• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Melatih Anak Gemar Shalat

27 Mar 2013 1 comments



Ajarilah anak-anakmu shalat manakala telah dapat membedakan kanan dan kiri (HR Thabrani).
Anak adalah amanah Allah yang sangat berharga. Karena anak pula, orangtua dituntut untuk mendidiknya sejak ia masih dalam kandungan ibunya sampai ia dewasa. Kenapa demikian? Sebab, setiap anak yang baru lahir selalu dalam keadaan suci (fitrah). Maka, saat kembali nanti kepada Sang Pemiliknya Allah Swt harus suci pula, tanpa noda dan dosa. Karena itulah pendidikan terhadap anak (tarbiyatul aulad) dalam pandangan Islam adalah wajib hukumnya. Sesibuk apapun pekerjaan kita, pendidikan anak-anak kita tak boleh terbengkalai.
Salah satu bentuk pendidikan itu adalah shalat. Shalat adalah salah satu pilar aqidah dan akhlaq Islam yang sangat mendasar. Karena itu, ia harus senantiasa dihidupkan, dikokohkan, dan ditumbuhsuburkan dalam tiap-tiap keluarga Muslim. Nabi Saw. bersabda, “Terangilah rumah-rumah kalian dengan shalat dan tilawah Al-Qur`an.”
Nasehat di atas sudah barang tentu bukan sekadar anjuran belaka, tapi mengandung perintah kepada kita, bahwa para kepala keluarga Muslim berkewajiban menegakkan budaya shalat dan bacaan Al-Qur`an di dalam tiap-tiap rumahtangga mereka. Karena kekuatan rumahtangga seseorang sangat ditentukan oleh kedua faktor itu. Selain, bahwa shalat dan tilawah Al-Qur`an merupakan refleksi dari kekuatan aqidah seseorang.
Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Allah Swt., tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di dalam kebaikan.
Kita tentunya tidak bisa mengatakan seseorang aqidahnya baik hanya melihat dia melakukan shalat dan membaca Al-Qur`an sekali waktu, alias tidak rutin. Dalam konteks keluarga, penegakan budaya shalat dan membaca Al-Qur`an yang dimaksud, adalah kebiasaan yang melekat kuat dalam diri seluruh anggota keluarga. Hingga kedua ajaran itu menjadi sesuatu yang inheren dan hidup dalam sebuah keluarga.
Ini menjadi alasan kuat, kenapa Islam sejak awal memerintahkan kedua ajaran itu, khususnya shalat, wajib disosialisasikan pada anak-anak kita sedini mungkin. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasulullah Saw. biasa menangani sendiri dalam mengajari anak-anak mengenai hal-hal yang mereka perlukan dalam mengerjakan shalat” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i).
Mengajarkan anak-anak shalat memang tidak dengan cara indoktrinasi. Kita perlu menuntut mereka dengan penuh kesabaran dan ketekunan, yakni dengan cara pembiasaan. Karena menumbuhkan perilaku shalat pada anak-anak akan efektif lewat cara pembiasaan, maka seyogyanya para orangtua memberikan qudwah (teladan) sebagai penegak shalat yang baik di mata anak-anak mereka. Walaupun dengan cara ini pun tidak dijamin anak-anak akan rajin melakukan shalat. Sampai pada tahap usia tertentu, di mana anak tetap mbalelo malas mengerjakan shalat, tindakan lebih tegas, misalkan memukul, diperbolehkan dalam Islam. Namun tetap dengan cara tidak menyakiti fisik anak.
“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat di kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya di kala mereka berusia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidurnya” (HR Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan shahih atau shahih).
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa usia lima sampai tujuh tahun merupakan periode pembiasaan, pemahaman, tanpa sanksi. Pengenalan shalat sudah bisa dilakukan pada anak usia tiga tahun. Walaupun dia naik-naik ke punggung kita, jangan dimarahi. Sebab, yang diharapkan adalah anak mengetahui dan biasa terhadap gerakan-gerakan shalat. Kalau dimarahi, nanti yang terkesan dari shalat itu cuma ada omelan. Sedangkan usia tujuh sampai sepuluh tahun merupakan pembiasaan dan sanksi. Itu merupakan persiapan di mana anak sudah memasuki usia baligh.
Para ahli psikologi anak bahkan menyarankan agar para orangtua mulai mengajarkan shalat kepada anak-anaknya sejak awal, nol tahun. Di sinilah orangtua berperan. Nol sampai enam tahun merupakan masa perkembangan anak yang sangat penting. Di sinilah pengenalan agama dilakukan. Misalnya selagi bayi dan si ibu mau shalat, anak diajak bicara. ”Duduk sini dulu, mama mau shalat.”
Begitu seterusnya hingga anak bisa bicara dan berjalan. Bila mencapai tahap berjalan, ibu perlu menyiapkan diri dengan pakaian shalat dan waktunya. Bila anak bertanya tentang tujuan shalat, orangtua perlu menjelaskan bahwa shalat adalah kewajiban bagi setiap Muslim, sebagai wujud pengabdian dan ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena Allah Swt. telah memberi nikmat lewat rezeki yang halal.
Anak-anak rajin shalat, penurut, serta giat belajar, dan giat membantu orangtua, tentu menjadi dambaan para orangtua. Tapi masalahnya, bagaimana cara menumbuhkan sifat dan perilaku positif di atas pada anak-anak kita? Di bawah ini sedikit catatan, mudah-mudahan bisa menjadi pedoman praktis sederhana untuk melatih anak-anak agar rajin shalat.
Pertama, tunjukkan di mata anak-anak kita, bahwa kita sebagai orangtua yang baik di mata mereka, khususnya dalam menegakkan budaya shalat. Artinya, sedapat mungkin kita melaksanakan shalat pada awal waktu dan berjamaah di masjid. Adalah kebiasaan positif, sesering mungkin anak kita bawa ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah, walaupun mungkin mereka mempersepsikan masjid sebagai tempat bermain.
Memang patut kita sesali bila ada pengurus masjid yang terlalu berlebihan menindak anak-anak yang kedapatan bercanda di dalam masjid. Sampai-sampai ada yang mengusirnya ke luar masjid. Seolah-olah tidak ada cara lain untuk menertibkan anak-anak selama berada di masjid. Padahal akan lebih baik bila anak-anak betah berlama-lama di masjid ketimbang di depan televisi. Di sinilah dituntut kesabaran kita, para orangtua dan para pengurus masjid.
Dari Jabir bin Samurah ra, ujarnya, “Saya shalat Zhuhur bersama Rasulullah saw, kemudian beliau pula ke keluarganya dan saya pun pulang bersamanya. Dua orang anak kecil menghadang beliau. Dan Rasulullah saw mengusap pipi mereka seorang demi seorang.” Jabir berkata lagi, “Adapun saya sendiri beliau usap pipi saya dan saya merasakan tangan beliau dingin dan harum baunya, seolah-olah baru keluar dari celupan minyak wangi” (HR Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw menyambut dengan baik dan bersikap penuh lemah-lembut kepada anak-anak yang turut shalat di masjid. Jabir bin Samurah adalah salah seorang dari anak sahabat yang diperlakukan dengan penuh kelembutan oleh Rasulullah saw. Sehingga Jabir merasakan lembutnya usapan tangan Rasulullah saw yang sejuk dan sangat harum.
Riwayat di atas menceritakan, betapa para sahabat Rasul giat melatih anak-anak mereka untuk mencintai masjid dengan cara membiasakan mereka melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang diimami Rasulullah Saw. Dengan cara memberikan latihan-latihan praktis itulah anak-anak akan gemar melakukan amal-amal Islami.
Kedua, hormati waktu-waktu Islam dan nilai-nilainya dalam rumah kita. Misalnya, kita akan mematikan tivi atau tape-recorder pada saat adzan berkumandang, terutama saat adzan Maghrib dan ‘Isya. Tidak mengumandangkan suara-suara lain di dalam rumah kita, selain bacaan Al-Qur`an, nasyid Islami, atau lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Ketiga, sesekali bentuk jamaah shalat keluarga, bisa dipimpin oleh ibu, atau sekali-kali dipimpin ayah. Anak-anak kita tugaskan secara bergantian, yang bertugas menggelar tikar, petugas adzan/iqomat, sebagai imam, dan petugas kultum (taushiyah), dilakukan secara bergiliran.
Kiat ini pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits disebutkan, Anas bin Malik mengatakan, “Adalah Rasulullah Saw bergaul dengan kami hingga ia mengatakan kepada kami, ‘Hai Aba Umair sedang apa burung kecil itu?’ Kami menggelar tikar lalu beliau shalat dan membariskan kami di belakangnya” (HR. Ahmad).
Keempat, biasakan anak-anak bangun pagi untuk melakukan shalat subuh. Kalau perlu rangsang mereka dengan hadiah. Yang paling pagi bangun, mereka kita beri hadiah menarik. Atau, mereka yang catatan shalatnya baik, akan diberikan penghargaan menarik. Dengan begitu, perlu dibuat sistem evaluasi sederhana yang bisa diaplikasi dengan mudah dan dilakukan secara kontinyu.
Jangan terlalu khawatir kalau motivasi shalat anak-anak karena iming-iming hadiah, bukan karena Allah. Sebab, pada usia di bawah sepuluh tahun, kebanyakan anak-anak masih sulit menangkap hakikat ke-Tuhanan yang ghaib. Pada waktunya, ketika kita terus menerus memberikan pendidikan Islam yang benar kepada anak-anak kita, maka mereka akan dengan sendirinya memahami hakikat Allah, dan mereka tak perlu lagi diperintah untuk melakukan shalat.
Kelima, jika perlu kita membuat perlombaan tentang pengetahuan shalat dengan hadiah-hadiah menarik, dengan melibatkan anak-anak para tetangga kita. Atau dibuat pengajian rutin keluarga khusus untuk anak-anak, utamanya memfokuskan pada bahasan tentang pentingnya pendidikan shalat bagi anak-anak sejak dini. Tempatnya bisa digilir, sesuai dengan kesepakatan. Wallahu a’lam bishshawab.

Mengasihi Tetangga

25 Mar 2013 0 comments



Pak Amir terkejut begitu tiba di rumahnya. Maklum dia bersama keluarganya telah meninggalkan rumahnya selama tiga malam berturut-turut. Pasal keterkejutannya adalah setelah membuka pintu rumahnya Pak Amir mendapatkan seluruh barang-barang elektronik miliknya telah dinaikkan ke atas meja. Begitupun kasur-kasur dan bantal. Sehingga banjir yang melanda rumahnya dua hari lalu, tidak sampai merusak barang-barang elektronik maupun kasur-kasurnya. Setelah berpikir lama, ia memastikan bahwa tetangga sebelah rumahnyalah yang berbuat demikian. Karena hanya tetangga sebelahnya yang kerap dia titipkan kunci cadangan pintu depan rumahnya.
Penggal cerita di atas menyiratkan hubungan yang baik antara Pak Amir dengan para tetangganya. Ternyata rasa kebersamaan yang tumbuh di antara para warga di mana Pak Amir tinggal, telah melahirkan rasa tanggungjawab pemeliharaaan secara bersama. Tanpa dipesan dan diberitahu, tetangga Pak Amir telah berinisiatif menyelamatkan barang-barang berharga milik Pak Amir dari ancaman banjir.
Ini merupakan salah satu buah dari hubungan bertetangga yang terpelihara dengan baik. Suatu sunatullah yang akan tetap berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa yang berbuat baik pada orang lain, pasti dia akan mendapatkan kebaikan pula. Bahkan mungkin kebaikan yang dia dapat, jauh lebih banyak dari apa yang pernah dia lakukan. Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula” (QS Ar-Rahman: 60).
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa mereka tolak. Manusia toh, bukan semata-mata personal-being (makhluk individu), tapi juga merupakan social-being (makhluk sosial). Seseorang tidak bisa hidup secara sendirian atau menyendiri. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama. Ini merupakan hukum sosial. Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Allah Swt. berfirman, “Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya” (QS Al-Maidah: 2).
Dalam menumbuhkan dan mensosialisasikan budaya kebaikan dan taqwa itu, tetangga merupakan objek yang patut didahulukan (setelah anggota keluarga tentunya). Ini hirarki penyebaran kebaikan sebagaimana diarahkan Al-Qur’an.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur itu suatu kebaikan. Akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta” (QS Al-Baqarah: 177).
Bahwa urutan kebaikan menurut ayat di atas adalah, setelah beriman (dalam pengertian menyeluruh), maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang sehat. Jadi Islam menginginkan budaya kesalehan itu tidak terbatas pada sekup personal (pribadi), tapi juga terciptanya kesalehan secara sosial. Maka, dalam konteks ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangga menjadi sangat penting dan wajib.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Ra., Nabi Saw. bersabda, “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman.” Seseorang lalu bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya” (HR Bukhari).
Ada hal menarik dari redaksi hadis ini, Rasulullah Saw. bersumpah sampai tiga kali dengan nama Allah dan vonis yang sangat keras "tidak beriman" tatkala beliau mengungkapkan esensi hidup bertetangga. Rasulullah Saw. tidak pernah mengulang-ulang sebuah pernyataan, kecuali pernyatan tersebut menyangkut sesuatu yang penting. Dengan redaksi seperti ini tergambar bahwa hubungan bertetangga menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Menurut Muhammad Abdurrazak Mahili kata “tetangga” dalam hadits ini dapat dinisbatkan pada empat kelompok orang. Pertama, orang yang serumah dengan kita. Kedua, orang yang bersebelahan dengan tempat tinggal kita. Ketiga, penghuni empat puluh rumah dari semua sisi yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Keempat, orang yang tinggal senegara dengan kita.
Mengapa Rasulullah Saw. mengajurkan umatnya untuk berbuat baik pada tetangga dan tidak menyakinya sedikit pun? Dalam Islam, akhlak mulia adalah kunci pertama dan utama. Ia adalah bukti keimanan yang harus terwujud dalam kehidupan seorang Muslim. Memuliakan tetangga adalah salah satu di antaranya.
Jadi, memuliakan tetangga adalah perwujudan keimanan dan sebentuk akhlak mulia. Rasulullah Saw. mengungkapkan bahwa Jibril selalu memerintahkannya untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai beliau mengira para tetangga termasuk salah satu ahli waris. Ada kisah pula tentang seorang wanita ahli ibadah, tapi ia divonis oleh Rasul sebagai ahli neraka, lantaran ia selalu menyakiti tetangganya.
Keterangan-keterangan tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa kebaikan tidak sekadar dengan Allah (habluminallah), tapi harus mencakup pula hubungan dengan sesama; tetangga, dalam konteks ini. Karena itu, Rasul Saw. memerintahkan Abu Dzar (dan istrinya) agar saat memasak memperbanyak kuahnya sehingga tetangga dapat ikut merasakannya. Rasul pun menyatakan tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya meringis kelaparan.
Anjuran untuk menghormati tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya jika dia benar-benar butuh pertolongan kita. Rasululullah saw misalnya, melarang kita berbuat gibah (menjelek-jelekkan kehormatan) pada tetangga kita. Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?” Beliau menjawab, “Engkau menyebut sesuatu yang tidak disukai dari saudaramu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Tatkala kita berbuat baik pada tetangga, maka tak jarang apapun akan dilakukan tetangga kita sebagai wujud solidaritas sejati mereka. Mungkin kita pernah dengar cerita, ada orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan barang-barang milik tetangganya yang tengah dirampok atau dijarah kawanan maling. Solidaritas yang tulus seorang teman atau tetangga, terkadang sulit dipahami dengan logika. Bahwa sekali saja kita berbuat baik pada orang lain misalnya, maka boleh jadi dia akan berbuat baik berlipat kali dari kebaikan yang pernah kita lakukan kepadanya. Inilah wujud solidaritas sejati yang hanya mungkin lahir dari perbuatan baik yang tulus.
Namun sebaliknya, sekali kita cuek atau tak peduli dengan keadaan tetangga kita, maka jangan harap rumah dan anak-anak kita bakalan dijamin aman dari musibah apapun. Tak jarang sebuah keluarga bingung, tatkala harus meninggalkan rumahnya. Lantaran di rumah ada anak-anak kecil, namun pembantu sedang pulang kampung. Sementara saudara atau orang yang diandalkan bisa menjaga anak-anak mereka, juga tidak ada. Biasanya kasus seperti ini sering dihadapi oleh pasangan suami-istri yang sama-sama aktif di luar. Mereka jadi serba salah. Mau dititipkan ke tetangga tidak berani. Apalagi minta tetangga untuk menjaga anak-anak mereka. Lantaran selama ini pasangan suami-istri itu tidak akrab dengan para tetangga mereka.
Dari sini bisa pahami, betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga. Yang jelas, berbuat baik pada tetangga jauh lebih aman dan lebih murah biayanya ketimbang harus memelihara centeng atau satpam misalnya. Ini kalau kita mau hitung-hitungan dari tinjauan security-cost (anggaran keamanan). Berbuat baik pada tetangga bukan hanya melahirkan rasa sayang dan solidaritas tetangga kita. Lebih dari itu sikap dan perilaku kita yang ramah dan penyantun pada setiap tetangga, akan melahirkan rasa kebersamaan yang kuat. Yakni rasa sama-sama memiliki, rasa sama-sama menjaga, dan rasa sama-sama sepenanggungan terhadap apa yang kita miliki, di antara seluruh anggota warga di mana kita tinggal.
Sebaliknya, sikap tak peduli terhadap tetangga, bukan hanya akan mempersempit dan mempersulit aktifitas kehidupan kita. Namun sikap buruk itu merupakan indikasi tidak berimannya seseorang pada Allah Swt. dan Yaumil Akhir.
Tak heran jika dalam salah sebuah hadist, Rasulullah saw mewanti-wanti, “Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia menghormati tetangganya” (HR Bukhori).
Menyambung hadits di atas, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam salah satu fatwanya mengatakan, “Tidak beriman seseorang yang tidak mengayomi dan memberikan rasa aman pada tetangganya.” Karena tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya. Wallahu a’lam bishshawab.

Tuntutlah Ilmu Meski ke Negeri Cina

22 Mar 2013 0 comments

“Tuntutlah ilmu meski harus ke negeri Cina.” Kebanyakan ulama menilai hadits ini lemah (dha’if) atau palsu (maudhu’). Namun demikian, seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini bukan untuk menonjolkan keutamaan negeri Cina dan juga tidak untuk menunjukkan kemuliaan masyarakat Cina. Karena maksud dari “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina” adalah hanya sekedar untuk memotivasi agar umat Islam giat dalam menuntut ilmu, meskipun harus ke negeri Cina yang letaknya sangat jauh. Di samping itu, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina” ingin menegaskan bahwa menuntut ilmu merupakan hal yang sangat penting, sehingga kendala jarak – dan itu berimplikasi pada kendala dana -- tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak menuntut ilmu.
Dalam konteks kekinian, pertanyaan yang muncul adalah, haruskah kita ke negeri Cina atau negeri-negeri lainnya untuk menuntut ilmu? Seandainya pemerintah -- sejak Indonesia merdeka hingga sekarang -- memberikan perhatian yang besar bagi terciptanya sistem pendidikan yang berkualitas, mungkin rakyat Indonesia cukup menimba ilmu di negeri sendiri. Menuntut ilmu di luar negeri hanyalah untuk memenuhi tuntutan spesialisasi atau keahlian di bidang tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan di dalam negeri.
Tapi mengapa orang Indonesia, terutama mereka yang punya cukup dana, lebih suka menyekolahkan anaknya ke luar negeri? Jawabnya, karena peningkatan kualitas pendidikan di dalam negeri lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan kualitas pendidikan di luar negeri, apalagi di negara-negara maju. Indonesia belum mampu melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang dilakukan oleh Jepang, Korea, dan Thailand. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya sistem pendidikan nasional yang terintegrasi.
Sebagai contoh kecil misalnya betapa lemahnya konsep pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris yang diterapkan di sekolah-sekolah. Pelajaran Bahasa Inggris sudah diajarkan sejak kelas 7 SMP hingga kelas 12 SMA. Setelah mendapatkan pelajaran selama enam tahun, setiap pelajar yang lulus SMA mestinya dapat menguasai bahasa Inggris secara lisan dan tulisan. Namun, pada kenyataannya, hampir tidak ditemukan lulusan SMA yang mahir berbahasa Inggris lisan dan tulisan, kecuali mereka yang secara khusus belajar bahasa Inggris di lembaga-lembaga yang menyelenggarakan kursus bahasa internasional tersebut.
Kita berarap, pemerintah, baik pusat maupun daerah dapat berkonsentrasi pada perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan nasional sejak saat ini. Anak-anak Indonesia di masa depan akan menghadapi zaman yang berbeda dengan zaman kita sekarang ini. Sangat mungkin mereka akan menghadapi zaman yang lebih canggih dengan tantangan yang makin kompleks daripada zaman sekarang. Mereka memerlukan keahlian dan keterampilan yang lebih hebat untuk mengelola negara dan bangsa ini.
Oleh karena itu, camkanlah pesan Rasulullah Saw. “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anakmu dan keluargamu dan didiklah mereka” (HR Abdur Razzaq dan Said bin Manshur). Secara tekstual, hadits ini memerintahkan para orangtua agar menanamkan kebaikan kepada anak-anak dan keluarganya. Tapi, secara kontekstual, pemerintah sebagai penanggung jawab negara punya kewajiban untuk menanamkan kebaikan kepada rakyatnya. Dengan cara ini, kita berharap rakyat Indonesia memiliki akhlak yang mulia yang dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu a’lam bishshawab.

Agar Selalu Dijaga Allah

19 Mar 2013 0 comments


“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yunus: 107).
Ayat ini merupakan klimaks dari rangkaian ayat-ayat sebelumnya, yaitu QS Yunus: 104-106 yang membicarakan tentang Kemahakuasaan Allah. Rasulullah Saw. diperintahkan untuk menyampaikan risalah ini kepada umat manusia, khususnya kepada kaum musyrikin Mekkah yang pada waktu itu masih menyembah berhala dan patung. Mereka masih ragu dengan Kemahakuasaan Allah. Mereka masih menganggap bahwa baik dan buruk, manfaat dan madharat yang menimpa mereka bukan ditentukan oleh Allah. Meskipun pada dasarnya mereka percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur`an,
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka menjawab, ‘Allah’. Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya? Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku’. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri’” (QS Az-Zumar: 38)
Di zaman sekarang pun, orang-orang yang seperti digambarkan di atas masih ada. Mereka percaya bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta, termasuk yang menciptakan diri mereka sendiri. Akan tetapi, mereka pun masih mempercayai tuhan-tuhan lain – apakah itu benda mati atau benda hidup – sebagai kekuatan yang setara dengan kekuatan Allah Swt. Mereka mendatangi dukun, paranormal, kuburan, dan tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib untuk mendatangkan manfaat kepada dirinya atau mendatangkan madharat kepada orang lain yang dibencinya.
Mereka masih ragu bahwa Allah-lah sebagai satu-satunya Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak dan tidak terbatas. Padahal di “Tangan” Allah-lah nasib seluruh manusia. Baik dan buruk, manfaat dan madharat ada dalam “Genggaman”-Nya.
Manusia selalu ingin agar nasib baik selalu berpihak kepadanya. Kesuksesan selalu menyertai dalam setiap langkahnya. Kemudahan senantiasa mewarnai setiap aktifitasnya. Sebaliknya, tak satu pun manusia yang mengharapkan keburukan (madharat) menimpa dirinya. Bagi Mukmin yang murni imannya, yang selalu didamba dan dirindukan adalah penjagaan Allah. Karena, bila Allah selalu menjaganya, pasti setiap gerak langkah hidupnya senantiasa dalam lindungan Allah Swt.
Ketika menjelaskan tentang Penjagaan Allah, Abu Abbas Abdillah bin Abbas Ra. berkata, “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah Saw., lalu beliau bersabda, ‘Nak, Aku hendak mengajarimu beberapa kata; jagalah Allah, maka Ia akan menjagamu; jagalah Allah niscaya engkau dapatkan Ia mengokohkanmu; bila engkau meminta, mintalah kepada Allah; bila engkau memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka mereka tidak akan bisa memberi manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan jika seluruh umat ini berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memudharatkanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah terhadapmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran catatan telah ditutup’” (HR Thirmidzi dan Imam Ahmad).
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Jagalah Allah, niscaya kaudapatkan Dia selalu berada di hadapanmu. Kenalilah Allah kala senang, maka Dia akan mengenalimu di saat kau susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang akan menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan bersama kesabaran, kelapangan bersama kesulitan, dan bersama kesukaran ada kemudahan” (HR Imam Bukhari).
Hadits ini melengkapi ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits lainnya yang mengajarkan tentang tauhidullah (Pengesaan Allah), baik secara Uluhiyah (Allah sebagai Ilah), Rububiyah (Allah sebagai Rabb), dan Mulkiyah (Allah sebagai Raja). Nasehat yang penuh makna itu disampaikan Rasulullah Saw. kepada Ibnu Abbas yang pada waktu itu baru berusia sekitar 10 tahun. Rasulullah Saw. tahu betul bahwa Ibnu Abbas anak yang cerdas, sehingga beliau sangat menginginkan kelak Ibnu Abbas menjadi seorang ‘alim yang berperan dalam meluruskan aqidah umat.
Dalam pemahamannya yang lebih luas, hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Saw. mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menanamkan aqidah yang lurus dan benar kepada kaum Muslimin, khususnya para pemuda Islam. Keinginan itu terpancar dijelaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya.
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS At-Taubah: 128).
Nasehat Rasulullah Saw. kepada Ibnu Abbas adalah nasehat kepada kita juga, umat Islam pada umumnya. Sedikitnya ada dua nasehat yang disampaikan Rasulullah Saw. kepada Ibnu Abbas Ra. Pertama, menjaga Allah. Yang dimaksud dengan menjaga Allah dalam hadits ini tentu saja bukan menjaga sesuatu lantaran sesuatu itu lemah tak berdaya sehingga perlu mendapat penjagaan dari orang lain. Yang diperintahkan Rasulullah kepada Ibnu Abbas Ra. dan kepada kita semua adalah menjaga hukum-hukum Allah Swt. dengan cara mempelajarinya, memahaminya, melaksanakannya, dan mendakwahkannya kepada orang lain.
Menjaga Allah berarti melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan cara ini, Allah Swt. akan menjaga diri, keluarga, agama, dan urusan dunia kita. Karena semua hukum dan ketentuan Allah diturunkan untuk menjaga keharmonisan hidup manusia dan seluruh makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini.
Menjaga Allah berarti melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan melaksanakan hal tersebut, maka akan muncul ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman hidup. Seseorang tidak khawatir mendapat perlakuan zalim dari orang lain, lantaran keadilan ditegakkan dan hukum dijunjung tinggi.
Menjaga Allah berarti menyayangi sesama. Memberikan zakat, infaq, dan sedekah untuk menanggulangi kemiskinan, memberikan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi fakir miskin dan anak-anak yatim, memberdayakan ekonomi umat, dan membiayai jihad fii sabilillah.
Menjaga Allah berarti meninggalkan dan memerangi judi, narkoba, dan zina. Menolak segala bentuk kezaliman. Menolak dan memerangi korupsi. Mengubah setiap kemunkaran yang terlihat di sekeiling kita dengan tangan, lidah, dan hati.
Kalau kita telah menjaga hukum-hukum Allah, maka perhatikanlah bagaimana Allah Swt. menjaga kita, menjaga aqidah kita dari kemusyrikan, menjaga kita dari kesesatan dan penyimpangan. Menjaga kita dari kejahatan syetan jin dan manusia. Jaminan Allah itu ditegaskan di dalam Al-Qur`an,
 “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah…” (QS Ar-Ra’d: 11).
Sedangkan jaminan penjagaan Allah kepada keluarga, lantaran kita menjaga hukum dan ketentuan Allah tertera di dalam Al-Qur`an,
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” (QS Al-Kahfi: 82).
Kedua, memohon dan meminta apa pun hanya kepada Allah Swt. saja. Nasehat ini merupakan penegasan dari apa yang telah kita (umat Islam) ucapkan dalam shalatnya. Iyyaaka na’budi wa iyyaaka nasta’in. Allah-lah yang menurunkan rezki dari langit dan bumi, yang memberikan pertolongan, yang memberikan kemudahan, yang memberikan semua karunia kepada manusia dan seluruh makhluk yang ada jagat raya ini. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali meminta dan menyandarkan bantuan kepada selain Allah. Janganlah berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepada selain Allah. Dan janganlah ruku dan sujud, kecuali hanya kepada Allah semata. Allah Swt. berfirman,
 “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (QS Al-Mukmin: 60).
Bila Allah Swt. memberikan penjagaan kepada seseorang dan selalu berpihak kepadanya, maka kekuatan apa lagi yang dapat menandingi Kekuatan Allah. Mukmin yang merasa selalu dijaga oleh Allah Swt. akan berjalan di muka bumi dengan penuh kemenangan. Kesulitan adalah pintu kemudahan. Kesedihan pintu kebahagiaan. Kegagalan pintu kesuksesan. Wallahu a’lam bishshawab.

Hidayah Allah

14 Mar 2013 0 comments

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya” (QS Al-Baqarah: 272
Pada awal ayat ini Allah Swt. berfirman, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” Pada ayat ini Allah Swt. menerangkan kepada kita tentang masalah hati, khususnya tentang masalah masuk atau tidaknya hidayah Allah kepada hati seorang manusia. Ketika seseorang mendapatkan hidayah dari Allah Swt. maupun tetap berada pada kesesatan, hal bukan berada dalam kekuasaan manusia, akan tetapi semata-mata hak prerogatif Allah Swt. Sampai-sampai manusia yang paling mulia sekalipun, yang dalam hal ini adalah Rasulullah Saw., tidak mempunyai wewenang untuk memberikan hidayah kepada manusia.
Yang dimaksud hidayah di sini adalah hidayatut taufiq (petunjuk yang bisa menjadikan seseorang beriman kepada Allah Swt.), bukan hidayah yang artinya al-irsyad wal bayan (memberikan penjelasan tentang Islam). Kalau hidayah yang artinya adalah memberikan penjelasan tentang Islam kepada orang lain, hal itu dimiliki oleh Rasulullah Saw., sebagaimana juga kita memilikinya.
Pemahaman yang benar tentang masalah hidayah ini penting, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Kalau kita salah dalam memahaminya, mungkin kita menyangka bahwa ada kontradiksi antara ayat ini dengan ayat lain, yaitu ketika Allah Swt. berfirman,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS Asy-Syura: 52).
Jika pada ayat di atas Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah Saw. (dan umat Islam semuanya) bisa memberikan hidayah kepada seseorang, pada ayat yang lain Allah menegaskan bahwa manusia tidak bisa memberikan hidaya, sebagainya yang terdapat pada firman Allah,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash: 56).
Orang yang tidak memahami arti hidayah akan menyangka bahwa di dalam Al-Qur’an ada kontradiksi antara ayat-ayatnya, karena pada QS Asy-Syura: 52 Allah Swt. mengatakan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”, sedangkan pada QS Al-Baqarah: 272 Allah Swt. menerangkan bahwa, “Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” Ini berarti, Rasulullah Saw. tidak bisa memberikan hidayah.
Perlu kita pahami bahwa hidayah yang Allah nafikan dari Rasulullah Saw. adalah hidayatut taufiq, yaitu hidayah yang menyebabkan seseorang beriman kepada Allah Swt. Hidayatut taufiq ini semata-mata milik Allah Swt. saja. Jika ada orang yang suka berbuat maksiat, kemudian mendapatkan hidayah sehingga ia tidak lagi berbuat maksiat, hanyalah Allah yang bisa memberinya hidayah seperti itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh manusia sebagai seorang hamba, sekalipun ia hamba yang paling mulia seperti Rasulullah Saw., karena itu hanya dimiliki oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. amat menginginkan pamannya Abu Thalib mendapat hidayah, akan tetapi Allah Swt. menegaskan bahwa Abu Thalib tidak layak mendapat hidayah. Allah Swt. Maha Mengetahui yang tampak dan yang tidak tampak.
Oleh karena itu, hanya kepada Allah-lah manusia seharusnya mohon hidayah. Dan agar mendapatkan hidayah dari Allah Swt., setiap Muslim harus benar-benar siap untuk ber-talaqi (menerima petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan ajaran Allah) hanya dari Allah Swt. saja. Jika seorang Muslim yang sekaligus juga seorang da’i telah memahami bahwa hidayah semata-mata dari Allah Swt., maka dalam dakwahnya ia tidak akan merasa merasa sempit dada jika dakwah yang dilaksanakannya menemui banyak rintangan. Sebaliknya, ketika dakwah yang disampaikannya mendapatkan sambutan yang antusias dari masyarakat, maka ia pun tidak akan ghurur (tertipu) dengan keberhasilannya itu.
Ketika setiap da’i memahami bahwa hidayah hanya ditangan Allah Swt., baik ketika orang yang didakwahi mendapatkan hidayah dengan menerima dakwahnya atau tidak mau menerima dakwahnya, ia akan tetap melaksanakan dakwahnya, karena ia paham bahwa dakwah itu sendiri merupakan ibadah, terlepas apakah orang yang didakwahinya mendapatkan hidayah atau tidak. Kalau hidayah itu diibaratkan cahaya matahari, maka tugas da’i adalah membukakan pintu dan jendela, agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Jadi, Muslim atau non-muslim yang kita dakwahi adalah aset pahala yang tidak boleh kita musuhi. Kalau obsesi kita dalam berdakwah adalah agar orang yang kita dakwahi harus beriman, tapi ternyata tetap kufur, maka hati kita pasti merasakan sesuatu yang tidak enak. Oleh karena itu, Allah Swt. pernah mengingatkan Rasulullah Saw. yang sedih karena dakwahnya kurang mendapat sambutan. Allah Swt. berfirman,
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman” (QS Asy-Syu’ara: 3).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang isnadnya berasal dari Ibnu Abbas Ra. dari Nabi Saw., dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan untuk tidak memberikan sedekah kepada orang-orang non-muslim sampai turunnya ayat ini. Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memberikan sedekah kepada setiap orang yang berhak menerimanya, baik Muslim maupun bukan Muslim.
Dari sini bisa kita lihat bahwa Islam tidak hanya melarang umatnya untuk memaksakan agamanya, lebih dari itu Allah Swt. memberikan toleransi kemanusiaan yang lebih besar lagi, yaitu kepedulian Islam kepada seluruh umat manusia, tidak hanya kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan toleransi yang besar, sepanjang orang tersebut tidak memerangi Islam.
Pemahaman seperti ini perlu ditekankan pada masyarakat kita, karena sebagian masyarakat kita khususnya orang non-muslim mempunyai persangkaan yang salah tentang Islam, sehingga mereka takut kalau Islam mendapatkan kemenangan dari Allah Swt., mereka akan ditelantarkan atau bahkan takut diusir. Padahal, ketakutan mereka itu tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Siapa pun yang memerlukan bantuan, Islam akan membantunya sepanjang orang itu tidak memusuhi Islam.
Kita sebagai Muslim harus juga memperhatikan ayat ini, agar kita tidak terjatuh pada sikap ekstrim. Di satu sisi ada seorang Muslim yang memahami wala’ wal baro’ (loyalitas dan antipati) secara berlebihan, sehingga tidak mau memberikan pertolongan kepada non-muslim yang memerlukan bantuan. Di sisi lain ada juga orang yang ekstrim karena dengan alasan kemanusiaan yang berlebihan, dia tetap bergaul bersama orang-orang non-muslim yang mengancam dan memerangi Islam.
Selanjutnya Allah mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya untuk kamu sendiri.” Artinya, ketika seorang Muslim taat kepada Allah dengan berinfak fii sabiilillah, hal itu bukan untuk menambah kekuasaan Allah, akan tetapi untuk kebaikan kita sendiri. Allah Swt. mengatakan, “Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.”
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.” Ketika umat Islam berinfak, itu harus benar-benar karena Allah Swt. Dan jika demikian, Allah pasti akan membalasnya. Jadi ketika berinfak, jangan sampai berinfak karena untuk kepentingan politik yang tidak didasari hukum Allah, karena Allah tidak akan memberikan pahala baginya.
Meski hidayah adalah hak prerogatif Allah Swt., akan tetapi sebab-sebab datangnya hidayah harus diupayakan. Setiap manusia harus berusaha untuk mendapatkan hidayatut taufiq dari Allah Swt. dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhkan larangan-Nya. Orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia sedang berupaya menumbuhkan hidayah yang telah ada di dalam dirinya. Wallahu a’lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto