bulbit mengikuti bisikan hatinya.
Setibanya di kantor, Mat Bulbit merenung. Ada perasaan bersalah lantaran ia telah mengecewakan seorang teman yang mungkin memerlukan bantuannya. Tak lama kemudian, handphone-nya berdering kembali. Dua kali HP-nya memanggil. Mat Bulbit terdiam. Hatinya gundah. Di satu sisi ia merasa tidak enak lantaran telah mengecewakan teman, sementara di sisi lain ia sudah tahu apa yang ingin disampaikan temannya lewat telpon. “Kamu itu sekarang sedang banyak kerjaan yang belum selesai, sementara temanmu itu pasti akan menambah kesibukanmu, karena kamu harus menindaklanjuti permintaannya,” bisik hatinya lagi. Mat Bulbit membiarkan panggilan telponnya hingga berhenti.
Beberapa saat kemudian Mat Bulbit mengirim pesan BBM kepada istrinya untuk menanyakan sesuatu. Sambil menunggu balasan dari sang istri, ia mulai mengeluarkan laptop dan mulai mengerjakan tugas-tugas kantor. Beberapa menit berlalu, balasan BBM dari sang istri belum juga ada. Mat Bulbit kembali mengirim pesan kepada istrinya lewat SMS ke nomor yang lain. Juga tak ada balasan. Mat Bulbit heran, karena biasanya istrinya selalu cepat membalas BBM atau SMS yang ia kirim. Ia pun mengirim beberapa pesan lagi melalui BBM dan SMS. Belum juga ada balasan. Mat Bulbit makin penasaran. Lalu ia menelpon langsung istrinya. Panggilan pertama tidak diangkat. Begitu juga panggilan kedua dan ketiga tidak diangkat. Mat Bulbit mulai kesal. Banyak pikiran berseliweran di kepalanya. Mulai dari khawatir kalau-kalau istrinya sakit, hingga pikiran jangan-jangan istrinya sedang marah lantaran sebulan terakhir ini ia sering tugas ke luar kota.
Selepas Zhuhur, Mat Bulbit memutuskan untuk pulang karena khawatir terjadi sesuatu pada istrinya. Di tengah perjalanan pulang, ia kembali mencoba menelpon istrinya beberapa kali. Tetap tidak ada jawaban. Setiba di rumah ia disambut dengan permohonan maaf sang istri berkali-kali.
“Maaf pah, maaf...mamah baru aja tiba dari Tanah Abang,” jelas istrinya sambil mencium tangan Mat Bulbit.
“Memangnya mamah nggak bawa HP apa?” tanya Mat Bulbit agak kesal. “
“Bawa pah, tapi mamah ke Tanah Abang naik motor. Jadi nggak sempat angkat telpon papah,” jawab sang istri.
“Memang mamah ke Tanah Abang jam berapa?” tanya Mat Bulbit lagi.
“Jam sepuluhan,” jawab sang istri.
“Lalu, kenapa mamah nggak jawab BBM dan SMS papah, padahal mamah belum berangkat ke Tanah Abang kan?”
“Nggak kedengaran pah, soalnya mamah waktu itu sedang di kamar mandi,” jawab istri Mat Bulbit.
Sejenak Mat Bulbit terdiam. Dia ingat pesan salah seorang ulama salafush shalih yang dibacanya dalam sebuah buku. Nasehatnya kira-kira seperti ini, “Bila pagi-pagi kuda tungganganmu meringkik marah dan tak mau engkau tunggangi, maka perhatikanlah dosa apa yang baru saja engkau perbuat?”
Mat Bulbit mengucap istighfar berkali-kali. Ia sadar karena tadi pagi telah berbuat dosa kepada temannya. Ia pun langsung menghubungi temannya dan meminta maaf karena tidak mengangkat telpon tadi pagi. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengajariku tentang kasih sayang. Mat Bulbit ingat pesan Rasulullah Saw., “Man laa yarham, laa yurham”. Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak disayangi. Siapa yang tidak mau melayani, maka ia tidak akan dilayani. (Bekasi, September 2012).

Kembali Kepada Al-Qur`an

0 comments


Bagi setiap Muslim, apalagi yang memiliki dan mengemban amanah dakwah, Al-Qur`an adalah bagian dari keseharian hidup mereka. Kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, dan sebagai anggota masyarakat dihadirkan setiap waktu untuk melakukan perbaikan. Karenanya, dengan diturunkan-Nya Al-Qur`an, kesadaran itu harus disatupadukan dan disinergikan. Pada kenyataannya Al-Qur`an secara fisik sudah ada di hadapan kita, bahkan di tangan kita, maka interaksi para da’i dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an pun sangat layak untuk selalu ditingkatkan. Apalagi bila dikaitkan dengan realita yang ada di masyarakat, di lingkungan gerakan dakwah, dan yang paling mencolok adalah realita yang ada di luar gerakan dakwah itu sendiri.
Begitu banyak perilaku yang menyimpang dari ajaran agama mendominasi kehidupan masyarakat, seperti pornografi, pornoaksi, korupsi, kriminalitas, narkoba, dan lain-lain. Sementara kebanyakan masyarakat hanya hadir di satu acara majelis taklim yang interaksinya dengan Al-Qur`an masih sangat rendah dan terbatas.
Dakwah harus dihadirkan dalam berbagai lapangan kehidupan, termasuk dalam bidang politik. Dakwah melalui partai politik, tampaknya mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat. Akan tapi, respons positif itu belum menandakan bahwa kegiatan dakwah yang merujuk kepada Al-Qur`an juga diapresiasi secara baik oleh publik. Fenomena itu terlihat ketika kebanyakan masyarakat kurang apresiatif dalam menyambut seruan Islam aplikatif. Masyarakat pun kerap masih mendikotomikan Islam dan politik, Islam dan ekonomi, Islam dan budaya.
Para da’i dan aktifis pun harus menyadari bahwa produktifitas dakwah sangat berkorelasi positif dengan interaksi mereka dengan Al-Qur`an. Dan produktifitas dakwah berbanding lurus dengan  kualitas dan kuantitas aktifis dakwah. Maka, bila kemudian terlihat fenomena produktifitas para da’i dan aktifis dakwah kurang signifikan terhadap peningkatan jumlah dan kualitas para pengikutnya, itu menandakan bahwa interaksi mereka dengan Al-Qur`an memang perlu ditingkatkan secara terus menerus.
Kontinuitas dan intensitas interaksi dengan Al-Qur`an harus mengiringi setiap tarikan napas, gerak, dan ayunan langkah, hingga menghadirkan pribadi yang makin Qur`ani, keluarga yang makin Qur`ani, dan bila itu terus dihadirkan, maka pribadi dan keluarga itu akan bisa diteladani oleh masyarakat dan akan menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk meninggalkan dan menolak baragam kemungkaran yang ada. Dan ini akan menjadi tenaga baru bagi aktifiis dakwah lainnya.
Dengan demikian, para aktifis dakwah yang interaksi Al-Qur`an-nya semakin dalam,  semakin luas, dan semakin aplikatif akan memberikan kontribusi yang semakin signifikan bagi hadirnya masyarakat yang makin mecintai gerakan dakwah ini. Karenanya, sesuai dengan kaidah faqidu syai` laa yu’thiihi, orang yang tidak memiliki tidak bisa memberi, maka interaksi para dai dan aktifis dakwah dengan Al-Qur`an merupakan sebuah kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda.
Al-Qur`an diturunkan Allah Swt. untuk umat manusia, sebagai petunjuk hidup, jalan yang lurus, dan cahaya yang menyinari kegelapan di dunia. Oleh karena itu, anugerah Allah tersebut harus dimaskimalkan oleh setiap da`i, aktifis dakwah, dan setiap Muslim. Ramadhan yang baru lalu telah memberikan motivasi kepada kita agar mereka tidak canggung lagi untuk berinteraksi lebih total lagi dengan Al-Qur`an, lebih produktif, dan lebih terdorong untuk bersegera melakukan amal shaleh. Ini adalah sebuah kesempatan emas yang tidak boleh dimubazirkan. Hanya saudara-saudara setanlah yang selalu memuzirkan kesempatan ini.
Al-Qur`an menegaskan bahwa seorang Muslim atau Mukmin bukanlah saudara setan. Seorang Mukmin adalah saudara Mukmin lainnya, dan karenanya mereka mempunyai kewajiban bersama untuk memaksimalkan interaksi dengan Al-Qur`an dalam setiap sisi kehidupannya.
Sudah begitu banyak buku tentang kaidah-kaidah berinteraksi dengan Al-Qur`an yang ditulis dan diterbitkan. Di antaranya karya Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang berjudul “Kaifa nata’aamalu ma’a al-Qur`ani al-‘Azhim?” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Berinteraksi dengan Al-Qur`an”.
Begitu juga, sudah banyak fakta-fakta Al-Qur`an dihadirkan dan membawa kepada kebaikan, kedamaian, dan amal shaleh. Karenanya, tidak ada alasan untuk berlambat-lambat atau bermalas-malas untuk semakin banyak berinteraksi dengan Al-Qur`an, agar diri dan keluarga kita semakin ter-sibghah dengan Al-Qur`an, dan itu berarti kita sedang men-sibghah masyarakat dengan nilai-nilai Al-Qur`an yang membawa rahmat bagi kehidupan.
Semakin gerakan dakwah mendapat kepercayaan dari publik, semakin gerakan dakwah ini berinteraksi dengan masalah-masalah masyarakat, maka akan semakin meningkat pula keperluan kita akan pengetahuan tentang nilai nilai Al-Qur`an, agar kita tidak keliru dalam mengaplikasikan kegiatan-kegiatan dakwah pada tingkat operasional. Sehingga kita tidak terjebak pada perilaku ekstrimisme, arogansi, menang-menangan, takabur, atau sebaliknya terjebak pada perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur`an, misalkan perilaku gerakan takfir (mengkafirkan orang atau kelompok lain).
Baik ekstrimisme maupun takfir adalah dua hal yang dilarang Al-Qur`an dan tentu kita tidak akan mengikutinya. Sebab begitu kita berinteraksi dengan masyarakat, ketika kita diberi amanah yang makin luas dengan hasil pemilu legislatif, dan apresiasi publik yang positif terhadap sikap-sikap kita pada pilpres pertama dan kedua, itu pertanda kita memang tengah semakin intensif berinterksi dengan msyarakat. Dan kehidupan masyarakat yang begitu kompleks seringkali menghadirkan nuansa yang dapat membuat orang tidak sabar lalu terjebak pada sikap ekstrimisme, atau sebaliknya membuat sebagian aktifis dakwah memiliki sikap berlebihan, sehingga memunculkan sikap arogan dan takabur.
Arogansi dan ekstrimisme adalah sikap yang harus dihindari. Dan jalan untuk dapat terhindar dari kedua perilaku buruk tersebut adalah dengan mamahami Al-Qur`an secara utuh, kaffah (menyeluruh, komprehensif), dan integral.
Al-Qur`an dimulai dengan “iqra bismirabbikalladzi khalaq”. Ini bukan sekedar isyarat, akan tetapi sebuah perintah yang sangat jelas bagi kita untuk semakin meningkatkan kualitas diri, keluarga, lingkungan masyarakat, dan kualitas negara dengan manhaj (metode) yang telah diturunkan Al-Khaliq.
Kemudian di ujung sebuah kesuksesan ada “idzaa ja`a nashrullahi wal fathu, wa ra`aitan naasa yadkhuluna fii diinillah afwaaja, fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kaana tawwaba”. Surat An-Nashr ini menghadirkan suatu kesadaran tangggung jawab moral dan tanggung jawab sosial yang sangat tinggi, serta kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba Allah yang tidak boleh berlaku takabur, semena-mena, zalim, atau sebaliknya berlaku ekstrim yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Itu semua sangat diperlukan justru ketika kita semakin luas berinteraksi dengan capaian-capaian dakwah melalui kegiatan politik.
Dengan demikian, semakin luas interaksi kita dengan masyarakat, maka kebutuhan interaksi kita dengan Al-Qur`an semakin besar. Karena, pada hakikatnya Al-Qur`an diturunkan untuk seluruh kelompok masyarakat, apapun latar belakang sukunya, profesinya, bahkan latar belakang perilakunya. Kehadiran Al-Qur`an tentu tidak dalam rangka untuk menjustifikasi bagi keberlangsungan kemungkaran, karena memang Al-Qur`an melarang kemungkaran. Al-Qur`an diturunkan justru untuk menghilangkan kemungkaran dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara etik, ekonomi, intelektual, dan komunal.
Sudah sangat jelas bahwa salah satu tujuan utama dari dakwah adalah agar nilai-nilai Al-Qur`an terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Namun, pengembangan nilai-nilai Al-Qur`an itu tidak akan berhasil bila para da’i dan aktifis dakwah tidak memiliki materi (Al-Qur`an) untuk dikembangkan. Al-Qur`an adalah sebuah mata air yang tidak pernah akan kering dan selalu dibutuhkan kapan, dimana, dan oleh siapa saja. “Mata air” itu kini ada di hadapan kita, bahkan terjemahannya sudah dimudahkan dengan berbagai cara, termasuk dalam bentuk CD. Tinggallah kita mau memanfaatkannya atau tidak. Oleh karena itu, menjadi sangat tidak beralasan bagi setiap da’i dan aktifis dakwah untuk tidak berinteraksi lebih lanjut dengan Al-Qur`an.
Simaklah syair yang ditulis Al-Bushiri.
“Mahabesar Allah, sesungguhnya agama Muhammad dan kitab sucinya adalah kitab suci yang paling lurus dan paling teguh. Jangan sebut kitab-kitab suci lain di depannya. Karena, saat mentari pagi bersinar, ia akan memadamkan pelita-pelita.”
Al-Qur`an adalah “sang mentari pagi” sebagaimana ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya. “ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu ...” (QS Al-Maidah: 48). Wallahu a’lam bishshawab.

Doa Masuk Goa

21 Okt 2012 1 comments


Konvoi naik sepeda motor bersama teman-teman ke suatu tempat yang menantang sangatlah menyenangkan. Namun, wisata yang dilakukan Mat Bulbit dengan teman-temannya bukanlah semata-mata untuk melepas penat setelah sepekan bekerja. Ahad pagi itu, mereka akan mengadakan wisata ruhani, yaitu dzikrul maut, mengingat mati. Tempat yang dituju adalah goa Lalay di Cileungsi, Kabupaten Bogor.
Jalan menuju ke Goa Lalay tidak begitu sulit. Bila menggunakan kendaraan roda empat, paling enak lewat tol Jagorawi, keluar gerbang Gunung Putri, belok kiri, lurus hingga menjumpai STO/SKSD Palapa di sebelah kiri jalan. Kurang lebih satu kilometer dari situ, kita akan bertemu danau kecil di sebelah kanan jalan. Belok kanan, lalu ikuti penunjuk arah menuju Goa Lalay.
Tapi, kali itu Mat Bulbit dan kawan-kawan konvoi menggunakan kendaraan roda dua. Semuanya sepuluh orang menggunakan lima motor. Salah seorang dari rombongan adalah ustadz yang akan memimpin acara dzikrul maut.
Rombongan berangkat dari kawasan Cililitan Jakarta Timur menuju Bantar Gebang Bekasi. Dari Bantar Gebang rombongan langsung menuju Cileungsi. Kira-kira jam dua siang, rombongan tiba di sebuah lapangan tempat para pengunjung Goa Lalay memarkir kendaraannya. Beberapa kios penjual makanan dan minuman berjajar di pinggir jalan dekat lapangan parkir. Mat Bulbit dan rombongan langsung menemui petugas jaga untuk meminta izin masuk goa. Hujan turun rintik-rintik. Petugas jaga menyarankan agar para pengunjung berhati-hati selama berada di dalam goa.
Goa Lalay di Ciluengsi merupakan campuran antara goa horizontal dan goa vertikal. Ciri khas dari Goa Lalay adalah sungai kecil yang mengalir di dasar goa tersebut. Jadi sebenarnya Goa Lalai adalah sungai di bawah tanah. Disebut goa lalay karena di dalam goa tersebut banyak dijumpai kelelawar (Lalay dalam bahasa Sunda berarti kelelawar). Pintu Goa Lalay dicapai dengan menuruni lembah sedalam kurang lebih dua meter dari permukaan tanah.
Dasar sungai sebagian besar berupa batuan kapur yang keras. Setiap pengunjung harus mengenakan sepatu bila kakinya tak ingin terluka terkena batu kapur yang tajam. Kedalaman sungai bervariasi ada yang hanya selutut orang dewasa, ada juga yang cukup dalam di atas kepala orang dewasa. Lebar goa juga bervariasi, ada yang berupa lorong sempit yang hanya muat satu orang, ada juga ruangan yang cukup luas lengkap dengan stalagtit dan stalagmitnya.
Aliran sungai di dalam Goa Lalay cukup panjang. Dari pintu masuk sampai ke ujung goa diperlukan waktu kurang lebih satu jam. Di bagian tengah goa ke arah pintu keluar terdapat danau yang cukup luas dan lebih dalam dibandingkan kedalaman sungai.
Waktu terbaik untuk ke Goa Lalay adalah pada musim kemarau, karena permukaan air tidak terlalu tinggi. Saat musim hujan, ketinggian air sungai lebih dalam lagi, dan pihak pengelola akan memberikan peringatan atau melarang pengunjung memasuki goa karena berbahaya.
Meski hujan mulai turun rintik-rintik, pengelola membolehkan Mat Bulbit dan teman-teman memasuki goa. Semua peralatan sudah disiapkan. Mulai dari lampu senter yang dibungkus kantung plastik, hingga tambang yang akan digunakan untuk membuat rangkaian manusia ketika menyusuri sungai di dalam goa. Ini dilakukan supaya setiap anggota tidak terpisah dari rombongan.
Satu demi satu anggota rombongan menuruni lembah untuk mencapai dasar sungai di depan mulut goa. Setelah semuanya berada di mulut goa, Mat Bulbit meminta kepada ustadz yang mendampingi untuk membaca doa masuk goa. Sambil tersenyum sang ustadz berkata, “Doa masuk goa itu yang bagaimana ya? Setahu saya tidak ada doa khusus masuk goa.”
Tiba-tiba salah seorang anggota rombongan yang bernama Satria berkata, “Ustadz, bagaimana kalau saya yang mimpin doa masuk goa?”
Semua anggota rombongan termasuk sang ustadz mempersilakan. Dengan penuh kekhusyuan Satria mengangkat tangannya sambil membaca doa, “Allahumma jannibnasy syaithan wa jannibisy syaithan maa razaqtana.”
Mendengar doa itu sontak semua rombongan tertawa. Rupanya doa yang dibacakan Satria adalah doa suami istri ketika hendak melakukan hubungan (jima).

ZUHUD

18 Okt 2012 0 comments

“Allah berfirman: "Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”

(QS Al-A’raf: 144).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setelah Allah Swt. memilih dan melebihkan Musa As. atas semua manusia, Allah Swt. menegaskan agar Musa As. menerima segala apa yang telah diberikan Allah kepadanya dan tidak memohon sesuatu yang bukan bagiannya dan tidak akan sanggup dipikulnya. Semua yang diberikan Allah kepada Musa As. adalah sesuatu yang besar dan utama. Tidak ada yang lebih baik dan lebih besar dari apa yang telah diberikan Allah menurut rahmat dan kebijakan-Nya.
Secara substansial, ayat ini mengandung makna zuhud dalam arti yang sangat luas dan mendalam. Sebab, sebagaimana dikatakan para ulama salafush shalih, zuhud ada tiga macam. Pertama, zuhud terhadap kemusyrikan (penyimpangan aqidah) dan dalam beribadah, yaitu dengan tidak beribadah, kecuali hanya kepada Allah Swt. Kedua, zuhud terhadap hal-hal yang diharamkan. Ketiga, zuhud terhadap barang halal. Dua yang pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah sesuatu yang wajib.
Diceritakan oleh Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Ra., seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku melaksanakannya, maka Allah dan manusia mencintaiku.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Zuhud-lah kamu terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan zuhud-lah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Hakim).
Hadits ini mencakup dua wasiat yang sangat agung dari Rasulullah Saw.; pertama, zuhud terhadap dunia yang menyebabkan kecintaan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Kedua, zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain, yang membuahkan kecintaan dan penghormatan dari orang lain.
Dalam Islam, seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali bila meraih cinta dari Allah dan kasih sayang serta penghargaan dari manusia.
Kecintaan Allah kepada manusia adalah keridhaan dan kebaikan Allah Swt. kepada hamba-Nya. Sedangkan kecintaan manusia kepada seseorang merupakan suatu kecenderungan yang tumbuh secara alami dan spontan. Karena tumbuhnya kecintaan manusia itu merupakan akibat logis dari kecintaan Allah kepada orang tersebut. Karena bila Allah Swt. mencintai seseorang, maka Allah akan menyusupkan rasa cinta dan kasih sayang manusia kepada orang itu. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (QS Maryam: 96).
Secara bahasa, zuhud berarti menolak sesuatu karena sesuatu tersebut dianggap remeh. Sedangkan secara syar’i, zuhud adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris al-Khaulani Ra., diriwayatkan oleh Imam Ahmad berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi, zuhud terhadap adalah lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka ia sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bias menambah dan menyimpan pahalanya.”
Melalui definisi ini, maka pada dasarnya zuhud memiliki tiga hal penting, dan ketiganya merupakan amalan hati. Oleh karena itu, Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Orang yang zuhud tidak dapat dilihat, karena zuhud tempatnya di hati.” Ketiga hal tersebut adalah:
Pertama, lebih meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada yang ada di tangan kita. Sikap seperti ini lahir dari keayakinan yang benar dan kuat bahwa Allah Swt. akan selalu menjamin serta memberi rezki kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS Hud: 6).
Kedua, jika seseorang mendapat musibah, seperti hilangnya harta benda, meninggalnya anak, dan lain-lain, maka ia lebih menyenangi pahala dari musibah yang menimpanya ketimbang kehilangan apa yang ada di sisinya. Sikap seperti ini pun hanya bisa tumbuh dari keyakinan yang sempurna. Ibnu Umar meriwayatkan sebuah doa dari Rasulullah Saw.,
“Ya Allah, berikanlah kami rasa takut yang dapat menghalangi kami berbuat maksiat kepada-Mu; ketaatan yang dapat menumbuhkan kecintaan kepada-Mu; dan keyakinan yang dapat menjadikan kami menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”
Ketiga, pujian dan celaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh kepada kebenaran, dan ini merupakan tanda dari sikap zuhud terhadap dunia.
Jadi, meski zuhud letaknya di hati, akan tetapi ekspresi zuhud sesungguhnya dapat dilihat pada sikap yang ditampilkan seseorang dalam menapaki kehidupan sehari-hari.

Cara Meraih Sikap Zuhud
Pertama, selalu memikirkan dan merenungi akhirat dan semua yang berkaitan dengan akhirat. Dengan begitu, hawa nafsu akan dapat dikendalikan, sehingga tidak terpedaya dengan dunia yang fana.
Kedua, selalu menghadirkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada Allah dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Bahkan dapat memperlambat proses hisab di yaumil qiyamah, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS At-Takatsur: 8).
Ketiga, memahami sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat sirna, jika dibandingkan dengan apa yang ada di sisi Allah Swt. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa timbangan dunia tidak lebih dari sayap nyamuk.
Keempat, selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah Saw. bersabda, “Dunia adalah terkutuk, dan terkutuk juga apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mengiringi dzikir itu, atau orang yang memiliki ilmu dan orang yang mau belajar” (HR Ibnu Majah).

Zuhud yang Keliru
Zuhud yang tidak benar adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau bersenang-senang sedikit pun dengan kenikmatan tersebut. Zuhud dalam pengertian ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Persia sebelum Islam. Pemikiran ini kemudia dianut oleh sebagian umat Islam ketika masa pemerintahan Abasiyah mulai melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Sedangkan hidupnya hanya menggantungkan dari sedekah orang lain. Dengan kondisi seperti itu mereka mengklaim dirinya sebagai orang-orang yang zuhud. Padahal Islam sama sekali tidak menghendaki sikap negatif yang membawa kehancuran seperti itu.

Teladan dari Rasulullah Saw. dan Sahabat
Rasulullah Saw. orang yang paling zuhud terhadap segala kenikmatan dunia demi mencari bekal akhrat, padahal beliau dijamin masuk surga. Sikap ini kemudian ditiru oleh para sahabatnya, sehingga mereka pun menjadi orang-orang yang patut dijadikan teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah Saw., Abu Bakar Ra., dan Umar Ra. Sambil balik bertanya, “Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, “Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sejumlah gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfaqkan harta tersebut dalam rangka menaati Allah dengan hati dan ilmunya.
Memang wajar mereka mendapat predikat seperti itu, karena mereka telah mendapatkan harta yang melimpah, tapi semua hartanya itu digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka infaqkan demi kepentingan Islam dan tegaknya Kalimatullah di muka bumi.
Allah Swt. mencintai orang-orang yang zuhud, karena hati dan pikiran mereka tidak disibukkan oleh hiruk-pikuk dunia. Rasulullah Saw. bersabda, “Hubbud dun-ya (cinta dunia) adalah pangkal setiap kesalahan dan dosa.”
Orang-orang zuhud juga dicintai manusia, karena mereka yang zuhud pasti akan mudah melepaskan apa yang ada di genggamannya demi membantu sesama manusia dan mengharap ridha dari Allah Swt. Orang-orang zuhud tak pernah iri terhadap dunia yang ada di tangan orang lain, karena mereka paham bahwa dunia dan segala isinya adalah fitnah dan ujian semata. Seseorang dapat menjadi mulia dan sengsara lantaran dunia.
“Ya Allah, jadikanlah dunia di tanganku, tidak di hatiku.” Inilah doa Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah untaian doa yang panjang. “…Walaa taj’alid dun-ya akbara hammina…” (Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia sesuatu yang menguras perhatian kami). Wallahu a’lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto