“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya
diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1]
dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar” (QS
Fathir: 32).
Makna zhalimun linafsihi
merupakan sebutan bagi Muslim yang berbuat taqshir
(kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa
pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar. Atau
dengan kata lain, orang yang taat kepada Allah Swt., akan tetapi ia juga
berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala
berikut,
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS At-Taubah: 102).
Orang-orang yang termasuk dalam muqtashid
ialah mereka yang taat kepada Allah Swt. tanpa melakukan kemaksiatan, namun
tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan
menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu. Atau dalam
pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban,
meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah
amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.
Kelompok sabiqun bil khairat memiliki
ciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah Swt. dan menjauhi muharramat (larangan-larangan). Selain itu,
keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan
amalan-amalan ketaatan yang sifatnya sunnah untuk mendekatkan diri mereka
kepada Allah Swt. Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan amalan-amalan
wajib dan amalan-amalan sunnah, serta pada saat yang sama menjauhi dosa-dosa
besar dan kecil.
Terhadap golongan pertama (zalimun linafsihi),
Syekh Nawawi memberikan definisi bahwa golongan ini ialah hamba-hambaNya yang
dosanya lebih banyak ketimbang perbuatan baiknya. Golongan kedua, yaitu
muqtashid, memiliki definisi bahwa orang yang perbuatan baik sebanding dengan
perbuatan buruk. Terakhir, golongan saabiq bil khairaat, ialah hamba-hambaNya
yang senantiasa bersabar dalam ketaatan serta memprioritaskan kebaikan.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhaajul ‘Abidiin, kelompok zalim
terhadap diri sendiri adalah kelompok yang paling merugi karena dahulu semasa
di dunia, mereka banyak memperturutkan hawa nafsu, berbuat dosa pada Allah dan
sesama serta enggan bertobat. Sedangkan
golongan kedua, karena antara perbuatan baik dan dosanya seimbang, maka hak
Allah sepenuhnya, apakah ia masuk surga atau dicampakkan ke dalam neraka.
Sedangkan golongan ketiga, Allah Swt. akan memberikan sebaik-baiknya ganjaran,
sesuai dengan ayat selanjutnya dalam surah yang senada.
Mengapa golongan zhalim
linafsihi lebih didahulukan daripada dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sabiqun bil-khairat),
padahal kelompok zhalim linafsihi merupakan
tingkatan Muslim yang terendah dari tiga golongan yang ada? Sebagian ulama
berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputusasaan dari
rahmat Allah Swt., dan golongan sabiqun bil khairat
tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Apalagi pada kalimat sabiqun bil khairat diikuti kalimat bi idznillaah yang berarti
semangat melakukan amal saleh semata-mata karena rahmat dan kehendak Allah Swt.
Yahya bin Muadz berkata, “Manusia terbagi ke
dalam tiga kelompok; (1) Orang yang lebih sibuk dengan akhirat daripada dunia;
(2) Orang yang lebih sibuk dengan dunia daripada akhirat; (3) Orang yang sibuk
dengan keduanya sekaligus. Kelompok pertama orang-orang sukses, kelompok kedua
orang-orang celaka, dan kelompok ketiga
orang-orang yang dalam kondisi kritis (Shifatu Ash-Shofwah, Jilid IV
hal.93).
Dalam buku Waahatu Al-Iman, Abdul Hamid
Al-Bilali (1987) mengungkapkan bahwa kelompok pertama adalah orang-orang yang
obsesi hidupnya didominasi oleh akhirat. Mereka bekerja di dunia selalu dengan
kacamata akhirat. Mereka tahu apa saja yang ada di dunia adalah sarana yang
diciptakan Allah Swt. untuk membantu manusia untuk merealisasikan tujuan
penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah Swt. (QS Adz-Dzariyat: 56).
Mereka memperlakukan dunia sebagai sarana dan meletakannya di genggaman mereka.
Mereka mengendalikan dunia, supaya tidak dikendalikan dunia. Mereka tidak
menjauhkan diri dari dunia dan mengisolasi diri dari kesibukan dunia karena
mereka tahu bahwa tugas mereka adalah memperbaiki diri dan orang lain, serta
memanfaatkan seluruh potensi dunia untuk kepentingan akhirat.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang rasa
cintanya kepada dunia begitu menguasai jiwa mereka, hingga melupakan akhirat.
Mereka mengira dunia itu segala-galanya. Mereka tidak memahami bahwa dunia
adalah sarana untuk membantu meraih kesuksesan di akhirat. Yang lebih parah
lagi meraka memahami dunia sebagai tujuan akhir penciptaan manusia, sehingga
menjadikan dunia sebagai tuhan selain Allah Swt. Mereka meletakkan dunia di
dalam hati, dan menghabiskan seluruh umurnya untuk dunia. Harta, wanita, tahta
adalah tujuan hidup mereka.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang tidak
jelas statusnya. Mereka tidak mau masuk kelompok pertama atau kelompok kedua.
Pada saat yang sama mereka ingin mendapatkan sebagian karakteristik kelompok
pertama dan sebagian karakteristik kelompok kedua. Sekali waktu mereka menyembah
Allah Swt., dan pada waktu yang lain mereka menyembah selain Allah. Seolah-olah
mereka sedang berputar-putar di pinggir jurang sebagaimana firman Allah Swt.,
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah
Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia
dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke
belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian
yang nyata” (QS Al-Hajj: 11).
Sebagai Mukmin yang senantiasa merindukan surga
dan terhindar dari siksa neraka, tentu kita berusaha untuk menjadi Mukmin yang
senantiasa sami’na wa atha’na ketika mendengar seruan Allah Swt. Untuk menjadi
Mukmin yang selalu bersegera dalam melaksanakan kebaikan (sabiqun bil
khairat), tentu kita harus membiasakan diri untuk tidak menunda-nunda
setiap kebaikan atau amal shaleh yang ada di hadapan kita. Bagi Mukmin yang membiasakan
diri shalat berjamaah di masjid, akan merasa rugi dan bersalah apabila mereka
terlambat memenuhi seruan adzan lantaran kesibukan yang bersifat duniawi. Oleh karena
itu, mari kita berlomba-lomba dan bersegera melaksanakan setiap kebaikan dengan
mengharap ridha Allah Swt. Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Yang
dimaksud dengan orang yang Menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih
banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang
yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan
orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang
kebaikannya Amat banyak dan Amat jarang berbuat kesalahan.
0 comments:
Posting Komentar