• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Wali Allah

12 Des 2012 0 comments


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra., ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang memusuhi para wali/kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya. Jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku beri perlindungan” (Hadits Qudsi Riwayat Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqaaq).
Sebagian masyarakat kita masih ada yang keliru dalam memahami wali Allah. Dalam pemahaman mereka, wali adalah orang yang memiliki kelebihan tertentu yang tidak dipunyai oleh manusia pada umumnya. Oleh karenanya, seorang wali haruslah memiliki kemampuan melihat masa depan. Seorang wali dapat merasakan atau bahkan dapat melihat sesuatu yang terjadi di tempat lain yang jauh dari tempatnya berpijak. Seorang wali dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekejap. Pendeknya, seorang wali haruslah orang yang memiliki kekuatan gaib. Pandangan ini persis seperti yang digambarkan dalam film-film yang mengisahkan tentang wali atau orang-orang saleh.
Pemahaman seperti ini, tentu saja lebih banyak kelirunya ketimbang benarnya. Bila parameter utama seorang wali adalah kekuatan gaib, maka mereka yang memiliki pandangan seperti itu akan mudah terkecoh oleh setan, karena setan dapat mengajarkan kemampuan gaib (sihir) kepada manusia yang menjadi mitranya.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia …” (QS Al-Baqarah: 102).
Dalam bahasa Arab, wali berasal dari kata wala` yang artinya loyalitas. Lawan wala` adalah bara` (berlepas diri). Jadi, wali Allah adalah orang yang memberikan loyalitas, pemihakan, pengabdian, dan dukungan kepada Allah. Dengan demikian, wali Allah bertanggung jawab terhadap berjalannya hukum dan ketentuan Allah di muka bumi.
Dalam ungkapan bahasa Indonesia, wali murid berarti orang yang bertanggung jawab atas apa yang berkaitan dengan seseorang yang berstatus sebagai murid. Wali murid tidak mesti orangtua dari si murid. Sedangkan wali kelas adalah orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan belajar mengajar di dalam kelas.
Dalam kitab “Fathul Baari”, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Wali Allah adalah orang yang mengenal Allah, selalu menaati Allah, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”
Muhammad bin Said bin Salim al-Qahthany dalam kitab Al-Wala` wal-Bara` fil Islam min Mafaahim Aqidatis Salaaf menulis, “Golongan yang memenuhi dakwah para Rasul dan beriman kepda Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, yang diutus sebagai rahmat bagi manusia, mereka itulah yang disebut wali-wali Allah. Sedangkan golongan yang berpaling dan takabur, maka mereka itulah wali-wali setan.”
Dasar dari perwalian adalah mahabbah (cinta) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sedangkan dasar dari bara` adalah kebencian dan permusuhan. Allah Swt. berfirman,
 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yunus: 62-64).
Menurut ayat di atas, parameter utama seorang wali adalah iman dan taqwa, bukan penguasaan ilmu gaib atau sihir. Karena, tidak sedikit orang yang memiliki atau dianggap memiliki ilmu gaib, ternyata bukanlah orang yang dekat dengan Allah. Di antara mereka, bahkan ada yang menampilkan sikap dan perilaku aneh. Misalkan sering melontarkan kata-kata yang menyakiti dan memojokkan umat Islam dan mendiskreditkan Islam. Di antara mereka ada juga yang tidak pernah terlihat melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Atau ada yang sering mengunjungi bar atau night club. Meski demikian, dalam pandangan pendukung fanatiknya, sikap ganjil tersebut justru diartikan sebagai maqam” kewaliannya.
Para wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Senantiasa melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sikap taat, ikhlas, dan husnuzh-zhan billah (berbaik sangka kepada keputusan/takdir Allah) senantiasa menghiasi perjalanan hidupnya. Seluruh waktu hidunya digunakan untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Para wali Allah tersebut kerap terlihat di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan sosial. Dan pada saat yang sama mereka juga mengajarkan tentang hakikat kehidupan, aqidah yang lurus, cara ibadah yang benar, dan akhlak yang mulia. Para wali Allah tidak henti-hentinya berjihad fii sabiillah dengan harta dan jiwanya. Bagi mereka, semua yang dimiliki (harta dan jiwa) pada hakikatnya adalah milik Allah yang harus dikembalikan dengan jalan pengabdian hanya kepada-Nya. Maka wajar bila Allah Swt. memberikan wala`-Nya (keperpihakan) kepada mereka, sebagaimana firman Allah,
“Allah Pelindung (wali) orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya (walinya) ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah: 257).
Maka Allah Swt. menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki orang-orang yang memberikan loyalitas total kepada-Nya. Semua doa, keinginan, dan permintaannya dikabulkan Allah. Dalam riwayat lain, “Allah menjadi hatinya yang dengannya ia berpikir, menjadi lisannya yang dengannya ia berbicara.”
Menurut Ibnu Rajab, “Maksud hadits qudsi di atas adalah bahwa siapa saja yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amalan wajib dan amalan sunnah, maka ia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian derajat keimanannya naik menjadi derajat ihsan, sehingga ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya. Hatinya dipenuhi dengan ma’rifatullah, kecintaan, pengagungan, dan rasa takut kepada Allah. Hatinya dipenuhi rasa rindu kepada-Nya. Sehingga apa yang ada di dalam hatinya seolah tampak jelas dalam pandangan mata.”
Ibnu Rajab melanjutkan, “Ketika hati telah dipenuhi oleh kebesaran Allah, maka segala sesuatu selain Allah akan tersingkir dari hatinya. Bahkan hawa nafsunya akan lenyap dan tak ada sedikit pun keinginan, kecuali apa-apa yang diinginkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak akan mengeluarkan ucapan selain dzikir kepada Allah. Tangan dan kakinya tidak akan bergerak, kecuali atas perintah Allah. Jika ia berbicara, maka pembicaraannya karena Allah. Jika ia mendengar, mendengarnya karena Allah. Jika ia melihat, maka penglihatannya karena Allah.”
Imam Syaukani menjelaskan bahwa makna dari hadits qudsi di atas adalah Allah akan memberikan cahaya-Nya kepada setiap anggota badan yang dinyatakan dalam hadits tersebut. Dengan cahaya itulah anggota badan tersebut akan berjalan menelusuri jalan hidayah dan menjauhi jalan kesesatan.
Betapa nikmatnya hidup ini bila setiap gerak dan langkah kita senantiasa berada dalam bimbingan Allah Swt. Dunia dengan segala pernak-perniknya tidak lagi menguras pikiran kita. Keberhasilan tidak membuat kita sombong dan takabur. Kegagalan dan musibah tidak membuat kita bersedih dan putus asa.
Seekor semut tak pernah bangga lantaran mampu mengangkat makanan yang beratnya puluhan kali berat badannya. Seekor cheetah tak pernah membusungkan dada karena menjadi binatang tercepat di daratan. Dan seekor bunglon tak pernah merasa lebih hebat dari Penciptanya karena mampu merubah warna sesuai warna benda yang diinjaknya.
Berdoalah kepada Allah dengan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., “Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, …” Wallahu a’lam bishshawab.

Etika Pergaulan dalam Islam

11 Des 2012 1 comments


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi memakmurkan bumi (isti’marul ardh, QS Hud: 61), tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya.
Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954).
Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat: 55-56).
Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktivitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak (berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan hukum tersebut.
Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi Islam, interaksi sosial pada hakikatnya adalah dakwah itu sendiri.
Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.
Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan umara (pemerintah), pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.
Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.
Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga, berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.
Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, “Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan.”
Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda.
Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.
Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda.
Janganlah anda duduk-duduk di pinggir jalan. Jika anda duduk di pinggir jalan, maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan anda.
Jika anda  bergaul dengan para penguasa atau pejabat, janganlah menggunjing, jangan berdusta, dapat menjaga rahasia, mempersedikit keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak berambisi atau menjilat di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan di sisi mereka.
Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengki dan merendahkanmu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda gurau yang berlebihan akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda gurau yang melampaui batas etika Islam juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Demikian, nasehat Said Hawwa.
Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (berbaur tetapi tidak melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.
Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata, "Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan untuk menghindari terjadinya fitnah atau su`uzhzhan (prasangka buruk) dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya." Sebuah atsar (perkataan shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, ulama salaf) menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab.

Etika Canda

6 Des 2012 0 comments

Canda selalu memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, canda dapat menyenangkan teman dan menunjukkan keakraban. Said bin Al-'Ash berkata kepada anaknya, "Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu." Selain itu, canda dapat menghilangkan rasa takut, marah, dan sedih.
Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Canda yang berlebihan juga dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki.Dalam sebuah ayat, Allah Swt. berfirman,
"Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis" (QS An-Najm: 43).
Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat di atas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silakanlah anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis kita harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Menurut Ibnu 'Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar.
Dalam sebuah riwayat, At-Tirmidzi menceritakan bahwa Hasan Ra. berkata, “Seorang nenek mendatangi Rasulullah  Saw.  dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah pada Allah agar memasukkan aku ke surga.”
Rasulullah Saw. menjawab, “Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya perempuan tua tidak masuk ke dalam surga”. Maka perempuan tua itu pun berpaling dan menangis.
Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Beri tahu dia bahwa dia tidak akan masuk ke surga dalam keadaan tua.” Karena Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung,dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan” (al-Waaqi’ah: 35-36).
Sebagian orang mungkin merasa aneh dengan pernyataan Ibnu ‘Abbas Ra. tersebut dan mencoba mengingkarinya, seperti yang pernah terjadi pada seseorang yang mendatangi Sufyan bin 'Uyainah Rahimahullah. Orang itu berkata kepada Sufyan, "Canda adalah suatu keaiban (sesuatu yang harus diingkari).
Mendengar pernyataan itu Sufyan berkata, "Tidak demikian, justru canda sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan candanya dan menempatkan canda sesuai dengan situasi dan kondisi.
Masalahnya adalah banyak dari umat Islam yang tidak memahami etika canda. Mereka dengan bebasnya menceritakan apa saja yang menurut mereka lucu. Padahal mungkin isinya hanyalah pepesan kosong yang tidak mendatangkan manfaat, atau bahkan dapat menimbulkan dosa dan maksiat.
Di antara mereka ada yang rajin mengirim cerita-cerita canda melalui BBM, sementara isi ceritanya tidak membawa hikmah atau pelajaran yang bermanfaat. Bahkan ada orang yang rajin mengirim cerita-cerita berbau porno dan jorok, yang bagi sebagian orang mungkin merupakan aib atau sesuatu hal yang memalukan. Semoga kita dapat menghiasi canda kita sesuai yang diajarkan Baginda Rasulullah Saw. Wallahu a’lam bish shawab.

Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz

5 Des 2012 0 comments


Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi sebagai penguasa.”
Sewaktu di SMA dulu, ada seorang teman sekelas beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tambalan di bagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung, sebentar lagi juga lulus!”
Meski mengenakan pakaian bertambal, dia tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika sebagian besar siswa lainnya berangkat sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
Ceritanya, mungkin akan lain bila yang mengenakan seragam bertambal itu adalah orang yang berasal dari keluarga sangat sederhana apalagi dari kalangan tidak mampju. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkannya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman yang lain memakluminya jika waktu itu dia menegenakan seragam bertambal.
Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika mendengar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak heran bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul heran ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang senantiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.
Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeda dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.
Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti keping CD yang sedang menampilkan semua rekaman sepak terjang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustadz mengungkapkan kekhawatirannya melihat penampilan sebagian aktivis dakwah yang pola hidupnya mulai mengarah kepada gaya hidup materialistik. Ustadz tersebut mengungkapkan adanya beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlomba-lomba dalam harta).
Sang ustadz lalu menceritakan kisah seorang sahabat Nabi Saw. yang bernama Tsa’labah. Ketika dalam kondisi miskin, ia termasuk orang yang rajin shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw., akan tetapi ketika Allah Swt. menganugerahinya harta, maka mulailah hartanya itu menggerogoti keimannya. Ia mulai terlambat shalat, lantaran hewan-hewan ternaknya butuh waktu dan perhatiannya. Tsa’labah mulai sibuk menghitung-hitung harta dan tabungannya. Sibuk membuat perencanaan-perencanaan masa depan diri dan keluarganya. Pikirannnya mulai mengkhayalkan rumah dan kendaraan baru. Sibuk merencanakan bisnis dan proyek baru. Akhirnya, Tsa’labah tidak pernah lagi terlihat shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
Tsa’labah mulai terbiasa dengan pola hidupnya yang baru, seakan-akan tidak ada perubahan berarti dalam hidupnya. Ia mulai terbiasa shalat di tempat kerjanya, dekat dengan hewan-hewan ternaknya. Dia mulai memperhitungkan setiap detik waktu yang dilauinya dengan prinsip ”time is money”. Dalam kisah tersebut, akhirnya Tsa’labah benar-benar menginggalkan kewajibannya kepada Allah, hingga Allah Swt. menenggelamkan Tsa’labah bersama seluruh hartanya.
IbnuQayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian mucul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Artinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain mungkin melihat perubahan itu secara mencolok.
Maka, supaya tidak terseret pusaran gaya hidup materialistik, penting bagi kita untuk menerapkan pola hidup sederhana, seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Wallahu a’lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto