• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Sekilas Gambaran Surga

27 Sep 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Bagi orang-orang yang cinta akhirat, kematian adalah akhir dari cobaan dan ujian dunia. Semua godaan syetan yang selalu mengajak kepada kemegahan dunia tak ada lagi. Tinggallah amal shaleh yang dilakukan di dunia telah menunggu dalam bentuk berbagai kenikmatan ukhrowi.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabb-nya” (QS Al-Bayyinah [98]: 7-8).
Ketika memasuki pintu surga, wajah para penghuni surga berubah menjadi lebih bersih dan indah. Tak ada cacat pada tubuhnya, meski ketika di dunia di antara mereka ada yang cacat. Mata mereka bersinar, meski ketika di dunia di antara mereka ada yang buta. Mereka semuanya sebaya dan muda, meski ketika di dunia di antara mereka ada yang wafat dalam usia tua.
“Penduduk surga akan masuk ke dalam surga dengan badan yang bersih dan bagus. Mata mereka seolah-olah memakai sipat, seperti layaknya pemuda berumur tiga puluh tiga tahun” (HR Ahmad).
“Rombongan pertama yang masuk surga, wajah mereka bagaikan bulan purnama. Rombongan berikutnya, wajah mereka bagaikan bintang bercahaya seperti mutiara yang paling terang di langit. Mereka tidak buang air seni, tidak buang air besar, tidak meludah, dan tidak keluar ingus. Sisir mereka dari emas. Bau mereka seharum minyak kesturi. Pedupaan mereka dari kayu uluwah. Istri-istri mereka para bidadari. Akhlak mereka sama. Tubuh mereka setinggi moyang mereka (Nabi Adam As.), yaitu enam puluh hasta” (HR Muslim).
Bergitu memasuki pintu surga, mereka sudah dapat melihat bangunan-bangunan serta istana-istana yang dibangun dengan batu bata yang terbuat dari emas dan perak. “Batu batanya terbuat dari emas dan perak, lantainya wangi minyak kesturi, kerikilnya terbuat dari mutiara dan permata, dan tanahnya wangi za’faron” (HR Thabrani).
Para penghafal Al-Qur`an yang masuk surga diperintahkan untuk membaca ayat yang pernah mereka hafal.
“Dikatakan kepada para penghafal Al-Qur`an, ‘Bacalah dan tinggikan suaramu. Kumandangkanlah Al-Qur`an sebagaimana kamu dahulu mengumandangkannya di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu di surga terletak pada akhir ayat yang kamu baca’” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Maka bergemalah suara bacaan Al-Qur`an secara tartil. Bersamaan dengan meningginya suara mereka, meninggi jugalah derajat mereka. Derajat mereka di surga akan terus meningkat sampai akhir ayat yang mereka hafal. Jarak antara derajat yang satu dengan yang lainnya bagaikan jarak antara langit dan bumi.
Di antara penghuni surga yang diangkat derajatnya, ada yang bertanya-tanya apa gerangan penyebab dari itu semua. Karena dia merasa tidak memiliki amalan khusus sehingga pantas baginya untuk mendapatkan balasan tersebut.
“Sesungguhnya akan didapati seseorang terangkat derajatnya di surga, dan ia bertanya-tanya, ‘Mengapa saya bisa begini?’ Maka dikatakanlah kepadanya, ‘Itu karena istighfar anakmu yang ditujukan untukmu’” (HR Ahmad).
Salah seorang penghuni surga yang mati syahid di medan pertempuran meminta kepada Allah Swt. agar dikembalikan ke dunia, sehingga ia dapat berperang di jalan Allah dan syahid berkali-kali. Dalam hadits qudsi,
“…Allah Swt. berfirman, ‘Mintalah dan bermohonlan.’ Orang itu berkata, ‘Ya Rabb, tidak ada yang aku pinta kecuali Engkau mengembalikan aku ke dunia untuk kembali berjihad hingga aku terbunuh di jalan-Mu sebanyak sepuluh kali.’ Ia mengatakan demikian setelah ia melihat kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah kepada orang yang mati syahid” (HR Muslim dan Ahmad).
Itulah sekilas gambaran tentang surga dengan segala kenikmatannya. Sudahkan kita merencanakan untuk menggapai kenikmatan abadi tersebut? Wallahu a’lam bishshawab.

Ujian Keimanan

26 Sep 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal
Allah Swt. menegaskan bahwa di dalam keimanan itu ada ujian. Maka, dengan menguji iman, kualitas ketaqwaan seseorang akan berbeda-beda. Semakin kokoh keimanan seseorang, semakin berat ujiannya. Ujian keimanan harus ada untuk mematangkan dan mengokohkan keimanan itu sendiri. Orang-orang Mukmin yang lulus dalam ujian keimanannya dan merasa tenang dengan keimanannya itu akan meningkat derajatnya di sisi Allah Swt. Dan Allah akan menambahkan keimanan kepada Mukmin tersebut.
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS Al-Fath [48]: 4).
Ujian keimanan pada dasarnya adalah ujian atas amal saleh. Karena untuk menguji kebenaran iman seseorang, Allah Swt. menggunakan parameter amal saleh. Ujian atas amal saleh bisa berasal dari dalam dan dari luar. Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Lai mengatakan, “Orang Mukmin senantiasa berada di antara lima ancaman berat, yaitu Mukmin yang mendengkinya, munafik yang membencinya, kafir yang memeranginya, syetan yang menyesatkannya, dan hanwa nafsu yang melawannya.”
Rasulullah Saw., “Mengatakan ada tiga hal yang merupakan pangkal kebinasaan, yaitu kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang kepada dirinya sendiri” (HR Muslim).
Ujian keimanan yang terberat adalah menghadapi sikap idealisme dan keputusasaan. Di antara Muslim, ketika berdakwah, ada yang tidak mau dan atau tidak sanggup menghadapi realitas kehidupan yang ada, sehingga mereka melakukan ‘uzlah (menyendiri). Dan di antara Muslim, ada juga yang tidak sabar menanti kemenengan yang dijanjikan Allah Swt., sehingga mereka berputus asa dalam berdakwah.
Maka, cukuplah bagi kita firman Allah Swt., “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.’ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik” (QS Al-A’raf [7]: 164-165).
Rintangan idealisme dan keputusasaan adalah dua dari sejumlah rintangan keimanan. Setiap Muslim harus senantiasa meningkatkan pemahaman keislamannnya, dan mulai menjadi orang pertama yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata. Hanya dengan membuktikan keimanan dalam bentuk amal nyata, setiap Muslim akan semakin dewasa dan matang dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan ujian dan cobaan. Wallahu a’lam bishshawab.

Teman Sejati

20 Sep 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (menyesal), seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku, seharusnya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia” (QS Al-Furqan [25]: 27-29).
Ayat di atas adalah ungkapan penyesalan seorang Muslim di hadapan Pengadilan Allah Swt. lantaran telah memilih teman akrab dari kalangan orang-orang fasik, munafik, dan kafir ketika di dunia. Penyesalan seperti itu tak ada manfaatnya, karena diungkapkan pada saat musim panen. Seandainya penyesalan itu disadari ketika musim tanam, maka setiap kita dapat langsung mengganti tanaman yang tak berguna dengan tanaman yang bermanfaat.
Dalam Islam, teman bukan sekedar kawan duduk yang tidak menentukan nasib kita di akhirat. Rasulullah Saw. membuat tamsil, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau membeli minyak wangi darinya. Kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harumnya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalau pun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk itu, Rasulullah Saw. memerintahkan memilih teman yang dapat mengingatkan kita kepada kehidupan akhirat. “Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya, maka perhatikan dengan siapa seseorang itu  berteman akrab” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat berikut; orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan bukan orang yang rakus terhadap dunia(Mukhtasar Minhajul Qashidin).

Satu Kata dan Perbuatan

6 Sep 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS Ash-Shaff: 2-3).

Ayat di atas sedang membicarakan orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan. Mungkin di antara mereka ada yang mengatakan A, tapi sesungguhnya dia tidak melakukannya sama sekali. Mereka berdusta, hanya karena ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Atau mereka mengatakan A, tapi sesungguhnya yang ia kerjakan adalah B, sesuatu yang bertentangan dengan A. Mengapa Allah Swt. murka kepada orang seperti itu?
Pertama, karena Allah sangat membenci orang-orang munafik. Rasulullah Saw. bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika berjanji, mengingkari, jika berkata, dusta, dan jika dipercaya, khianat.”
Senada dengan ayat di atas, Allah Swt. menjelaskan tentang perilaku orang-orang munafik yang membahayakan umat Islam. Lakon ini pernah diperankan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul pada masa Rasulullah Saw. Di hadapan Rasulullah Saw. dan di tengah-tengah kaum Muslimin, Abdullah bin Ubay menampakan sikap dan sifat keislamannya. Dia shalat bersama Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Akan tetapi, ketika ia kembali ke Mekkah dan bertemu dengan para pembesar musyrikin Quraisy, Abdullah bin Ubay memfitnah, menghasut, dan menjelek-jelekkan kaum Muslim seraya menampakkan kebenciannya kepada Islam dan kaum Muslimin.
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ’Kami telah beriman.’ Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan, ’Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’“ (QS Al-Baqarah: 14).
Kedua, karena Allah Swt. sangat membenci orang yang hanya berkata saja tanpa mau melakukan apa yang ia katakan. Termasuk ke dalam kategori ini, mungkin, orang yang lebih banyak bicara ketimbang berbuat. Oleh karena itu, seorang juru dakwah, khatib, penceramah, atau muballigh adalah orang-orang yang seharusnya telah melaksanakan apa-apa yang mereka sampaikan kepada audiens atau masyarakat.
Kaum Muslimin generasi pertama lebih banyak menyebarkan Islam dengan perilaku dan bukti nyata daripada bicara hanya untuk pencitraan semata. Mereka memberikan keteladanan dengan akhlak terpuji, bukan dengan berita yang berisi kumpulan janji. Dan kasih sayang mereka kepada sesama umat manusia adalah fakta, bukan sekedar cerita.
Semoga para pemimpin dan tokoh masyarakat di Indonesia dapat meneladani sikap dan perilaku Rasulullah Saw., para sahabat, dan orang-orang saleh yang mendapat hidayah dari Allah Swt. Wallahu a’lam bish shawab.

Melatih Keimanan

30 Agu 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Suatu ketika Abu Bakar menemui Hanzalah dan menyapanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Hanzahalah menjawab, “Hanzhalah telah munafik.” Abu Bakar terkejut, “Subhanallah! Apa yang kamu ucapkan?” Hanzhalah menjawab, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw., beliau mengingatkan kepada kami mengenai neraka dan surga sampai-sampai seolah-olah kami benar-benar bisa melihatnya secara langsung dengan mata kepala kami saat itu. Namun, ketika kami sudah meninggalkan majelis Rasulullah Saw., kami pun sibuk bersenang-senang dengan istri-istri dan anak-anak, serta sibuk dengan pekerjaan kami sehingga kami banyak lupa.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku pun menjumpai perkara yang serupa.”
Maka Hanzhalah bersama Abu Bakar beranjak menemui Rasulullah Saw. Di hadapan Nabi Saw., Hanzhalah berkata, “Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bertanya, “Apa yang kamu maksudkan?” Hanzhalah mengatakan sebagaimana yang ia ungkapkan kepada Abu Bakar. Mendengar uraian Hanzhalah, Rasulullah Saw. berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian selalu berada dalam kondisi sebagaimana ketika berada di sisiku dan terus-menerus sibuk dengan dzikir niscaya para Malaikat akan menyalami kalian di atas tempat pembaringan dan di jalan-jalan kalian. Namun, wahai Hanzhalah “saa’atan wa saa’atan (setahap demi setahap).” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali (HR Muslim).
Mukmin yang sedang berusaha taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), umumnya merasakan apa yang dirasakan oleh Hanzhalah. Kondisi iman yang naik-turun adalah sunnatullah, sebagaimana juga pernah diingatkan oleh Rasulullah Saw. Iman naik ketika berada di lingkungan orang-orang saleh. Sebaliknya, iman turun ketika berada di lingkungan ahlul maksiat. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. mengajarkan agar kita menumbuhkan iman secara bertahap (saa’atan wa saa’atan). Salah satunya dengan cara berkumpul bersama orang-orang saleh.
Allah Swt. memerintahkan agar orang-orang beriman untuk meningkatkan keimanannya, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS An-Nisa’ [4]: 136).
Bila puncak kesuksesan harus dicapai dengan kerja keras secara bertahap dan terus menerus, maka puncak keimanan (taqwa) harus diraih melalui latihan keimanan setahap demi setahap dengan cara meningkatkan ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Setiap kali berhasil menjalankan suatu ketaatan atas sebuah perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya, kita harus mempertahankannya sambil berusaha menambah pelaksanaan ketaatan lainnya. Demikian seterusnya hingga kita mencapai derajat taqwa. Wallahu a’lam bish shawab.

Lokomotif Kebaikan

23 Agu 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Jarir bin Abdullah ra. mengisahkan, beberapa orang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah Saw. dengan mengenakan pakaian lusuh dan kumal. Melihat kondisi mereka, beliau merasa iba. Lalu Nabi Saw. mengimbau para sahabat untuk membantu mereka. Namun, tak seorang pun yang bergerak untuk merespons ajakan beliau.
Tiba-tiba seorang pria Anshar bangkit dan memberikan sejumlah uang sedekah. Inisiatif baik pria Anshar tersebut lalu diikuti oleh yang lain, hingga banyak sahabat ikut memberikan sedekah. Wajah Rasulullah Saw. tampak bahagia. Lalu beliau bersabda, “Siapa yang memberi teladan kebaikan dalam Islam, lalu diikuti oleh orang lain, maka untuknya pahala, dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, siapa yang memberi contoh keburukan dalam Islam, lalu diikuti oleh orang lain, maka baginya dosa, dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka perloleh” (HR Muslim).
Hadits ini menggambarkan bahwa pahala dan dosa yang dilakukan seseorang ternyata tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tapi juga pada lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam Islam, dampak pahala dan dosa menganut sistem Multi Level Marketing (MLM). Artinya, orang pertama yang melakukan kebaikan akan mendapat pahala berlipat ganda jika aktivitas kebaikannya itu diikuti orang lain. Begitu pula dengan perbuatan dosa.
Di sinilah rahasia sabda Rasulullah Saw. tentang kualitas iman Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra., “Jika ditimbang iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat ini, maka akan lebih berat iman Abu Bakar.” Sebabnya adalah ketika orang lain mendustakan Rasulullah Saw., Abu Bakar selalu membenarkannya. Banyak sahabat Rasul Saw. yang beriman karena dakwah Abu Bakar. Bahkan Abu Bakar selalu menjadi lokomotif kebaikan, sampai-sampai sahabat lain tak mampu menandinginya. Dengan pahala yang sangat besar itu, Abu Bakar termasuk salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga.
Orang-orang yang menjadi lokomotif kebaikan juga berpeluang besar mendapatkan ampunan dan permaafan dari Allah Swt. seandainya mereka -- dengan tidak disengaja atau dalam keadaan sangat terpaksa -- berbuat maksiat. Inilah yang terjadi pada Hatib bin Abi Balta’ah yang mendapat ampunan dan permaafan dari Allah Swt. dan Rasul-Nya ketika ia lalai membocorkan strategi Fathu Makkah kepada para pembesar kafir Quraisy akibat tekanan psikologis yang sangat berat. Allah Swt. dan Rasulul-Nya memaafkan kekeliruan Hatib lantaran ia termasuk ahlul Badar.
Islam menyuruh kita agar selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Setiap Muslim dapat memulainya di lingkungan keluarga, di kantor tempat bekerja, atau di tempat apa saja di mana benih-benih kebaikan dapat ditebar agar tumbuh menjadi pohon-pohon kebaikan yang dapat menghasilkan buah bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ihsan dalam Menyembelih Hewan Qurban

22 Agu 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal
Diriwayatkan dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Ra., dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) atas segala sesuatu. Bila kalian membunuh, maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik, dan jika kalian menyembelih, maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang terbaik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan hewan yang disembelihnya” (HR Muslim).

Berbuat ihsan terhadap segala sesuatu adalah sebuah kewajiban syar’i sebagaimana firman Allah Swt., “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan ihsan...” (QS An-Nahl: 90). Dalam ayat lain disebutkan, “...Dan berbuat ihsan-lah kalian, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan” (QS Al-Baqarah: 195).
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdar-nya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini,
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu…” (QS Al-Qashash: 77).
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah Swt.
Termasuk perbuatan ihsan adalah ketika menyembelih hewan qurban, yaitu dengan mengasah pisau hingga tajam, karena hal ini akan menenangkan hewan yang disembelih dan mempercepat kematiannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar Ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menajamkan pisau dan menyembunyikannya dari binatang yang akan disembelih.” Rasulullah Saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian hendak menyembelih hewan, makan sembelihlah dengan sekali sembelihan.” Maksudnya tidak boleh mengangkat pisau dan kemudian mengulang lagi.
Termasuk ihsan dalam menyembelih hewan adalah dengan cara menuntun hewan yang hendak disembelih dengan lembut. Dalam Sunan Ibnu Majah terdapat sebuah riwayat dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah Saw. melewati seseorang yang menuntun seekor kambing dengan menarik telinganya, maka Rasulullah Saw bersabda, ‘Lepaskanlah telinganya dan pegang bagian depan lehernya.’” Imam Ahmad berkata, “Binatang yang akan disembelih dituntun ke tempat penyembelihan dengan lembut, disembunyikan darinya pisau yang akan digunakan untuk menyembelih, dan tidak ditampakkan kecuali ketika hendak menyembelihnya.”
Berbuat ihsan ketika menyembelih hewan juga dilakukan dengan cara memotong urat lehernya hingga putus. Disebutkan dalam Sunan Abu Daud, dari Ibnu Abbas Ra., dari Abu Hurairah Ra., dari Nabi Saw. bahwa beliau melarang menyembelih hewan yang hanya melukai kulitnya dan tidak memotong urat lehernya.
Juga dianjurkan agar tidak menyembelih hewan di depan hewan lainnya, namun menghadapkan hewan yang akan disembelih ke arah kiblat, membaca basmallah, membiarkannya hingga mati, menghadirkan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan mengakui bahwa binatang yang disembelihnya adalah pemberian Allah Swt., karena Allah-lah yang telah menundukkan dan memberikan hewan-hewan itu untuk kita.
Termasuk ihsan terhadap hewan adalah tidak membebani di luar kemampuannya. Tidak menaikinya kecuali diperlukan, dan tidak memeras susunya kecuali jika tidak membahayakan anaknya. Wallahu a’lam bish shawab.

Hati yang Tenang

21 Agu 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Hidup yang damai, aman, dan serba berkecukupan adalah sesuatu yang didambakan setiap insan. Namun, sunnatullah kehidupan tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Life is never flat. Jalan kehidupan tidak selalu lurus, kadang penuh liku, penuh onak dan duri. Dan tanpa kita sadari, justru liku-liku kehidupan dengan segala tantangannya membuat kita semakin struggle dan survive. Kisah-kisah tentang “kesuksesan” seseorang dalam menempuh kehidupan hampir selalu ditandai oleh keberhasilannya mengatasi segala macam tantangan yang ia hadapi.
Kesuksesan di dunia hampir selalu dinilai dari keberhasilan seseorang dalam mengumpulkan harta dan memegang jabatan. Semakin banyak harta yang berhasil dikumpulkan dan atau semakin tinggi jabatan yang berhasil diduduki, maka akan dipandang sebagai orang yang sukses. Meski sudah banyak penelitian tentang rahasia kesuksesan dalam meraih kehidupan di dunia ditambah dengan banyaknya buku-buku tentang biografi orang-orang sukses, namun belum banyak penelitian ilmiah tentang rahasia meraih ketenteraman dalam hidup. Dan dari sejumlah penelitian ilmiah tentang rahasia ketenteraman jiwa, tidak ada satu pun yang menyimpulkan bahwa harta yang berlimpah dan atau jabatan yang tinggi berkorelasi positif terhadap ketenteraman jiwa.
Orang miskin mengira orang kaya hidupnya tenteram, karena seluruh kebutuhan hidupnya terpenuhi. Akan tetapi, orang kaya yang dikira hidup tenteram, dalam kacamata dunia, sesungguhnya sama gelisahnya dengan orang miskin. Orang miskin hidup gelisah lantaran kebutuhan hidupnya belum terpenuhi, sedangkan orang kaya gelisah karena takut kehilangan hartanya. Selama ketenangan dan ketenteraman jiwa diukur dengan timbangan dunia, maka ketenangan dan ketenteraman jiwa itu tidak akan pernah diperoleh.
Allah Swt. telah memberikan resep mujarab untuk manusia yang ingin meraih ketenangan dan ketenteram jiwa. “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra’d: 28).
Ketenteraman jiwa hanya akan diraih dengan dzikir (mengingat Allah) di setiap waktu dan tempat, pada setiap ayunan langkah kaki, pada setiap ucapan lisan, hingga hati menemukan tempat berteduh, yaitu di bawah naungan Rahmat Allah Swt. Hati yang selalu terhubung dengan Allah, meyakini bahwa segala sesuatu bermula dari Allah dan berakhir kepada Allah jua. Wallahu a’lam bishshawab.

Hati yang Hidup

20 Agu 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal

Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan perbuatan kalian (HR Muslim).
Hadits ini begitu berkesan di hati para sahabat dan generasi setelahnya, sehingga mereka senantiasa menjaga hati, agar tidak terkotori dengan cara menghindari perbuatan dosa. Mereka juga selalu membersihkan hati dengan cara bertaubat manakala sebuah dosa telanjur meninggalkan noktah hitam di hatinya.
Generasi pertama Islam, yaitu para sahabat yang hidup di masa Rasulullah Saw., memiliki hati yang hidup. Hati mereka dipenuhi keimanan yang selalu memancarkan cahaya ke segenap jiwa dan raga, sehingga mendorong mereka untuk selama melakukan ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sampai-sampai penyakit al-wahn (cinta dunia dan takut mati) tak mampu mengototi hati mereka. Meski di antara mereka ada yang diuji dengan gelimang harta, seperti ‘Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf, akan tetapi hati mereka tak pernah terpengaruh dengan gemerlap dunia. Hati mereka terikat kuat pada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Orang-orang yang memiliki hati yang hidup sangat sensitif dengan perbuatan dosa. Bahkan mereka sering mengaitkan musibah yang menimpa dirinya dengan dosa yang pernah dilakukannya. Ubaidillah bin As-Suri mengisahkan bahwa Al-Qudwah bin Sirin (seorang tabi’in) berkata, “Aku tahu dosa apa yang membuatku dililit hutang. Empat puluh tahun lalu aku pernah bekata kepada seseorang, ‘Hai orang yang bangkrut.’” Ibnu al-Jauzi menceritakan bahwa seorang salafush shalih pernah memaki dirinya, lalu dia menempelkan pipinya ke tanah sambil berkata, “Ya Allah, ampuni dosaku. Karena dosaku, Engkau membuat orang itu memaki diriku.” Kita menyakini bahwa tak ada orang yang mampu mengingat dosa yang pernah dilakukan empat pulu tahun yang lalu, kecuali orang tersebut sedikit berbuat dosa, sehingga dia mampu menghitungnya.
Hati yang hidup akan menjadi bekal manusia di Hari Kebangkitan, ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Wallahu a’lam bish shawab.

Dzikir dan Pikir

15 Agu 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’” (QS Ali Imran [3]: 191).

Menjelaskan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Bila tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Dan bila tidak mampu juga, maka shalatlah dalam keadaan berbaring” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang urgensi dzikir (selalu ingat) kepada Allah Swt. dalam keadaan apapun. Karena manusia dalam kesehariannya selalu berada pada tiga kondisi, yaitu berdiri, duduk, atau berbaring. Rasulullah Saw. memaknai kata dzikir pada ayat di atas dengan shalat, karena shalat pada hakikatnya adalah aktivitas dzikir kepada Allah Swt.
Akan tetapi, aktivitas dzikir saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan manusia di alam dunia, karena dzikir hanya bertujuan agar hati manusia selalu terikat kepada Allah Swt. Sementara rahasia alam semesta harus dipecahkan dengan sebuah aktivitas lain, yaitu berpikir. Maka Allah Swt. menyandingkan kata dzikir dengan pikir pada perintahnya sebagaimana tertera dalam QS Ali Imran ayat 191. Dengan demikian, urgensi berpikir sama pentingnya dengan dzikir, meskipun dalam aulawiyat-nya (perioritasnya), dzikir harus lebih didahulukan daripada pikir. Dengan kata lain, aktivitas pikir harus senantiasa dalam bingkai dzikir kepada Allah Swt.
Hasan al-Basri berkata, “Berpikir dan ingat (dzikir) kepada Allah selama satu jam adalah lebih baik daripada berdiri shalat selama satu malam.” Karena, tambahnya lagi, “Berpikir untuk merenung ibarat cermin yang menampakkan segala kebaikan dan keburukanmu.”
Luqmanul Hakim berkata, “Duduk menyendiri dan berpikir akan melahirkan renungan, dan renungan adalah ketukan pintu surga.”
Wahab bin Munabbih berkata, “Tidaklah seseorang berpikir dan merenung melainkan ia akan mengerti. Dan tidaklah seseorang mengerti melainkan ia mengetahui. Dan tidaklah seseorang mengetahui melainkan ia akan mengamalkan.”
Bisyir bin Harits al-Hafi berkata, “Jika manusia mau berpikir dan merenungkan kebesaran Allah Swt., niscaya mereka tidak akan berani berbuat maksiat kepada-Nya.”
Demikianlah pernyataan para salafush shalih tentang pentingnya berpikir dan merenung setelah dzikir. Berpikir dalam balutan dzikir akan selalu mengarahkan seseorang kepada hidayah Allah Swt.
Ingatlah kisah Nabi Ibrahim As. ketika mencari hakikat ketuhanan yang diabadikan oleh Allah Swt. dalam QS Al-An’am: 76-79. Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim As. mengoptimalkan potensi berpikirnya untuk menolak konsep ketuhanan bintang, bulan, dan matahari yang nisbi, seraya meneguhkan keyakinannya untuk menerima konsep ketuhanan yang kekal abadi dengan cara menghadapkan dirinya kepada Rabb Pencipta alam semesta dengan penuh ketundukan. Perpaduan dzikir dan pikir inilah yang membuat Nabi Ibrahim As. tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. dan terhindar dari menuhankan bintang, bulan, dan matahari.
Dalam kehidupan keseharian, banyak orang menanggalkan dzikir dari proses berpikir, sehingga hasil pemikirannya tidak mampu medekatkan dirinya kepada Allah Swt., akan tetapi justru semakin membuatnya jauh dari petunjuk Allah Swt. Semoga kita termasuk orang yang selalu mewarnai aktivitas pikir dengan dzikir. Wallahu a’lam bishshawab.

Cobaan dan Kemuliaan

14 Agu 2017 0 comments

Oleh: Syamsu Hilal

Di Surga terdapat beberapa tingkatan yang tidak dapat dicapai seorang hamba hanya dengan mengandalkan amalnya saja. Untuk itu, Allah Swt. menyiapkan sejumlah perangkat ujian dan cobaan yang dapat mengantarkan manusia ke tempat tersebut. Begitu juga dengan iman yang memiliki beberapa tingkatan. Dan setiap tingkatan iman tidak dapat diraih hanya dengan mengandalkan amal perbuatan. Maka, Allah Swt. menyiapkan seperangkat ujian dan cobaan bagi seorang hamba untuk meraih tingkatan-tingkatan iman tersebut.
Seandainya Nabi Ibrahim As. tidak menuntaskan semua perintah Allah Swt., termasuk menyembelih putra kesayangannya Nabi Ismail As., niscaya Allah tidak menjadikannya sebagai pemimpin umat manusia (QS Al-Baqarah [2]: 120).
Jika orang-orang kafir Quraisy tidak menyiksa keluarga Yasir ra., dan keluarga Yasir menghadapinya dengan sabar, apakah keluarga Yasir akan mendapat kemuliaan? Sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, “Sabarlah keluarga Yasir, sesungguhnya tempat kalian kelak di Surga” (HR Al-Hakim, Ahmad, dan Thabrani).
Seandainya Bilal bin Rabah ra. tidak disiksa majikannya, Umaiyah bin Khalf, dan Bilal menghadapinya dengan tegar, maka Bilal tidak akan mendapatkan julukan “Bilal Tokoh Kami” dari Rasulullah Saw. (HR Bukhari).
Bila Nabi Yusuf As. tidak mampu menahan rayuan permaisuri Mesir yang cantik dan lebih memilih penjara, maka Nabi Yusuf As. tidak akan mendapat gelar, “Hai orang yang jujur,” dari Allah Swt.
Andai Umar bin Abdul Aziz tidak bersabar atas pahitnya menegakkan kebenaran dan keadilan, beliau tidak akan memperoleh gelar “Khalifah Kelima”.
Jika Allah Swt. hendak memilih hamba-hamba-Nya menjadi syuhada, maka Allah akan menyiapkan seperangkat ujian dan cobaan yang sesuai dengan kadar keimanan orang tersebut untuk memikul cobaan tersebut. Ini adalah sunnatullah yang berlaku sebagaimana firman-Nya,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat” (QS Al-Baqarah: 214).
Ujian dan cobaan juga berfungsi sebagai penghapus dosa, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Hurairah, “Cobaan tidak henti-hentinya menimpa orang-orang Mukmin dan Mukminah atas dirinya, anak-anaknya, dan hartanya, hingga ia bertemu Allah Swt. tanpa membawa dosa.” Wallahu a’lam bish shawab.

Haji dan Nilai-nilai Persatuan

8 Agu 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Allah Swt. mewajibkan ibadah haji sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai pengorbanan, persatuan, dan persaudaraan. Allah telah menjadikan Ka´bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia...” (QS Al-Maidah [5]: 97).
Hati sanubari senang menatap Baitullah. Jiwa menyatu dengan tubuh pada setiap langkah kaki ketika thawaf mengitari Ka’bah. Seluruh wajah di setiap tempat menghadap ke arahnya sebagai tanda kesatuan kiblat dan persatuan. Adapun Hajar Aswad yang menempel di sudut Ka’bah adalah titik pertemuan emosi manusia dan rasa persaudaraan. Siapa saja yang menyalaminya seolah-olah ia menyalami semua saudaranya sesama manusia, dan orang yang menciumnya seakan-akan mengirimkan keikhlasan dan kasih sayang kepada umat manusia.
Ketika jamaah haji berada di hadapan jamarat, mereka membayangkan bahwa kekuatan jahat menjelma dalam diri iblis laknatullah ‘alaihi, lalu mereka melemparinya dengan kerikil sebagai tanda permusuhan dengannya. Setelah itu, jamaah haji telah bersih dari dosa sebagaimana saat mereka dilahirkan. Setelah wuquf di ‘Arafah, Allah Swt. menurunkan kepada mereka rahmat yang berlimpah. Karena itulah, seharusnya mereka menjadi penolong Ar-Rahman (Allah Swt.) dan musuh bagi setan.
Jamaah haji di setiap ritualnya harus terhubung hatinya dengan Allah, tersambung jiwa dan ruhnya dengan ampunan, pahala, ridha, dan cinta-Nya. Apabila telah berihram, maka syiarnya adalah:
"Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Aku datang memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, nikmat dan segenap kekuasaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”
Ketika melakukan thawaf, maka amal yang harus dilakukan adalah memanjatkan berbagai doa ke langit seraya berjanji untuk berkomitmen melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya:
“Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar, Ya Allah, demi keimanan kepada-Mu, dan membenarkan Kitab suci-Mu, memenuhi janji dengan-Mu serta mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad.”
Dengan demikian, hakikat pelaksanaan ibadah haji adalah untuk memperbaharui komitmen ketaatan kita kepada Allah Swt. sekaligus memperkuat persatuan dan persaudaraan di antara umat Islam. Peningkatan kualitas ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya harus tampak pada pribadi-pribadi usai pelaksanaan ibadah haji. Wallahu a’lam bish shawab.


Berbisnis MLM dengan Allah

1 Agu 2017 0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Pemasaran berjenjang Multi-level marketing (MLM) adalah strategi pemasaran di mana tenaga penjual (sales) tidak hanya mendapatkan kompensasi atas penjualan yang mereka hasilkan, tetapi juga atas hasil penjualan sales lain yang mereka rekrut. Tenaga penjual yang direkrut tersebut dengan anggota “downline”. Dalam praktiknya, sistem MLM menuai pro dan kontra karena dianggap melanggar prinsip-prinsip keadilan dan transparansi, serta metode perekrutan yang kebanyakan bersifat ‘memperdaya’, hanya menjelaskan keuntungan tanpa menjelaskan kerugian bergabung dengan MLM kepada anggota baru.
Dalam Islam, aktivitas ekonomi, transaksi bisnis, dan pengembangan usaha diatur tersendiri dalam Fiqh Muamalat. Sedangkan sistem MLM berlaku dalam aktivitas yang bernuansa akhirat, karena keuntungan yang diperoleh juga bukan dalam bentuk materi, akan tetapi dalam bentuk pahala. Karena itu, MLM yang berlaku dalam Islam adalah MLM Pahala, bukan MLM dalam bentuk berbagi keuntungan (fee) yang bersifat duniawi. Dalam MLM Pahala yang membagi keuntungan bukan manusia yang punya sisi subyektivitas dan vested interest, akan tetapi Allah Swt. yang Maha Kaya dan Maha Adil.
Sistem MLM Pahala dijelaskan Rasulullah Saw. melalui sabdanya, “Siapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (hidayah), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan, maka pahala kebaikan tersebut bukan hanya diterima oleh orang yang melakukan, akan tetapi juga diterima oleh orang yang mengajak kepada kebaikan, tanpa mengurangi pahala dari orang yang melakukan kebaikan. Dengan prinsip seperti ini, maka wajar jika Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., orang pertama yang menerima dakwah Islam dari Rasulullah Saw., memiliki timbangan pahala yang sangat besar. Sampai-sampai Rasulullah Saw. mengatakan, “Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat ini, maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar” (Syu’abul Iman, Bab Al-Qaul fii Ziyadatil Iman wa Naqshanih).
Rasulullah Saw. sendiri pernah memuji keislaman Abu Bakar, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayah, “Tiada aku mengajak seorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, keraguan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan, hanya Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikit pun.”
Sistem MLM Pahala seharusnya memotivasi kita berlomba-lomba mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan. Dengan cara inilah kita akan terus menerus memproduksi kebaikan demi kebaikan, yang pada akhirnya kebaikan-kebaikan itu akan menyingkirkan keburukan-keburukan, sebagaimana aliran air sungai yang jernih meminggirkan sampah atau mendorongnya ke hilir sungai. Wallahu a’lam bish shawab.

Amanah dan Kehancuran Bangsa

0 comments

Oleh Syamsu Hilal

Pemimpin dipilih bukan sekedar untuk dijadikan simbol sebuah negara, tetapi sebagai lokomotif yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Berpijak dari alasan ini, memilih pemimpin tidak sama dengan memilih selebritis yang lebih mengandalkan popularitas daripada kapasitas.
Daniel Boorstin, pakar manajemen kepemimpinan mengatakan bahwa dunia saat ini memiliki banyak pemimpin, tapi mereka berada di bawah bayang-bayang selebritis. Pemimpin dikenal karena prestasinya, sementara selebritis dikenal lantaran ketenarannya. Pemimpin mencerminkan hakikat-hakikat manusia, sedang selebritis mencermintkan kemungkinan-kemungkinan pers dan media massa. Kaum selebritis adalah orang-orang yang membuat berita, tetapi para pemimpin adalah orang-orang yang membuat sejarah (Majalah Parade, 6 Agustus 1995)
Dampak kesalahan memilih pemimpin sejak lama diperingatkan Rasulullah Saw. melalui sabdanya, “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana maksud amanah disia-siakan?’ Nabi Saw. menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR Bukhari).
Kriteria orang yang layak dijadikan pemimpin secara gamblang dijelaskan di dalam Al-Qur`an, yaitu hafizhun ‘alim; mampu menjaga dan berpengetahuan (QS Yusuf: 55) dan qowiyyun amiin; kuat dan dipercaya (QS Al-Qashash: 26).
Selanjutnya Al-Qur`an membuat pembedaan antara pemimpin konstruktif dan pemimpin destruktif. Pemimpin konstruktif adalah pemimpin yang menyejahterakan rakyatnya di dunia dan mengajak ke Surga. “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar...” (QS As-Sajadah: 24). Sebaliknya pemimpin destruktif adalah pemimpin yang menyengsarakan rakyatnya di dunia dan menjerumuskan ke Neraka. “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong” (QS Al-Qashash: 41).

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto