Ramadhan Bulan Infaq

12 Jul 2013

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS Al-Baqarah: 245).

Salah satu amalan yang sering dikerjakan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan adalah memperbanyak infaq. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, karena pada bulan Ramadhan semua pahala kebaikan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Kedua, pada bulan Ramadhan, Rasulullah Saw. banyak membaca Al-Qur`an. Dan di antara ayat-ayat yang dibaca, Nabi Saw. menemukan ayat yang menjelaskan tentang keutamaan infaq fii sabiilillah. Maka beliau pun terdorong untuk memperbanyak infaq, khususnya di bulan Ramadhan.
Kisah tentang kedermawanan Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan amat panjang. Beliau tidak menolak orang yang meminta, kecuali ketika sedang tidak punya. Ada orang yang meminta baju beliau, maka beliau pun masuk rumah dan ketika keluar lagi bajunya sudah dilepas dan diberikan kepada si peminta. Kadang beliau membeli barang, lalu mengembalikan barang yang sudah dilunasinya itu kepada si penjual. Beliau juga pernah membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan oleh si penjual. Kadang beliau meminjam barang dan mengembalikannya dengan yang lebih baik. Beliau juga kadang menerima hadiah, dan membalasnya dengan hadiah yang lebih banyak. Rasulullah Saw. senang memberikan hadiah kepada orang lain, lebih senang dibandingkan dengan orang yang menerima hadiah.
Oleh karena itu, pada kesempatan Ramadhan yang penuh berkah ini, sepatutnyalah kita merenungi ayat-ayat Allah Swt. tentang keutamaan berinfaq di jalan Allah Swt. Apalagi kita menyadari saat ini masyarakat kita tengah menghadapi dampak dari kenaikan harga BBM. Sebagian masyarakat terpaksa memasak dengan menggunakan kayu bakar lantaran tak mampu membeli minyak tanah yang harganya di pasaran empat kali lipat dari sebelumnya.
Allah Swt. memerintahkan kita untuk berinfaq di jalanNya. Namun perintah itu diberikan dengan cara yang sangat halus. Ketika memerintahkan hambaNya untuk berinfaq, Allah  mengatakan, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik.” Pada penggalan ini Allah mengatakan qordhon hasanan (pinjaman yang baik). Demikian halus kalimat yang dipergunakan Allah Swt. Padahal rizki yang kita infaqkan di jalan Allah itu berasal dari Allah Swt. Artinya rizki yang kita infaqkan itu sebenarnya adalah milik Allah. Namun demikian, ketika Allah memerintahkan agar kita mau berinfaq, hal itu dikatakan Allah dengan kalimat ‘meminjam’. Ini merupakan tarbiyah ijtima’iyah (pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat) yang diberikan Allah Swt. kepada kita, agar ketika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, kita tidak menggunakan bahasa-bahasa yang seolah-olah sesuatu yang kita berikan itu secara mutlak adalah milik kita.
Allah Swt. juga memberikan motivasi agar kita merasa ringan dalam mengeluarkan infaq di jalan Allah. Di sini Allah mengatakan qordhon hasanan (pinjaman yang baik). Kenapa di sini ada lafadz hasanan (baik)? Karena kenyataannya ada orang yang berinfaq tetapi tidak dilakukan dengan hasanan. Misalnya orang yang berinfaq hanya agar dikatakan sebagai seorang dermawan. Yang seperti ini bukan termasuk infaq yang hasanan. Infaq yang hasanan adalah infaq yang dilakukan dengan niat yang baik, diberikan dengan cara yang baik, dan alokasinya juga dipilih yang baik.
Inilah barangkali rahasianya, kenapa pada ayat ini Allah berpesan bahwa berinfaq juga harus yang baik (hasanan). Kita jangan sampai mempunyai prinsip ‘yang penting berinfaq’. Apa jadinya kalau kita berinfaq dengan niat yang baik, akan tetapi justru dipergunakan untuk membiayai ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana jika harta kita, tanah yang kita wakafkan justru dipergunakan untuk mendukung program thaghut dalam menghancurkan Islam, seperti mengajarkan bahwa semua agama sama, laki-laki dan perempuan dibiasakan bercampur (ikhtilat), dan aurat tidak diurus dengan baik? Namun ironisnya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan seperti itu tidak sedikitpun merasa berbuat salah. Kalau yang seperti ini kita sumbang, apa jadi masyarakat kita di masa yang akan datang? Oleh karena itu, berinfaq pun harus yang hasanan (baik). Inilah pentingnya kita memahami Islam secara utuh.
Kalau ada manusia yang meminjamkan Allah dengan pinjaman yang baik, maka kata Allah, “Maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” Di sini Allah Swt. sudah mengatakan adl-’afan (lipat ganda), namun masih ditambah dengan kata katsiiran (yang banyak). Ini menandakan bahwa ketika kita mengeluarkan infaq, kita jangan sampai takut miskin karenanya. Kenapa? Karena pada dasarnya harta yang kita infaqkan di jalan Allah itulah yang menjadi aset ukhrawi kita. Harta yang tidak kita infaqkan di jalan Allah, akan hilang begitu saja. Tentang infaq ini, pada ayat lain Allah mengatakan,
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahu” (QS Al-Baqarah: 261).
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa harta yang diinfaqkan fii sabilillah akan dilipatkangandakan sampai dengan tujuh ratus kali. Kalau angka itu dihitung dengan bunga bank, maka harta yang kita infaqkan itu akan diberi bunga oleh Allah sebesar 70.000 %. Adakah di dunia ini bunga bank yang sampai demikian besar? Pandangan seorang Muslim tentang balasan Allah di akhirat ini merupakan perbedaannya dengan orang kafir dalam sistem ekonominya. Orang kafir dalam sistem ekonominya hanya berorientasi pada masalah dunia, akan tetapi orang Islam berpikir tentang masalah dunia dan akherat sekaligus. Ketika kita memberikan infaq kita kepada seseorang, maka orang itu akan mendoakan kita. Apalagi jika yang kita berikan infaq itu orang yang miskin, lemah dan terdholimi. Kita tahu bahwa do’anya orang yang terdholimi akan mudah dikabulkan Allah Swt. Oleh karena itu kalau kita berinfaq fi sabilillah, harta kita justru akan bertambah.
Kalau kita mencoba merenungi, kenapa kita harus menginfaqkan harta benda kita di jalan Allah? Ini kita lakukan karena kita tidak tahu apakah rizki yang diberikan Allah Swt. kepada kita itu akan ada sampai tua, ataukah nantinya kita akan jatuh miskin sehingga tidak bisa lagi berinfaq. Di masyarakat kita seringkali kita melihat orang yang pada waktu mudanya kaya raya, akan tetapi pada waktu tuanya miskin sekali. Bagaimana tidak menyesal seorang Muslim jika ketika masih kaya tidak mau berinfaq, akan tetapi dalam sisa hidupnya jatuh miskin. Ar-rizqi itu biyadillah (rizki itu di tangan Allah Swt.). Kita tidak tahu berapa banyak rizqi yang dijatahkan Allah kepada kita, baik rizqi yang berupa harta benda maupun yang lainnya seperti kesehatan, umur, dan lain sebagainya. Karena kita tidak tahu berapa rizqi kita, maka jangan sampai ada persepsi bahwa ‘saya akan berinfaq nanti kalau sudah kaya’, atau ‘saya akan berda’wah nanti kalau sudah tua’. Kita tidak tahu berapa umur kita, karena umur biyadillah (di tangan Allah). Rizqi juga biyadillah.
Oleh karena itu ketika di depan kita ada potensi yang bisa dimanfaatkan untuk berinfaq atau untuk berda’wah, harus segera kita manfaatkan sesuai dengan ajaran Allah Swt. Mengapa? Karena semua itu akan dihisab oleh Allah Swt. Potensi yang diberikan Allah kepada kita merupakan amanah. Dan setiap amanah yang diberikan kepada kita harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Jadi tidak ada alasan sekarang kita tidak berinfaq karena sedang miskin. Kita akan ditanya mengapa pada waktu masih kaya kita tidak mau berinfaq? Makanya selanjutnya Allah mengatakan, “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezki.”
Penegasan Allah ini menunjukkan bahwa bukan kita yang menambah rizki. Kita hanyalah beruusaha untuk mencari rizki, dan Allah-lah yang menentukan rizki kita. Ini artinya belum tentu orang yang bekerja keras pasti rizkinya banyak, walaupun kita harus memahami bahwa bekerja merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Banyak orang yang bekerja keras dalam berbisnis akan tetapi rugi terus. Oleh karena itu, ketika kita diberikan rizki oleh Allah Swt., marilah kita infaqkan fii sabilillah, karena Allah pasti akan melipatgandakan ’bunga’nya. Dan ‘bank’nya Allah itu tidak ada istilah bangkrut.
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” Artinya, kita harus berinfaq di jalan Allah, karena pada dasarnya kita pasti kembali kepada Allah Swt. Di akhiratlah kita akan menikmati hasil jerih payah kita selama hidup di dunia.
Jadi ayat yang berkaitan dengan infaq di jalan Allah ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Bani Isra’il itu adalah bangsa yang takut mati, dan juga bangsa yang takut fakir. Kalau ada orang Islam yang takut mati dan takut fakir, maka ia telah tertular penyakit yang diderita Bani Isra’il. Dan ketakutan-letakutan itu tidak ada solusinya kecuali kembali kepada segala aturan Allah Swt. Ini artinya, untuk menyelesaikan berbagai macam krisis yang menimpa kita, satu-satu jalan yang harus kita tempuh adalah kembali kepada Allah dengan segala aturan yang dikeluarkanNya. Walaupun orang lain berkata macam-macam, pada hakekatnya kita harus kembali kepada Allah semata. Kita akan merasa aman dan tidak akan terancam krisis, tidak ketakutan dan sebagainya, kalau kita kembali kepada Allah. Wallahu a’lam bishsawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto