• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Menggapai Malam Seribu Bulan

25 Jul 2013 1 comments

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS Al-Qadr: 1-5).

Dalam surat Al-Qadr, Allah Swt. menyebut turunnya Al-Qur`an pada Lailatul Qadar (malam yang dimuliakan). Dalam surat Ad-Dukhan ayat 1-3 disebutkan bahwa Al-Qur`an diturunkan pada Lailatun Mubarakatun (malam yang diberkati). “Haa Miim. Demi Kitab (Al Qur`an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 185 disebutkan turunnya Al-Qur`an pada bulan Ramadhan. “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu...”
Dan dalam surat Al-Anfal, Allah Swt. menyebut turunnya Al-Qur`an bertepatan dengan hari pertemuan antara dua pasukan Islam melawan kaum Kafir di waktu perang Badar, yaitu pada bulan Ramadhan (Tafsir Ibnu Katsir). Dari informasi-informasi inilah, maka sebagian besar ulama sepakat bahwa Al-Qur`an untuk kali pertama diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan.
Lailatul Qadar sengaja diturunkan Allah Swt. untuk umat Nabi Muhammad Saw. untuk menandingi keutamaan-keutamaan umat-umat sebelumnya. Umat sebelum umat Muhammad Saw. memiliki rata-rata usia harapan hidup lebih tinggi daripada umat Islam. Bahkan beberapa Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. ada yang memiliki usia sembilan ratusan tahun. Dengan adanya Lailatul Qadar, umat Islam yang mampu menggapainya seolah-olah telah beribadah selama 83 tahun.
Mujahid berkata bahwa Rasulullah Saw. menceritakan seseorang dari Bani Israil memanggul senjata untuk berjihad fii sabiilillah selama seribu bulan. Cerita itu sangat mengagumkan kaum Muslimin. Tiba-tiba Allah Swt. menurunkan surat Al-Qadr ini yang di dalamnya terdapat pernyataan bahwa ibadah pada Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan (HR Ibnu Hatim).
Bahkan ketika Ramadhan hampir tiba, Rasulullah Saw. selalu memotivasi para sahabatnya dengan adanya Laitul Qadar. Tujuannya agar para sahabat berlomba-lomba menggapai kemuliaan di sisi Allah Swt. Abu Hurairah Ra. berkata, ketika hampir tiba bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. bersabda, “Kini telah tiba padamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah Swt. mewajibkan atas kalian berpuasa, dibuka semua pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta setan-setan dibelenggu. Di dalam bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka siapa tidak mendapatkannya berarti ia kecewa” (HR Ahmad dan Nasa`i).
Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja akan mendapatkan keutamaan malam tersebut. Karena itu kita harus mengisi malam-malam bulan Ramadhan dengan serangkaian ibadah sunnah yang dianjurkan. Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa mencari Lailatur Qadar, hendaknya ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh” (HR Ahmad).
Para ulama sepakat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam bulan Ramadhan dan terus berulang pada setiap bulan Ramadhan untuk maslahat umat Muhammad Saw., sampai terjadi hari Kiamat.
Adapun tentang penentuan kapan persisnya terjadi, para ulama berbeda pendapat disebabkan beragamnya informasi hadits Rasulullah Saw., serta pemahaman para sahabat tentang hal tersebut, sebagaimana tersebut di bawah ini,
a.     Lailatul Qadar jatuh pada malam 17 Ramadhan, yaitu malam diturunkannya Al-Qur`an. Hal ini disampaikan oleh Zaid bin Arqam dan Abdullah bin Zubair Ra. (HR Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi, dan Bukhari dalam Tarikh).
b.    Lailatul Qadar jatuh pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Aisyah dari Rasulullah Saw, “Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR Bukhari, Muslim, dan Baihaqi). Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Lailatul Qadar itu terjadi pada malam ganjil 21, 23, 25, 27, dan 29. (Pada malam itu) jumlah para Malaikat yang turun ke bumi lebih banyak dari bilangan kerikil” (HR Ahmad).
c.     Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abi Said al-Khudri yang dilaporkan oleh Bukhari dan Muslim. Tiga Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 23 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Unais al-Juhany, seperti dilaporkan oleh Bukhari dan Muslim.
d.    Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 27 bulan Ramadhan.
Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar Ra., seperti dikutip oleh Ahmad dan juga yang driwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa Umar bin Khaththab Ra., Hudzaifah Ra., dan sejumlah besar sahabat yakin bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam 27 bulan Ramadhan.
Rasulullah Saw. seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra., juga pernah menyampaikan kepada sahabat yang telah tua dan lemah tak mampu menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan, meminta nasehat kepada Nabi Saw. agar mendapatkan Lailatul Qadar. Rasulullah Saw. kemudian menasehatinya agar ia mencari pada malam ke-27 di bulan Ramadhan (HR Thabrani dan Baihaqi).
Seperti dipahami dari riwayat Ibnu Umar dan Abi Bakrah yang dilaporkan oleh Bukhari dan Muslim, terjadinya Lailatul Qadar mungkin berpindah-pindah pada malam-malam ganjil sepanjang sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Berdasarkan informasi ini, dan karena langka dan pentingnya, maka selayaknya setiap Muslim berupaya selalu mendapatkannya pada sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Tanda-tanda Lailatul Qadar
Seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Pada saat terjadinya Lailatul Qadar malam terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk, tidak terasa panas tidak juga dingin. Dan pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih terang benderang tanpa tertutup sesuatu awan.” Di dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan tentang tanda-tanda Lailatul Qadar, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. bahwa tanda Lailatul Qadar suasana malam bersih, hening, terang seolah-olah ada bulan. Tidak terasa dingin tidak juga panas. Dan tidak ada bintang yang dilemparkan kepada setan hingga fajar. Dan paginya matahari terbit tidak panas, seakan-akan bagaikan bulan purnama.
Sedangkan yang harus dilakukan untuk mendapatkan Lailatul Qadar adalah:
1.    Lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan semua bentuk ibadah pada hari-hari bulan Ramadhan. Menjauhkan diri dari semua yang dapat mengurangi keseriusan beribadah pada hari-hari itu. Dalam peribadatan itu juga dengan mengikutsertakan keluarga. Itulah yang dicontohkan Rasulullah Saw.
2.    Melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Inilah yang selalu dilakukan Rasulullah Saw. saat memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Beliau mengajak keluarganya untuk menghidupkan malam-malam tersebut. Aisyah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. ketika memasuki malam-malam terakhir (21, 23, 25, 27, 29) dari malam 21-30, biasa bangun semalam suntuk dan membangunkan istri-istrinya dan mengencangkan ikat pinggang. Rasulullah Saw. lebih rajin ibadahnya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan daripada malam-malam sebelumnya” (HR Muslim).
3.    Melakukan Qiyamul Lail berjamaah sampai dengan rakaat terakhir yang dilakukan imam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dzat Ra. Ada baiknya, ketika memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, para penyelenggara atau panitia Ramadhan mengundurkan penyelenggaraan shalat Tarawih hingga menjelang sahur. Hal ini agar pada sepuluh hari terakhir itu, para jamaah selalu menghidupkan malam untuk menyongsong datangnya Lailatul Qadar.
4.    Memperbanyak doa memohon ampunan dan keselamatan kepada Allah Swt. dengan lafal, “Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni.” Doa inilah yang diajarkan Rasulullah Saw. kepada Aisyah ketika ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bila aku ketahui kedatangan Lailatul Qadar, apa yang mesti aku ucapkan?” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).
Namun demikian, sebagai Mukmin yang meyakini bahwa pada setiap hari-hari dan malam-malam di bulan Ramadhan terdapat rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka, maka setiap Mukmin hendaknya mengisi bulan Ramadhan sebulan penuh dengan amal ibadah yang dapat mengantarkan kita menjadi insan bertaqwa. Taqwa inilah sebaik-baik bekal untuk bertemu dengan Allah Swt. di Yaumil Akhir kelak. Wallahu a’lam bishshawab.

Bersih Niat dalam Berinfaq

17 Jul 2013 2 comments

Oleh: KH Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al-Baqarah: 264).

Pada ayat ini Allah Swt. masih menerangkan kepada kita tentang masalah infaq fii sabilillah. Allah Swt. menerangkan tentang thobi-atul infaq, yaitu bahwa infaq merupakan dinamika dan perkembangan kejiwaan manusia. Jadi, orang yang mau menginfaqkan sebagian harta bendanya pada dasarnya adalah orang yang dinamis dan berkembang karena telah membersihkan dirinya dari penyakit bakhil (kikir).
Dari segi bahasa, aktifitas mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah disebut shodaqoh karena litadulla ‘ala shidqi imaani shohibiha (menunjukkan kebenaran dan kejujuran keimanan pelakunya). Shodaqoh artinya ‘jujur’. Orang yang mengeluarkan shodaqoh menunjukkan bahwa ia telah berbuat jujur sesuai dengan keimanannya. Pada dasarnya perbuatan ber-shodaqoh atau mengeluarkan sebagian harta benda fii sabilillah adalah perbuatan berat, karena tidak ada manusia yang tidak condong pada harta benda. Bahkan karena tingginya kadar kecintaan tersebut, sampai-sampai ulama mengatakan bahwa harta benda adalah saudara kandungnya nyawa (al-maalu syaqiiqur ruh).
Oleh karena itu seorang muslim yang berjuang di jalan Allah dengan cara menginfaqkan harta bendanya, insya Allah ia pun akan siap berjuang di jalan Allah dengan nyawanya. Dan karena demikian dekatnya hubungan harta dengan nyawa, ketika Al-Qur’an menerangkan tentang masalah jihad fii sabilillah, Al-Qur’an selalu mengatakan al-jaahidu bi amwalihim wa anfusihim (berjihad dengan harta dan jiwa).
Karena infaq merupakan indikasi dari dinamika (perkembangan) kebersihan hati seseorang dan masyarakat, Allah Swt. mengingatkan kepada kita agar jangan sampai infaq yang kita lakukan itu kita rusak sendiri, karena kalau kita berbuat demikian berarti tidak dinamis lagi dan berubah menjadi statis sehingga jiwa kita akan mati. Na’udzubillahi min dzalik.
Pada ayat ini Allah mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan orang yang menerima.” Di sini Allah mengatakan laa tubthiluu (janganlah kamu menghilangkan). Al-ibthol secara bahasa artinya adalah al-izalah (menghilangkan). Dan jika sesuatu kehilangan manfaat, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, amal yang tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun amal tersebut dengan sempurna (yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib). Misalnya jika ada orang yang melaksanakan shalat, akan tetapi syarat atau rukunnya ada yang ditinggal, seperti ketika shalat ia tidak dalam keadaan suci, maka shalatnya tidak akan diterima oleh Allah. Ini artinya shalatnya itu tidak bisa menggugurkan tanggung jawabnya di sisi Allah Swt.
Kedua, amal yang dilakukan sah karena syarat dan rukunnya terpenuhi, akan tetapi yang bersangkutan tidak mendapatkan pahala dari sisi Allah Swt. Hal ini disebabkan karena amal tersebut tidak dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah Swt., tetapi ada tujuan yang lain seperti karena perasaan riya’.
Kedua arti yang dijelaskan di atas bisa kita pergunakan untuk memahami makna ayat ini. Jadi pada ayat ini Allah Swt. memberi peringatan kepada kita agar jangan sampai kita kehilangan pahala shodaqoh yang telah kita keluarkan. Cara yang bisa kita lakukan adalah jangan sampai kita bershodaqoh akan tetapi diiringi al-mann (mengungkit-ungkit) dan adza (menyakitkan menyakitkan hati penerima).
Pada penggalan selanjutnya Allah mengatakan, “Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia.” Ada beberapa hal yang perlu kita renungi berkenaan dengan bahasa yang dipergunakan pada penggalan ayat ini.
Pertama, pada penggalan ini Allah Swt. tidak menyebut nama seseorang, akan tetapi hanya menyebut kata gantinya yaitu kalladzi (sebagaimana orang). Tujuan dari penggunaan kalimat seperti ini adalah lit ta’mim (untuk tujuan umum). Artinya, yang dimaksud dalam ayat ini bukan hanya orang tertentu saja, akan tetapi siapa saja yang menginfaqkan sebagian harta bendanya karena riya’. Infaq yang dikotori dengan rasa riya’, maka harta yang diinfaqkan itu tidak berkembang karena tidak mendapatkan pahala dari Allah Swt., dan hati orang yang berinfaq seperti itu juga tidak menjadi bersih karena ketika berinfaq hanya dilandasi dengan kesombongan dan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa ia mampu menginfaqkan harta bendanya agar mendapatkan pujian dari sesama manusia. Agar yang seperti itu tidak terjadi pada kita, Allah Swt. mengingatkan kita agar tidak berinfaq karena rasa riya’.
Kedua, berkenaan dengan kata riya’. Kata riya’ jika ditinjau dari segi bahasa mengikuti dengan wazan fi’al. Dan wazan fi’al itu mempunyai dua ma’na, yang pertama adalah lil mubalaghoh (untuk menyangatkan), dan yang kedua adalah lil katsroh (untuk membanyakkan). Dari sini kita bisa memahami bahwa orang yang riya’ ketika berinfaq hanya ingin sering dilihat oleh manusia.
Pada penggalan selanjutnya, “Dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.Dari penggalan ini kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang yang berinfaq karena riya’, pada dasarnya ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang kafir yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan orang yang terkena penyakit riya’ ketika berinfaq, pada dasarnya ia menderita kerugian baik di dunia maupun di akherat. Di dunia, orang seperti itu akan rugi karena hartanya akan berkurang atau bahkan habis karena diberikan kepada orang lain. Dan di akherat ia akan rugi pula karena perbuatannya itu sama sekali tidak mendatangkan manfaat di sisi Allah Swt.
Perumpamaan orang yang berinfaq karena perasaan riya’ kepada manusia adalah, “Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih tidak bertanah.” Jika kita menjumpai batu besar yang halus dan di atasnya terdapat seonggok tanah, ketika terkena hujan lebat maka tanah tadi pasti akan hilang bersama dengan aliran air yang mengalir di atas batu tersebut. Dan batu yang demikian adalah tempat yang sama sekali tidak bisa ditanami. Kalau pun dipaksakan ditanami, maka tanaman itu tidak akan tumbuh karena di atasnya tidak ada tanah sama sekali.
Jadi, orang yang berinfaq karena dorongan rasa riya’-nya kepada manusia, adalah orang yang melakukan sesuatu yang sia-sia belaka. Akibatnya, “Mereka tidak mendapatkan sesuatupun dari apa yang mereka usahakan.” Jadi, suatu amal yang dilandasi rasa riya’, tidak akan menghasilkan manfaat apapun bagi pelakunya. Mereka melakukan sesuatu yang sia-sia.
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” Pada ayat ini Allah Swt. memberikan perumpamaan yang sangat indah berkenaan dengan manusia yang menginfaqkan sebagian hartanya tetapi bukan di jalan Allah. Orang seperti ini ketika berinfaq semata-mata karean dorongan rasa riya’-nya kepada manusia. An-nafs (jiwa) orang yang riya’ ini tidak akan bisa berkembang sebagaimana tanah atau batu yang tandus yang tidak akan tumbuh satu tanaman pun di atasnya. Subhanallah, perumpamaan dengan tanah merupakan perumpamaan yang menarik bagi manusia, karena manusia pun diciptakan Allah Swt. dari tanah. Kalau tanah tersebut berada di atas sebuah batu yang licin dan kemudian terkena air hujan, maka hilanglah tanah itu sehingga batu yang menjadi tempatnya semula tidak akan bisa ditanami lagi.
Ini adalah sebuah perumpamaan dengan sesuatu yang bisa kita pahami dengan akal kita, dimana jiwa manusia yang sifatnya abstrak diumpamakan dengan sesuatu yang sifatnya fisik, yaitu berupa debu atau tanah. Kita tahu bahwa sifat tanah bermacam-macam, ada yang subur dan ada pula yang tandus. Tanah yang subur jika ditanami dengan tanaman maka ia akan tumbuh dengan baik, sehingga tanaman tersebut akan menghasilkan buah yang bisa dinikmati. Sedangkan pada tanah yang tandus sangat sulit bagi tanaman untuk tumbuh, dan kalau pun tumbuh tidak akan menghasilkan buah sama sekali. Dan tanah yang tandus seperti itu pada ayat ini diumpamakan seperti batu. Pada dasarnya hati manusia tidak jauh berbeda dengan tanah. Jika tanah ada yang tandus dan ada yang subur, demikian pula dengan hati manusia. Di antara manusia ada yang mempunyai hati yang lembut dan bersih, namun ada pula yang kasar dan keras. Hati manusia yang lembut dan bersih akan mudah ditumbuhi pohon keimanan, sehingga ia akan merasa ringan ketika diperintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh dengan ikhlas. Dan pada gilirannya hati seperti ini akan menghasilkan buah berupa pahala dari Allah Swt.
Akan tetapi jika ada manusia yang mempunyai hati yang keras, sulit sekali ditumbuhi keimanan kepada Allah sehingga ketika Dia memerintahkan untuk mengeluarkan shodaqoh maka manusia seperti ini sulit untuk mentaatinya dan kalaupun terpaksa ia mengeluarkan shodaqoh, hal itu dilakukan dengan motivasi agar dipuji manusia (riya’), bukan atas dasar keimanan kepada Allah Swt. Na’udzubillah, semoga kita terhindar dari perasaan riya’ dalam mengerjakan seluruh aktivitas kita, baik dalam berinfaq, atau ketika menegakkan shalat, atau berda’wah, atau aktivitas yang lainnya. Kalau kita sudah terkena penyakit riya’, maka seluruh perbuatan yang kita lakukan tidak akan membawa manfaat sama sekali bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Wallahu a’lam bishshawab.

Ramadhan Bulan Infaq

12 Jul 2013 0 comments

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS Al-Baqarah: 245).

Salah satu amalan yang sering dikerjakan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan adalah memperbanyak infaq. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, karena pada bulan Ramadhan semua pahala kebaikan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Kedua, pada bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. banyak membaca Al-Qur`an. Dan di antara ayat-ayat yang dibaca, Nabi Saw. menemukan ayat yang menjelaskan tentang keutamaan infaq fii sabiilillah. Maka beliau pun terdorong untuk memperbanyak infaq, khususnya di bulan Ramadhan.
Kisah tentang kedermawanan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan amat panjang. Beliau tidak menolak orang yang meminta, kecuali ketika sedang tidak punya. Ada orang yang meminta baju beliau, maka beliau pun masuk rumah dan ketika keluar lagi bajunya sudah dilepas dan diberikan kepada si peminta. Kadang beliau membeli barang, lalu mengembalikan barang yang sudah dilunasinya itu kepada si penjual. Beliau juga pernah membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh si penjual. Kadang beliau meminjam barang dan mengembalikannya dengan yang lebih baik. Beliau juga kadang menerima hadiah, dan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak. Rasulullah Saw. senang memberikan hadiah kepada orang lain, lebih senang dibandingkan dengan orang yang menerima hadiah.
Oleh karena itu, pada kesempatan Ramadhan yang penuh berkah ini, sepatutnyalah kita merenungi ayat-ayat Allah Swt. tentang keutamaan berinfaq di jalan Allah Swt. Apalagi kita menyadari saat ini masyarakat kita tengah menghadapi dampak dari kenaikan harga BBM. Sebagian masyarakat terpaksa memasak dengan menggunakan kayu bakar lantaran tak mampu membeli minyak tanah yang harganya di pasaran empat kali lipat dari sebelumnya.
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berinfaq di jalanNya. Namun perintah itu diberikan dengan cara yang sangat halus. Ketika memerintahkan hambaNya untuk berinfaq, Allah  mengatakan, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik.” Pada penggalan ini Allah mengatakan qordhon hasanan (pinjaman yang baik). Demikian halus kalimat yang dipergunakan Allah Swt. Padahal rizki yang kita infaqkan di jalan Allah itu berasal dari Allah Swt. Artinya rizki yang kita infaqkan itu sebenarnya adalah milik Allah. Namun demikian, ketika Allah memerintahkan agar kita mau berinfaq, hal itu dikatakan Allah dengan kalimat ‘meminjam’. Ini merupakan tarbiyah ijtima’iyah (pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat) yang diberikan Allah Swt. kepada kita, agar ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, kita tidak menggunakan bahasa-bahasa yang seolah-olah sesuatu yang kita berikan itu secara mutlak adalah milik kita.
Allah Swt. juga memberikan motivasi agar kita merasa ringan dalam mengeluarkan infaq di jalan Allah. Di sini Allah mengatakan qordhon hasanan (pinjaman yang baik). Kenapa di sini ada lafadz hasanan (baik)? Karena kenyataannya ada orang yang berinfaq tetapi tidak dilakukan dengan hasanan. Misalnya orang yang berinfaq hanya agar dikatakan sebagai seorang dermawan. Yang seperti ini bukan termasuk infaq yang hasanan. Infaq yang hasanan adalah infaq yang dilakukan dengan niat yang baik, diberikan dengan cara yang baik, dan alokasinya juga dipilih yang baik.
Inilah barangkali rahasianya, kenapa pada ayat ini Allah berpesan bahwa berinfaq juga harus yang baik (hasanan). Kita jangan sampai mempunyai prinsip ‘yang penting berinfaq’. Apa jadinya kalau kita berinfaq dengan niat yang baik, akan tetapi justru dipergunakan untuk membiayai ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana jika harta kita, tanah yang kita wakafkan justru dipergunakan untuk mendukung program thaghut dalam menghancurkan Islam, seperti mengajarkan bahwa semua agama sama, laki-laki dan perempuan dibiasakan bercampur (ikhtilat), dan aurat tidak diurus dengan baik? Namun ironisnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan seperti itu tidak sedikitpun merasa berbuat salah. Kalau yang seperti ini kita sumbang, apa jadi masyarakat kita di masa yang akan datang? Oleh karena itu, berinfaq pun harus yang hasanan (baik). Inilah pentingnya kita memahami Islam secara utuh.
Kalau ada manusia yang meminjamkan Allah dengan pinjaman yang baik, maka kata Allah, “Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” Di sini Allah Swt. sudah mengatakan adl-’afan (lipat ganda), namun masih ditambah dengan kata katsiiran (yang banyak). Ini menandakan bahwa ketika kita mengeluarkan infaq, kita jangan sampai takut miskin karenanya. Kenapa? Karena pada dasarnya harta yang kita infaqkan di jalan Allah itulah yang menjadi aset ukhrawi kita. Harta yang tidak kita infaqkan di jalan Allah, akan hilang begitu saja. Tentang infaq ini, pada ayat lain Allah mengatakan,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahu” (QS Al-Baqarah: 261).
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa harta yang diinfaqkan fii sabilillah akan dilipatkangandakan sampai dengan tujuh ratus kali. Kalau angka itu dihitung dengan bunga bank, maka harta yang kita infaqkan itu akan diberi bunga oleh Allah sebesar 70.000 %. Adakah di dunia ini bunga bank yang sampai demikian besar? Pandangan seorang Muslim tentang balasan Allah di akhirat ini merupakan perbedaannya dengan orang kafir dalam sistem ekonominya. Orang kafir dalam sistem ekonominya hanya berorientasi pada masalah dunia, akan tetapi orang Islam berpikir tentang masalah dunia dan akherat sekaligus. Ketika kita memberikan infaq kita kepada seseorang, maka orang itu akan mendoakan kita. Apalagi jika yang kita berikan infaq itu orang yang miskin, lemah dan terdholimi. Kita tahu bahwa do’anya orang yang terdholimi akan mudah dikabulkan Allah Swt. Oleh karena itu kalau kita berinfaq fi sabilillah, harta kita justru akan bertambah.
Kalau kita mencoba merenungi, kenapa kita harus menginfaqkan harta benda kita di jalan Allah? Ini kita lakukan karena kita tidak tahu apakah rizki yang diberikan Allah Swt. kepada kita itu akan ada sampai tua, ataukah nantinya kita akan jatuh miskin sehingga tidak bisa lagi berinfaq. Di masyarakat kita seringkali kita melihat orang yang pada waktu mudanya kaya raya, akan tetapi pada waktu tuanya miskin sekali. Bagaimana tidak menyesal seorang Muslim jika ketika masih kaya tidak mau berinfaq, akan tetapi dalam sisa hidupnya jatuh miskin. Ar-rizqi itu biyadillah (rizki itu di tangan Allah Swt.). Kita tidak tahu berapa banyak rizqi yang dijatahkan Allah kepada kita, baik rizqi yang berupa harta benda maupun yang lainnya seperti kesehatan, umur, dan lain sebagainya. Karena kita tidak tahu berapa rizqi kita, maka jangan sampai ada persepsi bahwa ‘saya akan berinfaq nanti kalau sudah kaya’, atau ‘saya akan berda’wah nanti kalau sudah tua’. Kita tidak tahu berapa umur kita, karena umur biyadillah (di tangan Allah). Rizqi juga biyadillah.
Oleh karena itu ketika di depan kita ada potensi yang bisa dimanfaatkan untuk berinfaq atau untuk berda’wah, harus segera kita manfaatkan sesuai dengan ajaran Allah Swt. Mengapa? Karena semua itu akan dihisab oleh Allah Swt. Potensi yang diberikan Allah kepada kita merupakan amanah. Dan setiap amanah yang diberikan kepada kita harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Jadi tidak ada alasan sekarang kita tidak berinfaq karena sedang miskin. Kita akan ditanya mengapa pada waktu masih kaya kita tidak mau berinfaq? Makanya selanjutnya Allah mengatakan, “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezki.”
Penegasan Allah ini menunjukkan bahwa bukan kita yang menambah rizki. Kita hanyalah beruusaha untuk mencari rizki, dan Allah-lah yang menentukan rizki kita. Ini artinya belum tentu orang yang bekerja keras pasti rizkinya banyak, walaupun kita harus memahami bahwa bekerja merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Banyak orang yang bekerja keras dalam berbisnis akan tetapi rugi terus. Oleh karena itu, ketika kita diberikan rizki oleh Allah Swt., marilah kita infaqkan fii sabilillah, karena Allah pasti akan melipatgandakan ’bunga’nya. Dan ‘bank’nya Allah itu tidak ada istilah bangkrut.
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Artinya, kita harus berinfaq di jalan Allah, karena pada dasarnya kita pasti kembali kepada Allah Swt. Di akhiratlah kita akan menikmati hasil jerih payah kita selama hidup di dunia.
Jadi ayat yang berkaitan dengan infaq di jalan Allah ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Bani Isra’il itu adalah bangsa yang takut mati, dan juga bangsa yang takut fakir. Kalau ada orang Islam yang takut mati dan takut fakir, maka ia telah tertular penyakit yang diderita Bani Isra’il. Dan ketakutan-letakutan itu tidak ada solusinya kecuali kembali kepada segala aturan Allah Swt. Ini artinya, untuk menyelesaikan berbagai macam krisis yang menimpa kita, satu-satu jalan yang harus kita tempuh adalah kembali kepada Allah dengan segala aturan yang dikeluarkanNya. Walaupun orang lain berkata macam-macam, pada hakekatnya kita harus kembali kepada Allah semata. Kita akan merasa aman dan tidak akan terancam krisis, tidak ketakutan dan sebagainya, kalau kita kembali kepada Allah. Wallahu a’lam bishsawab.

Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan

2 Jul 2013 0 comments

“Setiap habis Ramadhan hamba rindu lagi Ramadhan.
Saat-saat ada beribadat tak terhingga nilai mahalnya.
Setiap habis Ramadhan hamba cemas kalau tak sampai.
Umur hamba di tahun depan, berilah hamba kesempatan.
Alangkah nikmat ibadat bulan Ramadhan, sekeluarga, sekampaung, senegara.
Kaum Muslimin dan Muslimat sedunia,
seluruhnya tunduk dipersatuan dalam memohon ridha-Nya.”
(Bimbo).

Itulah ekspresi kerinduan Bimbo terhadap bulan Ramadhan yang dituangkan dalam sebuah nasyid. Mereka rindu bertemu Ramadhan kembali, tatkala Ramadhan yang penuh kesejukan meninggalkan mereka. Mereka cemas, khawatir umur yang diberikan Allah Swt. tak cukup untuk mengantarkannya kepada bulan Ramadhan berikutnya.
Kecemasan tak akan bertemu kembali dengan Ramadhan adalah sebuah kewajaran. Beberapa saudara kita meninggal dunia sebulan menjelang Ramadhan. Mungkin juga ada tetangga kita dipanggil Allah Swt. sepekan menjelang Ramadhan. Bahkan mungkin nanti ada orang-orang dekat kita diwafatkan oleh Allah Swt. sehari menjelang Ramadhan, padahal mereka tentu sangat menginginkan dapat meraih keberkahan bulan Ramadhan sebulan penuh.
Alhamdulillah, saat ini kita tengah menghitung hari, menanti-nanti saat datangnya bulan suci Ramadhan 1434 H. Dialah tamu yang sangat dirindukan oleh setiap Mukmin sejati. Mukmin yang senantiasa mencintai kesejukan jiwa, ketenteraman batin, ketenangan pikiran, dan kedekatan dengan Allah Swt. Kita tentu sangat berharap bertemu Ramadhan, menikmati hari demi harinya yang penuh dengan rahmat hingga menggapai hari kemenangan, Idul Fithri.
Setiap Ramadhan yang dilalui selalu menyisakan kesan dan pengalaman tersendiri. Ketika masih remaja, di antara kita mungkin ada yang menjadi “anak masjid” lantaran hampir selama bulan Ramadhan aktifitas kita tak jauh dari masjid. Masa-masa itu tentu saja sulit untuk diulang kembali ketika kita telah memiliki tanggung jawab sebagai kepala rumahtangga yang harus mencari nafkah untuk keluarga.
Ketika masih mahasiswa, di antara kita mungkin ada yang pernah sibuk mengurusi acara pesantren kilat untuk mahasiswa baru selama tiga hari tiga malam. Segala kesibukan itu tampak terasa nikmat. Bahkan masih bisa kita nikmati hingga hari ini, ketika Ramadhan 1434H sebentar lagi menyapa kita.
Di antara orangtua, mungkin ada yang berusaha mencari informasi tentang pelaksanaan pesantren Ramadhan untuk anak-anaknya pada tahun lalu. Kesibukan itu seolah baru kemarin kita nikmati. Tahun ini pun, di antara para orangtua mungkin ada yang sudah bersiap-siap menyertakan anak-anaknya dalam madrasah Ramadhan. Semua itu, adalah kenikmatan, meski terasa sibuk, repot, dan berbiaya. Kita belum pernah mendengar ada orangtua yang memarahi anaknya, ketika anaknya memohon untuk ikut dalam madrasah Ramadhan.
Ramadhan 1434 H yang insya Allah akan kita masuki, mudah-mudahan akan memberikan nilai lebih dibanding Ramadhan sebelumnya. Kualitas dan kuantitas amaliyat kita lebih tinggi dari Ramadhan sebelumnya. Tentu saja hal ini bisa kita wujudkan bila kita pertama-tama menanamkan niat dan tekad yang kuat untuk mencapai keutamaan tersebut.
Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya sikap seorang Mukmin ketika menyambut bulan Ramadhan. Bukan dengan pesta pora. Bukan dengan mendatangi tempat-tempat yang dianggap kramat. Bukan pula dengan bunyi-bunyian petasan atau mercon yang membahayakan.
Simaklah khutbah Rasulullah Saw. ketika menyambut datangnya bulan suci Ramadhan:
Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rahmat, dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah Swt. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.
Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini hembusan nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima, dan doa-doamu di-ijabah (dikabulkan). Bermohonlah kepada Allah, Rabbmu dengan niat yang ikhlas dan hati yang suci, agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam (puasa) dan membaca Kitab-Nya.
Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah Swt. di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orangtuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal bagimu untuk memandangnya, tahan pendengaranmu dari apa yang tidak halal bagimu untuk mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya manusia mengasihi anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu, karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah 'Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih. Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.
Wahai manusia! Sesungguhnya dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.
Ketahuilah! Allah ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-'alamin.
Wahai manusia! siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang Mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. Sahabat-sahabat lain bertanya, "Ya Rasulallah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian." Rasulullah Saw. melanjutkan,  Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka, walaupun hanya dengan seteguk air.
Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirath al-mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan karyawan, pegawai atau pembantunya di  bulan ini, maka Allah Swt. akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, maka Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahim) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunnah di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardhu, baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, maka Allah akan memberatkan timbangan kebaikannya pada hari kiamat. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Qur`an, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Qu`ran pada bulan-bulan yang lain.
Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Rabbmu agar tidak pernah menutupkan bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah membukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berdiri dan bertanya, "Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?" Jawab Nabi, "Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah".
Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu'.
Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.
Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan (syahrul muwasah) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada Mukmin di dalamnya.
Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun.
Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah Saw., "Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu."
Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumahtangga), niscaya Allah mengampuni dosanya dan membebaskannya dari neraka.
Oleh karena itu, perbanyaklah empat perkara di bulan Ramadhan. Dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.
Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada ilah selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.
Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam khusus milik Allah, dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga" (HR. Ibnu Huzaimah). Wallahu a’lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto