• Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Turun Ke Lapangan

    Bersama Menteri Pertanian Suswono, mengunjungi petani bawang di Cirebon.

  • Banjir Banten

    Berdiskusi dengan Menteri Pertanian Suswono dan Asda II Husni Hasan di areal persawahan di Desa Undar Andir Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang , 22 Januari 2013.

  • Menjadi Narasumber Workshop

    Narasumber dalam Workshop Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), di IPB International Convention Center tanggal 8 Agustus 2012 .

  • Bersama Petani Menes

    Dengan Kelompok Tani Penerima UPPO di Menes, Kabupaten Pandeglang Oktober 2011.

  • Kunjungan Daerah

    Silaturrahim Bersama Anggota DPRD Provinsi NTB, September 2011.

  • Bersama Peternak Sapi

    Mengunjungi Peternakan Sapi Potong dan Sapi Perah di Lembang, Jawa Barat.

  • Bersama Peternak Kerbau Pandeglang

    Syamsu Hilal bersama Anggota DPRD, pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Pandeglang, penyuluh lapangan serta peternak Desa Telagasari Kecamatan Saketi penerima program UPPO Kementerian Pertanian.

  • Pembahas Evaluasi Kinerja

    Menjadi pembahas dalam acara Evaluasi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Hotel Horison Bekasi, 27 September 2012.

  • Berkunjung ke Baduy

    Leuit Baduy memiliki kesamaan dengan LDPM Badan Ketahanan Pangan Kementan.

  • Sidang Tahunan APEC

    Salah satu delegasi untuk memperkenalkan produk pertanian Indonesia.

  • Bertandang ke Jepang

    Ditengah areal persawahan salah satu sentra padi di Jepang.

  • Bersama Peternak Sudan

    Memenuhi undangan dari Pemerintah Sudan terkait kerja sama dan alih teknologi pertanian.

Memperbanyak Shalat Sunnah

31 Mei 2013 0 comments

Dikisahkan oleh Rabiah bin Ka’ab al-Aslami, bahwa pada suatu malam ia pernah menyediakan seember air wudhu dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan Rasulullah Saw. Melihat kebaikan yang dilakukan oleh Rabiah, Rasulullah berkata kepadanya, “Mintalah sesuatu dariku, wahai Rabiah.”
Rabiah pun menyebutkan permintaannya. “Wahai Rasulullah, aku minta agar Allah menjadikanku sebagai pendampingmu di surga kelak.” Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Apakah tak ada permintaan selain itu?”
“Tidak ada, wahai Baginda Nabi. Hanya itu yang ingin aku minta darimu,” jawab Rabiah. “Jika demikian, maka jagalah dirimu untuk memperbanyak sujud.” (HR Muslim).
Mengapa kita diperintahkan untuk memperbanyak sujud? Padahal Allah Swt. memerintahkan agar kita memperbaiki dan meningkatkan kualitas sujud (khusyu’) sebagaimana firman-Nya, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`” (QS Al-Baqarah: 45).
Hadits tentang perintah untuk memperbanyak sujud (katsratis sujud, sesungguhnya memiliki korelasi yang sangat erat dengan perintah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sujud (baca: khusyu’). Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan memperbanyak sujud adalah memperbanyak pelaksanaan shalat sunnah.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh aku mengetahui apa yang aku lihat kalian melakukannya. Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalat seseorang yang dilakukan di rumahnya, kecuali shalat wajib” (HR Al-Bukhari). Hadits ini memerintahkan agar kita memperbanyak melaksanakan shalat sunnah di rumah.
Kaitan antara perintah memperbanyak sujud melalui pelaksanaan shalat-shalat sunnah dengan perintah untuk meningkatkan kualitas shalat, yaitu khusyu’ adalah karena pada umumnya kita sangat sulit untuk mencapai tingkatan shalat yang benar-benar khusyu’. Sedangkan fungsi shalat sunnah adalah untuk menutupi kekurangsempurnaan pelaksanaan shalat fardhu. Dengan demikian, semakin banyak kita melaksanakan shalat-shalat sunnah – tentu dengan tidak meninggalkan shalat fardhu – kekhusyu’-an kita akan semakin bertambah.
Dari 10 menit waktu yang kita gunakan untuk melaksanakan shalat zhuhur misalnya, berapa menit ke-khusyu’-an yang benar-benar berhasil kita reguk? Begitu juga dengan shalat-shalat fardhu lainnya. Nah, dengan banyak melaksanakan shalat-shalat sunnah, maka jumlah ke-khusyu’-an yang berhasil kita nikmati tentu semakin besar. Inilah rahasia mengapa kita diperintahkan untuk memperbanyak sujud melalui pelaksanaan shalat-shalat sunnah. Wallahu a’lam bishshawab.

Umar Bin Abdul Aziz, Kesalehan dan Kebijakan Politiknya Rahmat bagi Semesta Alam

27 Mei 2013 0 comments

(Bagian 2 dari Dua Tulisan)

Setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz melakukan gebrakan yang tidak diduga sebelumnya, terutama oleh keluarga, famili, dan orang-orang terdekatnya. Banyak orang yang tercengang melihat kebijakan-kebijakan beliau yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang yang tengah berkuasa.
Di antara kebijakan-kebijakan politiknya antara lain:
1.      Menolak fasilitas kekhalifahan untuk dirinya yang dianggapnya berlebihan. Para petugas kekhalifahan yang hendak mengawalnya dengan kendaraan khusus mendapatkan sesuatu yang di luar dugaan. Umar menolak kendaraan dinas, dan meminta kepada salah seorang di antara mereka untuk mendatangkan binatang tunggangannya.
Al-Hakam bin Umar mengisahkan, ”Saya menyaksikan para pengawal datang dengan kendaraan khusus kekhalifahan kepada Umar bin Abdul Aziz sesaat dia diangkat menjadi Khalifah. Waktu itu Umar berkata, ’Bawa kendaraan itu ke pasar dan juallah, lalu hasil penjualan itu simpan di Baitul Maal. Saya cukup naik kendaran ini saja (hewan tunggangan).’”
’Atha al-Khurasani berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pelayannya untuk memanaskan air untuknya. Lalu pelayannya memanaskan air di dapur umum. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyuruh pelayannya untuk membayar setiap satu batang kayu bakar dengan satu dirham.”
’Amir bin Muhajir menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menayalakan lampu milik umum jika pekerjaannya berhubungan dengan kepentingan kaum Muslimin. Ketika urusan kaum Muslimin selesai, maka dia akan memadamkannya dan segera menyalakan lampu miliknya sendiri.
Al-Hakam bin Umar meriwayarkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memiliki 300 penjaga. Umar berkata kepada para pengawalnya, ”Sesungguhnya aku memiliki penjaga untuk kalian dan untukku, juga ada penjaga ajalku. Maka, siapa yang ingin tetap berada di sini, tetaplah di sini, dan siapa yang ingin pulang, pulanglah kepada keluarga kalian.”
2.      Menerapkan pola hidup sederhana, khususnya untuk diri dan keluarganya. Yunus bin Abi Syaib berkata, ”Sebelum menjadi Khalifah tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi Khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya.”
Hal senada diungkapkan putranya, Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya oleh Abu Ja’far al-Manshur perihal jumlah kekayaan ayahnya. Ja’far bertanya, ”Berapa kekayaan ayahmu saat mulai menjabat sebagai Khalifah?” Abdul Aziz menjawab, ”Empat puluh ribu dinar.” Ja’far bertanya lagi, ”Lalu berapa kekayaan ayahmu saat meninggal dunia?” Jawab Abdul Aziz, ”Empat ratus dinar. Itu pun kalau belum berkurang.”
Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz dalam kehidupan benar-benar diilhami oleh perilaku hidup sederhana Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Beliau sangat sederhana dalam berpakaian. Suatu ketika Maslamah bin Abdul Malik menjenguk Umar bin Abdul Aziz yang sedang sakit. Maslamah melihat pakaian Umar sangat kotor. Maslamah berkata kepada istri umar, Fathimah binti Abdul Malik, ”Tidakkah engkau cuci bajunya?” Fathimah menjawab, ”Demi Allah, dia tidak memiliki pakaian lain selain yang ia pakai.”
Pada kesempatan lain Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama orang banyak dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?”
Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang palin baik adalah pada saat kita kaya dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”
Umar bin Abdul Aziz juga sangat sederhana dalam makanan. Seorang pelayan Umar, Abu Umayyah al-Khashy berkata, ”Saya datang menemui istri Umar dan dia memberiku makan siang dengan kacang adas. Saya katakan kepadanya, ’Apakah setiap hari tuan makan dengan kacang adas?’” Fathimah menjawab, ”Wahai anakku, inilah makanan tuanmu, Amirul Mukminin.”
’Amr bin Muhajir berkata, ”Uang belanja Umar bin Abdul Aziz setiap harinya hanya dua dirham.” Sedangkan Yusuf bin Ya’qub al-Khalil berkata, ”Umar bin Abdul Aziz memakai pakaian dari bulu unta yang pendek. Sedangkan penerangan rumahnya terdiri dari tiga bambu yang di atasnya ada tanah.”
Umar bin Abdul Aziz juga senantiasa mengerjakan urusan-urusan kecil yang sebenarnya tidak pantas dikerjakan oleh seorang Amirul Mukminin. Seperti diungkapkan oleh Abu Umayyah bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah masuk ke satu kamar mandi. Tiba-tiba kamar mandi itu rusak, maka dia memberperbaikinya sendiri.
3.      Menghapuskan hak-hak istimewa yang diberikan kepada keluarganya. Umar mengumpulkan Bani Marwan dan berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah Saw. memiliki tanah fadak, dan dari tanah itu dia memberikan nafkah kepada keluarga Bani Hasyim. Dan dari tanah itu pula Rasulullah Saw. mengawinkan gadis-gadis di kalangan mereka. Suatu saat, Fathimah memintanya untuk mengambil sebagian dari hasil tanah itu, tapi Rasulullah Saw. menolaknya.
Demikian pula yang dilakukan Abu Bakar Ra. dan Umar Ra. Kemudian harta itu diambil oleh Marwan dan kini menjadi milik Umar bin Abdul Aziz. Maka saya memandang bahwa suatu perkara yang dilarang Rasulullah Saw. melarangnya untuk Fathimah adalah bukan menjadi hakku. Saya menyatakan kesaksian di hadapan kalian semua, bahwa saya telah mengembalikan tanah tersebut sebagaimana pada zaman Rasulullah Saw.” (Kisah ini diriwayatkan dari Mughirah).
Al-Awza’i meriwayatkan, ketika Umar bin Abdul Aziz menghapuskan hak-hak istimewa kepada anggota keluarganya, mereka berusaha membujuk Umar untuk mengembalikan hak tersebut. Umar berkata, ”Harta yang ada padaku tak cukup untuk kalian. Sedangkan mengenai harta kaum Muslimin ini, maka hak kalian sama dengan hak kaum Muslimin yang berada di ujung dunia.”
Wahib al-Wadud mengisahkan, suatu saat beberapa kerabat Umar bin Abdul Aziz dari Bani Marwan mendatangi rumah Umar. Saat itu Umar tengah uzur tak bisa menemui mereka. Lalu mereka berpesan kepada anaknya yang bernama Abdul Malik, ”Tolong katakan kepada ayahmu bahwa para Khalifah terdahulu selalu memberikan keistimewaan dan uang kepada kami, karena mereka tahu kedudukan kami. Sementara ayahmu kini telah menghapuskannya.”
Abdul Malik lalu menyampaikan hal itu kepada ayahnya. Setelah kembali, Abdul Malik berkata kepada mereka, ”Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku” (Umar mengutip firman Allah QS Al-An’am: 15).
Salah seorang famili Umar bin Abdul Aziz yang bernama ’Anbasah bin Said al-’Ash menemuinya untuk menyampaikan keluhannya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya para Khalifah sebelum kamu biasa menanggung kebutuhan-kebutuhan kami, tapi kini kamu menghapuskan kebiasaan itu untuk kami, padahal kami memiliki keluarga. Apakah kamu izinkan saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami?” Umar menjawab, ”Sesungguhnya orang yang paling dicintai di antara kamu adalah orang yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.”
Lalu Umar bin Abdul Aziz menasehatinya, ”Perbanyaklah mengingat mati. Karena jika kamu berada dalam kesempitan hidup, maka kamu akan merasa lapang. Dan jika kamu berada dalam kelapangan hidup, maka kamu akan merasa sempit.”
4.      Mengembalikan harta kekayaan yang dimilikinya dan keluarganya kepada Baitul Maal. Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz memanggil istrinya, Fathimah binti Abdul Malik yang memiliki banyak perhiasan berupa intan dan mutiara, ”Wahai istriku, pilihlah olehmu, kamu kembalikan perhiasan-perhiasan ini ke Baitul Maal atau kamu izinkan saya meninggalkan kamu untuk selamanya. Aku tidak suka bila aku, kamu, dan perhiasan ini berada dalam satu rumah.” Fathimah menjawab, ”Saya memilih kamu daripada perhiasan-perhiasan ini. Bahkan bila lebih dari itu pun aku tetap memilih kamu.”
5.      Mengangkat orang-orang saleh di jajaran pemerintahannya. Setelah mencopot Khalid sebagai pengawal kekhalifahan lantaran telah menghukum orang tidak sesuai dengan kesalahannya, Umar bin Abdul Aziz meminta ’Amr bin Muhajir untuk menjadi salah seorang pengawalnya. Umar berkata, ”Wahai ’Amr, engkau tahu bahwa antara saya dan kamu tidak ada hubungan kekerabatan, kecuali kerabat dalam Islam. Namun, saya mendengar bahwa kamu banyak membaca ayat-ayat Al-Qur`an, dan saya melihat kamu melakukan shalat di suatu tempat yang kamu kira tidak ada seorang pun yang dapat melihatmu. Saya melihat kamu melakukan shalat dengan baik. Dan kamu adalah salah seorang dari golongan Anshar. Ambillah pedang ini dan sejak saat ini kau kuangkat sebagai pengawalku.”
6.      Menolak suap dalam bentuk apa pun. ’Amr bin Muhajir meriwayatkan, suatu saat Umar bin Abdul Aziz ingin makan apel, kemudian salah seorang anggota keluarganya memberi apel yang diinginkan. Lalu Umar berkata, ”Alangkah harum aromanya. Wahai pelayan, kembalikan apel ini kepada si pemberi dan sampaikan salam saya kepadanya bahwa hadiah yang dikirim telah sampai.”
’Amr bin Muhajir mempertanyakan sikap Umar tersebut, ”Wahai Amirul Mukminin, orang yang memberi hadiah apel itu tak lain adalah sepupumu sendiri dan salah seorang yang masih memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat denganmu. Bukankah Rasulullah Saw. juga menerima hadiah yang diberikan orang lain kepadanya?”
Umar bin Abdul Aziz menjawab, ”Celaka kamu, sesungguhnya hadiah yang diberikan kepada Rasulullah Saw. adalah benar-benar hadiah, sedangkan yang diberikan kepadaku ini adalah suap.”
7.      Menolak sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun-temurun. Ja’unah mengatakan, suatu ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz, putranya, meninggal dunia. Umar memujinya. Lalu Ja’unah bertanya kepada Umar, ”Apakah jika dia masih hidup, kamu akan mewasiatkan agar dia menjadi penggantimu?”
Umar menjawab, ”Tidak.”
”Lalu mengapa kamu memujinya?” tanya Ja’unah lagi.
”Karena saya khawatir, bila saya mengangkatnya, dia akan dihormati lantaran ayahnya dihormati,” jawab Umar.
8.      Menghapuskan budaya materialistik di kalangan pejabat. Putra Umar bin Abdul Aziz yang bernama Abdul Aziz mengisahkan, beberapa orang bawahan Umar menulis surat kepadanya. Di antara isi suratnya berbunyi, ”Sesungguhnya kota telah rusak. Jika Amirul Mukminin memberikan kepada kami sejumlah uang agar kami memperbaiki kota itu, maka kami akan melakukannya.” Umar membalas surat itu, ”Jika kamu membaca surat ini, maka jangalah kota itu dengan cara kamu berlaku adil dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman. Karena itulah sebenar-benar perbaikan.”
9.      Melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara bijaksana. Suatu ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz, salah seorang putra Umar, menemui ayahnya, dan berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, jawaban apa yang engkau persiapkan di hadapan Allah Swt. di hari Kiamat nanti, seandainya Allah menanyakan kepadamu, ’Mengapa engkau melihat bid’ah, tapi engkau tidak membasminya, dan engkau melihat Sunnah, tapi engkau tidak menghidukannya di tengah-tengah masyarakat?’”
Umar menjawab, ”Semoga Allah Swt. mencurahkan rahmat-Nya kepadamu dan semoga Allah memberimu ganjaran atas kebaikanmu. Wahai anakku, sesungguhnya kaummu melakukan perbuatan dalam agama ini sedikit demi sedikit. Jika aku melakukan pembasmian terhadap apa yang mereka lakukan, maka aku tidak merasa aman bahwa tindakanku itu akan menimbulkan bencana dan pertumpahan darah, serta mereka akan menghujatku. Demi Allah, hilangnya dunia bagiku jauh lebih ringan daripada munculnya pertumpahan darah yang disebabkan oleh tindakanku. Ataukah kamu tidak rela jika datang suatu masa, dimana ayahmu mampu membasmi bid’ah dan menghidupkan Sunnah?”
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Ja’unah, Umar bin Abdul Aziz berpesan kepada ’Amr bin Qais sebagai pejabat baru di Ash-Shaifah, ”Terimalah orang yang baik di antara mereka, dan ampunilah orang-orang jahatnya. Janganlah kamu berada di bagian paling depan di kalangan mereka, sehingga kamu dibunuh, dan jangan pula menjadi orang yang berdiri di bagian paling belakang, sehingga kamu akan gagal. Jadilah di tengah-tengah dimana posisimu dapat dilihat dan suaramu dapat didengar.”
Ibnu Asakir juga meriwayatkan dari As-Saib bin Muhammad, Al-Jarrah bin Abdullah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz sebagai berikut: Sesungguhnya orang-orang Khurasan adalah orang-orang yang sulit diatur, kecuali dengan pedang dan cemeti. Jika Amirul Mukminin mengizinkanku memerintah mereka dengan pedang dan cemeti, maka saya akan lakukan.
Dalam surat balasannya, Umar bin Abdul Aziz menulis: Telah sampai surat yang kaum kirimkan kepadaku yang menyebutkan bahwa penduduk Khurasan tidak bisa diatur kecuali dengan pedang dan cemeti. Namun, saya yakin bahwa apa yang kamu katakan itu adalah bohong. Mereka pasti bisa diatur dan diperbaiki dengan keadilan dan kebenaran. Maka, sebarkanlah itu di antara mereka.
10.   Menegakkan keadilan dan mengabdikan diri untuk menyejahterakan umat. Tekad Umar bin Abdul Aziz untuk menyejahterakan rakyatnya dan menegakkan keadilan adalah prioritas utama. Fathimah binti Abdul Malik, istrinya, pernah menemuinya sedang menangis di tempat shalatnya. Lalu istrinya berusaha membesarkan hatinya. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”Wahai Fathimah, sesungguhnya saya memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Dan saya memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orang yang tersisihkan, yang teraniaya dan terintimidasi, yang terasing dan tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat, tapi hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri. Saya tahu dan sadar bahwa Rabbku kelak akan menanyakan hal ini di hari Kiamat. Saya khawatir saat itu saya tidak memiliki alasan yang kuat di hadapan Rabbku. Itulah yang membuatku menangis.”
Keseriusan Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan dapat disimak dalam tafsir yang ditulis Ibnu Abi Hatim. Dalam kitab itu disebutkan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz memanggilnya dan berkata, ”Katakan kepadaku tentang keadilan.”
Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata, ”Engkau telah menanyakan suatu perkara yang sangat besar. Jadilah engkau kepada anak kecil laksana seorang ayah, dan kepada orangtua laksana seorang anak kecil. Sedangkan kepada yang sebaya laksana seorang saudara, demikian pula kepada kaum wanita. Berilah manusia sanksis sesuai dengan kesalahanya, dan sesuai dengan kondisi fisiknya. Janganlah kamu memukul seseorang dengan satu cemeti pun karena kemarahanmu, sehingga kamu akan dianggap sebagai orang yang melampaui batas.”
Malik bin Dinar berkata, ”Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, para penggembala domba dan kambing berkata, ”Siapa orang saleh yang kini menjadi Khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala memakan domba-domba kami.”
Musa bin A’yun bercerita, ”Kami pernah menggembalakan domba-domba kami di Karman pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Saat itulah antara serigala dan domba berada di satu tempat. Namun, pada suatu malam kami mendapatkan seekor serigala telah memangsa seekor domba. Maka saya katakan, ’Pasti lelaki saleh itu kini telah meninggal. Lalu mereka mengaitkan kejadian itu dengan hari wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang ternyata dia memang meninggal di malam saat serigala mulai memakan domba.”
Kisah ini dapat dimaknai bahwa pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz umat dan masyarakat hidup dalam keadaan sejahtera dan berkecukupan. Keadilan ditegakkan. Sehingga tidak ada orang yang merasa dizalimi atau dicurangi yang mengakibatkan munculnya pertikaian dan tindak kriminalitas.
Selama pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, umat dan masyarakat berada dalam kemakmuran. Tidak ada orang miskin dan terabaikan. Tak ada orang yang kelaparan. Semuanya hidup serba kecukupan. Hal ini diungkapkan oleh Umar bin Usaid, ”Demi Allah, Umar bin Abdul Aziz tidak meninggal dunia hingga seorang laki-laki datang kepada kami dengan sejumlah harta dalam jumlah besar dan berkata, ’Salurkan harta ini sesuai kehendakmu.’ Ternyata tak ada seorang pun yang berhak menerimanya. Sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat manusia hidup berkecukupan.”
11.   Melestarikan lingkungan hidup. Jisr al-Qashshab berkata, ”Saya melihat serigala dan kambing hidup damai di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Lalu saya katakan, ’Subhanallah! Ternyata serigala sama sekali tidak berbahaya berada di tengah-tengah kambing?’”
Secara tekstual, pernyataan Jisr al-Qashshab ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Umar bin Abdul Aziz benar-benar memperhatikan aspek lingkungan hidup, dimana semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan mendapatkan keadilan. Karena hutan dilestarikan, maka binatang-binatang liar seperti serigala tak perlu turun ke desa untuk mencari mangsa. Hewan-hewan tersebut telah mendapatkan segala apa yang dibutuhkan.
12.   Menolak nepotisme. Al-Azwa’i menceritakan suatu ketika Umar bin Abdul Aziz duduk di rumahnya bersama para pembesar Bani Umayyah. Umar berkata, ”Sukakah jika kalian aku jadikan salah seorang pemimpin pasukan?” Mereka menjawab, ”Mengapa kau tawarkan kepada kami sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?” Umar berkata, ”Tidakkah kalian melihat hamparan tempat saya kini berada? Sesungguhnya saya menyadari sepenuhnya bahwa ia akan hancur dan sirna. Dan saya tidak suka bila tempat ini dikotori oleh kaki-kaki kalian. Lalu bagaimana mungkin akan saya jadikan kalian sebagai pemimpin dan pengawas orang-orang. Tidak mungkin. Dan jangan harap itu terjadi.”
Para pembesar itu berkata, ”Mengapa tidak? Bukankah kita memiliki hubungan kerabat? Bukankah kita juga berhak?”
Umar berkata, ”Antara kamu sekalian dan orang yang berada jauh di ujung dunia dalam pandanganku adalah sama. Tidak ada bedanya.”
13.   Menghukum orang sesuai dengan kesalahannya. Yahya al-Ghassani menceritakan, ketika masih menjabat sebagai gubernur, Umar bin Abdul Aziz pernah melarang Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik untuk membunuh orang-orang Haruri (kaum Khawarij yang bermarkas di Desa Haruri). Umar memberi saran kepada Khalifah, ”Penjarakan saja orang-orang itu hingga mereka bertaubat.”
Lalu Sulaiman bin Abdul Malik mendatangkan salah seorang Haruri dan menyuruh orang itu bicara. Haruri itu berkata, ”Apa yang harus saya katakan wahai orang fasik anaknya orang fasik.” Ucapan orang Haruri itu diulanginya lagi di hadapan Umar bin Abdul Aziz.
Sulaiman bin Abdul Malik berkata kepada Umar, ”Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?”
Umar bin Abdul Aziz diam. Sulaiman berkata lagi, ”Saya ingin kamu menyampaikan pendapatmu tentang orang ini sekarang juga.”
Umar berkata, ”Cacilah dia sebagaimana dia mencacimu.”
Sulaiman berkata, ”Persoalannya tidak semudah itu.” Kemudian Sulaiman menyuruh pengawalnya untuk memenggal kepala Haruri.
Umar bin Abdul Aziz keluar dari ruangan itu dan bertemu dengan Khalid, pengawal Khalifah. Khalid berkata, ”Wahai Umar, bagaimana mungkin kamu menyuruh Khalifah untuk mencaci Haruri sebagaimana dia mencaci Khalifah? Demi Allah, tadinya saya mengira Khalifah akan menyuruhku untuk memenggal kepalamu.”
Umar bertanya kepada Khalid, ”Apa yang akan kamu lakukan seandainya Khalifah benar-benar menyuruhmu memenggal kepalaku?”
Pengawal itu berkata, ”Demi Allah, saya pasti akan lakukan itu.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, Khalid datang menemuinya untuk bertugas sebagai pengawal Umar. Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Khalid, ”Letakkan pedang itu!” Lalu dilanjutkan dengan berdoa, ”Ya Allah, saya telah mencopot pedang itu dari Khalid dan saya memohon kepada-Mu janganlah Engkau angkat pedang itu untuk selamanya.”
Yahya al-Ghassani menceritakan, saat Umar bin Abdul Aziz mengangkatku sebagai pejabat di Mosul, aku mendapatkan wilayah itu dipenuhi tindak kriminal yang sangat tinggi. Lalu aku menulis surat untuk meminta nasehat kepada Umar apakah harus menghukum mereka dengan prasangka dan tuduhan tanpa bukti konkrit, atau dengan bukti-bukti dan keterangan yang jelas sebagaimana diajarkan di dalam Sunnah Rasulullah Saw.?”
Umar bin Abdul Aziz lalu mengirim surat balasan yang isinya perintah agar aku melakukan proses hukum berdasarkan fakta sesuai dengan Sunah Rasulullah Saw. ”Jika kebenaran dan keadilan tidak juga mampu menghadirkan perbaikan kepada mereka, maka jangan harap mereka akan menjadi baik,” jelas Umar.
Yahya menambahkan, ”Tatkala aku melakukan apa yang diperintahkan Umar, Mosul menjadi satu wilayah yang paling sedikit memiliki kasus tindak kriminal.” Wallahu a’lam bishshawab.

Umar Bin Abdul Aziz, Kesalehan dan Kebijakan Politiknya Rahmat bagi Semesta Alam

0 comments


(Bagian 1 dari Dua Tulisan)

Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk” (Zaid bin Aslam dari Anas).

Umar bin Abdul Aziz bin Marwan dikenal dengan panggilan Abu Hafsh lahir di Hulwan, sebuah desa di Mesir pada tahun 61 H. Ibunya, Ummu ‘Ashim adalah putri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab dilahirkan tidak lebih dari 50 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dimana saat itu para sahabat dan tabi’in masih memiliki ikatan batin dan kehidupan yang amat akrab dengan Rasul. Jadi, Umar bin Abdul Aziz adalah cucu Umar bin Khaththab dari garis keturunna (nasab) ibunya. Ayahandanya, Abdul Aziz bin Marwan, pernah menjadi gubernur di daerah itu.
Dengan demikian, Umar bin Abdul Aziz dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan istana dan tumbuh dalam buaian kemewahan. Ia dan keluarganya memiliki kekayaan melimpah – sebagaimana umunya keluarga raja-raja Dinasti Umayyah – yang diperoleh sebagai tunjangan raja kepada keluarga dekatnya. Disebutkan, dari perkebunannya saja, Umar memiliki penghasilan 50.000 asyrafi (dinar) per tahun. Tentu saja, saat itu ia hidup secara mewah sebagaimana lazimnya kaum bangsawan, dengan pakaian, rumah, kendaraan, dan perlengkapan yang hanya mungkin dimiliki oleh para pangeran. Maka wajar, bila pada masa remajanya dia suka berfoya-foya.
Meski demikian, orangtuanya tak pernah melupakan akan pentingnya pendidikan agama. Maka sejak kecil Umar sudah biasa menghafal Al-Qur`an. Kemudian ayahandanya mengirimnya ke Madinah untuk belajar berbagai ilmu agama. Umar banyak berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Dengan bekal ilmu itulah Umar semakin bijak menyikapi berbagai persoalan di masyarakat, terutama yang berkenaan dengan prinsip dasar peradaban Islam di masa Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar pun memiliki pandangan lain tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun temurun.
Umar bin Abdul Aziz kini dikenal sebagai orang yang sangat saleh. Gaya hidup suka berfoya-foya langsung ditinggalkannya dan menggantinya dengan akhlak Islami. Ketika ayahandanya meninggal, Abdul Malik bin Marwan, yang pada saat itu menjabat sebagai Khalifah, memintanya untuk datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya yang bernama Fathimah.
Isyarat bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menjadi ”orang besar” sudah ada ketika ayahandanya melihat bekas luka di bagian wajah Umar akibat tendangan seekor binatang. Peristiwa itu terjadi ketika beliau masih kanak-kanak. Ketika ayahnya menghapus darah yang mengalir di wajahnya, ayahnya berkata, “Jika kamu adalah orang yang terluka dibagian wajah dari kalangan Umayyah, maka engkau akan menjadi orang yang bahagia” (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir).
Pernyataan ayahanda Umar ini merujuk kepada pernyataan Umar bin Khaththab, ”Akan ada dari keturunanku seorang anak yang di wajahnya ada bekas luka. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Tarikhnya). Prediksi Umar bin Khaththab diperkuat oleh pernyataan Ibnu Umar, “Kami pernah berbicara bahwa dunia ini tidak akan runtuh sebelum ada seorang laki-laki yang memimpin dari kalangan keluarga Umar bin Khaththab yang berbuat sebagaimana Umar berbuat.” Pada awalnya orang-orang mengira bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Umar itu adalah Bilal bin Abdullah bin Umar, karena dia memiliki tahi lalat di wajahnya. Hingga akhirnya Allah Swt. mendatangkan Umar bin Abdul Aziz.
Al-Walid bin Muslim juga menceritakan perihal isyarat itu. Menurutnya, seseorang yang berasal dari daerah Khurasan berkata, ”Dalam mimpi saya melihat seseorang datang kepada saya dan berkata, ’Jika orang yang di wajahnya ada luka dari kalangan Bani Marwan telah berkuasa, maka pergilan kamu dan baiatlah dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang pemimpin yang adil.”
Ketika Al-Walid bin Abdul Malik menjadi Khalifah menggantikan Abdul Malik (ayahnya), Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur Madinah dari tahun 86 H – 93 H. Namun, pada tahun 93 H dia diberhentikan oleh Al-Walid lantaran kebijakan Umar tidak sejalan dengan kebijakan Al-Walid yang menjurus kepada penyimpangan. Umar pun lalu kembali ke Damaskus.

Al-Walid juga berusaha keras mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisinya sebagai Putra Mahkota yang kelak akan menggantikannya. Ia menginginkan agar yang menjadi Putra Mahkota adalah anaknya sendiri. Para pembesar dan pejabat negara yang ada pada waktu itu menyetujui langkah Al-Walid, baik secara suka rela maupun terpaksa. Namun, Umar bin Abdul Aziz menolak mentah-mentah keinginan Al-Walid itu dengan berkata, ”Di leher kami ada bai’at.” Pernyataan Umar itu diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan hingga akhirnya Al-Walid memenjarakannya dalam sebuah ruang yang sempit dengan jendela tertutup, dengan harapan Umar akan mati karena kelaparan dan sesak nafas.
Setelah tiga hari dikurung, akhirnya Al-Walid membebaskannya. Kondisi Umar ketika dibebaskan sangat memprihatikan. Lehernya agak miring. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata, ”Dia (Umar) adalah pengganti setelah saya.”

Kesalehan Umar bin Abdul Aziz
Kesalehan Umar sudah dikenal ketika beliau menjadi gubernur Madinah. Zaid bin Aslam meriwayatkan dari Anas, ”Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk.”
Kesalehan Umar makin bertambah ketika beliau menjadi Khalifah. Bahkan Umar bukan hanya dikenal sebagai seorang ahli ibadah, tetapi dia memiliki pemahaman yang mendalam dan rinci (al-fahmu ad-daqiq) dalam masalah-masalah keagamaan. Sehingga beliau dijadikan rujukan dalam berbagai masalah oleh banyak orang. Sampai-sampai Maimun bin Mahran berkata, ”Para ulama di hadapan Umar bin Abdul Aziz adalah murid-muridnya.”
Proses taqarrub ilallah yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz, membuat beliau diberikan berbagai keistimewaan (karamah) oleh Allah Swt. Abu Nu’aim meriwayatkan dari Rayyah bin Ubaidah, dia berkata, ”Umar bin Abdul Aziz keluar dari rumahnya untuk menunaikan shalat. Saya melihat ada seseorang yang sangat tua bersandar ke tangan Umar. Saya berkata dalam hati, sesungguhnya orangtua itu berhati gersang. Usai shalat, saya bertanya kepada Umar, ”Wahai Amirul Mukminin, semoga Allah memberkati anda. Siapa gerangan kakek tua yang bersandar di tangan anda?”
Umar balik bertanya, ”Apakah anda (Rayyah) melihatnya?”
Rayyah bin Ubaidah menjawab, ”Benar, saya melihatnya.”
Umar berkata, ”Tidak salah dugaanku, engkau seorang laki-laki saleh. Ketahuilah, kakek tua itu adalah Nabi Khidir, saudaraku. Dia datang untuk memberitahu bahwa saya akan memimpin umat ini dan akan berlaku adil terhadap mereka.”
Maimun bin Mahran juga meriwayatkan dari Abu Hasyim bahwa seorang laki-laki menemui Umar bin Abdul Aziz dan berkata, ”Saya bermimpi melihat Rasulullah Saw. dalam tidurku. Dalam mimpi itu, aku melihat Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. ada disamping kanan Rasulullah, sedangkan Umar bin Khaththab Ra. disamping kirinya. Tiba-tiba kedua orang itu berselisih pendapat, sedangkan engkau (Umar bin Abdul Aziz) duduk di depan Rasulullah. Rasulullah Saw. berkata kepadamu, ’Wahai Umar, jika nanti kamu menjadi penguasa, maka berbuatlah sebagaimana kedua orang ini (Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab) berbuat.”
Untuk meyakinkan kebenaran mimpi itu, Umar meminta orang itu untuk bersumpah dengan nama Allah. Orang itu kemudian bersumpah atas nama Allah. Maka Umar pun menangis.
Sebagaimana sifat para nabi dan salafush shalih, Umar bin Abdul Aziz amat benci pada perbuatan dusta, karena dusta selalu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya dan umat manusia. Ibrahim as-Sakuni menceritakan bahwa Umar pernah berkata, ”Aku tak pernah berdusta sejak aku tahu bahwa dusta itu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya.”
Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat takut kepada Allah Swt. Istrinya bercerita, bahwa jika Umar masuk rumah, maka dia aka berbaring di tempat shalat sunnahnya. Dia terus menangis hingga akhirnya tertidur. Al-Walid bin Abi as-Saib berkata, ”Saya tidak pernah melihat orang yang lebih takut kepda Allah daripada Umar bin Abdul Aziz.”

Menjadi Khalifah
Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pada tahun 99 H. Waktu itu Umar bin Abdul Aziz baru berumur 37 tahun. Dia menjabat Khalifah selama dua tahun lima bulan sebagaimana masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Di masa pemerintahannya, Umar telah memenuhi dunia dengan keadilan, mengembalikan semua harta yang diambil secara tidak halal pada masa kekhalifahan sebelumnya. Beliau menghapus tradisi jahiliyah dan membangun tradisi Islam.
Umar bin Abdul Aziz tidak mau menduduki kursi kekuasaan sebelum menanggalkan sikap kesewenang-wenangan si kuat terhadap si lemah dan membatalkan tradisi jahiliyah yang selama ini dianut oleh keluarganya yang diwarisi oleh para pemimpin sebelumnya yang berlaku zalim kepada rakyatnya. Ia telah mengubah tradisi buruk itu dan menggantinya dengan perilaku mulia yang seharusnya ditempuh oleh seorang Amirul Mukminin.
Ketika dirinya dinyatakan sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar terkulai lemas dan berkata, ”Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun.”
Hal itu dinyatakannya di hadapan rakyatnya sesaat setelah ia dibaiat, ”Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Hal itu dilakukan lantaran Umar tidak mau memangku jabatan sebelum ada kerelaan dari umat atas penunjukan dirinya sebagai Khalifah. Namun, rakyat tetap pada keputusannya, yaitu membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Dikisahkan oleh Umar bin Muhajir, sesaat setelah Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi Khalifah, ia berdiri di hadapan khayalak, lalu memuji Allah dan berkata, ”Wahai hadirin sekalian, sesungguhnya tidak ada satu kitab suci pun setelah Al-Qur`an, dan tidak akan ada nabi setelah Muhammad Saw. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat undang-undang. Saya hanyalah seorang pelaksana. Saya juga bukan orang yang membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah), saya hanyalah sebagai pengikut. Saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Justru saya adalah orang yang memilkul beban berat. Sesungguhnya orang yang melarikan diri dari seorang pemimpin yang zalim, dia bukan orang zalim. Ketahuilah bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk apabila dia berada dalam kemaksiatan.” Wallahu a’lam bishshawab.

Kisah Thalut dan Sikap Kaum Muslimin dalam Menghadapi Dunia

26 Mei 2013 0 comments

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia termasuk pengikutku, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS Al-Baqarah: 249).
Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an, Sayyid Quthb menjelaskan, di sinilah tampak kebenaran hikmah Allah Swt. memilih Thalut. Thalut menghadapi peperangan bersama tentara dari umat yang dahulu pernah dikalahkan musuh, yang sudah mengenal kekalahan dan kehinaan di dalam sejarahnya dari waktu ke waktu. Thalut akan berhadapan dengan kekuatan jiwa tentaranya dalam melawan kekuatan musuh yang besar dan pernah menjadi pemenang pada masa lalu. Kekuatan jiwa itu tak lain adalah iradah (kemauan, tekad, kehendak), yaitu iradah yang dapat mengendalikan syahwat dan keinginan, yang tegar menghadapi kesulitan dan penderitaan, yang mampu mengungguli semua kebutuhan dan keperluan, yang lebih mengutamakan ketaatan dan mengemban tugas-tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mampu melewati ujian demi ujian. Pemimpin yang telah dipilih untuk mereka itu harus menguji iradah tentaranya, ketabahan, dan kesabarannya. Pertama-tama ketabahan menghadapi godaan keinginan dan syahwat. Kedua, kesabaran menghadapi kesulilatan dan beban berat. Sang pemimpin (Thalut) memilih ujian ini, sedangkan mereka sebagaimana dikatakan dalam beberapa riwayat dalam kondisi kehausan. Ujian itu dengan maksud untuk mengetahui siapa orang yang sabar bersamanya dan siapa orang yang akan surut ke belakang dan lebih mengutamakan keselamatan dirinya. Benarlah firasatnya,
“Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.”
Thalut membolehkan mereka minum, tetapi hanya seceduk tangan saja sekedar untuk membasahi tenggorokan. Akan tetapi hal itu jangan sampai membuat mereka tidak ikut berperang. Namun, ternyata sebagian besar dari mereka harus berpisah dari Thalut, karena mereka mengikuti keinginan hawa nafsunya. Mereka berpisah darinya karena mereka tidak layak mengemban tugas penting yang dibebankan ke pundak Thalut dan pundak mereka. Ini merupakan langkah baik dan sebuah keharusan bahwa mereka terpisah dari tentara yang akan berperang. Sedangkan tentara yang diperlukan itu bukan sekedar jumlahnya yang besar, tetapi mereka yang memiliki hati kokoh, kemauan yang mantap, iman yang teguh, dan konsisten di atas jalan yang lurus.
Ujian ini juga menunjukkan bahwa niat yang tersembunyi itu saja belum cukup. Karena itu harus dilakukan ujian yang bersifat praktik dalam bentuk tindakan nyata dan menghadapi peristiwa-peristiwa di jalan sebelum menuju peperangan yang sesungguhnya. Pengalaman itu juga menunjukkan ketegaran hati sang pemimpin terpilih yang tidak terguncang hatinya, meskipun sebagian besar tentaranya surut ke belakang pada ujian pertama. Bahkan ia terus melanjutkan perjalanan.
Ujian itu telah menyaring pasukan Thalut, dalam batas tertentu, namun ujian tersebut belum selesai,
“Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."
Jumlah mereka tinggal sedikit, dan mereka mengetahui kekuatan dan banyaknya tentara musuh di bawah pimpinan Jalut. Mereka adalah orang-orang mukmin yang tidak mungkin mengingkari janjinya kepada Nabi mereka. Akan tetapi ketika menghadapi kenyataan yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, mereka merasa lemah untuk menghadapinya.
Ini adalah ujian yang menentukan, yang mengharuskannya mengandalkan kekuatan lain yang lebih besar daripada kekuatan yang tampak dalam pandangan mata. Hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang telah sempurna imannya, kemudian hatinya menjalin hubungan dengan Allah. Maka, mereka mendapatkan ukuran baru yang muncul dari realitas imannya, bukan ukuran sebagaimana yang digunakan manusia yang hanya mengukur dengan keadaan lahiriah saja.
Di sini tampillah golongan yang orang beriman, golongan yang jumlahnya sedikit dan merupakan manusia pilihan yang memiliki timbangan Rabbaniyah,
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Demikianlah, berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak. Maka, inilah kaidah dalam pandangan orang-orang yang yakin akan bertemu dengan Allah. Kaidah bahwa golongan yang beriman itu sedikit jumlahnya, karena mereka akan mendaki tangga yang sulit hingga mencapai tingkatan terpilih. Akan tetapi mereka menang karena selalu berhubungan dengan sumber semua kekuatan dan karena mereka mengejawantahkan kekuatan pemenang, yaitu kekutan Allah yang Mahamenang atas urusan-Nya dan yang Mahakuasa atas hamba-Nya, yang menghancurkan para diktator, menghinakan orang-orang yang zalim, dan menekan orang-orang yang sombong.
Mereka menyandarkan kemenangan hanya kepada Allah, dengan izin Allah. Mereka lalu mengemukakan alasannya yang hakiki, yaitu “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Maka dengan semua itu, mereka hendak menunjukkan bahwa mereka dipilih oleh Allah Swt. untuk melakukan peperangan yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilah.
Inilah golongan kecil yang percaya penuh akan bertemu dengan Allah yang mengembangkan kesabaran dari keyakinannya terhadap pertemuan ini, yang menyandarkan kekuatan dari kepercayaannya terhadap Allah, bahwa Allah senantiasa beserta orang-orang sabar. Inilah golongan kecil yang memiliki kepercayaan utuh, sabar, dan mantap. Serta yang tidak dapat diguncangkan oleh banyaknya jumlah musuh beserta kekuatannya. Mereka inilah golongan yang menentukan akhir peperangan, setelah terus menerus memeperbaharui dan mengaktualkan janjinya kepada Allah, menghadapkan hatinya kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya ketika mereka sedang menghadapi kakuatan besar yang menakutkan,
“Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, "Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri Kami, dan kokohkanlah pendirian Kami dan tolonglah Kami terhadap orang-orang kafir. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS Al-Baqarah: 250-251).
Demikianlah, mereka mengucapkan “Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri Kami.” Ini adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan pemandangan di mana kesabaran dituangkan oleh Allah kepada mereka, hingga memenuhi hati mereka, serta dicurahkan ketenangan, ketenteraman, dan ketabahan dalam menghadapi bahaya dan kesulitan. “Kokohkanlah kaki (pendirian) kami,” karena pendirian ini berada di tangan Allah yang Mahasuci, supaya Allah mengokohkannya hingga tidak goyah. “Dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Maka jelaslah posisinya, yaitu iman berhadapan dengan kekafiran, kebenaran berhadapan dengan kebatilah. Dan mereka berdoa kepada Allah supaya Allah menolong kekasih-kekasih-Nya yang beriman itu untuk menghadapi musuh-musuhnya yang kafir.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraisy Syihab menjelaskan bahwa sebagian ulama memahami ujian ini dalam arti ujian menghadapi dunia dan gemerlapnya. Mereka meminum air sungai itu untuk mendapatkan kepuasan penuh, mereka adalah yang ingin meraih semua gemerlap dunia. Adapun yang tidak meminumnya, dalam arti tidak terpengaruh oleh gemerlap dunia dalam berjuang, itulah kelompok Thalut. Demikian juga mereka yang hanya mencicipi sedikit dari air sungai itu. Dengan demikian, ayat ini membagi mereka ke dalam tiga kelompok, yakni yang minum sampai puas, yang tidak minum, dan yang sekedar mencicipinya.
Hal yang sama dijelaskan di dalam Tafsir Al-Qurthubi bahwa ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah Swt. untuk dunia. Allah Swt. mengumpamakan dunia dengan sungai. Ada yang meminum air sungai tersebut dan tidak mau beranjak dari sungai tersebut bahkan memperbanyak minum air sungai tersebut. Ada yang sama sekali tidak meminum air sungai bahkan zuhud dengan air sungai tersebut. Dan ada yang menceduk seceduk dengan tangannya sekedar kebutuhan. Tiga keadaan tersebut berbeda-beda penilianannya di sisi Allah Swt.
Ayat di atas, sebagaimana terjemahannya berbunyi, “barangsiapa tidak meminumnya, maka dia termasuk pengikutku, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya.” Redaksinya yang demikian itu, yakni pengecualiannya ditempatkan di akhir, bukan berbunyi sebagaimana gaya bahasa yang umum digunakan, “Barangsiapa tidak meminumnya, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya, maka dia adalah pengikutku.” Ayat ini tidak berbunyi demikian karena yang ingin ditekankan adalah tidak minum, dan bahwa inilah yang seharusnya terjadi.
Setelah menjelaskan dasar tersebut, barulah pengecualian itu disampaikan. Setelah mereka melampaui sungai dan melihat kekuatan senjata dan personil musuh di bawah pimpinan Jalut, sebagaimana mereka berkata, “Tak ada kesanggupan kami hari ini menghadapi Jalut dan tentaranya.” Tidak dijelaskan oleh ayat ini, apakah ucapan tersebut disampaikan kepada Thalut, atau ucapan mereka satu sama lain, ataukah bisikan hati mereka yang diketahui Allah Swt.
Adapun orang-orang yang yakin bahwa mereka akan menemui Allah dan ganjaran-Nya di hari Kemudian, dengan penuh semangat dan optimisme, mereka berkata, “Berapa banyak terjadi, golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” Ini karena optimisme mereka disertai oleh keyakinan bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh kuantitas tetapi kualitas, dan bahkan kemenangan bersumber dari Allah Swt. dan atas izin-Nya. Keyakinan itu juga lahir dari kesadaran mereka tentang perlunya ketabahan dan kesabaran karena Allah beserta orang-orang sabar. Bukti kebenaran ucapan orang-orang beriman itu ditemukan antara lain pada sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. dalam Perang Badar. Ketika itu, kaum muslimin hanya berjumlah 313 orang dengan persenjataan dan perlengkapan yang amat kurang, namun demikian Allah Swt. menganugerahkan kemenangan kepada kaum muslimin (Quraisy Syihab, 2009).

Dunia yang Menipu
Kekalahan pasukan muslimin dalam Perang Uhud disebabkan karena pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit tidak menaati perintah Rasul Saw. agar tidak meninggalkan posisinya sebelum diperintahkan untuk turun. Mereka tergiur dengan harta benda yang ditinggalkan pasukan kafir yang lari tunggang-langgang setelah diporak-porandakan oleh pasukan kaum muslimin. Kemenangan yang sudah di depan mata seketika berbalik menjadi pukulan telak ke jantung pasukan kaum muslimin. Ketika itu pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam), melihat celah karena sebagian besar pasukan pemanah kaum muslimin menuruni bukit Uhud untuk mengambil ghanimah. Pasukan kafir akhirnya berbalik menyerang pasukan kaum muslimin dari arah depan dan belakang. Dalam posisi terjepit, pasukan kaum muslimin banyak yang syahid. Para shahabat  kocar-kacir. Kaum musyrikin maju mendekati posisi Rasulullah Saw. Mereka berhasil melukai kepala beliau, memecahkan gigi seri beliau. Bahkan beberapa kali beliau terperosok ke dalam lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Fasiq dan melempari beliau dengan batu-batuan.
Kekalahan pasukan kaum muslimin terjadi pada sebaik-baik generasi,dan di antara mereka terdapat sebaik-baik manusia setelah rasulullah dan Abu bakar.namun akhirnya mereka kalah juga.hal ini terjadi karena pemanah itu membangkang perintah qaid,sementara perhatian mereka tertuju pada ghanimah yang tercecer di medan perang hingga meneteslah air liur mereka,menolak untuk mengemban perintah dari yang ghaib,dan lari berbondong-bondong menuju dunia.Maka kekalahanlah yang memang sepantasnya menimpa mereka.
Kita saksikan kekalahan ini berulang kembali pada permulaan perang Hunain,tatkala kaum muslimin mulai condong kepada dunia dan kagum terhadap banyaknya tentara mereka,lupa akan pertolongan Allah dan bantuan-Nya.bahkan mereka melampaui batas dikarekan jumlah dan perlengkapan.barulah ketika mereka kembali kepada prinsip zuhud dari segala gemerlapnya dunia dan memenuhi panggilan nabi,Allah memberikan kemenangan setelah menderita kehancuran.
Kita masih mendengar ungkapan jendral tentara muslim kepada Panglima parsi,"kami datang kepadamu dengan tentara yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan."sadarlah panglima parsi bahwa tipe kaum seperti inilah yang tidak akan terkalahkan.
Kita bandingkan dengan peperangan di zaman sekarang melawan yahudi,semuanya berakhir dengan kekalahan.Kita tidak ragu bahwa penyebab utamanya adalah hubbundunya dalam pangkat,prestasi dan prestise,koleksi harta,membangun gedung-gedung dan mencintai syahwat yang haram.
Kita jumpai di antara kekalahan-kekalahan itu, pengkhianatan demi pengkhianatan.Kita mendengar ancaman-ancaman kosong menjelang perang tanpa bukti. Kita saksikan panglima-panglima perang kita hanyut dalam kehinaan pada saat-saat perang. Salah seorang mereka menjual negerinya kepada musuh demi sedikit harta, sementara yang lain mundur dari jengkal tanahnya karena khawatir keselamatan singgasananya. Yang lain lagi sengaja menciptakan kejahatan lain.
Apakah ia mengira bahwa segalanya akan berakhir sampai disitu?
Kekalahan demi kekalahan akan terus menimpa kita sebelum kita mencintai kematian, sebagaimana musuh mencintai kehidupan,mengesampingkan dunia dan memelihara surga dalam diri.Dari itu tercapailah kemenangan (http://www.pk-sejahtera.us/index.php/14-ind-columns/tarbiyah/26-cinta-dunia-mengakibatkan-kekalahan).
Beberapa penggalan ayat dan hadits di bawah ini semoga dapat mengingatkan kita semua untuk zuhud terhadap dunia dalam bingkai makna yang telah diterapkan oleh Rasulullah Saw., para sahabatnya, dan para pengikut beliau yang mendapat bimbingan dari AllahSwt.
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS At-Takaatsur 1-8).
Dari Amru bin Auf al-Anshari Ra. bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke al-Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Kemudian Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa harta dan orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah. Mereka berkumpul untuk shalat Subuh dengan Nabi Saw. tatkala selesai dan hendak pergi mereka mendatangi Rasul Saw., dan beliau tersenyum ketika melihat mereka kemudian bersabda:”Saya yakin kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?” Mereka menjawab:”Betul wahai Rasulullah”. Rasul Saw. bersabda:” Berikanlah kabar gembira dan harapan apa yang menyenangkan kalian, demi Allah bukanlah kefakiran yang paling aku takutkan padamu tetapi aku takut dibukanya dunia untukmu sebagaimana telah dibuka bagi orang-orang sebelummu dan kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan akan menghancurkanmu sebagaimana telah menghancurkan mereka” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda: ”Celakalah hamba dinar (emas), dirham (perak), pakaian dan pakaian sutra. Jika diberi ia suka dan jika tidak ia tidak suka” (HR Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain:” Jika diberi ia suka dan jika tidak ia murka, celakalah dan semoga celaka dan jika terkena duri tidak ada yang mengeluarkannya. Berbahagialah bagi seorang hamba Allah yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah kepalanya acak-acakan dan kakinya berdebu, jika ia disuruh berjaga maka berjaga dan jika disuruh di depan maka ia di depan. Jika ia minta izin tidak diizinkan dan jika minta pesan tidak dikabulkan.
Dari Abu Said Al-Khudri Ra. dari Nabi Saw. bersabda:”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita” (HR Muslim).

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto