• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Riya'

29 Apr 2013 0 comments


“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al-Baqarah: 264).

Bahaya yang terbesar bagi seorang Muslim adalah manakala ia melakukan perbuatan syirik kepada Allah Swt. Karena orang yang melakukan perbuatan syirik berarti ia memberikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada yang tidak berhak. Dengan kata lain, syirik berarti merampas kedaulatan Allah Swt., merampas hak Allah Swt., yang pada gilirannya akan terjadi fitnah terbesar dalam sepanjang kehidupan manusia. Makanya dalam Al-Qur’an al-Karim, syirik ada yang diredaksikan dengan fitnah. Allah Swt. berfirman,
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (QS Al-Baqarah: 193).
Fitnah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah syirik. Karena selain merampas kedaulatan Allah Swt. berupa ‘ubudiyah, syirik juga membuat manusia akan terampas kemanusiaannya, kemerdekaannya, dan hal-hal yang paling khas dalam kehidupannya.
Ketika terjadi syirik, maka akan terjadi penghancuran atau penyobekan hati manusia. Karena hidupnya, setelah terjadi syirik itu tidak akan bisa menghadap ke satu arah, ke satu orientasi di dalam beribadah kepada Allah. Maka manusia yang terkena penyakit syirik ini ada yang sampai demikian bodohnya menyembah batu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy dulu yang menyembah berhala, kemudian juga sampai ada orang yang menyembah pohon, begitu juga ada yang menyembah manusia, sehingga ada manusia yang sampai mengatakan, “Hidup mati ikut bung Fulan...”.
Bahkan ada juga segolongan masyarakat yang menyembah golongan masyarakat yang lainnya. Misalnya karena ada orang yang menganggap bahwa Barat lebih maju, maka semua yang berasal dari Barat disembahnya. Inilah fenomena kehancuran manusia ketika terjatuh dalam suatu penyakit syirik.
Ada bentuk syirik yang juga sangat berbahaya, yaitu riya`, yang sering disebut sebagai asy-syirku khoffii (syirik kecil). Riya` mempunyai tingkatan-tingkatan, yang sebagian lebih dahsyat daripada sebagian yang lainnya. Dan tingkatan-tingkatan ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sendi-sendinya. Namun demikian, rukun-rukun atau pilar-pilarnya ada tiga, yaitu:
Pertama, al-muroo-a bihi (yang di-riya`i), apakah shalat, tilawah Al-Qur’an, infaq, dan lain sebagainya. Jadi ketika ada orang yang riya`, pasti ada yang di-riya`i.
Kedua, wal-muroo-a bi ajrihi (dan yang di-riya`i untuknya). Artinya, ketika ada orang riya`, tentu ada tujuannya. Apakah agar dipuji, atau agar pangkatnya naik, dan lain sebagainya.
Ketiga, nafsu qoshdir riya` (hakekat dari tujuan riya`).
Berkenaan dengan tujuan riya`, ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a.         Orang berbuat riya` semata-mata untuk riya`, yaitu orang yang berbuat riya` tanpa sedikt pun ada keinginan untuk beribadah kepada Allah Swt. Misalnya ada orang yang shalat dan sedikit pun tidak ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
b.        Orang berbuat riya`, akan tetapi masih juga ingin mendapatkan pahala dari Allah Swt. Terhadap riya` seperti ini masih dibagi lagi dalam beberapa kategori, di antaranya:
v  Keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih kuat daripada riya`.
v  Keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih lemah daripada riya`.
v  Keinginannan untuk mendapatkan pahala dari Allah sama kuatnya dengan riya`.
Dalam tiga keadaan seperti ini, maka riya` ini mempunyai empat tingkatan yaitu, pertama, kalau ada orang yang semata-mata riya` ketika melakukan sesuatu dan tidak sedikit pun ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt., maka bentuuk riya` seperti ini merupakan riya` yang paling berat. Riya` seperti ini diperagakan oleh orang-orang munafiq. Misalnya orang yang shalat atau infaq atau membaca Al-Qur’an karena ingin dilihat banyak orang. Seandainya tidak ada orang yang melihatnya, maka dia tidak akan shalat atau berinfaq atau membaca Al-Qur’an. Ini adalah riya` yang paling berat. Orang semacam ini adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah Swt.
Kedua, orang yang riya` akan tetapi juga ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah, akan tetapi tujuan itu lemah sekali, sehingga tidak terlalu kuat untuk memotivasinya untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang seperti ini baru mau melakukan suatu ibadah kalau bersama-sama. Kalau sendirian, keinginannya untuk mendapatkan pahala dari Allah ini tidak cukup memotivasinya untuk melakukan suatu ibadah, karena keinginan tersebut sangat lemah. Kedudukan orang yang kedua ini dekat dengan kedudukan orang yang pertama.
Ketiga, antara riya` dengan ingin mendapatkan pahala dari Allah, sama besarnya. Orang seperti ini dalam keadaan sendirian maupun ketika banyak orang, sama-sama mampu mendorongnya untuk melakukan suatu amal Islami. Contoh dari orang seperti ini adalah ketika seseorang datang ke suatu pengajian misalnya, ketika dia ditanya, “Apa yang mendorong Anda untuk datang ke pengajian ini?” Jawabannya mungkin,  “Daripada saya di rumah sendirian...”, atau “Karena saya tidak ada acara yang lain...”.
Orang semacam ini, kalau pun datang ke pengajian, maka perhatiannya pada materi pengajian yang diberikan tidak bisa sepenuhnya, karena motivasinya memang hanya 50%. Terhadap orang yang semacam ini bisa saja amalnya merusak apa yang memperbaikinya, akan tetapi bisa juga mendapatkan pahala kalau kebetulan yang mendominasi hatinya adalah dorongan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
Keempat, dia beramal karena Allah Swt, akan tetapi kalau dilihat orang, semangatnya bertambah. jadi dilihatnya oleh orang bukan satu-satunya motivasi dalam beramal. Sebenarnya motivasinya adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, akan tetapi kalau ada yang melihat tambah semangat. Jadi riya` ini bukan aslinya, akan tetapi memperkuat motivasinya saja. Orang seperti ini kalau tidak ada yang melihat pun akan tetap melakukan amal Islami.
Namun, ketika dilihat orang tambah semangat, maka itu pun termasuk riya`. Insya Allah perasaan seperti ini tidak akan menghapus pahalanya, karena riya-nya ini hanya memberikan dorongan saja, dan bukan satu-satunya motivasi. Akan tetapi sudah barang tentu bisa mengurangi pahala, dan mungkin juga dia mendapatkan sanksi sesuai dengan tujuan riya`nya, sebagaimana bisa ditambah pahalanya ketika menguatkan dorongan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt., karena orang yang seperti ini labil. Di sini ada firman Allah dalam hadits Qudsi yang berkaitan dengan hal ini, yaitu Allah berfirman, “Aku adalah yang terkaya dari yang kaya daripada syirik (HR Ibnu Lumazah dan Ibnu Hudzaimah dalam Shahihnya Ibnu Huzaimah dan keterangan para rawinya yang terpercaya).
Dari hadits Qudsi ini, sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘anisy syirki adalah apabila kedua tujuan tadi itu sama atau riya`-nya lebih berat.
Berdasarkan yang di-riya`-i (al-muroo’a), riya` terbagi dua, yaitu riya` dengan pokok-pokok ibadah dan riya` dengan sifat-sifat ibadah.
Riya` dengan pokok-pokok ibadah adalah riya` yang paling berat. Bentuk riya` seperti ini terbagi menjadi,
a.         Riya` bi ashlil iiman (riya` dengan prinsip keimanan). Ini adalah riya` yang paling berat. Mengapa? Karena orang yang terkena riya` seperti ini akan berada di neraka untuk selama-lamanya. Dan itu adalah bventuk riya` orang-orang munafik. Mereka memperlihatkan keimanan, akan tetapi pada dasarnya mereka tidak beriman. Dalilnya adalah semua ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang orang-orang munafik.
b.        Riya` bi ‘ushulil ‘ibadah (riya` dengan pokok-pokok ibadah), akan tetapi dia tetap beriman. Jadi, ia tetap percaya dengan pokok-pokok agama. Itu pun merupakan perbuatan yang dosanya besar di sisi Allah Swt., walaupun berbeda dengan yang pertama. Contoh riya` seperti ini adalah orang yang memiliki harta benda, akan tetapi ada di tangan orang lain. Kemudian pemilik harta itu memerintahkan kepada orang yang memegang hartanya agar mengeluarkan zakatnya. Karena kalau zakatnya tidak dikeluarkan, ia takut dicela. Jadi, zakat itu dikeluarkan karena hartanya tidak berada di tangannya. Seandainya harta itu ada di tangan sendiri, mungkin zakatnya tidak dikeluarkan.
Dan yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang hanyalah Allah Swt., sehingga kita dilarang untuk memvonis dengan menuduh orang lain. Marilah kita koreksi diri kita masing-masing. kalau kita mempunyai harta yang dipegang teman kita, kemudian kita menyuruhnya mengeluarkan zakat karena harta itu berada pada tangan teman kia, yang seperti ini termasuk riya`.
Dalam masalah shalat, misalnya, suatu saat bisa saja si fulan berada di tengah-tengah saudaranya kaum Muslimin. Biasanya kalau dia sendirian, tidak pernah mau shalat. Akan tetapi karena berada di tengah-tengah saudaranya, maka dia shalat.
c.         Riya` dengan yang sunnah. Jadi seandainya tidak ia kerjakan, tidaklah berdosa. Misalnya, orang yang menjenguk orang sakit, memandikan mayit, shalat jenazah, dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah sunnah itu mungkin tidak dikerjakannya bila ia dalam keadaan sendiri.
Demikianlah sekilas tentang bentuk-bentuk riya`, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi lantaran ada penyakit riya` di dalam hati kita. Kita berlindung kepada Allah Swt. dari penyakit riya` yang dapat menghancurkan amal shalih yang telah kita lakukan. Wallahu a’lam bishshawab.

Pernikahan Antar-agama

16 Apr 2013 0 comments



“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).

Pada ayat ini Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. Pada penggalan ayat ini, ada sebuah isyarat walaupun hanya kecil, di mana kadang-kadang wanita musyrik itu dilihat dari sudut pandang kehidupan duniawi lebih menarik daripada wanita muslimah. Kadang-kadang ada orang yang berkata, “Kenapa sih ustadz, wanita-wanita kafir itu cantik-cantik?” Sebenarnya yang seperti ini bukan kebetulan. Asy-syaithon zayyana lahum (syetan menghiasi orang-orang kafir itu), sehingga tampak di mata sebagian kita mereka itu lebih cantik daripada wanita mukminah yang shalihah.
Jangankan antara orang kafir dengan orang muslim, antara sesama wanita Islam saja, dimana yang satu seorang muslimah yang taat dan yang satu wanita yang suka berbuat maksiat, wanita yang berbuat maksiat kadang-kadang kelihatan lebih cantik daripada yang taat kepada Islam. Kalau ditanya kepada seorang  laki-laki yang juga suka berbuat maksiat, “Kenapa Anda tidak tertarik kepada si Fulanah yang shalihah?” Orang yang ditanya ini menjawab, “Habis... orangnya memakai jilbab terus, dan tidak bisa berdandan, lagi.” Jadi orang yang seperti ini lebih tertarik untuk memilih istri yang centil, yang tidak menutup aurat, biasa berdandan dan suka memamerkan kecantikannya kepada orang lain. Kenapa bisa seperti ini? Sebabnya adalah asy-syaithon zayyana lahum.
Jadi orang yang dalam kehidupannya tidak  diwarnai dengan nilai-nilai Islam yang benar, ia akan lebih tertarik jika melihat wanita yang juga jauh dari cahaya Islam. Bahkan ada seorang suami yang serong dengan wanita lain, padahal istrinya lebih cantik. Orang berkata, “Heran..., kenapa dia nyeleweng dengan orang itu, padahal istrinya lebih cantik daripada dia.” Yang semacam ini benar-benar ada di masyarakat kita. Ada seorang pria yang berzina dengan wanita lain, padahal kata orang di sekitarnya, istrinya lebih cantik daripada wanita itu. Kenapa yang seperti bisa terjadi? Karena asy-syaithon zayyana lahum (syetan menghiasi mereka). Jadi orang yang hidupnya jauh dari nilai-nilai Islam, ia akan mudah jatuh ke dalam tipu daya syetan dengan selalu melihat wanita lain lebih cantik daripada istrinya sendiri. Ini bisa kita hindari jika yang menjadi mi’yar (standar) dalam kehidupan kita adalah jamalul imaan (kecantikan iman), jamalul qalb (kecantikan hati), bukan jamalul wajh (kecantikan wajah). Yang namanya wajah, semakin tua semakin tidak cantik. Tetapi kalau kecantikan iman, kecantikan hati, semakin tua semakin cantik.
Itu yang berlaku bagi seorang laki-laki mukmin yang hendak menikahi wanita musyrik. Sekarang bagaimana kalau kita menjadi orangtua yang mempunyai anak perempuan yang hendak dinikahi oleh seorang laki-laki musyrik? Allah mengatakan, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu)”. Inti penggalan ayat ini sama dengan penggalan ayat sebelumnya, yaitu dilarangnya pernikahan dengan seorang musyrik. Kalau pada penggalan sebelumnya yang beriman adalah laki-lakinya, pada penggalan ini yang beriman adalah yang wanita. Jadi kita tidak boleh menikahkan anak kita yang perempuan dengan laki-laki musyrik, kecuali bila dia mau beriman. Alasannya sama, yaitu pernikahan tersebut tidak bisa dibenarkan dengan menggunakan keimanan sebagai standar.
Kalau kita renungi, larangan-larangan Allah Swt. itu dalam bentuk jumlah fi’liyah (kalimat yang didahului oleh kata kerja). Kata kerja itu biasanya terkait dan terbatas dengan waktu. Karena yang namanya kerja, itu tidak bisa lepas dari masalah waktu, apakah sekarang, nanti, atau yang lampau. Hal ini berbeda dengan jumlah ismiyah (kalimat yang dimulai dengan kata benda), di mana jumlah ismiyah itu lebih luas daripada jumlah fi’liyah. Kaidah jumlah ismiyah adalah lits-tsubut wad dawam (tetap dan kontinyu). Dalam masalah pernikahan ini, setelah pada penggalan-penggalan sebelumnya memakai kata kerja, kemudian Allah melanjutkannya dengan jumlah ismiyah. Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. Kalimat wala’abdum mukminuun khairum mim musyrikiin ini adalah jumlah ismiyah.’abdum mukminuun disebut mubtada’ (kata depan) dan khairun  menjadi khabar (kata penjelas), oleh karena itu disebut jumlah ismiyah. Dan jumlah ismiyah itu sifatnya adalah lits-tsubut wad dawaam.
Ini mengandung makna bahwa dalam pandangan Allah Swt. orang beriman harus menegakkan hukum Allah dalam masalah pernikahan . Artinya, pernikahan antar agama itu tidak diperkenankan untuk selamanya, kalau memang iman kita memang tsaabit (kokoh), kalau memang iman kita itu dawaam (berkesinambungan). Berarti ketika ada seseorang yang mengaku beriman tetapi menikahkan anaknya dengan orang kafir, atau menikahkan anaknya dengan orang musyrik, maka dipertanyakan kebenaran keimanannya. Oleh karena itu, maka untuk menjelaskan hal ini dipergunakan jumlah ismiyah. Ini pentingnya kita memahami makna jumlah fi’liyah dan makna jumlah ismiyah. Jadi bukti bahwa tsubuutul imaan (kekokohan iman) dan dawaamul imaan (keberlangsungan iman), adalah apabila manusia-manusia yang ada dalam kehidupan rumahtangga adalah benar-benar insan yang mukmin dan mukminah. Kalau tidak demikian, jangan diharap eksistensi keimanan seseorang akan tetap ada.
Oleh karena itu jangan gampang-gampang menikahkan anak putri kita dengan orang kafir. Jangan sampai hanya karena diuji Allah dengan kemiskinan, ketika ada calon menantu yang datang dengan menggunakan mobil, diterima begitu saja. Jadi masalah keimanan ini dianggap hanya sesuatu yang kecil, padahal masalah keimanan atau aqidah adalah masalah yang terbesar dalam kehidupan manusia. Masalah pernikahan adalah qadhiyatul imaan (masalah keimanan), bukan masalah selera atau yang lainnya. Jadi dalam masalah pernikahan, Islam memberikan dhawaabit (prinsip) yang jelas. Masalah penikahan bukan sekedar iradah insaniyah (keinginan manusia) saja, tetapi merupakan iradah rabbaniyyah (kehendak Allah Swt.).
Ketika anak kita dipinang oleh seorang yang keimanannya baik, kita hendaknya mengizinkan pernikahan tersebut, karena jika ditolak maka akan terjadi fitnah di kemudian hari. Ketika sayyidatina Zainab bintu Jahsin Ra. hendak dinikahkan dengan seorang mukmin yaitu Zaid, karena Zaenab memandang Zaid yang merupakan pembantu Rasulullah Saw. itu derajatnya dibawah dia, Zaenab berkeberatan dengan calon suaminyanya. Zaenab sendiri adalah keturunan bangsawan, sementara Zaid itu dulunya adalah seorang budak. Sikap keberatan Zaenab ini kemudian diingatkan Allah, bahwa sikap demikian itu menandakan keimanannya ada khalal (ketidakberesan), sehingga turunlah firman Allah:
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab: 36).
Jadi seorang mukmin yang memilih selain dari apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah Saw., berarti dalam keimanannya ada sesuatu yang kurang beres. Sikap Zaenab yang menolak Zaid hanya karena beliau mantan seorang budak, padahal Zaid adalah pilihan Rasulullah Saw., ditegur oleh Allah Swt. dengan ayat ini, sehingga akhirnya Zaenab mau menikah dengan Zaid. Ini menegaskan kembali bahwa iman merupakan satu-satunya standar dalam masalah apapun, termasuk dalam masalah pernikahan ini.
Ini harus kita tekankan di masyarakat kita, karena ini merupakan masalah yang sangat riil dan sering dihadapai umat Islam. Betapa banyak orangtua yang berprinsip ‘yang penting laku’ ketika mempunyai anak putri yang sudah menginjak usia nikah. Orang yang seperti ini menganggap anaknya seperti barang dagangan, yang penting laku. Apalagi kalau yang menanyakan anaknya itu orang kaya, yang ketika datangnya membawa mobil. Ini merupakan hal yang harus ditekankan pada masyarakat kita. Apalagi dalam masa krisis seperti sekarang ini, orang sudah tidak selektif lagi tentang masalah keimanan dalam masalah pernikahan.
Janganlah menjual iman dan agama dengan secuil kenikmatan dunia. Iman dan Islam adalah tiket masuk surga yang harus dijaga. Pernikahan antaragama hanya akan mempercepat degradasi iman lantaran adanya pandangan setiap agama itu sama. Padahal Islam adalah satu-satunya agama yang diakui dan diterima di sisi Allah Swt.
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kiab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya ” (QS Ali Imran: 19).
Sekali lagi, Islam adalah diinul usrah (agama keluarga). Islam sangat memperhatikan masalah rumahtangga, termasuk dalam pembentukannya. Oleh karena itu, dalam masalah pernikahan ini, kita harus menyesuaikan diri secara total dengan aturan Islam. Keluarga dengan seluruh aspek dan unsurnya harus tunduk pada aturan Islam, harus tunduk kepada Al-Qur’anul Karim.
Semua aturan Allah itu pada dasarnya adalah untuk kebahagiaan kita sendiri, termasuk dalam masalah pernikahan. Memang kadangkala hawa nafsu kita merasa berat untuk selalu taat pada aturan-aturan Allah Swt. Namun kalau ajakan hawa nafsu itu kita turuti, kita akan mendapatkan penderitaan di kemudian hari. Allah mengingatkan:
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa” (QS Thaha: 16).
Mudah-mudahan kita bisa mengalahkan hawa nafsu kita, sehingga terbebas dari kesesatan dan kebinasaan. Wallahu a’lam bishshawab.

Mengapa Manusia Merugi

5 Apr 2013 0 comments

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS Az-Zumar: 65).

Ibarat seorang pedagang, tentu dalam hidup kita di dunia dan akhirat yang kita dambakan adalah keuntungan. Betapa tidak enaknya manakala kita menjadi pedagang yang rugi. Hal ini karena, disamping karena tidak memperoleh keuntungan, modal yang dimilikipun bisa berkurang dan habis yang membuatnya menjadi sangat sulit untuk bisa berdagang lagi, kecuali dengan cara berutang. Disamping beberapa poin yang sudah kita bahas pada tulisan terdahulu, akan kita bahas lagi beberapa poin yang menjadi faktor penyebab seseorang bisa mengalami kerugian dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat.

Hubungan Yang Buruk Kepada Allah Swt.
Sebagai hamba Allah, manusia seharusnya bisa menjalin hubungan yang sebaik-baiknya kepada Allah Swt, karenanya di dalam Islam kita mengenal ada istilah taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah) atau hablum minallah (hubungan kepada Allah). Manakala hubungan kepada Allah telah kita lakukan dengan sebaik-baiknya, akan kita peroleh keberuntungan dalam kehidupan kita di dunia dan akhirat, sedang bila sebaliknya yang terjadi adalah kerugian yang nyata. Ada beberapa bentuk hubungan buruk kepada Allah Swt. yang bisa mendatangkan kerugian.
Pertama, durhaka kepada Allah yang juga berarti durhaka kepada Rasul-Nya, Allah memerintahkan sesuatu kepada manusia, tapi ia tidak mau mentaati perintah itu, atau Allah mengatur manusia dengan aturan yang baik, tapi manusia tidak mau diatur oleh aturan Allah dan Rasul-Nya, padahal aturan itu akan membawa kemaslahatan bagi manusia itu sendiri sehingga tercegah dari segala bentuk kerusakan. Kemurkaan Allah akan ditunjukkan kepada manusia, ini merupakan kerugian yang besar sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya,
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-Rasul-Nya, maka Kami hisab mereka dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan. Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar” (QS Ath-Thalaq :8-9).
Kedua, Menyekutukan Allah, baik dengan menuhankan sesuatu selain Allah maupun beramal bukan karena Allah, yakni ada unsur riya atau mengharapkan pujian orang lain dalam amalnya,  merupakan salah satu bentuk hubungan yang buruk kepada Allah Swt, karenanya Allah sangat murka kepada orang yang melakukan kemusyrikan seperti itu meskipun tergolong syirik yang kecil, sehingga amal-amal yang telah dilakukannya di dunia meskipun nampaknya baik, tetap saja tidak ada nilai apa-apanya di akhirat kelak, ini merupakan kerugian yang sangat nyata, Allah Swt. berfirman yang artinya,
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS Az-Zumar: 65).
Ketiga, berprasangka buruk kepada Allah, hal ini disebut bisa mendatangkan kerugian karena sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah mestinya kita bisa berperasangka baik kepada Allah sehingga meskipun kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidup ini kita tidak menyalahkan Allah Swt. Disamping itu, kita juga disebut telah berprasangka buruk kepada Allah bila kita menganggap keburukan dan niat buruk yang kita lakukan tidak diketahui Allah Swt., padahal Dia Maha Tahu terhadap apapun yang terjadi pada makhluknya, bila kita berprasangka buruk kepada Allah seperti itu, maka kita akan menjadi orang yang rugi,  Allah Swt. berfirman yang artinya,
Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahwa kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi (QS Fushshilat: 22-23).
Keempat, mengingkari ayat-ayat Allah, hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat manusia bisa mengalami kerugiaan, hal ini karena dalam hidupya manusia pada hakikatnya sangat memerlukan petunjuk dari Allah Swt., dengan petunjuk itu, manusia  akan menjalani kehidupan dengan baik dan menyenangkan, sedangkan bila tidak menggunakan petunjuk Ilahi, kehidupan manusia menjadi sesat, sedang yang dilalukannya adalah hal-hal yang bernilai maksiat sehingga hal itu akan membawa kerugian bagi dirinya sendiri, karena timbangan amal kebaikannya menjadi sangat ringan, Allah Swt. berfirman yang artinya,
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS Al-A’raf: 9. Lihat juga QS Al-Baqarah: 121, Yunus: 95).

Takut Kepada Musuh.
Kehidupan di dunia ini memang sebuah pertarungan, banyak sekali musuh-musuh orang beriman yang menghalangi mereka dari jalan hidup yang benar, karena itu kaum muslimin tidak boleh takut kepada musuh-musuhnya itu, apalagi bila peperangan secara fisik telah terjadi. Karena itu, Rasulullah Saw dengan para sahabatnya telah menunjukkan kepada kita akan keberaniannya yang menakjubkan dalam menghadapi musuh-musuh yang tidak suka terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan tidak sedikit para sahabat yang justeru mendambakan kematian di medan jihad sehingga tidak ada perasaan takut mati dan ini membuat orang kafir menjadi takut sebagaimana Khalid bin Walid yang menangis menjelang kematiannya karena ia tidak mati di medan perang, tapi mati di atas tempat tidur. Hal ini karena mati di medan perang dalam upaya menghadapi musuh-musuh Islam merupakan sesuatu yang sangat mulia, ini bukan berarti kematian Khalid di atas tempat tidur sebagai kematian yang tidak mulia.
Manakala seorang muslim takut dalam menghadapi musuh-musuhnya, maka kerugian yang tiada terkira akan dialaminya. Paling tidak ada dua kerugian orang yang takut kepada musuh-musuh Allah Swt.
Pertama, kehidupannya di dunia akan berada di bawah kendali musuh-musuhnya sehingga ia harus tunduk kepada kehendak sang musuh itu meskipun ia sebenarnya tidak menyukainya. Kondisi ini akan membuat manusia yang mengaku muslim ini akan menjadi seperti kerbau yang dicocok hidungnya lalu ia harus berjalan kepada talinya ditarik. Bahkan bisa jadi hal ini bukan membuat sang musuh menjadi senang, tapi malah semakin sewenang-wenang karena ia yakin tidak akan mendapat perlawanan. Secara psikologis, hal ini akan membuat seorang muslim merasa begitu lemah dan musuhnya dianggap begitu kuat dan pada akhirnya seorang muslim yang tunduk kepada sang musuh itu akan menjadi minder dalam menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Singkat kata, dalam kehidupan di dunia ini, orang yang takut kepada musuh-musuhnya, kaum muslimin tidak akan memiliki harga diri, martabatnya menjadi begitu hina dan rendah.
Kedua, memperoleh murka dari Allah Swt. dalam kehidupannya di akhirat kelak, hal ini karena Allah Swt menghendaki agar kaum Muslimin menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin, ketakutan kepada musuh bukanlah karakter orang yang beriman, karena kapan saja orang beriman siap menghadapi musuh yang memiliki kekuatan besar sekalipun, karena mereka yakin bahwa kematian itu bisa terjadi kapan saja, tak ada takut kepada kematian, tapi yang takut kepada musuh dan kematian adalah orang-orang yang munafik, Allah Swt. meneggaskan soal ini yang terdapat dalam firman-Nya yang artinya,
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami?. Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh’” (QS An-Nisa`: 77-78).
Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan agar seorang Muslim tidak takut dalam menghadapi musuh-musuhnya yang tidak suka terhadap kemajuan kaum Muslimin, karena hal itu hanya akan mendatangkan kerugian di dunia maupun di akhirat, Allah berfirman yang artinya,
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi (QS Al-Maidah: 21).
Akhirnya menjadi semakin jelas bagi kita bahwa kerugian akan menimpa kepada seseorang dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat, meskipun ia mengaku sebagai seorang muslim manakala tidak konsekuen dengan pengakuannya itu. Wallahu a’lam bishshawab.

Upaya Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Indonesia

3 Apr 2013 1 comments

Pendahuluan
Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang kemudian bekerja atau berusaha pada sector informal seperti menjadi Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar di Indonesia. Pedagang Kaki Lima timbul sebagai akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi, bisa juga sebagai akibat dari kebijakan ekonomi liberal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro. Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) mencatat hingga tahun 2012 terdapat 23,4 juta pedagang kaki lima di seluruh Indonesia (Tempo.co, 5/9/2012).
PKL dipandang sebagai aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan, membuat sektor ini tidak aman dan berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Fakta menunjukkan bahwa PKL merupakan sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban.
Aktivitas PKL pada umumnya menempati badan-badan jalan dan trotoar, sehingga tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi, karena menyediakan harga lebih murah. Bagi masyarakat yang berpendapatan rendah, PKL menjadi pilihan. Hal ini membuat penertiban PKL di lokasi-lokasi strategis menjadi kontroversial dilihat dari kaca mata sosial. Padahal setiap hari, mereka adalah pekerja yang ulet, berjuang untuk menghidupi keluarga.
Sebagai bentuk penghargaan kepada PKL sebagai pelaku ekonomi mandiri, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pernah menyosialisasikan istilah Pedagang Kreatif Lapangan untuk mengganti Istilah Pedagang Kaki Lima. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, konsep pedagang kreatif lapangan sudah ada sejak ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Model dari konsep Pedagang Kreatif Lapangan tercantum dalam MoU antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Koperasi dan UKM. Mari Elka Pangestu berinisiatif mengganti istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan untuk meningkatkan martabat Pedagang Kaki Lima (Kompas.com, 6 Desember 2011). Bahkan, Kementerian Koperasi dan UKM telah menginstruksikan penggantian istilah Pedagang Kaki Lima dengan Pedagang Kreatif Lapangan kepada pimpinan dinas terkait maupun kabupaten/kota. Namun demikian, dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang  Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, penggunaan istilah Pedagang Kreatif Lapangan belum dapat digunakan secara formal.

Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan colonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan ‘hawkers’, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu, Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota berkesan semrawut.
Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part of solution).
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Pusat
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Daerah
Di antara Pemerintah Daerah yang telah melakukan penataan dan pembinaan PKL adalah:
1.      Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan melalui Perda No. 20 tahun 2001tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima Musiman.
2.      Pemkot Yogyakarta melalui Perda No.26 tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
3.      Pemkot Surabaya melalui Perda No.17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
4.      Pemkot Mojokerto melalui Perda No.5 tahun 2005 tentang Penataan dan Pembinaan Kegiatan Pedagang Kaki Lima.
5.      Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri melalui Perda No.7 tahun 2006 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
6.      Pemkot Surakarta melalui Perda No.3 tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima.
7.      Pemkot Bima dengan Perda No.11 tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
8.      Pemkab Kepulauan Selayar melalui Perda No.4 tahun 2010 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
9.      Pemkab Semarang melalui Perda No.11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
10.   Pemkot Bandung melalui Perda No.4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Selain 10 pemerintah daerah di atas, masih banyak kota dan kabupaten yang telah memiliki perda untuk menata dan memberdayakan PKL. Dengan semakin banyaknya pemkot dan pemkab yang memiliki perda tentang penataan dan pemberdayaan PKL diharapkan pemberdayaan ekonomi melalui sektor informal, khususnya PKL, akan semakin meningkatkan jumlah entrepreneur yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

Daftar Pustaka
McGee, TG and YM Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Ottawa, Canada.
Peraturan Presiden Republik Indonesia  Nomor 125 Tahun 2012  Tentang  Koordinasi Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Tamba, Halomoan dan Saudin Sijabat, 2006. Pedagang Kaki Lima: Entrepreneur yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.
Winarti, 2012. Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima dari Perspektif Kebijakan Deliberatif. E-Journal UNISRI Volume XXIV No.1.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto