• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Kurban dan Solidaritas Sosial

16 Sep 2015 2 comments



Oleh Syamsu Hilal



“Sungguh Kami telah berikan nikmat yang amat banyak kepadamu. Maka shalat dan berkurbanlah dengan ikhlas karena Tuhanmu (QS Al-Kautsar: 1-2).



Salah satu wujud atas perintah berkurban adalah merealisasikan dan meningkatkan rasa kepedulian kita kepada sesama manusia, khususnya kepada sesama Muslim. Rasa kepedulian atas sesama manusia sesungguhnya melekat kuat pada sisi kemanusiaan itu sendiri. Artinya, manusia akan menjadi makhluk yang sempurna manakala ia senantiasa mengedepankan rasa kemanusiaannya.

Dalam konteks keumatan, peristiwa kurban menandai makna penting kesinambungan sejarah dan reaktualisasi pengorbanan serta keberlanjutnya tradisi berkurban secara ikhlas dan benar. Rasululah Saw. mencontohkan sendiri, bukan hanya sekadar berwacana. Bahwa kesuksesan beribadah, baik pada dimensi vertikal maupun horizontal, hanya dapat diwujudkan dengan Iman yang lurus dan bersih.

Dalam dimensi kekinian, kurban membawa penyegaran tentang prinsip ketulusan dan kepedulian sosial secara konkret dan benar. Karena Al-Qur`an, surat Al-Hajj: 37 menjelaskan,

“Sekali-kali Allah tidak akan menerima daging atau darah hewan kurban, tetapi yang diterima Allah adalah sikap taqwa yang menyemangati berkurban itu. Demikianlah Allah menciptakan hewan-hewan kurban itu agar kalian selalu mengagungkan Allah dan mensyukuri hidayah-Nya kepada kalian semua, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Maka, realisasi semangat berkurban adalah upaya untuk selalu menghadirkan sifat takwa, yang menurut Al-Qur`an merupakan kata kunci tentang keunggulan umat manusia.

Sesungguhnya yang paling utama di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa (QS Al-Hujurat: 13).

Berkurban mengandung dua makna penguat komitmen manusia yang bertakwa, yaitu taqarrub ilallah (mendekat diri kepada Allah) dan taqarrub ilannas (mendekatkan kepada sesama manusia). Taqarrub ilallah dalam konteks berkurban adalah pengorbanan dalam bentuk pengeluaran infak dan sedekah untuk membeli hewan kurban dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, yang mengandung dimensi keikhlasan dan keihsanan. Sedangkan taqarrub ilannas bermakna khidmat (pelayanan) untuk menjalin kedekatan kepada sesama umat manusia. Dalam konteks kekinian, berkurban selain sebagai bentuk jalinan silaturahim, juga sebagai bentuk kepedulian sosial yang konkret berupa distribusi daging kurban kepada para dhuafa.

Taqarrub merupakan realisasi hablun minallah dan hablun minannas yang sangat penting untuk ditingkatkan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Prinsip taqarrub kepada Allah dan taqarrub kepada manusia sangat tepat untuk diaktualisasikan kembali. Dengan taqarrub kepada Allah, melalui sarana menyembelih hewan kurban, maka derajat kemanusiaan kita dibiasakan untuk berada dalam dataran tinggi keikhlasan. Bukan lagi cara pandang yang terbelenggu oleh perspektif serba sempit, serba individualistik, dan serba materialistik.

Sebaliknya, semangat taqarrub membuat diri manusia berpikir dan bersikap secara mendasar untuk kepentingan yang lebih luas dan lebih luhur. Manusia akan terbiasa mempertahankan prinsip kebenaran dan bekerja keras. Adapun taqarrub kepada sesama umat manusia harus senantiasa disegarkan dengan mengedepankan solidaritas sosial sekalipun hanya melalui pembagian daging kurban.

Keikhlasan berkurban menjadi sinyal positif dalam merekatkan kembali ukhuwah dan kepedulian antarsesama sebagai basis integrasi nasional. Itulah modal sosial yang bisa kita pupuk setiap saat dengan anggaran yang sangat murah, tapi bernilai amat tinggi. Bahkan lebih dari itu, spirit kurban dapat menyemangati umat dan bangsa ini agar tidak terpesona dan terjebak dengan fenomena individualisme dan materialisme. Inilah kunci penting hadirnya masyarakat yang bermartabat, bersaudara, dan bertakwa.

Semangat taqarrub kepada Allah dan sesama menjadi penting untuk masa datang, karena perjalanan akhir manusia adalah ketika sesudah mati akan dibangkitkan kembali, dan akan dipertemukan kembali dengan semua manusia yang pernah berhubungan dengannya untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal di dunia. Pada saat itu, setiap manusia akan mendapatkan hak sebagaimana yang diusahakannya; kebaikan atau keburukan, positif atau negatif.

Bahkan dampak dari sikap pembangkangan terhadap hukum dan ketentuan Allah tidak hanya berdimensi akhirat, akan tetapi juga berdampak pada kehidupan di dunia. Allah Swt. menegaskan,

“... Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS Al-Baqarah: 85).

Semua begitu gamblang ditampilkan dalam Al-Qur`an Al-Karim. Yang ma’ruf sekecil apapun, akan mendapatkan pahala berupa kebahagiaan tertinggi dan abadi di surga Allah Swt. Sebaliknya, yang munkar, negatif, dan destruktif, sekecil apapun, juga akan mendapatkan imbalan siksa di neraka jahanam dengan segala kepedihannya. Wallahu a’lam bishshawab.

Esensi Ibadah Haji

13 Sep 2015 0 comments


Oleh Syamsu Hilal



Ibadah haji adalah ibadah yang menghadirkan simbol persamaan derajat manusia di sisi Allah Swt. Ibadah haji juga menampilkan simbol persatuan umat Islam. Bayangkan sebuah pemandangan orang-orang dari berbagai suku bangsa dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia berdatangan ke satu pusat pertemuan melalui seribu satu jalan. Wajah-wajah mereka berbeda-beda, warna kulit dan bahasa yang mereka gunakan juga berbeda. Namun, ketika sampai pada suatu garis perbatasan yang disebut dengan miqat, mereka semua melepaskan pakaian kebangsaannya, lalu mereka mengenakan pakaian seragam putih-putih yang sama potongannya. Setelah mengenakan kain ihram, seruan yang keluar dari mulut mereka sama, yaitu talbiah. Mereka bergerak menuju satu titik, yaitu Ka’bah Baitullah yang diberkahi.

Selain itu, ibadah haji selalu menghidupkan kenangan Rabbani yang tak pernah dilupakan manusia sepanjang masa. Kenangan sebuah keluarga yang tidak pernah memedulikan apa pun di dalam menjalankan perintah Allah. Kenangan seorang ayah yang harus memendam kerinduan terhadap anak yang diinginkannya untuk diserahkan kembali kepada Sang Pemilik anak, yaitu Allah Swt. Kenangan seorang anak yang menyerahkan dirinya menjadi kurban untuk Allah. Kenangan seorang ibu yang yakin sepenuhnya akan perlindungan Allah Swt. tatkala ditinggalkan suaminya di sebuah daerah yang tidak ada siapa-siapa dan tidak ada apa-apa.

Sulitnya menempuh perjalanan haji seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah sepenuh hati dan sepenuh waktu, bermunajat kepada Allah seraya memohon ampun atas segala khilaf dan salah. Perjalanan haji adalah perjalanan berdimensi ukhrowi, bukan perjalanan duniawi untuk bersenang-senang atau plesiran. Oleh karena itu, kesempatan berhaji yang diberikan Allah Swt. tidak disia-siakan dengan menghabiskan waktu melakukan aktivitas yang tidak memberi nilai ibadah di sisi Allah Swt.

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS Al-Baqarah: 197).

Semoga umat Islam yang berhaji pada tahun ini mendapat haji mabrur yang mendapatkan balasan Surga dari Allah Swt. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.

Haji, Jihad Para Lansia

0 comments



Oleh Syamsu Hilal



Dalam setiap pelaksanaan ibadah haji, kita sering melihat pemandangan yang mengharukan. Salah satunya adalah jamaah haji yang sudah lanjut usia (lansia). Di antara mereka ada yang menggunakan tongkat untuk berjalan, bahkan tidak sedikit yang menggunakan kursi roda. Mungkin ada orang yang berpandangan, sebaiknya jamaah haji yang sudah lansia tidak perlu memaksakan diri berangkat ke Tanah Suci karena dianggap sudah uzur dan termasuk orang-orang yang mendapat keringanan (rukhshah) dari Allah Swt.

Namun, mengapa jamaah haji lansia tetap bersikeras untuk menunaikan ibadah haji? Di mata mereka, haji merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup, sebelum mereka dipanggil menghadap Allah Swt. Haji merupakan puncak ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan beberapa persyaratan yang berat. Mulai dari mengumpulkan harta, kesabaran menunggu giliran/antrian, hingga persiapan fisik.

Maka, atas kegigihan kaum lansia dalam menunaikan ibadah haji, Allah Swt. mengapresiasi mereka dengan sebutan para mujahid. Seolah-olah mereka adalah tentara Allah yang sedang berangkat ke medan perang untuk berjihad. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Jihadnya orang tua, orang lemah, dan wanita adalah haji dan umrah” (HR Nasa’i).

Dalam hadits lain, Hasan bin Ali ra. meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, ”Saya seorang penakut dan lemah”. Rasulullah bersabda, ”Mari menuju jihad yang tidak ada duri, yaitu haji”.

Meskipun sebagian orang menganggap pelaksanaan ibadah haji para lansia terkesan dipaksakan, bahkan mungkin dianggap “mubazir” karena pemborosan, akan tetapi dalam pandangan Allah Swt., mereka adalah junudullah (tentara Allah) yang berjihad di jalan Allah. Bila mereka wafat dalam melaksanakan ibadah haji, semoga Allah menempatkan mereka sebagai syuhada (syahid di jalan Allah). Wallahu a’lam bishshawab.

Pengembara

30 Mar 2015 0 comments


Oleh Syamsu Hilal

Seorang pengembara adalah pengelana atau perantau yang selalu ingat kampung halaman tempat dia berasal. Dia tidak pernah merasa atau mengakui tempat singgahnya yang mewah sebagai terminal. Maka, ketika singgah di suatu tempat, hatinya tak pernah merasa tenteram sehingga tak ingin berlama-lama di tempat itu. Pikirannya selalu tertuju kepada kampung halaman tempat ia dilahirkan.
Itulah kondisi orang beriman dalam menjalani kehidupan di dunia. Seorang Mukmin pikirannya selalu tertuju kepada kampung akhirat, meski raganya masih ada di dunia. Hatinya selalu merindukan Surga, meski kakinya menapak di atas tumpukan harta.
Ilustrasi tersebut diceritakan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu kepada kita. Suatu hari Rasulullah Saw. pernah memegang bahunya sambil bersabda, “Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara. Bila datang waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Bila tiba waktu pagi jangan menunggu waktu sore. Gunakan waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan masa hidupmu untuk matimu (HR Bukhari).
Meski secara khusus, nasehat ini disampaikan Rasulullah Saw. kepada Ibnu Umar, tetapi secara umum, nasehat ini disampaikan agar kita memanfaatkan waktu, kesehatan, dan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Amal baik tak boleh ditunda, supaya tidak diisi oleh akativitas tuna nilai atau perbuatan maksiat yang dapat mendatangkan malapetaka. Kondisi tubuh yang sehat harus dioptimalkan untuk menghadirkan kebaikan demi kebaikan yang tidak dapat dilakukan ketika kondisi tubuh sedang sakit. Dan kehidupan harus diisi dengan kegiatan yang dapat mendatangkan bongkahan-bongkahan pahala, yang mustahil dilakukan oleh jasad yang telah kehilangan nyawa.
Seorang pengembara punya misi mengumpulkan kunci-kunci untuk membuka pintu-pintu Surga tempat berkumpulnya berbagai macam kenikmatan yang tak pernah terbayang, terbesit, dan terasa oleh panca indera. Sedangkan mereka yang menganggap dunia sebagai terminal lupa mengumpulkan bekal. Mereka terpukau dengan kenikmatan sesaat yang sesungguhnya itu hanyalah fatamorgana. Kelak mereka akan menyesal karena telah memendam anugerah waktu, kesehatan, dan kehidupan hanya untuk dunia. Wallahu a’lam bish shawab.

Manusia Cerdas

25 Mar 2015 0 comments



Oleh Syamsu Hilal

Ketika landasan berpikir kita bukan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, cara pandang dan pemahaman kita tentang sesuatu sering bertolak belakang dengan kedua sumber hukum Islam tersebut. Fenomena umum yang terlihat adalah cara pandang kebanyakan manusia tentang kehidupan di dunia. Banyak orang yang memandang kehidupan di dunia sebagai terminal akhir, sehingga mereka berusaha keras untuk menapaki puncak kehidupan dunia dengan kemampuan yang dimiliki. Hanya sedikit orang yang memahami kehidupan dunia sebagai halte singgah menuju kehidupan di akhirat yang kekal abadi.

Selain mengakibatkan perbedaan cara pandang terhadap sesuatu, kesalahan dalam memilih dan menempatkan alas berpikir juga berakibat pada perbedaan sikap dan jalan hidup yang diambil oleh orang per orang. Salah satunya bagaimana kita memahami tentang makna kecerdasan atau kejeniusan. Makna umum yang berkembang, kecerdesan seseorang dipahami sebagai kecakapan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Atau kecakapan untuk mengembangkan masalah baru untuk dipecahkan. Atau kecakapan untuk membuat sesuatu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat di dalam kehidupannya (Howard Gardner). Ada juga yang mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan-kesulitan baru dengan sadar, dengan berpikircepat dan tepat (William Stern). Masih banyak definisi lain tentang kecerdasan, yang bila kita telaah lebih dalam semuanya hanya mengacu pada kemampuan seseorang dalam mengatasi permasalahan kehidupan di dunia saja, tanpa memperhatikan kehidupan di akhirat.

Sedangkan Rasulullah Saw. menjelaskan, “Orang yang cerdas adalah yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk masa setelah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah (bodoh) adalah yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan pada kemurahan Allah” (HR Tirmidzi).

Dengan adanya hadits di atas, pemahaman kita tentang kecerdasan haruslah mengacu kepada definisi yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kita dapat membahas secara panjang lebar dan mendalam tentang kandungan hadits di atas. Namun, secara umum dapat dipahami bahwa kecerdasan menurut Islam tidak hanya sebatas kemampuan seseorang untuk memecahkan problematika kehidupan di dunia, tetapi juga kemampuan orang itu untuk menyiapkan bekal untuk kehidupan yang abadi di akhirat.

Setiap hari kita menyaksikan di layar kaca puluhan orang meninggal dunia. Kita juga pernah melihat tetangga, teman, atau keluarga kita dipanggil oleh Allah Swt. dengan sebab yang berbeda-beda. Belum sadarkah bahwa kematian senantiasa mengancam diri kita tanpa diketahui kapan waktu dan penyebabnya? Hanya orang-orang lemah dan bodoh saja yang memandang kehidupan dunia hanya untuk dunia.

Orang-orang cerdas senantiasa shalat berjamaah di masjid, berpuasa, dan membaca Al-Qur`an serta mengamalkannya. Orang yang cerdas selalu berinfak, bersedekah, dan berzakat. Orang cerdas bersikap lemah lembut kepada sesama Muslim dan tegas menolak ajakan kepada kekafiran. Dan orang cerdas senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kesemuanya itu dilakukan demi untuk mendapatkan ridha Allah Swt. dan mengumpulkan keping-keping pahala sebagai bekal kehidupan di akhirat yang kekal abadi. Wallahu a'lam bishshawab.

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto