• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Tiga Kelompok Manusia

7 Nov 2013 0 comments

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar” (QS Fathir: 32).

Makna zhalimun linafsihi merupakan sebutan bagi Muslim yang berbuat taqshir (kurang beramal) dalam sebagian kewajiban, ditambah dengan tindakan beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, termasuk dosa-dosa besar. Atau dengan kata lain, orang yang taat kepada Allah Swt., akan tetapi ia juga berbuat maksiat kepada-Nya. Karakter golongan ini tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut,
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan perkerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.  Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS At-Taubah: 102).
Orang-orang yang termasuk dalam muqtashid ialah mereka yang taat kepada Allah Swt. tanpa melakukan kemaksiatan, namun tidak menjalankan ibadah-ibadah sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Juga diperuntukkan bagi orang yang telah mengerjakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan saja. Tidak lebih dari itu. Atau dalam pengertian lain, orang-orang yang telah mengerjakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan perbuatan haram, namun diselingi dengan meninggalkan sejumlah amalan sunnah dan melakukan perkara yang makruh.
Kelompok sabiqun bil khairat memiliki ciri menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah Swt. dan menjauhi muharramat (larangan-larangan). Selain itu, keistimewaan yang tidak lepas dari mereka adalah kemauan untuk menjalankan amalan-amalan ketaatan yang sifatnya sunnah untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah Swt. Atau mereka adalah orang-orang yang mengerjakan amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah, serta pada saat yang sama menjauhi dosa-dosa besar dan kecil.
Terhadap golongan pertama (zalimun linafsihi), Syekh Nawawi memberikan definisi bahwa golongan ini ialah hamba-hambaNya yang dosanya lebih banyak ketimbang perbuatan baiknya. Golongan kedua, yaitu muqtashid, memiliki definisi bahwa orang yang perbuatan baik sebanding dengan perbuatan buruk. Terakhir, golongan saabiq bil khairaat, ialah hamba-hambaNya yang senantiasa bersabar dalam ketaatan serta memprioritaskan kebaikan.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhaajul ‘Abidiin, kelompok zalim terhadap diri sendiri adalah kelompok yang paling merugi karena dahulu semasa di dunia, mereka banyak memperturutkan hawa nafsu, berbuat dosa pada Allah dan sesama serta enggan bertobat.  Sedangkan golongan kedua, karena antara perbuatan baik dan dosanya seimbang, maka hak Allah sepenuhnya, apakah ia masuk surga atau dicampakkan ke dalam neraka. Sedangkan golongan ketiga, Allah Swt. akan memberikan sebaik-baiknya ganjaran, sesuai dengan ayat selanjutnya dalam surah yang senada.
Mengapa golongan zhalim linafsihi lebih didahulukan daripada dua golongan lainnya (al-muqatshid dan sabiqun bil-khairat), padahal kelompok zhalim linafsihi merupakan tingkatan Muslim yang terendah dari tiga golongan yang ada? Sebagian ulama berpendapat, supaya golongan pertama itu tidak mengalami keputusasaan dari rahmat Allah Swt., dan golongan sabiqun bil khairat tidak silau dan terperdaya dengan amalan sendiri. Apalagi pada kalimat sabiqun bil khairat diikuti kalimat bi idznillaah yang berarti semangat melakukan amal saleh semata-mata karena rahmat dan kehendak Allah Swt.
Yahya bin Muadz berkata, “Manusia terbagi ke dalam tiga kelompok; (1) Orang yang lebih sibuk dengan akhirat daripada dunia; (2) Orang yang lebih sibuk dengan dunia daripada akhirat; (3) Orang yang sibuk dengan keduanya sekaligus. Kelompok pertama orang-orang sukses, kelompok kedua orang-orang celaka, dan kelompok ketiga  orang-orang yang dalam kondisi kritis (Shifatu Ash-Shofwah, Jilid IV hal.93).
Dalam buku Waahatu Al-Iman, Abdul Hamid Al-Bilali (1987) mengungkapkan bahwa kelompok pertama adalah orang-orang yang obsesi hidupnya didominasi oleh akhirat. Mereka bekerja di dunia selalu dengan kacamata akhirat. Mereka tahu apa saja yang ada di dunia adalah sarana yang diciptakan Allah Swt. untuk membantu manusia untuk merealisasikan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah Swt. (QS Adz-Dzariyat: 56). Mereka memperlakukan dunia sebagai sarana dan meletakannya di genggaman mereka. Mereka mengendalikan dunia, supaya tidak dikendalikan dunia. Mereka tidak menjauhkan diri dari dunia dan mengisolasi diri dari kesibukan dunia karena mereka tahu bahwa tugas mereka adalah memperbaiki diri dan orang lain, serta memanfaatkan seluruh potensi dunia untuk kepentingan akhirat.
Kelompok kedua adalah orang-orang yang rasa cintanya kepada dunia begitu menguasai jiwa mereka, hingga melupakan akhirat. Mereka mengira dunia itu segala-galanya. Mereka tidak memahami bahwa dunia adalah sarana untuk membantu meraih kesuksesan di akhirat. Yang lebih parah lagi meraka memahami dunia sebagai tujuan akhir penciptaan manusia, sehingga menjadikan dunia sebagai tuhan selain Allah Swt. Mereka meletakkan dunia di dalam hati, dan menghabiskan seluruh umurnya untuk dunia. Harta, wanita, tahta adalah tujuan hidup mereka.
Kelompok ketiga adalah orang-orang yang tidak jelas statusnya. Mereka tidak mau masuk kelompok pertama atau kelompok kedua. Pada saat yang sama mereka ingin mendapatkan sebagian karakteristik kelompok pertama dan sebagian karakteristik kelompok kedua. Sekali waktu mereka menyembah Allah Swt., dan pada waktu yang lain mereka menyembah selain Allah. Seolah-olah mereka sedang berputar-putar di pinggir jurang sebagaimana firman Allah Swt.,
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS Al-Hajj: 11).
Sebagai Mukmin yang senantiasa merindukan surga dan terhindar dari siksa neraka, tentu kita berusaha untuk menjadi Mukmin yang senantiasa sami’na wa atha’na ketika mendengar seruan Allah Swt. Untuk menjadi Mukmin yang selalu bersegera dalam melaksanakan kebaikan (sabiqun bil khairat), tentu kita harus membiasakan diri untuk tidak menunda-nunda setiap kebaikan atau amal shaleh yang ada di hadapan kita. Bagi Mukmin yang membiasakan diri shalat berjamaah di masjid, akan merasa rugi dan bersalah apabila mereka terlambat memenuhi seruan adzan lantaran kesibukan yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, mari kita berlomba-lomba dan bersegera melaksanakan setiap kebaikan dengan mengharap ridha Allah Swt. Wallahu a’lam bish shawab.


[1] Yang dimaksud dengan orang yang Menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya Amat banyak dan Amat jarang berbuat kesalahan.

Kedaulatan Allah di Muka Bumi

10 Okt 2013 0 comments

Oleh Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ’Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab, ’Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak.’ Nabi (mereka) berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah: 247).
Kita telah memahami bahwa Bani Israil melakukan kesalahan fatal dalam memahami masalah kepemimpinan. Lebih jauh, mereka tidak mempunyai standar yang benar tentang kriteria bagi seseorang yang berhak untuk menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat. Dalam hubungannya dengan penolakan mereka atas penunjukan Thalut sebagai raja yang harus mereka taati oleh Nabi yang diutus kepada mereka karena memenuhi permintaan mereka sendiri, ada beberapa kesalahan fatal yang bisa kita temukan dari sikap mereka, yaitu pertama, mereka menganggap bahwa kelayakan seseorang untuk menjadi pemimpin diantaranya ditentukan oleh faktor keturunan. Berdasarkan alasan ini mereka menolak penunjukan Thalut menjadi raja mereka, karena Thalut bukanlah seorang keturunan raja. Bahkan Thalut adalah keturunan rakyat biasa. Oleh karenanya, Bani Israil tidak mau menerima Thalut untuk menjadi raja mereka.
Alasan penolakan yang kedua adalah karena menurut mereka, seorang pemimpin haruslah seorang yang kaya. Sedangkan menurut mereka, Thalut tidak termasuk orang yang kaya di antara mereka, sehingga mereka sangat menentang ketika Nabi yang diutus kepada mereka menunjuk Thalut untuk menjadi raja mereka. Sekalipun kisah ini adalah kisah Bani Israil namun ada diantara masyarakat kita yang tertular penyakit semacam ini ketika memilih pemimpin. Ada diantara masyarakat kita yang berpendapat bahwa seseorang yang akan menjadi pemimpin harus sudah kaya terlebih dahulu. Pernyataan ini sungguh aneh, karena seorang pemimpin dalam Islam tidak disyaratkan bahwa ia harus kaya. Fakta sejarah menunjukkan bahwa setelah Rasulullah Saw. meninggal, yang menggantikan beliau bukanlah orang yang paling kaya pada waktu itu, bahkan sebagian besar di antaranya termasuk orang yang miskin. Abu Bakar Ra., Umar bin Khathab Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. bukan orang yang paling kaya di masyarakat pada waktu itu. Namun ketika beliau-beliau ini menjadi seorang pemimpin, berhasil membawa masyarakatnya untuk senantiasa menjaga ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Pelajaran penting lainnya yang bisa kita dapatkan dari ayat ini adalah tentang sistem pemerintahan menurut pandangan Al-Qur’an al-Karim. Agar suatu pemerintahan bisa berdiri dengan kokoh dan berjalan sesuai dengan tuntunan Allah Swt., hal terpenting yang harus diperhatikan bukanlah banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh negara tersebut, akan tetapi yang paling penting kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam bangsa tersebut. Oleh karena itulah pada ayat ini Allah Swt. mengatakan, Nabi mereka berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’
Dari penggalan ini kita mendapatkan pelajaran bahwa untuk menjadi pemimpin, maka yang terpenting adalah quwwatul ‘ilm (kemampuan intelektualnya) sehingga ia mampu mengatur pemerintahannya dengan baik, dan juga quwwatul jism (kekuatan fisik). Kedua-duanya harus ada pada seorang pemimpin. Kalau ada seorang pemimpin yang fisiknya perkasa akan tetapi tidak mempunyai ilmu yang cukup, maka tidak akan bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik. Bahkan sangat mungkin ia akan menjadi seorang pemimpin yang hanya mengandalkan kekuatannya belaka sehingga tidak menghormati HAM yang dimiliki rakyatnya. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya memiliki ilmu saja akan tetap fisiknya lemah, ia tidak akan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Jadi kedua-duanya harus ada pada seorang pemimpin.
Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ilmu yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Thalut seperti yang dimaksud pada ayat ini adalah ‘ilmu fii tatbiirul hukumah (ilmu untuk mengatur negara), ‘ilmu fii tatbiirus siyasah (ilmu untuk mengatur kehidupan berpolitik), dan ‘ilmu fii tatbiirul harb (ilmu untuk mengatur strategi dalam peperangan). Sebagian Ahli Tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ‘ilmu nubuwah. Namun kalau kita perhatikan, penafsiran yang terakhir ini kurang tepat, karena Thalut tidak dipersiapkan oleh Allah Swt. untuk menjadi seorang Nabi.
Jadi, syarat yang penting bagi seseorang untuk menjadi raja atau menjadi seorang khalifah adalah kualitas SDM-nya yang dalam hal ini adalah kemampuan intelektualnya dan kekuatan fisiknya, dan sama sekali bukan diukur dari banyaknya kekayaan yang dimilikinya. Kenapa? Karena dengan quwwatul ‘ilm wa quwwatul jism (kekuatan ilmu dan fisiknya), ia akan mampu menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dengan kemampuan intelektualnya, ia akan berusaha agar ekonomi di masyarakatnya bisa berkembang dengan baik, mampu untuk membuka lapangan kerja, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh masyarakatnya. Sebaliknya, walaupun hartanya banyak akan tetapi kalau tidak mempunyai quwwatul ‘ilm, maka dia akan kaya sendirian dan membiarkan rakyatnya tetap menderita. Kita tentu tidak menginginkan seorang pemimpin yang seperti itu.
Berkenaan dengan pentingnya kualitas SDM dalam suatu masyarakat, Aristoteles pernah mengatakan, “Harta benda akan tumbuh jika rakyat berkualitas.” Contoh nyata yang bisa kita ambil adalah kehidupan yang berlangsung di jaman Rasulullah Saw. dan para Shahabat. Ketika Rasulullah Saw. hijrah bersama para shahabatnya dari Mekah ke Madinah, sebagian besar shahabat yang ikut hijrah adalah orang miskin, karena banyak di antaranya yang harus meninggalkan harta bendanya di Mekah agar bisa mengikuti Rasulullah Saw. berhijrah.
Akan tetapi karena para shahabat Rasulullah ini mempunyai kualitas SDM yang tinggi, kemiskinan itu tidak menjadi permasalahan yang serius bagi mereka. Bahkan dengan kualitas SDM yang sangat baik itu, kemudian terjadilah banyak perubahan yang signifikan. Salah seorang shahabat yang bernama Abdurrahman bin Auf yang ketika tiba di Madimah kemampuan ekonominya bisa dikatakan nol, tidak lama kemudian menjadi orang yang kaya, bahkan termasuk orang yang terkaya di Madinah. Padahal sebelum kedatangan kaum Muhajirin ke Madinah, perekonomian di sana dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Namun dengan kualitas SDM yang mumpuni dan disertai dengan usaha keras yang dilandasi niat yang ikhlas, peta kekuatan ekonomi itu kemudian mengalami pergeseran-pergeseran penting. Karena demikian penting faktor manusia dalam menentukan kemuajuan suatu masyarakat, maka pembangunan kualitas SDM jauh lebih penting daripada sekedar pembangunan fisik.
Dengan kata lain binaa-ur rijal muqoddamun ‘ala binaa-ul ahjar (pembinaan manusia harus lebih diutamakan daripada pembinaan batu (maksudnya pembangunan fisik). Kalau manusia-manusia yang ada dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang berkualitas handal, maka setiap anggota masyarakat akan ikut mengambil bagian secara aktif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan di masyarakat itu. Sebaliknya, jika yang dibangun hanyalah masalah fisik dan kurang memperhatikan pembangunan manusianya, maka semuanya akan berlangsung sia-sia, karena manusia-manusia yang ada dalam masyarakat tersebut tidak akan bisa memanfaatkan kemajuan di sektor fisik. Dan sangat mungkin mereka akan merusak kembali kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam sektor fisik.
Pada penggalan selanjutnya Allah mengatakan, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’’ Jadi logika Bani Israil yang salah dalam masalah kepemimpinan itu dijawab oleh Allah dengan logika Qur’ani yaitu,
Pertama, bahwa Thalut adalah pilihan Allah Swt. dan pilihan Allah berarti adalah pilihan yang terbaik.
Kedua, Allah Swt. ketika memilih hambanya bukan tanpa alasan, akan tetapi semua itu disertai alasan yang jelas, yaitu karena Thalut dianugerahi Allah Swt. berupa quwwatul ‘ilm wa quwwatul jism.
Ketiga, Allah memberikan kekuasaan hanya kepada orang yang dikehedaki-Nya. Dalam sistem pemerintahan robbani ditegaskan bahwa kedaulatan dan kekuasaan itu semata-mata adalah milik Allah Swt. Seorang raja, pemimpin atau khalifah hanya bertindak sebagai pelaksana perintah-perintah Allah Swt. Jadi, kedaulatan sebuah negara dalam pandangan Islam ada di tangan Allah Swt. semata. Seorang presiden dan menteri-menterinya hanya sekedar melaksanakan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ini harus kita pahami benar. Jadi tidak benar pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, sementara rakyat (manusia) itu tidak ma’shum, sehingga sangat mungkin suatu saat mereka terkena pengaruh hawa nafsunya. 
Inlah perbedaan sistem dalam negara Islam dengan sistem yang lainnya. Manusia semuanya adalah hamba Allah. Ar-rois (pemimpin) adalah hamba Allah, dan ar-ro’iyyah (rakyat) juga hamba Allah Swt. Ketika seseorang diangkat menjadi kepala negara, itu bukanlah hal yang istimewa. Penunjukan seseorang untuk menjadi pemimpin hanya sekedar pembagian tugas, agar Islam yang syamil ini diamalkan dengan sebaik-baiknya karena setiap orang mempunyai tugas masing-masing. Dengan adanya pembagian tugas ini, baik sebagai pemimpin atau sebagai rakyat, sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang, kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad pada hal yang memang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad. Dan ijtihad ini hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten, dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Namun demikian, ijtihad ini tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah Syari’ah Islam secara umum. Wallahu a’lam bishshawab.

Ihsan dalam Menyembelih Hewan Qurban

7 Okt 2013 0 comments


Diriwayatkan dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Ra., dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) atas segala sesuatu. Bila kalian membunuh, maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik, dan jika kalian menyembelih, maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang terbaik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan hewan yang disembelihnya” (HR Muslim).

Berbuat ihsan terhadap segala sesuatu adalah sebuah kewajiban syar’i sebagaimana firman Allah Swt., “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan ihsan...” (QS An-Nahl: 90). Dalam ayat lain disebutkan, “...Dan berbuat ihsan-lah kalian, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan” (QS Al-Baqarah: 195).
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdar-nya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini,
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu…” (QS Al-Qashash: 77).
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah Swt.
Termasuk perbuatan ihsan adalah ketika menyembelih hewan qurban, yaitu dengan mengasah pisau hingga tajam, karena hal ini akan menenangkan hewan yang disembelih dan mempercepat kematiannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar Ra., ia berkata, “Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menajamkan pisau dan menyembunyikannya dari binatang yang akan disembelih.” Rasulullah Saw. bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian hendak menyembelih hewan, makan sembelihlah dengan sekali sembelihan.” Maksudnya tidak boleh mengangkat pisau dan kemudian mengulang lagi.
Termasuk ihsan dalam menyembelih hewan adalah dengan cara menuntun hewan yang hendak disembelih dengan lembut. Dalam Sunan Ibnu Majah terdapat sebuah riwayat dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah Saw. melewati seseorang yang menuntun seekor kambing dengan menarik telinganya, maka Rasulullah Saw bersabda, ‘Lepaskanlah telinganya dan pegang bagian depan lehernya.’” Imam Ahmad berkata, “Binatang yang akan disembelih dituntun ke tempat penyembelihan dengan lembut, disembunyikan darinya pisau yang akan digunakan untuk menyembelih, dan tidak ditampakkan kecuali ketika hendak menyembelihnya.”
Berbuat ihsan ketika menyembelih hewan juga dilakukan dengan cara memotong urat lehernya hingga putus. Disebutkan dalam Sunan Abu Daud, dari Ibnu Abbas Ra., dari Abu Hurairah Ra., dari Nabi Saw. bahwa beliau melarang menyembelih hewan yang hanya melukai kulitnya dan tidak memotong urat lehernya.
Juga dianjurkan agar tidak menyembelih hewan di depan hewan lainnya, namun menghadapkan hewan yang akan disembelih ke arah kiblat, membaca basmallah, membiarkannya hingga mati, menghadirkan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan mengakui bahwa binatang yang disembelihnya adalah pemberian Allah Swt., karena Allah-lah yang telah menundukkan dan memberikan hewan-hewan itu untuk kita.
Termasuk ihsan terhadap hewan adalah tidak membebani di luar kemampuannya. Tidak menaikinya kecuali diperlukan, dan tidak memeras susunya kecuali jika tidak membahayakan anaknya. Wallahu a’lam bish shawab.

Keutamaan Ibadah Haji

0 comments


Ibadah haji merupakan puncak peribadatan seorang Muslim sebagai penunaian rukun Islam yang ke lima. Ulama menganalogikan haji sebagai pagar bagi sebuah bangunan yang berfungsi untuk menjaga dan memperindah bangunan tersebut. Namanya juga pagar, boleh jadi harus dibuat, jika mampu, namun jika tidak mampu, ya tidak apa-apa.
Berbeda dengan rukun Islam yang lain. Syahadat diibaratkan dengan pondasi, dan karenanya harus kuat. Shalat lima waktu ibarat tiang, yang juga harus kokoh. Puasa ibarat dinding, yang berfungsi sebagai perisai. Dan zakat merupakan atap yang berfungsi untuk menaungi isi bangunan.
Ibadah haji, hanya dilaksanakan bagi mereka yang mampu sebagaimana firman Allah Swt., “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS Ali Imran: 97). Yang dimaksud dengan mampu di sini adalah cukup memiliki perbekalan, alat transportasi, serta sehat jasmani dan ruhani.
Ada banyak keutamaan pelaksanaan ibadah haji, di antaranya adalah,
1.        Amal yang paling utama. Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah Saw. pernah ditanya, ”Amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, ”Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanya lagi, ”kemudian apa lagi?” Rasul menjawab, ”Jihad di jalan Allah.” Ditanya lagi, ”Kemudian apa lagi?” Rasul menjawab. ”Haji mabrur” (HR Bukhari).
2.        Haji adalah jihad. Hasan bin Ali Ra. meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, ”Saya seorang penakut dan lemah.” Rasulullah bersabda, ”Mari menuju jihad yang tidak ada duri, yaitu haji.” Abu Hurairah meriwayatkan bahwa rasulullah Saw. bersabda, ”Jihadnya orang tua, orang lemah dan wanita adalah haji dan umrah.” (HR Nasa’i). Aisyah meriwayatkan bahwasanya di berkata, ”Wahai Rasulullah, engkau telah menjelaskan bahwa jihad adalah amal yang paling utama, bolehkah kami ikut berjihad?” Rasulullah bersabda, ”Akan tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur” (HR Bukhari).
3.        Haji penghapus dosa. Rasulullah Saw. bersabda, ”Barangsiapa melaksanakan ibadah haji lalu dia tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat fasik maka dia kembali seperti hari saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari).
4.        Jamaah haji adalah tamu Allah. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, Tamu Allah ada tiga, orang melaksanakan haji, umrah, dan yang berperang (dijalan-Nya). Apabila mereka berdoa kepada-Nya, maka Dia kabulkan. Dan apabila mereka memohon ampun kepada-Nya, maka Dia ampuni mereka” (HR Ibnu Hibban).
5.        Haji mabrur balasannya surge. Abu Hurairah Ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ibadah umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya dan haji mabrur tiada balasannya melainkan surga” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish shawab.

Ketika Kezaliman Dibiarkan

18 Sep 2013 1 comments

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya” (QS Al-Anfal: 25).
Mengomentari ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah memerintahkan kepada kaum Mukminin agar tidak mendiamkan saja kemungkaran terjadi di sekitar mereka sehingga azab tidak menimpa secara merata kepada mereka. Di dalam Shahih Muslim dari Zainab binti Jahsy bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan dibinasakan padahal ada orang-orang shalih di tengah kami.?” Beliau menjawab, “Ya, bila keburukan telah demikian banyak.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila perbuatan-perbuatan maksiat di tengah umatku telah nyata, maka Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata.” Ia berkata, “Lalu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bukankah di tengah mereka itu ada orang-orang yang shalih.?’ Beliau menjawab, “Benar.” Ia berkata lagi, “Bagaimana jadinya mereka.?” Beliau bersabda, “Apa yang menimpa orang-orang menimpa mereka juga, kemudian nasib akhir mereka mendapatkan ampunan dan keridlaan dari Allah.”
Fitnah, kerusakan, atau azab yang terjadi akibat perbuatan maksiat itu tidak hanya menimpa pelakunya, tetapi juga orang lain yang tidak terlibat langsung. Realitas ini digambarkan Rasulullah Saw. dengan sabdanya, “Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan orang-orang yang melanggarnya bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal, sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya. Orang-orang yang berada di bagian bawah kapal, jika hendak mengambil air, melewati orang-orang yang berada di atas mereka. Mereka berkata, ‘Seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada di atas kita.’ Apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa. Jika  mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka selamat dan menyelatkan semuanya” (HR Al-Bukhari).
Ilustrasi Rasulullah Saw. itu amat sesuai dengan realitas kehidupan. Ketika korupsi dikerjakan oleh segelintir orang yang menjadi penguasa di negeri ini dan berakibat kepada kebangkrutan negara, seluruh rakyat ikut menanggung akibatnya. Demikian juga penggundulan dan pembakaran hutan. Banjir bandang, tanah longsor, dan pengapnya asap akibat perbuatan maksiat itu dirasakan seluruh orang. Dan salah satu fitnah (dosa) besar yang saat ini terjadi adalah menghalangi kaum Muslimin dalam menegakkan syariat Islam pada sebuah pemerintahan yang sah seperti yang terjadi di Palestina, Mesir, dan di beberapa Negara Muslim lainnya. Agar peristiwa mengerikan itu tidak terjadi, setiap kemungkaran harus dicegah, dan setiap kezaliman itu harus dihentikan.
Orang-orang yang berjihad di jalan Allah, jiwa mereka menyatu dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tentara Allah (junudullah) yang ada di langit dan bumi. Sehingga, apabila mereka dibunuh karena alasan akan menegakkan syariat Islam, maka alam semesta yang merupakan bagian dari tentara Allah akan murka, karena Allah Swt. murka terhadap orang-orang kafir dan musyrik yang menghalangi kaum Muslimin dari jalan Allah.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Tidak halal darah seorang Muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu orang yang berzina padahal ia sudah menikah, membunuh jiwa (orang lain) tanpa alasan syar’i, dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah (kaum Muslimin)’.” (HR al-Bukhâri dan Muslim). Bahkan Beliau menegaskan bahwa dosa membunuh seorang Mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.
Maka bukanlah hal yang mustahil bila banyak bencana terjadi pasca pembunuhan kaum Muslimin di Palestina, Suriah, Myanmar, Mesir, dan di beberapa belahan bumi lainnya. Beberapa bencana tersebut di antaranya;
1.        Bencana longsor terjadi di Provinsi Sichuan, China (10/7/2013) menewaskan 40 orang.
2.        Kecelakaan Kereta api di Santiago de Compostela, Spanyol (24/7/2013) menewaskan 78 orang.
3.        Cuaca panas mencapai 40 derajat celcius di China (31/7/2013) menewaskan 10 orang.
4.        Pesawat jatuh di dekat bandar udara di East Haven, Connecticut, Amerika Serikat, (9/8/2013) menewaskan 4 penumpangnya.
5.        Banjir besar di Colorado, AS yang merusak puluhan ribu rumah dan 1.200 orang dinyatakan hilang (15/9/2013).
6.        Penembakan yang dilakukan oleh Aaron Alexis (mantan pasukan marinir AS, 34 tahun) yang menewaskan 13 orang (16/9/2013).
7.        Badai Man-Yi berkecepatan 140 km/jam menerjang beberapa wilayah di Jepang, termasuk Kota Tokyo dan Kyoto (16/9/2013). Sebanyak 320 ribu KK diungsikan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.
Dan masih banyak bencana alam lainnya. Mungkin juga termasuk bencana alam yang menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Semoga kita terhindar dari bencana besar akibat pembiaran terhadap kezaliman yang terjadi di muka bumi ini. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.


Evaluasi Ramadhan

23 Agu 2013 1 comments

Fitrah adalah kertas putih bersih tanpa noda sedikit pun. Fitrah adalah air bening tanpa kotoran dan bau. Fitrah adalah hati yang suci bersih tanpa karat hasad, dengki, takabur, riya, dan berbagai penyakit hati lainnya. Fitrah adalah cahaya hati yang menerangi jalan kebenaran. Fitrah membimbing orang-orang beriman meniti jalan ketaqwaan. Fitrah adalah ketaatan kepada segala ketentuan Allah Swt., Rabbul ‘alamin. Fitrah adalah semangat untuk beribadah menghambakan diri kepada Sang Pencipta. Fitrah tak lain adalah Islam itu sendiri yang telah tertanam sejak manusia diciptakan.
Meski fitrah asalnya suci, akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan manusia berinteraksi dengan lingkungan yang kurang menumbuhsuburkan fitrah itu, ada kalanya fitrah terkena bercak noda dan dosa. “Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka orangtuanyalah (lingkungannyalah) yang menyebabkan dirinya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (Al-Hadits).
Untuk itulah Allah Swt. menjadikan puasa Ramadhan bagi setiap Mukmin. Puasa Ramadhan berfungsi membersihkan karat noda dan dosa, yang disadari atau tidak, bersarang di dada orang-orang beriman. Puasa Ramadhan adalah rahmat, ampunan, dan garansi pembebasan dari siksa api neraka bagi Mukmin yang benar-benar melaksanakan kewajiban tersebut semata-mata karena iman dan hanya mengharap ridha Allah Swt.
Selama sebulan penuh kita dibiasakan menahan lapar, menahan hawa nafsu, menahan untuk tidak berdusta, bergosip, ghibah, fitnah, namimah, hasad, dengki, riya, dan menahan diri dari sifat-sifat tercela lainnya. Selama sebulan penuh kita dibiasakan menjaga perut kita dari makanan-makanan yang halal pada siang hari agar kita terbiasa menahan diri dari makanan-makanan yang haram. Selama sebulan penuh kita dibiasakan menjaga nafsu syahwat terhadap wanita yang dihalalkan bagi kita, yaitu istri, di siang hari, agar terbiasa menahan nafsu syahwat terhadap wanita yang diharamkan bagi kita. Selama sebulan penuh kita dibiasakan tilawah Al-Qur`an bahkan mampu mengkhatamkan minimal sekali, agar pikiran, hati, ucapan, dan sikap kita sesuai dengan pesan-pesan Al-Qur`an.
Selain itu, kita juga ditempa agar terbiasa shalat berjamaah di masjid. Pembiasaan ini amat penting bagi setiap Mukmin, karena hanya orang-orang berimanlah yang layak memakmurkan masjid-masjid Allah, sebagaimana firman-Nya, Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS At-Taubah: 18).
Disampung kewajiban berzakat, yang merupakan kewajiban setiap Mukmin, kita juga dilatih menjadi seorang dermawan yang murah hati, senang membantu dan meringankan beban orang lain. Latihan berinfaq dan bershadaqoh akan membentuk sikap peduli dan kasih sayang kepada sesama Muslim yang akhirnya bermuara pada terbentuknya ukhuwah Islamiyah.
Marilah kita mengevaluasi diri, apakah puasa Ramadhan yang telah kita lalui selama sebulan penuh berkorelasi positif terhadap peningkatan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah Swt. Ada beberapa parameter yang dapat kita jadikan bahan evaluasi, yaitu puasa Ramadhan, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat tarawih dan qiyamullail, zakat-infaq-shadaqoh, tilawah Al-Qur`an, dan tazkiyatu an-nafs.
Pertama, bagaimana dengan puasa kita? Sudahkah kita melaksanakan puasa dengan memperhatikan setiap rambu-rambunya, baik yang membatalkan puasa atau yang membatalkan pahala puasa? Puasa adalah inti dari peribadatan di bulan Ramadhan. Kalau puasa Ramadhan dilaksanakan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah Swt. semata, maka insya Allah, dosa-dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah Swt. Inilah janji Rasulullah Saw. kepada umatnya.
Mungkin kita sudah menjaga hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi sudahkah kita menjaga hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa? Sudahkah kita menahan diri dari berdusta dan segala perkataan kotor? Sudahkah kita menjauhi ghibah, gosip, hasad, dan dengki? Inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya, “Berapa banyak orang berpuasa, akan tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan hausnya saja.”
Kedua, apakah selama sebulan penuh kita melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid? Shalat lima waktu adalah kewajiban harian setiap Mukmin yang pada bulan Ramadhan diharapkan meningkat kualitasnya. Shalat lima waktu menjadi parameter bagi baik atau buruknya ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam hadits riwayat Abdillah bin Qathin, “Amal yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Bila shalatnya baik, maka seluruh amalnya yang lain menjadi baik. Dan bila shalatnya rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya yang lain.”
Pembiasaan diri agar melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di masjid dimaksudkan agar di antara kaum Mukminin terjalin ukhuwah Islamiyah yang mengokohkan barisan umat Islam. Dan Allah Swt. melebihkan pahala shalat berjamaah antara 25-27 kali dibandingkan shalat sendirian, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “(Pahala) shalat berjamaah dibandingkan (pahala) shalat seorang diri adalah dua puluh lima kali lipat. Malaikat yang berjaga di malam dan siang hari berkumpul menyaksikan (mereka) yang melaksanakan shalat Shubuh (berjamaah)” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dalam hadits lain disebutkan, “(Pahala) shalat berjamaah dibandingkan dengan (pahala) shalat seorang diri adalah dua puluh tujuh kali lipat” (HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khaththab).
Bahkan, bukan sekedar pembiasaan shalat berjamaah saja, akan tetapi pembiasaan shalat berjamaah itu dilaksanakan di masjid, tidak di rumah-rumah. Karena Allah Swt. menginginkan agar orang-orang beriman memakmurkan masjid-masjid Allah.
Dengan pembiasaan tersebut,  apalagi dikerjakan di awal waktu, maka diharapkan di bulan-bulan lainnya umat Islam terbiasa dengan melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di awal waktu dengan memenuhi masjid-masjid Allah yang ada lingkungan masyarakat, di area perindustrian, atau di perkantoran. Shalat berjamaah di awal waktu akan membentuk sikap disiplin, agar umat Islam menghargai waktu dan tidak melewati waktunya terbuang percuma.
Ketiga, apakah kita telah melaksanakan shalat tarawih atau qiyamullail secara penuh dan baik? Inti dari pembiasaan shalat sunnah tarawih adalah agar kita membiasakan diri untuk menghidupkan malam (qiyamullail) di bulan-bulan lainnya dengan melaksanakan shalat tahajud dan tilawah Al-Qur`an. Menghidupkan malam adalah sunnah Rasul yang sangat dianjurkan. Bahkan beliau mewajibkan shalat tahajud bagi dirinya sendiri. Menghidupkan malam dengan ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat tahajud dan tilawah Al-Qur`an memiliki berbagai keutamaan. Doa-doa kita pada malam-malam itu dikabulkan oleh Allah Swt.
Qiyamullail adalah tangga menuju kemuliaan jiwa yang menghidupkan ruh dan mensucikan hati. Ketika jiwa-jiwa manusia tengah terlelap tidur, maka jiwa-jiwa yang menghidupkan malam dengan beribadah berdialog dengan Rabb yang Maha Pencipta. Tak ada hijab antara mereka dengan Allah Swt.
Keempat, bagaimana dengan kewajiban zakat dan latihan infaq dan shadaqoh kita? Apakah kita sudah mengeluarkan zakat harta sesuai dengan perhitungan yang telah ditentukan syara’? Ataukah kita mengeluarkan zakat sesuai dengan kerelaan bukan berdasarkan kewajiban? Mungkin saja ada seorang Muslim yang mengeluarkan zakat hartanya dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang semestinya. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang mengorupsi sebagian zakat harta.
Dengan mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqoh, selain kita diajarkan agar selalu mencari harta yang halal, kita juga diajarkan berempati sekaligus kepedulian kepada orang-orang yang tengah mengalami kesulitan harta. Apalagi Ramadhan tahun ini diawali dengan kenaikan harga BBM yang mendorong kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. 
Keberhasilan madarasah Ramadhan dapat dilihat dari ada tidaknya peningkatan dalam iman dan taqwa dalam bentuk ketundukan dan ketaatan kepada hukum dan ketentuan Allah Swt. di bulan Syawal. Syawal artinya peningkatan. Maka, beruntunglah orang yang pada Syawal tahun 1426 H ini iman dan taqwanya lebih baik daripada Syawal tahun lalu. Dan celakalah orang yang pada Syawal tahun ini lebih buruk iman dan taqwanya dibandingkan Syawal tahun lalu. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi apalagi celaka. Wallahu a’lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto